11 Mar 2014

Trauma sejarah Pelaksanaan "Syariat Islam"-nya Wahabi


Oleh KH Agus Sunyoto

Trauma Sejarah Pelaksanaan  “Syariat Islam”-nya Wahabi

               Pandangan Guru Sufi  terhadap pelaksanaan syariat Islam dalam bernegara yang tidak sejalan dengan pandangan ustadz  Hajibul Haqq, ternyata berbuntut.  Entah siapa yang menyebarkan, tiba-tiba Guru Sufi diisukan sebagai kyai yang menolak syariat dan tidak mau menjalankan syariat.  Sejumlah aktivis datang untuk bertabayyun mengenai isu  tak jelas itu. Dipimpin Khoirul,  Joko dan Bambang, belasan aktivis meminta penjelasan Guru Sufi tentang kebenaran isu tersebut.
           Sambil tersenyum Guru Sufi menjelaskan duduk persoalan kenapa ia tidak sepaham dengan ustadz Hajibul Haqq dengan alasan pentingnya kejelasan yang dimaksud syariat, karena kejelasan syariat tidak sekedar menyangkut sudut pandang yang digunakan melainkan menyangkut pula pelaksanaannya. Sebab baiknya syariat pada tingkat konseptual, belum tentu baik dalam pelaksanaan apalagi jika syariat itu dimanfaatkansecara tidak semestinya untuk kepentingan pribadi. “Kita punya sejarah kelabu tentang pelaksanaan syariat yang tidak jelas apa firqah dan mazhabnya dan  siapa pelaksananya, sehingga timbul kepahitan bagi umat,” ujar Guru Sufi.
                “Maaf Mbah Kyai, setahu saya bangsa Indonesia belum pernah menerapkan syariat Islam,” kata Khoirul menyela penjelasan Guru Sufi,”Bahkan untuk  hukum  jinayat, yang diterapkan pun bukan syariat Islam melainkan hukum bikinan Belanda, Burgelijk Wetboek. Bagaimana Mbah Kyai bisa menyatakan kita punya sejarah kelabu tentang pelaksanaan syariat?”
                “Ketahuilah, wahai pemuda-pemuda kritis,” sahut Guru Sufi menjelaskan,”Bahwa sejak jaman kuno bangsa kita sudah hidup teratur menurut hukum. Sejak tahun 648 Masehi, kitab Kalingga Dharmasastra jadi acuan hukum pidana dan perdata. Terus dilanjut era Singhasari dengan Purwadigama Dharmasastra yang dilanjut era Majapahit dengan Kutaramanawa Dharmasastra. Untuk hukum pidana, misal, semua sama: pencuri potong tangan, rampok dihukum bunuh, koruptor dipenggal dan dirampas harta korupnya ditambah hukuman anak dan isterinya jadi budak. Penzinah dihukum bunuh. Pemerkosa dihukum bunuh, dan macam-macam hukuman yang keras lainnya untuk pelaku kejahatan. Sampai zaman Demak, Pajang dan Mataram hukum yang keras itu terus dijalankan.”
                “Maaf Mbah Kyai, kalau hukum kuno seperti itu, kan sama dengan syariat Islam?” tanya Khoirul.
                “Esensinya sama tapi namanya saja yang beda,” sahut Guru Sufi,”Karena itu warga era  Majapahit sampai era  Demak, yang Hindu, Buddha maupun muslim tunduk di bawah supremasi hukum kuno itu.”
                “Lalu hukum syariat mana yang Mbah Kyai sebut sebagai sejarah kelabu?”
                “Waktu kaum Wahabi berkuasa di Sumatera Barat,” kata Guru Sufi menjelaskan latar sejarah pelaksanaan syariatnya kaum Wahabi,”Waktu itu yang memimpin Tuanku Nan Rinceh. Berbagai tindak maksiat, bid’ah, khurafat, takhayul, dan adat kebiasaan yang tidak Islami  diberantas dengan keras. Bahkan kebiasaan makan sirih, dilarang dengan ancaman hukuman mati. Nah, sebagai contoh ketegasan penguasa, bibi Tuanku Nan Rinceh yang sudah tua ditangkap karena kedapatan makan sirih. Lalu orang tua yang merasa tidak melakukan dosa dan salah itu dihukum pancung di lapangan. Tidak cukup memenggal perempuan tua itu, Tuanku Nan Rinceh memerintahkan pengikutnya untuk tidak menguburkan mayat bibinya, melainkan menyuruhnya buang ke hutan supaya dimakan hewan buas. Itulah contoh yang sesuai bagi yang melanggar hukum Tuhan.”
                “Tindakan Tuanku Nan Rinceh menghukum mati bibinya, menggemparkan dan membuat takut penduduk. Tidak ada satu pun orang yang berani makan sirih lagi. Tapi, para pengikut Tuanku Nan Rinceh justru membawa segepok daun sirih untuk diletakkan di rumah orang-orang kaya. Mereka meminta tebusan uang kepada tuan rumah dan jika tidak dikasi, mereka mengancam akan melaporkan kepada Tuanku Nan Rinceh bahwa di rumah tersebut ditemukan sirih. Tindakan pengikut Tuanku Nan Rinceh itu menggemparkan dan membuat takut penduduk. Ketika orang-orang kaya melaporkan tindakan para pengikutnya yang menyimpang itu, Tuanku Nan Rinceh tidak mengambil tindakan apa-apa. Ia hanya menyesalkan terjadinya penyimpangan tersebut.”
                “Watak badui yang anti feodalisme, ternyata dijalankan oleh para penyebar Wahabi  selain  menista  masyarakat bukan Wahabi sebagai kaum adat yang hidup tidak mengikut hukum Islam. Kaum bangsawan muslim di Pagaruyung, tanpa alasan jelas tiba-tiba diserang dan dijarah hartanya.  Cicit salah seorang panglima Wahabi yang  mencatat  kisah-kisah  teror kaum Wahabi di Sumatera Utara, termasuk kekejaman kakek buyutnya dalam menjalankan syariat, menyusun kisah-kisah traumatik itu dalam sebuah buku yang diberi judul Tuanku Rao. Demikianlah, resistensi muncul  di mana-mana terhadap  pelaksanaan syariat Wahabi  yang menakutkan penduduk itu, sampai akhirnya pecah perang antara kaum Wahabi dengan kaum muslim setempat, yang kita kenal sebagai Perang Paderi. Itulah, sekelumit sejarah kelabu pelaksanaan syariat yang pernah terjadi di negeri ini. Karena itu, waktu ustadz Hajibul Haqq bicara soal pelaksanaan syariat dalam bernegara, aku tanya dulu syariat yang mana? Syariatnya Wahabi? Syiah? Ahlussunnah wal-Jama’ah? Itu semata-mata karena kita pernah mengalami peristiwa traumatik dalam sejarah penerapan syariat.”