Tampilkan postingan dengan label Tulisan Agus Sunyoto. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tulisan Agus Sunyoto. Tampilkan semua postingan

27 Apr 2014

Kulit Putih Jadi Pribumi Orang Jawa Jadi WNA

Menolak Hipotesis Indonesia Adalah Benua Atlantis (VII):
                                                    Kulit Putih Jadi Pribumi Orang Jawa Jadi WNA

 Memahami  Nusantara Secara Emic
            Dalam ranah pendekatan kualitatif, pandangan Arysio Santos yang menganggap  Indonesia  sebagai sisa-sisa Benua Atlantis yang tenggelam, dapat dinilai sebagai  pandangan bersifat etic, yakni pandangan orang luar terhadap subyek yang diteliti, yaitu pandangan orang Brazilia yang tidak pernah ke Indonesia dan tidak mampu menangkap makna di balik yang difahami orang-orang Indonesia. Oleh karena bersifat etic, maka menjadi wajar jika  pemaknaan-pemaknaan dan penafsiran-penafsiran linguistik yang dilakukan Arysio Santos kelihatan sekali selalu  sepihak dan bersifat  sewenang-wenang dan coersive,  mengabaikan pandangan emic orang-orang Indonesia,  atau sedikitnya orang-orang India yang usia peradabannya jauh lebih tua dibanding peradaban Yunani kuno dalam memandang Indonesia.
            Secara common sense, jika 6000 tahun sebelum Masehi di India sudah muncul peradaban neolithik pegunungan Vindhyan di selatan Uttar Pradesh, Koldihwa di dekat Allahabad, yang disusul Chiran di Bihar, Orissa dan Chotanagpur sampai ditemukannya kota purba Mohenjodaro dan Harappa, dipastikan bangsa-bangsa tua itu akan mencatat atau setidaknya mengabadikan keberadaan benua “luar biasa” Atlantis yang letaknya tidak jauh dari negeri mereka. Di dalamIndian Mythology, misal, Donald Mackenzie tidak sedikit pun menemukan legenda dan mitos tentang benua yang tenggelam di dekat India. Legenda Kumari Kundam yang tenggelam di selatan India, adalah legenda tenggelamnya sebuah pulau kecil yang tidak sedikit pun dihubungkan dengan bangsa berperadaban tinggi. Bahkan Mackenzie mendapati mitologi India tertua, menyebut wilayah Nusantara sebagai wilayah Dewa Laut Varuna, yang secara mitologis digambarkan tinggal di istana Varunai di  Varunadwipa (nama purba Kalimantan yang bermakna pulaunya Sang Baruna, yang dilafalkan keliru oleh lidah Belanda sebagai Borneo-pen). Mitologi India menggambarkan Dewa Baruna sebagai asura (musuh para sura, dewa) penguasa samudera raya. Anak-anak keturunan Baruna yang menghuni lautan disebut bangsa Kalakeya. Berkali-kali bangsa Kalakeya dari lautan itu naik ke daratan, menyerbu kota-kota dan desa-desa bahkan beberapa kali menggempur Indraloka di Amaravati, demikian mitologi India merekam keberanian sekaligus kebrutalan raksasa-raksasa laut yang disebut Kalakeya. Di samping Kalakeya, muncul pula para Danawa keturunan Danu dan para Daitya keturunan Diti. Itu artinya, ingatan purba orang-orang India kuno tentang Indonesia beserta penduduknya adalah  ingatan tentang lautan dan sekali-kali bukan benua besar yang tenggelam karena banjir besar.
            Menurut asumsi Arysio Santos, Gunung Krakatau adalah pilar milik Varuna yang saat meletus menjadi agnishvattha, ‘api yang memurnikan’  ras-ras Timur Jauh (Indonesia) yang berkulit merah dan putih lainnya, terutama orang-orang Tocharia (bangsa kuno yang mendiami Tarim Basin di Asia Tengah), yaitu  sebutan untuk “orang-orang Cina berambut pirang”, justru bertentangan dengan teks-teks kitab Veda dan pandangan emic orang-orang Hindu. Sebab di dalam Rigveda Samhita Mandala IV Sukta 1 digambarkan bahwa Agni sebagai kekuatan api berbeda dengan saudaranya, Varuna, kekuatan air: sa bhrataram varunam agna a vavrtsva devam accha sumati yajnavanasam jyestharh yajnavanasam,  rtavanam adityam carshanidhrtam rajanam carshanidhrtam (wahai Agni [api ilahi]  semesta, bawalah saudaramu yang mulia, Varuna [air ilahi], pada  kehadiran para pemuja. Dia sangat suka ikut serta dalam penciptaan alam semesta ini, setia pada hukum yang ditegakkan sebagai salah satu prinsip penciptaan yang tidak terbatas dan pemelihara umat manusia, ia laksana kekuasaan tertinggi yang dihormati umat manusia). Jelas sekali Veda membedakan Agni sebagai api ilahi dan Varuna sebagai air ilahi. Tidak pernah kekuatan Varuna menjadi agnishvattha, karena agnishvattha itu berkaitan dengan Dewa Agni. Bahkan sekalipun Krakatau berada di tengah laut, sepanjang sejarah belum pernah ada dongeng atau mitos yang diyakini penduduk Nusantara yang mengaitkan gunung berapi itu dengan Varuna, kecuali Prof Arysio Santos tentunya. 
            Dalam pandangan emic  penduduk Nusantara sendiri, sedikit pun tidak  terlintas bahwa mereka pernah tinggal di sebuah benua besar yang kemudian tenggelam. Orang-orang yang menyebut diri Jawa, misal, mengakui keberadaan mereka sebagai orang-orang yang hidup di perairan di mana nama Jawa berasal dari suku kata “Ja” (keluar, lahir) dan “Wa” (air, sungai), yang bermakna ‘orang-orang yang lahir dari sungai, di mana kata “Ja-wah”  yang bermakna hujan, juga berkaitan dengan air. Kata Sunda, dalam bahasa Jawa Kuno dan Sunda Kuno, juga bermakna “air”.  W.J.van der Meulen dalam Indonesia Di Ambang Sejarah (1988) menyatakan bahwa sejumlah bangsa yang bertempat tinggal tersebar di sepanjang pantai Laut Tiongkok Selatan menyebut dirinya “PUTERA_PUTERA SUNGAI”, sebutan yang mungkin sekali semula berhubungan dengan sungai pedalaman, akan tetapi kemudian pengertiannya dihubungkan dengan Laut Tiongkok Selatan. Hendaknya kita ingat bahwa menurut pendapat umum, bangsa-bangsa Austronesia turun melalui sungai-sungai besar ke pantai; mereka adalah bangsa-bangsa sungai sebelum menjadi bangsa-bangsa lautan.
            Sebutan “putera sungai” ini (atau “putera-putera air”), masih menurut Van der Meulen, diwakili dengan jelas oleh nama-nama Tagalog (Taga-ilog) di Filipina dan Galuh (merga atau aga-lwah) sepanjang pantai utara Jawa. Pun pula ternyata nama bangsa Ambastai, yang disebut Ptolemaeus dalam Chryse Chersonesos, yang bertempat tinggal di sepanjang Sungai Ambastai, karena kata Sansekerta “ambhastas” tidak lain bermakna “(lahir) dari air”.  Bahkan kerajaan tertua di Indonesia, Kutei, menyisakan prasasti Mulawarman yang berbunyi: “Sang Mulawarna seperti Raja Bhagiratha dilahirkan dari sagara… (Poerbatjaraka, Riwayat Indonesia, 1952).
            Keberadaan bangsa Indonesia sebagai bangsa laut tidak perlu diragukan lagi. Orang-orang asal laut  selatan yang disebut orang-orang Cina dengan sebutan “Kun lun”, dikenal sebagai bangsa pelaut. Pada akhir abad ke-3 Masehi, sebagaimana dicatat oleh seorang pegawai daerah Nanking bernama Wan Zhen, kapal-kapal dari selatan ukurannya 200 kaki (60 m) panjang, 20-30 kaki (7-10 m)  tingginya, bisa dimuati 600 – 700 orang, dan muatan seberat 10.000 hou…(Wang Gungwu, Nanhai Trade. A Study of the Early History of Chinese Trade in the South China Sea, 1958).  Kapal ukuran besar asal Jawa ditulis pula dalam catatan Fa Hien sewaktu ia pulang dari India, berlayar dari Srilangka dengan sebuah kapal besar berpenumpang sekitar 200 orang.  Kapalnya diserang badai besar, terdampar di Ye-po-ti (Yawadi), yaitu Jawa. Ia tinggal di Jawa selama lima bulan dari Desember 412 sampai Mei 413, sebelum membangun sebuah kapal yang sama besarnya untuk berlayar kembali ke Cina (H.Giles, The Travel of Fa-hsien – 399-414 A.D,1956), di mana dengan berita Fa Hsien ini kita ketahui bahwa orang-orang Jawa pada abad ke-5 Masehi membuat kapal ukuran besar dalam tempo kurang dari lima bulan.   
            Identitas kelautan orang-orang Nusantara sedikitnya dicatat oleh kesaksian seorang saudagar Arab bernama Ibnu Lakis yang mencatat bahwa pada tahun 334 H (945 / 946 M), ia mendapati kira-kira 1000 perahu yang dinaiki orang Waqwaq, di daerah “sofala-nya kaum Zenggi”, yaitu di pantai Mozambique, Afrika. Orang Waqwaq itu – yang “kepulauannya terletak berhadapan dengan Negeri Cina” – menegaskan sendiri bahwa mereka “datang dari jarak yang memerlukan setahun pelayaran”. Mereka mendatangi pantai-pantai Afrika untuk mencari  “bahan yang cocok untuk negeri mereka dan untuk Cina, seperti gading, kulit kura-kura, kulit macan tutul, ambar”. Yang terutama mereka cari adalah budak Zanggi,”karena orang Zanggi itu dengan mudah menanggung perbudakan dan karena kekuatan fisik mereka” (R.Mauny, The Wakwak and the Indonesia Invasion in East Africa in 945, 1965). Kesaksian Ibnu Lakis itu sedikitnya bisa dibuktikan secara faktual seputar keberadaan penduduk Madagaskar – sebuah pulau besar di Afrika timur – yang penduduknya bukan ras negro tetapi ras Austronesia – Melayu dengan bahasa campuran yang banyak menggunakan kosa kata  Jawa Kuno dan Melayu. Mengapa sumber-sumber emic tentang orang-orang Indonesia yang menganggap dirinya bangsa laut tidak sedikit pun dikutip oleh Arysio Santos? Apakah buku   Atlantis – The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of  Plato’s Lost Civilization) yang ditulis Arysio Santos benar-benar berlatar penelitian murni tanpa hidden agenda di baliknya?

Konsekuensi Menerima Hipotesa Arysio Santos         
          Pernyataan Prof Arysio Santos  dalam pendahuluan buku  Atlantis – The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of  Plato’s Lost Civilization) yang menyatakan  bahwa dengan mengikuti teorinya di mana  Indonesia adalah Atlantis yang tenggelam  akan berakibat pada  perlunya dilakukan revisi besar-besaran dalam ilmu-ilmu humaniora seperti antropologi dan sejarah, disiplin ilmu-ilmu pendukung, misalnya, linguistik, arkeologi, evolusi, paleoantropologi, mitologi, dan bahkan mungkin agama, jika dicermati lebih mendalam  ternyata berakibat lebih luas dan lebih mengerikan daripada sekedar revisi besar-besaran bidang ilmu humaniora. Sebab dengan diterimanya hipotesis Arysio Santos, secara common sense  yang mula-mula wajib  direvisi adalah  sejarah Indonesia dan khususnya identitas penduduknya. Sebab jika hipotesa Arysio Santos yang menyatakan bahwa Indonesia adalah bekas Atlantis dan orang-orang Saka, Yava, Yavana, Ionia, adalah keturunan Dravida Chamite kulit merah,  penghuni awal  Yavadvipa,  maka keharusan fundamental yang wajib diterima adalah : “Pulau Jawa adalah tanah asal ras Arya yang bertubuh tinggi, berambut pirang, berkulit putih, dan bermata biru, yaitu ras keturunan Dravida Chamite berkulit merah dan putih asal Jawa .”  
            Dengan asumsi dasar yang disepakati bahwa Pulau Jawa adalah tanah asal ras Arya kulit putih, maka sesuai teori mainstream disiplin ilmu antropologi-fisik dan etnologi bahwa penduduk yang menghuni Pulau Jawa dewasa ini adalah orang-orang  Deutro-Melayu yang berasal dari ras Austronesia yang asalnya dari Indo Cina dan bermigrasi ke Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, setelah orang-orang Proto-Melayu, maka kedudukan orang-orang  Jawa Deutro-Melayu harus digolongkan sebagai  warga pendatang baru. Orang-orang Dravida Chemit berkulit merah dan putih, leluhur ras kulit putih, jauh lebih dulu tinggal di Jawa dibanding orang-orang Proto-Melayu apalagi Deutro-Melayu. Dan jika asumsi dasar ini sudah berkembang menjadi pandangan dogmatis dan doktriner dalam ilmu antropologi-fisik dan etnologi, tentu akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi logis  tersendiri yang bisa membawa akibat serius,  terutama  jika ini  dihubungkan dengan kecenderungan ras kulit putih untuk  menghegemoni segala hal atas ras lain yang kulitnya berwarna.
            Fakta sejarah telah menggoreskan tinta merah darah  tentang  bagaimana saat ras kulit putih datang ke Afrika untuk  merampok dan menjajah dan menjadikan orang-orang Afrika sebagai bangsa jongos, kacung, babu, dan budak belian. Fakta sejarah telah  menggoreskan tinta darah tentang bagaimana ras kulit putih yang datang ke Amerika  -- yang semula bertujuan mencari India – telah melakukan perampokan, penjarahan, pembantaian,  dan penghancuran peradaban bangsa-bangsa asli penghuni benua Amerika seperti Aztec, Inca, Maya, dan membinasakan sampai ke akar-akarnya bangsa bangsa Navayo, Apache, Commanches, Iroquis, Mohican, Chirichahua, dan lain-lain sampai bangsa ini menjadi minoritas di tanah airnya sendiri. Fakta sejarah juga menggoreskan tinta darah ketika ras kulit putih menanamkan kekuasaan atas benua Australia dengan membinasakan penduduk pribumi Aborigin lewat etnic-cleansing, salah satunya lewat  pengabsahan undang-undang  berburu orang Aborigin tahun 1893. Etnic-cleansing serupa dilakukan ras kulit putih atas orang-orang Maori pribumi New Zealand yang jadi minoritas dan terasing di tanah airnya sendiri. Yang paling kolosal adalah saat ras kulit putih di bawah rezim Nazi Jerman membasmi etnik Yahudi selama perang dunia II. Dan tentu, kita tidak boleh lupa dengan pembantaian sekitar 40.000 orang penduduk sipil Sulawesi selatan oleh tentara Belanda di bawah komando Raymond Westerling.

Pengalaman Pahit Bangsa Indonesia
            Sejarah panjang kolonialisme kulit putih Belanda di Nusantara, telah memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana ras kulit putih itu dengan penuh tipu muslihat menelikung tokoh-tokoh pemimpin bangsa Nusantara untuk kepentingan mereka. Kisah berdirinya benteng Speelwijk yang terletak tepat di depan benteng Surosowan, Banten, adalah fakta sejarah yang tidak boleh dilupakan sebagaimana petuah Founding Father Bung Karno tentang Jas Merah (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah). Sebagaimana diketahui, karena Belanda sudah diijinkan Sultan Banten untuk mendirikan kantor di Kalapa (Jakarta), maka keinginan Belanda mendirikan kantor di pelabuhan Banten ditolak. Berbagai upaya yang  dilakukan utusan Belanda untuk membujuk sultan, tidak membawa hasil sampai satu saat utusan Belanda membawa selembar kulit kerbau kering dan meminta tanah selebar kulit kerbau untuk kantor VOC.
            Sultan Banten yang berpikiran polos mengabulkan permohonan utusan VOC yang membawa selembar kulit kerbau kering itu sambil menunjuk ke arah pantai di seberang benteng Surosowan. Sultan berpikir, apa yang bisa dilakukan Belanda dengan tanah selebar kulit kerbau? Ternyata, saat para nayaka menunjukkan tanah yang dimaksud sultan, utusan Belanda itu mengeluarkan sebilah pisau yang sangat tajam. Lalu dengan lihai, ia mengiris kulit kerbau itu secara melingkar sehingga menghasilkan semacam tali kulit yang sangat panjang. Lalu dengan tali kulit itu sang utusan mengukur tanah pemberian sultan untuk kantor VOC itu. Demikianlah, meski sangat kecil untuk ukuran benteng, kantor VOC yang ternyata berbentuk benteng dan dinamai Speelwijk itu dilengkapi dengan meriam-meriam ukuran besar. Dan saat terjadi perselisihan antara sultan dengan putera mahkota, VOC memihak putera mahkota dan menyingkirkan sultan yang telah memberinya tanah. Dan untuk selanjutnya, putera mahkota yang dinobatkan VOC sebagai sultan, hanya jadi boneka yang bisa dipermainkan untuk kepentingan Belanda.
                  Kasus hubungan baik antara Pakubuwono III dengan VOC, ternyata juga dimanfaatkan oleh mereka. Sewaktu Pakubuwono III gering dan akan meninggal, sebagaimana lazimnya orang Jawa, kepada VOC yang dianggap sahabat itu Pakubuwono berpesan “hanitipaken praja” untuk putera-putera keturunannya. Ternyata, kata-kata  “hanitipaken praja” yang diucapkan Pakubuwono III ditafsirkan VOC sebagai “menyerahkan negara” kepada VOC. Demikianlah, semenjak itu para sunan di Surakarta diangkat atas perkenan VOC karena Kerajaan Surakarta secara sah sudah menjadi milik VOC karena diberikan  secara sukarela oleh Pakubuwono III. Yang menolak ketentuan, dibedhil dan ditembak dengan meriam.
            Telikungan kulit putih yang tak kalah menyakitkan, sewaktu Belanda dengan gigih menolak mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dalam berbagai usaha diplomatik yang selalu dicederai Belanda, pihak Indonesia selalu dikalah-kalahkan dan disalah-salahkan mulai perundingan Roem-Royen, Linggarjati, Renville, dan baru pada perundingan KMB – Konferensi Meja Bundar (Round Table Conference) yang dimoderatori USA, perwakilan RI benar-benar kena telikung secara menyakitkan. Dalam KMB itu, kemerdekaan bangsa Indonesia baru mendapat pengakuan setelah RI mau menanggung utang luar negeri lama yang dibuat pemerintah Hindia Belanda sebesar US$ 4 miliar dan ditambah utang luar negeri baru sebesar Rp.3,8 miliar, di mana utang luar negeri warisan rezim kolonial Belanda itu disepakati dibayar selama 35 tahun terhitung sejak 1968, sehingga lunas tahun  2003. Jadi semenjak 1950, yaitu saat KMB diselenggarakan, pemerintah RI yang menerima hasil KMB harus menanggung utang yang dibuat rezim kolonial Belanda.
            Sejak menanggung utang rezim kolonial dan membuat utang luar negeri baru, pemerintah RI tidak bisa menghindar dari tekanan pihak pemberi utang. Presiden Soekarno yang marah kepada delegasi RI karena telah menerima utang warisan rezim Hindia Belanda dan membuat utang baru, tidak bisa  berbuat apa-apa kecuali melampiaskan kekesalan kepada kapitalisme global. Tahun 1957, misal, Soekarno melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Ini memicu pecahnya pemberontakan PRRI/Permesta, yang terbukti diback-up Amerika. Soekarno makin tidak suka dengan praktek-praktek neo-kolonialisme imperialisme yang dikembangkan negara-negara kampiun kolonial untuk “menjajah” negara-negara yang baru merdeka dari jajahan ras kulit putih. Latar historis yang sangat difahami Soekarno itulah yang melatarinya menggalang kekuatan bangsa-bangsa Asia dan Afrika, dalam konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955. Tidak cukup Asia-Afrika, Soekarno menggagas Gerakan Non-Blok yang diikuti negara-negara berkembang sedunia. Bahkan belakangan, Soekarno membentuk NEFO - New Emerging Force – negara-negara kekuatan baru – yang dibuktikan dengan terselenggarakanya Ganefo di Jakarta. Bahkan semakin tahu  kebusukan PBB yang jadi alat Barat untuk melegitimasi kejahatan-kejahatannya, membuat Soekarno meninggalkan lembaga perserikatan bangtsa-bangsa itu: Indonesia keluar dari PBB.
            Tragedi jatuhnya Soekarno,  perlahan-lahan membawa negara Indonesia sebagai berkah terbesar bagi kapitalisme global, sampai Presiden USA Richard Nixon  pada tahun 1967 – pasca jatuhnya Soekarno – mengatakan bahwa Indonesia adalah ” the greatest prize” di Asia Tenggara. Demikianlah, sepanjang era Orde Baru yang disusul era reformasi – yang ditandai momen-momen penting seperti Pakto 1988, pembentukan PKLN (Panitia Kredit Luar negeri) 1992, penerimaan penjadwalan globalisasi dalam KTT APEC 1994, Krismon 1997, gelombang reformasi hingga jatuhnya Soeharto 1998, euforia reformasi munculnya neoliberalisme 1999, jatuhnya presiden Abdurrahman Wahid 2001, amandemen UUD 1945 pada 2001 pasca jatuhnya Abdurrahman Wahid sampai selesai 2004, lahirnya UU Naker, UU PMA, UU PSDA, UU Agraria, dsb --  telah menjadikan Indonesia bagian dari pasar global; di mana ide-ide, gagasan-gagasan, pandangan-pandangan, konsep-konsep, nilai-nilai, norma-norma yang dianut warga didasarkan pada pasar bebas; warga negara yang tidak sadar bahwa semua nilai kemasyarakatan yang disepakati para founding father telah berubah jauh di luar asumsi yang mereka fahami, kehilangan orientasi terhadap norma-norma yang mereka pegang selama itu, sehingga dalam kacamata Emile Durkheim dan Robert K. Merton, warga negara Indonesia dewasa ini bisa dikatakan sedang berada pada keadaan anomie;  sementara meminjam kacamata James Petras dan Henry Veltmeyer, bangsa Indonesia dewasa ini berada di bawah bayang-bayang globalisasi, yang jika dibuka topengnya adalah New imperialism in 21st century!

Kemungkinan Terjadinya Pengulangan Sejarah 
                Berdasar paparan di muka, rangkaian  tragedi kemanusiaan yang pernah  menimpa ras kulit berwarna yang  dilakukan ras kulit putih itu,  bukan hal mustahil bisa  menimpa orang-orang Indonesia – terutama orang-orang Jawa – yang menurut teori etnologi dan antropologi-fisik adalah orang-orang Deutro-Melayu,  penduduk pendatang asal Indocina. Itu artinya, orang-orang Deutro-Melayu (Minang, Jawa, Sunda, Madura, Bali, Bugis)  adalah orang-orang  asing  yang  tanpa hak telah mendiami tanah air orang-orang Dravida Chamite berkulit merah dan putih, yaitu  leluhur ras kulit putih Saka, Yava,  Yavana, Ionia. Bahkan pada masa depan,  bukan tidak mungkin orang-orang Deutro-Melayu, terutama orang-orang Jawa  akan didudukkan pada status Warga Negara Asing karena leluhurnya dari Indocina, yaitu warga Negara Asing  yang sah diusir dari tanah leluhur ras kulit putih.
            Jika kemungkinan-kemungkinan tragis di atas dinilai terlalu  paranoid dan berlebihan, setidaknya konsekuensi penerimaan hipotesa Arysio Santos harus diikuti revisi atas sejarah Indonesia. “Paling tidak,” kata Guru Sufi menegaskan, “Dengan diakuinya bahwa Indonesia terutama Pulau Jawa sebagai  tanah asal ras kulit putih, maka sejarah kolonialisme Belanda, Inggris dan Portugis di Nusantara wajib direvisi. Maksudnya, asumsi kolonialisme yang diberikan kepada Belanda, Inggris dan Portugis selama ini harus direvisi. Sebab baik Belanda, Inggris dan Portugis sejatinya bukanlah bangsa pendatang dari Eropa yang  kemudian menjajah bangsa Indonesia, melainkan mereka itu kembali ke tanah air asal leluhur mereka: tanah air orang-orang Dravida Chamite berkulit merah dan putih. Bahkan kekejaman-kekejaman yang dilakukan orang-orang kulit putih selama menjajah bangsa Indonesia, harus dibenarkan sebagai tindakan yang pantas dilakukan oleh pribumi kuno atas para pendatang baru asal negeri asing dari Indocina itu.”
            Farel menarik nafas menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Tavip Terbatuk-batuk. Sukirin geleng-geleng. Selama beberapa jenak, semua terdiam seperti sedang berpikir. Namun setelah itu, Tavip tiba-tiba bertanya,”Tapi mungkinkah skenario seperti itu bisa dijalankan, Pak Kyai?”
            “Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini. Semua serba mungkin,” kata Guru Sufi.
             “Apakah mereka akan mengulangi sejarah lama ethnic-cleansing yang kelam di era masyarakat dunia sudah mengenal HAM?” tanya Tavip.
            “Pengulangan bisa saja terjadi, tapi tentu tidak dengan cara-cara lama yang kasar, tetapi bisa dengan cara yang sistematik dan lebih halus seperti lewat penyebaran kuman-kuman, bakteri-bakteri, virus-virus, narkoba, miras, konflik horisontal, anarkisme,” kata Guru Sufi.
            “Apakah hanya itu kemungkinannya, Mbah Kyai?” tanya Farel penasaran.
            “Bisa saja skenario Neo-imperialisme yang mereka gunakan,” sahut Guru Sufi,”Yaitu, menguasai sumber-sumber daya alam di negeri ini dan mengubah sumber-sumber daya alam itu sebagai komoditas yang didistribusikan ke seluruh dunia. Juragan-juragan kulit putih cukup menunjuk kuli-kuli, jongos-jongos, kacung-kacung, centeng-centeng, dan babu-babu sebagai karyawan-karyawan untuk mengelola sumber daya alam dan produk komoditas yang sudah mereka kuasai. Itu artinya, sumber daya alam negeri ini habis terkuras, semua keuntungan mengalir ke gudang juragan kulit putih, sedang penduduk negeri ini hanya berstatus kacung, jongos, kuli, centeng, dan babu.”
            “Apakah kasus debt-collector Citibank membunuh nasabah bisa disimpulkan sebagai skala gurem dari fenomena ke depan yang lebih luas yang   Pak Kyai sebut sebagai  Neo-imperialisme?” tanya Tavip.
            Guru Sufi tidak menjawab. Ia diam. Namun sejenak setelah itu, ia berkata lantang,”Bukankah Founding Father, Proklamator bangsa, Presiden pertama kita  Ir  Soekarno sudah mengingatkan tentang bahaya Nekolim – Neo kolonialisme imperialisme? Bukankah James Petras dan Henry Veldmeyer sudah blak-blakan mengungkapkan bahwa Globalization Unmasked: A New Imperialism in 21st century? Apalagi yang belum jelas wahai saudara-saudaraku?” lalu dengan mengucap salam penutup, Guru Sufi pergi mengambil wudhu untuk mendirikan shalat malam.

Karya: KH Agus Sunyoto

Sumber:

Jawa Sebagai Asal-usul Ras Kulit Putih

Menolak Hipotesis Indonesia Adalah Benua Atlantis (VI):
                                                 Jawa Sebagai Asal-usul Ras Kulit Putih
          Setelah perbincangan terhenti setengah  jam,  pembahasan hipotesis Atlantis-nya Prof Arysio Santos, Ph.D  dilanjutkan dengan kesepakatan bahwa dalam mencari dan menentukan kebenaran ilmiah tidak boleh ada keberpihakan dalam  kaitan dengan  warna kulit, status kedudukan, gelar akademis, asal almamater, dan fanatisme membuta atas alasan tertentu. Kesepakatan itu penting, untuk memberikan hak azasi manusia dalam menyampaikan kebenaran ilmiah tanpa memandang siapa dan darimana asal orang yang menyampaikan kebenaran ilmiah tersebut. Demikianlah, Guru Sufi yang berasal dari kalangan berlatar pendidikan pesantren – lembaga pendidikan asli Indonesia yang eksistensi keberadaannya tidak pernah diakui secara formal oleh  pemerintah – dianggap sejajar dengan guru besar ilmu fisika nuklir dari Brazil dalam membincang Atlantis, dengan tetap menggunakan kaidah-kaidah epistemologi keilmuan yang disepakati secara umum di dunia  akademis.
          Dalam kesepakatan itu, tercantum pula kesediaan Guru Sufi untuk membahas Atlantis-nya Prof Arysio Santos hanya pada fokus hipotesis  yang berkaitan dengan Indonesia sebagai  sisa-sisa benua atlantis yang dianggap sebagai  negeri asal ras kulit putih. Bagian itu, menurut Guru Sufi, perlu dibahas khusus secara ilmiah dari berbagai interdisiplin keilmuan karena berkaitan dengan nasib bangsa Indonesia di masa depan. “Untuk paparan yang lain-lain dari hipotesis Prof Santos, saya tidak menanggapinya, terutama setelah hati  saya dimasuki prasangka tentang  tujuan utama di balik penulisan buku itu. Saya tidak mau su’u dzan,” kata Guru Sufi.
        Tavip yang tidak puas dengan penjelasan Guru Sufi atas alasan tidak berkenannya  membahas secara utuh Atlantis-nya Prof Santos, meminta agar Guru Sufi sedikit saja memberikan alasan-alasan untuk keengganannya itu. “Apa yang membuat Pak Kyai menaruh su’u dzan kepada karya Prof Santos? Bisakah Pak Kyai sedikit saja memberi alasan kepada kami?” tanya Tavip ingin tahu.
         “Kalau Anda membaca Atlantis secara utuh dengan asumsi-asumsi, persepsi-persepsi, tafsiran-tafsiran, dan interpolasi-interpolasi teoritik yang dilakukan Prof Santos,” kata Guru Sufi menjelaskan sekilas,”Anda akan mendapati profesor kita itu seperti “diburu” suatu target untuk membenarkan argumen-argumen yang digunakannya mendukung hipotesisnya. Lihat saja, saat Prof Santos tidak mendapati hipotesisnya  didukung oleh  tulisan Plato, Timaeus dan Critias    ia tegas menyatakan bahwa fakta fisiografi yang ditunjukkan Plato tentang lokasi Atlantis yang tidak aplikatif ditetapkan di wilayah sekitar Gibraltar adalah omong kosong. Lalu  Prof Santos menggunakan sumber-sumber lain dari dongeng-dongeng kuno seperti kisah Atlas bikinan Homerus, karya Herodotus, Hesiodes, Pindar, Theopompos, Orpheus, Appolonius, Diodorus Siculus. Dan sebagai konsekuensi atas pilihannya itu, Prof Santos mengidentifikasi Atlantis sebagai nama tempat yang sama dengan yang disebut dalam dongeng-dongeng kuno seperti Colchis, Phaeacia, Shceria, Aeaea, Hesperia, Elysium, Padang Elys, Taman Hesperides, Tartarus, Hades, Erebus, Hyperborea, Delos. Sederet nama-nama  itu, menurut Prof Santos, memang berbeda, tetapi tempat yang mereka rujuk selalu satu dan sama, yaitu surga yang hancur dan berubah menjadi neraka, tanah kematian yang suram. Dengan kata lain, tanah yang dulunya bagai surga itu  tidak lain dan tidak bukan adalah Atlantis – Eden itu sendiri.”
        “Berarti Pak Kyai mau mengatakan, di balik kengototan Prof Santos untuk membenarkan hipotesisnya, ada semacam hidden agenda yang membuatnya dengan semena-mena mengubah asumsi, persepsi,  tafsiran yang sudah terbentuk  selama beradab-abad dengan interpolasi-interpolasi yang disesuaikan dengan keinginannya, begitukah pak kyai?” kata Tavip menyimpulkan.
         “Itu hanya salah satu aspek yang membuatku su’u dzan,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Dalam su’u dzan itu aku berpikir: jangan-jangan beliau itu seperti Clifford Geertz waktu menulis The Religion of Java, atau seperti Samuel P. Huntington waktu menulis The Clash of Civilization and The Remaking of World Order, atau seperti George Soros yang menulis On Soros : Staying Ahead of the Curveyang dilatari hidden agenda   pesanan kapitalisme global.”
         “Kami faham, pak kyai, monggo dilanjutkan!” kata Tavip.
        Guru Sufi dibantu Sufi Kenthir yang menayangkan film-film lewat LCD Player, melanjutkan pembahasan Atlantis-nya Prof Santos, khususnya yang terkait dengan Indonesia, yang dipaparkannya sebagai berikut:

Pulau Jawa Sebagai Asal Ras Kulit Putih
            Dengan memaknai  kata Sansekerta Sveta-dvipa atau Saka-dvipa dengan makna “Pulau Putih” surgawi dalam tradisi-tradisi Hindu,  Prof Arysio Santos menunjuk pada lokasi geografis Indonesia, dengan menyimpulkan bahwa orang-orang Saka yang juga dikenal sebagai orang-orang Yava atau Yavanas (Bangsa Berkulit Putih), adalah orang-orang yang sama dengan orang-orang Ionia (atau yang disebut Homer sebagai orang-orang Iafo atau Iafone), nama yang kemungkinan berarti orang-orang Jawa (Javana), yaitu orang-orang yang sebenarnya berasal dari Pulau Jawa (Java), salah satu pulau besar di Indonesia. Dengan logika ini, Prof Santos meyakini bahwa orang-orang Saka, Yava, Yavana, Iona, Iafo, Iafone (Ras Kulit Putih) kemungkinan sama dengan orang-orang Jawa (Javana) di masa purbakala.
            Sebutan bangsa “Ethiopia” yang secara etnonim diberikan kepada orang Barbar dan Libia-Funisia dari Afrika Utara yang dalam bahasa Yunani kuno bermakna “bangsa dengan wajah terbakar”, adalah suatu kekeliruan dan bahkan tafsir jenaka untuk makna yang benar “dimurnikan oleh api” seperti tafsiran naskah suci Hindu kuno tentang agnishvattha, yaitu sebutan yang juga diberikan kepada ras-ras Timur Jauh (Indonesia) yang berkulit merah dan putih lainnya, terutama orang-orang Tocharia (bangsa kuno yang mendiami Tarim Basin di Asia Tengah), yaitu  sebutan untuk “orang-orang Cina berambut pirang”. Oleh sebab itu, menurut tafsir Santos, istilah yang benar untuk memaknai  orang-orang Ethiopia adalah disamakan dengan orang-orang Tocharia, orang-orang Avar, orang-orang Saka, orang-orang Hephthalite, dan orang-orang Hun berkulit putih (Arya), di mana bangsa Ethiopia kulit putih ini sebenarnya adalah orang-orang Chamite. Siapakah orang-orang Chamite ini?
            Bangsa Chamite yang bermakna bangsa berkulit merah, menurut asumsi  Santos, dapat disamakan dengan Bangsa Dravida. Orang-orang dari Timur Jauh ini merupakan bagian dari Orang-orang Laut yang menyerbu dan kemudian berdiam di wilayah Eropa, contohnya seperti orang-orang Yunani, Etrusca, Libya. Bangsa Dravida sendiri aslinya berkulit merah. Kulit gelap pada sebagian besar orang Dravida yang sekarang ini, disebabkan oleh percampuran rasial dengan bangsa-bangsa Melanosoid setempat (bangsa Munda, Negro, Melanesia, Australoid). Hal yang kurang-lebih sama, di mana orang-orang Arya bercampur dengan bangsa-bangsa Alpine Eropa dan Timur Dekat yang berkulit terang yang menjadikan orang-orang  Arya ikut berkulit terang. Demikianlah, orang-orang Dravida Chamite asli yang berkulit merah dari Atlantis itu melahirkan bangsa-bangsa India Utara yang berkulit Melanesoid dan bangsa-bangsa Eropa dan Levant yang berkulit putih-terang.
            Dengan menunjuk pada temuan mumi-mumi yang berasal dari padang pasir Mongolia dan wilayah Tarim Basin, sebuah tempat di propinsi Xinjiang, Cina, mumi-mumi yang berambut merah, berpostur tubuh tinggi dan bermata biru, berpakaian wol dengan motif petak-petak (tartan) yang mirip dengan motif milik orang Irlandia atau bangsa-bangsa Celtic-Britania lainnya, kemungkinan berkaitan dengan bangsa Sere dan Tocharia, yaitu bangsa Hun kulit putih. Menurut asumsi Santos, bangsa Hun kulit putih itu dikenal juga sebagai bangsa Hephthalite, yang mungkin berhubungan dengan Napthali putera Yakub, karena kata Napthali dalam bahasa Yahudi bermakna “jagoan, pejuang”, yang sesuai dengan peran orang-orang Hephthalite sebagai prajurit bayaran dalam istana-istana bangsa India dan Timur Jauh lainnya, termasuk Cina. Itu berarti, secara etimologis, Bangsa Yahudi (Jews), berasal dari akar kata Sansekerta yudh, yang artinya sama dengan kata itu dalam bahasa Yahudi.
            Bertolak dari bukti-bukti linguistik yang dipaparkannya – yang sebenarnya membingungkan bagi orang-orang yang faham dan menguasai teori-teori linguistik --  Prof Arysio Santos memperkuat keyakinannya tentang asal-usul bangsa-bangsa kulit putih di daerah Timur Jauh, yaitu  bahwa mereka itu sebenarnya  berasal dari Atlantis (Timur Jauh) itu sendiri. Dari Atlantis yang tenggelam itu, orang-orang  yang selamat dari bencana alam akhirnya mengungsi sampai ke Asia Tenggara, lalu ke Cina, dan akhirnya tiba di Eropa dan Timur Dekat.
            Dengan memaknai  Sveta-dvipa atau Saka-dvipa sebagai  “Pulau Putih”  yang dihuni parapitri (arwah leluhur) yang juga dikenal sebagai agnishvattha, yang merujuk kepada “mereka yang duduk terlalu dekat dengan api” dan terbakar sehingga termurnikan sebagaimana terjadi pada emas,  Prof Arysio Santos menafsirkan “api” yang mensucikan itu adalah gunung berapi besar di Indonesia, yaitu gunung berapi Krakatau, yang dengan garang membakar seluruh wilayah Indonesia pada permulaan zaman. “Pasti, gunung ini juga yang menghanguskan orang-orang Ethiopia, Barbar, Libia, dan bangsa-bangsa berkulit merah atau putih lainnya yang berasal dari Timur Jauh (Jawa),” tulis Santos dalam bukunya.

Bangsa Kulit Putih Yang Bertaubat
             Sebagai orang Brazilia, Arysio Santos tampaknya tidak terlepas sama sekali dari proses ideologisasi Yudeo-Kristiani, terutama dalam memandang manusia dalam pandangan oposisi biner yang memilah manusia ke dalam dua golongan besar, yaitu pertama-tama golongan manusia yang diberkati Tuhan dan kedua adalah golongan manusia yang dikutuk Tuhan, sebagaimana kisah anak Adam dan Hawa, Habel (yang diberkati) dan Kain (yang dikutuk), Henokh (yang diberkati) dan kaumnya (yang dikutuk), Nuh (yang diberkati) dan kaumnya (yang dikutuk), Luth (yang diberkati) dan kaumnya (yang dikutuk), Musa (yang diberkati) dan Fir’aun (yang dikutuk), demikianlah Arysio Santos memandang orang-orang Ethiopia, Barbar, Libia, dan bangsa-bangsa kulit merah dan kulit putih asal Atlantis,  yang tersebar ke Asia Tenggara, Cina, Eropa, dan Timur Dekat akibat amukan gunung berapi Krakatau, ada  di antaranya yang bertaubat dan  kembali menjadi orang baik seperti yang terjadi pada  dua bangsa, yaitu Tocharia dan Celtic (keduanya leluhur ras kulit putih). Tetapi kebanyakan, bangsa yang dikutuk dengan agnishvattha, letusan Krakatau itu,  masih tetap dalam kejahatan dan barbarisme. Di antara mereka yang tetap jahat dan barbarik itu adalah bangsa Berber yang biadab dan bangsa Yueh-chi, sebuah nama yang dalam bahasa Cina bermakna “orang barbar.” Nama yang terakhir itu, Yueh-chi, diperuntukkan bagi bangsa barbar Hsiung-nu, yang dalam tradisi Barat dikenal sebagai “bangsa Hun” dan dalam tradisi India kuno dinamai Huna. Demikianlah, di dunia ini ada bangsa-bangsa yang diberkati (ras kulit putih) dan ada juga bangsa-bangsa yang dikutuk dan terkutuk (ras kulit berwarna).
            Nama Yueh-chi yang bermakna “orang barbar”, menurut Arysio Santos, berhubungan dengan sebutan yang diperuntukkan bagi orang Yahudi. “Orang-orang barbar” itu terus menyerang orang-orang Cina, yang terpaksa membangun Tembok Cina untuk melindungi diri dari serangan berkala, yang dilancarkan bersama bangsa pengembara berkuda sekutu mereka yang buas, yaitu bangsa Mongol. Kata “barbar” yang berasal dari bahasa Sansekerta yang merujuk pada cara bicara “gelagapan” orang-orang barbar, adalah istilah yang ditujukan kepada penutur bahasa-bahasa berbasis bahasa Dravida, seperti Berber (Tamazight), Guanche, Etrusca, Pelasgia, dan lainnya. Sejumlah pakar, menurut Santos, mengidentifikasi bangsa yang gemar berperang ini dengan Gog dan Magog (Ya’juj wa Ma’juj).
            Dengan mengikuti asumsi dasar, sudut pandang dan argumen-argumen yang cukup berbelit-belit dengan interpolasi yang diajukan Arysio Santos, sebenarnya dapat ditarik satu simpulan yang berhubungan dengan keyakinan pakar Fisika Nuklir asal Brazil yang bersumber dari doktrin Yudeo-Kristiani tentang keberadaan manusia-manusia atau bangsa-bangsa yang diberkati dan bangsa-bangsa terkutuk. Sekalipun Arysio Santos menyatakan bahwa asal usul ras kulit putih adalah dari Dravida Chamite berkulit merah – yang menurunkan bangsa-bangsa kulit gelap dan sekaligus bangsa-bangsa kulit putih – yang berasal dari Jawa (Yava-Yavana-Iona), tetapi puak-puak bangsa keturunan Dravida Chamite  itu sebagian besar seperti bangsa Berber, Yueh-chi, Guanche, Yahudi, Hsiung-nu, dan Mongol adalah orang-orang jahat dan barbarik yang terkutuk. Sebaliknya, puak-puak bangsa yang kembali menjadi baik setelah bencana dibakar api Krakatau itu adalah bangsa kulit putih Tocharia dan Celtic, yang juga termasuk di dalamnya bangsa Etrusca dan  Pelasgia, yang menjadi leluhur ras kulit putih.  

Konsekuensi Logis Menerima Hipotesa Santos
            Seperti disadari Arysio Santos bahwa dengan menerima hipotesanya akan dibutuhkan revisi terhadap ilmu-ilmu humaniora seperti antropologi dan sejarah, serta disiplin ilmu-ilmu pendukung, misalnya, linguistik, arkeologi, evolusi, paleoantropologi, mitologi, dan bahkan mungkin agama, demikianlah penerimaan hipotesa Arysia Santos sebagai kebenaran akan menimbulkan dampak lebih serius dari yang diperkirakan semula, terutama dalam kaitan dengan eksistensi penduduk Indonesia – khususnya Pulau Jawa – yang hidup di abad sekarang ini.  
                 Pertama-tama, dengan menerima hipotesa Arysio Santos bahwa asal-usul ras kulit putih Ethiopia yang disebut Saka, Yava, Yavana itu dari Pulau Jawa, asumsi dan tafsir lama tentang sebutan Saka, Yava, Yawana  yang sudah dikenal orang India dan para pakar etnologi, antropologi, mitologi, dan iconografi harus diubah total. Sejak zaman kuno, misal, orang-orang India yang membaca epos Mahabharata sudah mengetahui  bahwa orang-orang Yavana dan Saka – yang menjadi pasukan penunggang pendukung Kurawa dalam perang Bharatayuddha – adalah orang-orang ras kulit putih. Prof H.H.Wilson dalam penjelasannya tentang pasukan berkuda Kurawa yang dipimpin Duhsasana, yang termasuk di dalamnya orang-orang Saka dan Yavana, digambarkan sebagai berikut:
               “The Kamboja cavalry were troops of Khorasan, Balkh, and Bokhara, that the Sakas, the Sace of the ancients, were some of the Scythians from Turkestan and Tartary, and that the Yavanas, “Ionians”, were the Greeks of Bactria.”
            Jelas sekali bahwa dalam pandangan Prof H.H.Wilson yang disebut orang-orang Saka adalah orang-orang Scythia dari Turkestan dan Tartar, sedang orang-orang Yavana adalah orang-orang Ionia, orang-orang Yunani dari Bactria. Itu berarti, mengidentifikasi bangsa Scyth sebagai bangsa yang sama dengan bangsa Yawana apalagi dengan bangsa Jawa, adalah membingungkan dan tidak bisa diterima akal sehat, kecuali kalau para ilmuwan etnologi sedunia sepakat membenarkan pandangan Arysio Santos, dan menggunakan pandangan itu sebagai bagian dari reformasi ilmu etnologi (ini akan menggelikan, karena epistemologi keilmuan sebuah bidang ilmu [etnologi] didasarkan pada asumsi dasar, paradigma, dogma, doktrin, dan mitos yang diletakkan pakar dari disiplin  ilmu lain [fisika nuklir]).
            Dalam hipotesis Arysioa Santos selanjutnya, setelah bencana besar akibat letusan gunung berapi Krakatau dan gunung-gunung berapi lain, yang terjadi pada masa Pleistosen,  puak-puak yang selamat mengungsi ke Asia Tenggara, Cina,  Timur Dekat, dan Eropa. Itu berarti,  teori etno-history yang menyatakan bahwa pada kurun tahun 1500 – 700 SM ras Arya dari daerah Kaukasus masuk ke anak benua India dengan  melewati celah Khaybar dan menghuni daerah kuno yang disebut Aryavarta (sekarang Kashmir) harus dianggap keliru, dan kemudian teori itu dibalik  menjadi “ras-ras Arya berambut pirang, bermata biru dan bertubuh tinggi” itu sesungguhnya berasal dari Jawa, naik ke Asia Tenggara terus ke daratan India hingga masuk ke daerah Kashmir dan kemudian menerobos ke daerah Kaukasus terus ke Timur Dekat dan ke Eropa maupun ke Mesir dan Libia.
            Konsekuensi logis dari penerimaan hipotesa asumtif Arysio Santos itu, adalah menafikan seluruh teori yang dikembangkan pakar ethnology dan philology seperti Dr Robert Gordon Latham & Prof H.H.Wilson, pakar Bahasa Sanskrit dan Comparative Philology seperti Prof Max Muller, Prof Elliot Smith,  pakar arkeologi Prof Macdonell, Prof Oldenberg, orientalis Sir William Jones, Sir William Muir,  pakar Indologi dan Comparative Mythology Prof Donald Mackenzie yang sudah menjadi bagian integral dari perkembangan disiplin ilmu bersangkutan, untuk digantikan oleh asumsi dasar baru yang diletakkan oleh seorang pakar fisika nuklir yang kapasitas, kredibelitas dan kualitasnya dalam ilmu-ilmu ethnology, philology, archeology, comparative philology, comparative mythology masih perlu diuji dan dipersoalkan secara ilmiah.
        Sebagai contoh kecil dari “kekurang-fahaman” Arysio Santos  tentang bahasa Sansekerta dan kosmologi   Agama Hindu di India, adalah saat  Prof asal Brazil itu  secara  tidak konsisten memaknai Atala sebagai surga di satu uraian dan Atala sebagai neraka pada paparan yang lain. Di dalam purana-purana yang diyakini kebenarannya oleh umat Hindu, Atala, adalah salah satu dari dunia bawah yang terdapat  di bawah lapisan neraka. Dalam keyakinan Hindu, di bawah lapisan neraka terdapat tempat-tempat yang disebut: Sutala, Witala, Talatala, Mahatala, Rasatala, Atala,  Patala, tempat   yang dihuni oleh para naga, yang penuh dengan permata cemerlang, ke mana para puteri Daitya dan Danawa mengembara. Dua lapis di bawah Atala, yakni di bawah Patala, adalah perwujudan Wisynu yang mengandung tamoguna, yang disebut sesha atau ananta, yaitu Naga Agung yang mendukung dunia.
       Jadi dalam kepercayaan Hindu, Atala tidak pernah dimaknai sebagai tempat di permukaan bumi yang subur makmur yang dihuni orang-orang Yavana berkulit putih, yang kemudian tenggelam ke dasar laut karena banjir besar. Keyakinan tentang naga sesha atau naga anantabhoga, penghuni lapisan di bawah Atala itu, sampai saat ini masih  diyakini oleh sebagian penduduk Jawa dan Bali serta Sunda dalam hubungan dengan perhitungan mistis tentang nagadina (sistem kalender yang terkait dengan kesialan dan keberuntungan seseorang berdasar letak kedudukan naga sesha, yang disebut hari Taliwangke, Samparwangke, Sarik Agung, dsb), yang bersifat gaib tidak kasat mata inderawi. Jadi kalau kata Atala dikaitkan dengan Atalantis atau Atlantis – benua fisik yang tenggelam karena bencana – dapat dikata sebagai hipotesa otak-atik mathuk berdasar kesamaan lafal suatu kosa kata.

Memahami Ke-kuno-an dengan Ke-kini-an
            Pendekatan kualitatif dengan fenomenologi sebagai kajian yang proporsional dalam meneliti obyek-obyek yang berhubungan dengan ide-ide, gagasan-gagasan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, dan nilai-nilai suatu komunitas yang mensyaratkan pemahaman (verstehen) emic, jelas diabaikan oleh Arysio Santos, yang latar keilmuannya eksakta (fisika nuklir).  Dengan pandangan etic sebagai peneliti, misal, Arysio Santos dengan pandangan orang jaman modern ini menafsirkan tulisan Plato dalam Timaeus dan Critias yang ditulis pada abad-abad sebelum masehi.
         Tanpa mempertimbangkan bahwa orang-orang Yunani – termasuk Plato dan filsuf  lain yang dianggap jenius – pada abad ke-4 SM itu memandang bumi datar seperti meja, laut tengah sebagai laut besar di dalam pilar-pilar Herkules, pilar-pilar Herkules adalah sebutan untuk Selat Gibraltar, Atlantik di sebelah barat dan di luar pilar-pilar Herkules adalah lautan besar yang tidak bisa dilayari bahkan dianggap sebagai batas dunia (Tartarus), Arysio Santos “memaksa” menafsirkan tulisan Plato sebagai gambaran sebuah benua yang berjarak puluhan ribu kilometer, yang secara geografis dan politis dihalangi kerajaan-kerajaan kuno musuh Yunani, yang pada saat Plato hidup adalah Kekaisaran Persia Akhemeniyah yang beribukota di Susa, Kerajaan Afghan Gandhara yang beribukota di Takshashila, Kerajaan Kamboja yang beribukota di Rajapura, Kerajaan Matsya yang beribukota di Vairata, Kerajaan Surasena yang  beribukota di Mathura, Kerajaan Kuru yang beribukota di Hastinapura, Kerajaan Panchala yang beribukota di Ahicchatra, dan belasaan kerajaan kerajaan lain di Uttar Pradesh, Bihar, Madhya Pradesh, Maharasthtra, Pandia, Kalingga, hingga Lankapura yang memisahkan Yunani dengan “Atlantis”, yaitu Indonesia.
         Dengan memahami letak geografi Yunani yang dihalangi kerajaan-kerajaan besar yang menghalanginya, sangat mustahil jika orang seperti Plato menuliskan legenda suatu bangsa yang tinggal sangat jauh di sebuah wilayah berjarak puluhan ribu kilometer, terra incognita, yang diantarai kerajaan-kerajaan besar yang kadangkala  terlibat peperangan dengan Yunani. Strabo, ahli geografi Romawi, yang hidup sejaman dengan Kaisar Agustus (27 SM – 14 M), yaitu 300 – 400 tahun setelah Plato, menyatakan bahwa pada masa itu ada sekitar 120 buah kapal yang membongkar sauh dari pelabuhan Myos Hormos di Laut Merah menuju India. Padahal pada masa lampau, ungkap Strabo, tidak ada 20 orang kapten kapal yang berani berlayar masuk ke Teluk Arab sampai mereka  dapat mengetahui apa yang dijual di seberang sana (Sir Mort Wheeler, Rome beyond the Imperial frontiers, 1955). Catatan Strabo itu menunjuk, bahwa pada masa awal abad Masehi pun orang-orang Romawi hanya sedikit mengetahui informasi tentang India dan Indonesia apalagi pada masa Plato hidup, kira-kira 300 – 400 tahun sebelum Strabo.
         Jalan baru lewat laut yang dikemukakan Strabo, lebih panjang lebar dijelaskan oleh Plinius di dalam petunjuk untuk pelayaran yang berasal dari akhir abad pertama, yang kurang jelas dikarang oleh siapa tetapi diberi judul “Periplous tes Erythras Thalasses”, yang intinya menuturkan kisah pelaut Yunani bernama Hippalos, yang pertama kali menemukan kemungkinan untuk berlayar langsung dari  muara Laut Merah ke muara Sungai Gangga, dan bahkan langsung ke pantai India selatan, dengan memanfaatkan “angin Etesia”, angin barat daya, yang bertiup pada bulan  Juni sampai September (R.Hennig, Terrae Incognitae, 1944).  Bahkan 500 tahun setelah Plato meninggal, saat astronom dan geograf Claudius Ptolemaeus, menulis petunjuk untuk menyusun gambaran dunia berjudul “Geographike Hyphegesis”,  yang mencatat berbagai daerah di dunia Romawi-Hellenistis, baik daerah yang paling utara dan barat, maupun wilayah yang paling selatan dan timur (J.Fischer SJ & P.F.Cavalieri, Claudii Ptolemaei Geographiae Codex Urbinuys Graecus 82, 1932), India tetap belum utuh diketahui. Dan  pada tahun 150 M, Claudius Ptolemaeus menulis tentang Chryse Chersonesos (Semenanjung Emas), yang mencatat perjalanan lewat laut dari Teluk Arab ke “Sungai Sutera” (Paul Wheatley, The Golden Khersonese, 1966), gambaran peta pelayaran yang ditulis tentang nama-nama tempat masih sangat  kabur, sebagaimana kritik Van der Meulen terhadap Paul Wheatley yang dinilai keliru menetapkan nama-nama tempat yang ditunjuk Ptolemaeus.
             Bertolak dari catatan Strabo, Periplous dan Ptolemaeus yang hidup antara 300 – 500 tahun setelah Plato meninggal, tidak sedikit pun tersirat dalam catatan mereka tentang adanya  “legenda” Atlantis dalam pelayaran para pelaut Romawi dari Teluk Arab sampai ke Sungai Sutera. Itu berarti, sejak era Plato sampai Ptolemaeus, asumsi bahwa Atlantis terletak di sebelah timur Laut Arab tidak sedikit pun pernah singgah di dalam ingatan orang-orang Yunani-Romawi. Dengan demikian, “memaksa” lokasi Atlantis yang ada dalam pikiran dan imajinasi orang-orang Yunani kuno ke sebuah tempat yang tak mereka kenal yang disebut Periplous sebagai Terrae Incognitae, adalah usaha memaksakan kehendak dari orang-orang yang hidup pada abad sekarang untuk merekonstruksi pandangan emic orang kuno ke ranah pandangan etic  “orang luar” masa kini yang tidak memahami apa yang difahami oleh  orang-orang di masa lampau. Dan menurut pendekatan kualitatif maupun common sense, tindakan semacam itu potensial  menimbulkan kesesatan dalam memaknai obyek yang diteliti. “Demikianlah, argumen-argumen yang saya susun dengan terbuka  ini simpulannya menolak tegas hipotesis Prof Arysio Santos yang menyatakan bahwa Indonesia adalah sisa-sisa benua Atlantis, sekaligus menampik keras hipotesis bahwa Jawa adalah tanah asal ras kulit putih,” kata Guru Sufi mengakhiri sanggahannya.
            “Mohon maaf Mbah Kyai,” Farel tiba-tiba menyela,”Jika penghuni purba Indonesia bukan orang-orang Dravida Chamite berkulit merah seperti hipotesis Prof Santos, siapakah menurut Mbah Kyai orang-orang yang awal sekali menghuni Indonesia?”
            “Menurut Serat Kandhaning Ringgit Purwa,” sahut Guru Sufi mengutip sumber dari  historiografi Jawa,”Raja pertama di Yawadwipa adalah Bandung Pragosa (Kera Sakti), yakni manusia berwujud kera. Pernyataan historiografi yang ditulis abad ke-17 itu dibuktikan dengan temuan Eugene Dubois tentang  fosil Pithecanthropus Erectus (Manusia Berjalan Tegak) di Sangiran pada abad ke-19. Selain itu, ada juga penghuni lanjutan yang dikenal sebagai Meganthropus Palaeojavanicus. Selanjutnya ada Homo Wajakinensis, yang menunjukkan ciri Melanesoid seperti Papua.”
            “Berarti orang-orang Dravida Chamite berkulit merah tidak pernah menjadi penghuni Jawa, ya Mbah Kyai?” Farel menyimpulkan.
            “Sebutan kulit merah di India, justru tidak diberikan kepada orang-orang Dravida kulit hitam tetapi kepada suku-suku liar penghuni hutan, yang dalam kisah Ramayana disebut Vanara (berkulit kemerahan seperti warna kera-pen). Dan di dalam mitologi India, penghuni lautan ini disebut Kalakeya, Danawa, Daitya, yang semua bermakna raksasa penghuni lautan,” kata Guru Sufi menjelaskan.
            “Apa ya kira-kira konsekuensi logis bagi  bangsa indonesia jika hipotesis Jawa sebagai negeri asal ras kulit putih seperti yang dilontarkan Prof Santos itu diterima sebagai kebenaran ilmiah?” tanya Tavip ingin tahu.
            Guru Sufi diam. Ia memandangi wajah para peserta perbincangan satu demi satu. Ia menangkap kesan, mereka itu  kelihatan sekali menyimpan rasa ingin tahu dan penasaran menunggu jawaban darinya.  
(Bersambung).

Karya: Agus Sunyoto

Sumber:

Menyoal Superioritas Barat dan Inferioritas Timur

Menolak Hipotesis Indonesia Adalah Benua Atlantis (V):
                                    Menyoal Superioritas Barat dan Inferioritas Timur
            Dalam lanjutan perbincangan, Guru Sufi mulai menelaah upaya-upaya yang dilakukan Prof Arysio Santos dalam mendukung hipotesa bahwa Indonesia adalah sisa-sisa Benua Atlantis yang tenggelam akibat banjir besar. “Sebagaimana telah  kita ketahui, bahwa  Prof Arysio Nunes dos Santos, dalam buku  Atlantis – The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of  Plato’s Lost Civilization) menyatakan  menggunakan pendekatan interdisipliner mulai geologi, arkeologi,  etnologi, antropologi,  linguistik, dan comparative mythology,  namun dalam rangkaian kajian-kajian yang dilakukan untuk mendukung hipotesisnya,  hampir seluruh bahasan yang digunakan Prof Santos lebih banyak menggunakan pendekatan linguistik (filologi, semiotika, aitiologi), comparative mythology, sedikit Etnologi, Arkeologi dan  Antropologi. Bahkan  tidak satu kali pun Prof  Santos mengajukan argumentasi yang ditopang data geologi sebagaimana disyaratkan dalam ilmu geologi konvensional,” kata Guru Sufi mengkritik metodologi yang digunakan Arysio Santos.
         “Dalam bahasan yang menggunakan pendekatan interdisiplin itu  pun,” kata Guru Sufi melanjutkan kritiknya,  “Prof Arysio Santos lebih banyak menggunakan justifikasi-justifikasi dan interpolasi-interpolasi dalam memaknai sumber data, di mana hal itu mengakibatkan timbulnya  perbedaan esensial dengan pandangan konvensional yang disepekati  kalangan ilmuwan dari disiplin-disiplin ilmu bersangkutan. Atas alasan itu,  dapat difahami jika Prof Arysio Santos  dalam pendahuluan bukunya, lebih dulu  memberi penjelasan bahwa jika seseorang  mengikuti teorinya yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Atlantis yang tenggelam,  akan membawa akibat pada  perlunya dilakukan revisi besar-besaran dalam ilmu-ilmu humaniora seperti antropologi dan sejarah, dan disiplin ilmu-ilmu pendukung, seperti misalnya, linguistik, arkeologi, evolusi, paleoantropologi, mitologi, dan bahkan mungkin agama. Itu berarti, untuk membenarkan hipotesanya, Arysio Santos mensyaratkan sebuah asumsi baru, yang secara epistemologi dibangun di atas paradigma, dogma, doktrin, dan mitos yang khas Arysio Santos, yang sebenarnya hal itu bisa dilakukan budayawan dan peminat budaya, peneliti dan peminat sejarah, peneliti sosial dan antropologi, bahkan  oleh mahasiswa-mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya di Indonesia.”
             Farel dan kawan-kawan yang mendengar paparan Guru Sufi tidak bisa menerima penjelasan tentang gampangnya menyusun epistemologi keilmuan yang bisa dilakukan oleh siapa saja di antara budayawan, peminat budaya, peneliti dan peminat sejarah, peneliti sosial dan antropologi, terutama mahasiswa-mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya di Indonesia. Dengan nada meremehkan, ia memotong paparan  Guru Sufi dengan berteriak mengacungkan tangan, membayangkan diri sebagai anggota DPR yang dilihatnya di televisi”Mohon maaf Mbah Kyai, saya mau interupsi.”
       Dullah yang menyikapi tindakan Farel sebagai hal yang tidak pantas, yaitu memotong pembicaraan seseorang sebelum pembicaraan itu selesai, sudah akan menegur keras namun Guru Sufi memberi isyarat agar Farel tidak ditegur. Sambil ketawa Guru Sufi berkata,”Apa yang akan saudara sampaikan, silahkan disampaikan!”
        “Begini Mbah Kyai,”  sahut Farel dengan suara ditekan tinggi,”Mbah Kyai tadi menyatakan bahwa membangun epistemologi di atas paradigma, dogma, doktrin, dan mitos sebagaimana dilakukan Prof Santos adalah  bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, itu membuat kami heran dan bingung. Mana mungkin mahasiswa bisa membangun epistemologi keilmuan? Apa pernyataan Mbah Kyai itu bukan arogansi kosong yang bertujuan meremehkan pendekatan metodologis yang dilakukan Prof Santos?”
          Guru Sufi ketawa dan kemudian menjelaskan bahwa segala sesuatu itu tergantung dari dari sudut mana orang memandang dan bagaimana memandang sesuatu itu dibiasakan dalam proses pewarisan keilmuan. “Selama ini, menurut sistem pembelajaran yang berlaku di perguruan tinggi, secara koersif dan doktriner diberlakukan peraturan yang menyatakan bahwa dalam mengikuti mata kuliah filsafat ilmu, wajib hukumnya (fardlu ‘ain)  bagi dosen dan mahasiswa untuk mempelajari kerangka paradigmatik  keilmuan, struktur fundamental ilmu pengetahuan, asuimsi-asumsi dasar proses keilmuan, paradigma ilmu, dan  kerangka dasar teori keilmuan yang dibangun ilmuwan kulit putih,” kata Guru Sufi.
         Para dosen dan mahasiswa,” lanjut Guru Sufi menjelaskan,”Diwajibkan  mengikuti petunjuk-petunjuk yang ditetapkan Archie J. Bahm dalam mempelajari unsur-unsur yang menjadi dasar fundamental  bangunan ilmu; semua harus mempelajari rasionalisme-nya Spinoza, Leibniz dan Wolff, empirisme-nya Bacon, Hobbes, Locke, Berkeley, dan Hume, kritisismenya Kant dalam membangun asumsi dasar proses keilmuan; dalam menegakkan paradigma  teori-teori keilmuan semua wajib mengikuti petunjuk Thomas S. Kuhn, dengan terlebih dulu mempelajari positivisme-nya Auguste Comte, John Stuart Mills dan Emile Durkheim, konstruktivisme-nya Max Weber, Husserl dan Schutz, critical theory-nya Karl Marx, Chomsky, Gramsci , Adorno, dan Habermas;  dalam membangun kerangka dasar teori keilmuan yang metodologis pun, semua diwajibkan mengikuti metode berpikir induktif-eksprimentalnya Francis Bacon, penggunaan data positif-empirisnya Auguste Comte, Logika induksinya John Stuart Mills, verifikasinya Moritz Schlick, Victor Kraft, Herbert Feigl, Rudolf Carnap, falsifikasi-nya Karl Popper, paradigma-nya Kuhn, dan metodologi program riset-nya Imre Lakatos. Jadi dari hilir hingga ke hulu, kita semua diposisikan sebagai konsumen dari produk ilmu pengetahuan yang disusun ilmuwan-ilmuwan kulit putih, sehingga adanya usaha kreatif  logis dari orang-orang tertentu untuk membangun epistemologi keilmuan dianggap sebagai dosa tak berampun oleh pembuat kebijakan. Yang menyedihkan, dosen dan mahasiswa pun sudah terhegemoni pikirannya untuk setia mematuhi aturan-aturan yang sudah ditetapkan sebagai kebenaran aksiomatik yang tidak bisa digugat apalagi dirubah.”
          “Tapi Mbah Kyai,” sahut Diego Jabato penasaran,”Mungkinkah mahasiswa mampu membangun epistemologi keilmuan sendiri?”
          “Menurut saudara, mungkinkah anak-anak Indonesia yang sekolah di desa yang fasilitas dan kecukupan gizinya kurang mampu bersaing dengan anak-anak Jerman, Perancis, Jepang, Amerika?” tanya Guru Sufi melontarkan pertanyaan tak terduga.
           “Kayaknya sih, tidak mungkin bisa, Mbah Kyai,” sahut Diego Jabato ragu-ragu.
           “Padahal fakta menunjuk, anak-anak Indonesia bisa memenangkan olimpiade fisika dan matematika, menyingkirkan ratusan pesaingnya, anak-anak dari negara-negara maju. Saudara tadi menyatakan tidak mungkin, karena pikiran dan jiwa saudara sudah terhegemoni oleh asumsi-asumsi yang tidak benar, yang secara sistematis dimasukkan lewat ide-ide, konsep-konsep, gagasan-gagasan, wacana-wacana, dan nilai-nilai yang disampaikan di lembaga indoktrinasi yang disebut sekolah. Demikianlah, rezim penjajah Belanda dulu lewat politik etis memperkenalkan schooling system di negeri kita tidak untuk tujuan mencerdaskan inlander, melainkan untuk mempertahankan supremasi kulit putih yang superior yang wajib dijunjung tinggi oleh inlander kulit berwarna yang inferior, yang hasilnya adalah mental minderwaardig lulusan-lulusan sekolah yang selalu  merasa lebih  rendah, lebih hina, kalah dalam segala  terhadap  kulit putih.”
        Tavip, peminat budaya yang rajin mengikuti kajian-kajian budaya di pesantren tiba-tiba minta ijin diberi waktu untuk berbicara. Setelah diijinkan, Tavip tidak membincang materi yang dibahas tetapi justru menanyai latar di balik nama-nama para peminat Atlantis seperti  Marvel Carey, Ronaldo Lobato, Diego Jabato,  Franco Novillero, dan Farel Almirez. “Maaf ini adik-adik, saya sangat  ingin tahu saja, kenapa adik-adik yang berkulit coklat seperti saya memiliki nama Spanyol. Padahal, bapak dari adik kita Farel Almirez yang bernama Bambang Sukoco adalah teman saya. Saya juga kenal ibu adik kita Farel Almirez yang bernama Andarini. Lha, kenapa mereka bisa punya anak dinamai Farel Almirez. Mohon penjelasannya,” kata Tavip ingin tahu.
         Farel Almirez yang mewakili teman-temannya menuturkan latar alasan kenapa mereka dinamai nama-nama Spanyol. Menurut Farel Almirez, ibunya dan ibu teman-temannya adalah bertetangga baik. Akhir dekade  1990-an, lanjut Farel,  ibunya dan para tetangga keranjingan menonton sinetron-sinetron Spanyol. Lalu Farel yang saat itu masih belajar di taman kanak-kanak namanya diganti dari Raditya menjadi Farel Almirez, yaitu nama salah seorang pemain sinetron.      “Setelah itu, nama teman-teman bermain saya, ikut diganti dengan nama-nama orang yang namanya tertulis di akhir sinetron. Jadi begitulah, latar kami semua ini memakai nama-nama Spanyol,” kata Farel agak kikuk.
         “Adik-adik  ini tahu tidak makna dari nama kalian masing-masing?” tanya Tavip.
        “Ya tidak tahu pak,” sahut Farel bersamaan dengan teman-temannya.
        “Asal tahu saja, Farel atau Farol  itu dalam bahasa Spanyol maknanya : lampu jalan, gertak sambal; Almirez maknanya: cobek, ulek-ulek, lumpang. Jadi Farel Almirez maknanya: cobek atau ulek-ulek si tukang gertak sambal,” kata Tavip disambut riuh ketawa hadirin. Sebentar kemudian, Tavip melanjutkan, “Nama Marvel Carey, bermakna ‘Marvel si kura-kura’, karena kata Carey dalam bahasa Spanyol maknanya penyu atau kura-kura; nama Ronaldo Lobato, maknanya ‘Ronaldo Si Anak Serigala’; nama Diego Jabato, bermakna ‘Diego Si Anak Babi Hutan’; dan nama Franco Novillero, bermakna ‘Si Gembala Sapi yang suka ceplas-ceplos. Mohon maaf, adik-adik, bukan maksud saya mengolok-olok. Tapi itulah makna nama adik-adik dalam Bahasa Spanyol, yang bisa adik-adik cek kebenarannya.”
           Di tengah gelak ketawa hadirin, Guru Sufi menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Tavip dengan menanyakan latar belakang nama-nama Spanyol yang digunakan sebagian hadirin beserta maknanya, adalah sebuah analogi yang berkaitan dengan proses bagaimana epistemologi keilmuan Barat menghegemoni pikiran dan jiwa anak-anak bangsa Indonesia yang sebenarnya. “Sebagaimana dengan para ibu yang terpesona menyaksikan sinetron-sinetron dan kemudian mengganti nama anak-anak mereka seperti nama-nama yang tercantum di sinetron, demikianlah anak-anak bangsa yang terkagum-kagum dengan sistem persekolahan yang diperkenalkan oleh ‘Duli Yang Mulia Tuan Penjajah”, tidak lagi memiliki daya kritis untuk sekedar mempermasalahkan segala sesuatu yang wajib mereka pelajari karena mereka sudah dibenamkan ke dalam mentalitas kacung dan jongos, yaitu mentalitas bangsa terjajah yang selalu merasa inferior  dan tidak berdaya,” ujar Guru Sufi.
      “Mohon maaf Mbah Kyai,” Sukirin, teman Tavip yang duduk di samping Farel tiba-tiba menyela,”Mohon diijinkan menyampaikan pendapat.”
          “Silahkan! Silahkan!” kata Guru Sufi.
          Dengan suara ditekan tinggi dan terkesan emosi, Sukirin berkata,”Jika Mbah Kyai bermimpi ingin membangun epistemologi keilmuan agar bangsa kita ke depan dapat sejajar dengan Barat, mimpi itu yang justru kami ragukan.”
         “Apa yang membuat saudara  ragu?” tanya Guru Sufi ingin tahu.
         “Bangsa-bangsa Barat, kulit putih,” sahut Sukirin menjelaskan,”Secara faktual sudah membuktikan keunggulan mereka dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidakkah Mbah Kyai sadar bahwa di dalam kehidupan sehari-hari kita ini, semua yang kita gunakan  adalah produk ilmu pengetahuan dan teknologi Barat seperti: sistem kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender Masehi, sistem satuan ukuran, sistem hukum, sistem politik, sistem ideologi, sistem pendidikan, sistem budaya,  sistem sosial, sistem keuangan, sistem medika, sistem komunikasi, sistem manajemen, sistem perbankan, bahkan sistem keilmuan yang digunakan bangsa kita ini adalah produk Barat; fakta menunjuk bahwa bangsa kita sejauh ini belum  pernah menunjukkan bukti bahwa mereka pernah membangun dan memproduksi sebuah karya nyata dari bangsa beradab. Apa yang kami sampaikan    
          Sesaat Guru Sufi berhenti bicara. Ia menarik nafas berat berulang-ulang. Setelah menghembuskan nafas panjang, ia berkata,”Sistem kalender Gregorian yang secara nasional kita pakai adalah warisan kolonial yang didasari aturan-aturan yang dibuat pemerintah yang aparaturnya diisi orang-orang hasil didikan Barat. Tapi digunakannya kalender Gregorian, bukan bukti bahwa bangsa kita goblok dan tidak mengenal sistem kalender. Asal saudara tahu, sebelum bangsa kita mengambil sistem kalender Saka pada tahun 78 Masehi, bangsa kita telah memiliki sistem kalender berdasar perhitungan musim yang disebut Pranatamangsa. Lalu selama kurun yang panjang dilakukan penyesuaian-penyesuaian antara Pranatamangsa dengan kalender Saka, yang berpuncak pada masa Ratu Sanjaya (Raja Mataram, 732-754 M), yang mengembangkan sistem kalender Pawukon. Sebagai bukti, mohon ditayangkan slide-slide dan film yang memuat rekaman penjelasan kalender pawukon dan pranata mangsa!”
       Sufi Kenthir dengan sigap menayangkan slide-slide dan film yang memuat penjelasan kalender pawukon dan pranamangsa, di mana sebagian besar hadirin terheran-heran menyaksikan bagaimana leluhur bangsa dalam sistem kalendernya membagi waktu ke dalam satuan-satuan hitungan dari satu sampai sepuluh. Maksudnya, jika kalender Gregorian membagi waktu dalam satuan-satuan  yang disebut hari (ada tujuh satuan hari),  minggu (satu kesatuan dari tujuh satuan hari), bulan (satu kesatuan dari tigapuluh satuan hari),dan tahun (satu kesatuan dari 365 satuan hari),  maka kalender pawukon dan pranatamangsa membagi satuan-satuan yang disebut wara (satu satuan hari) ke dalam 10 varian yang disebut Ekawara (Luwang), Dwiwara(Menga, Pepet), Triwara (Pasah, Beteng, Kajeng), Caturwara (Sri, Laba, Jaya, mandala),Pancawara (Manis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon), Sadwara (Tungle, Aryang, Wurukung, Paniron, Was, Mawulu), Saptawara (Radite, Soma, Anggara, Buda, Respati, Sukra, Sanaisara – saat pengaruh Islam masuk menjadi Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu),  Astawara(Sri, Indra, Guru, Yama, Ludra, Brahma, Kala, Uma),  Sangawara (Dangu, Jangur, Gigis, Nohan, Ogan, Erangan, Urungan, Tulus, Dadi), dan Dasawara (Pandita, Pati, Suka, Duka,  Sri, Manuh, manusa, Raja, Dewa, Raksasa).
       Satu satuan hari yang berjumlah tujuh dirangkai sebagai satu satuan yang disebut Wuku (satu minggu yang terdiri dari tujuh hari dinamai wuku). Dalam kalender pawukon (pa-wuku-an) terdapat 30 wuku, di mana satu siklus putaran wuku adalah 7 x 30 hari = 210 hari. Nama-nama wuku adalah: 1.Sinta, 2.Landhep, 3.Wukir, 4.Kurantil, 5.Tolu, 6.Gumbreg, 7. Warigalit, 8.Warigagung, 9. Julungwangi, 10.Sungsang, 11.Galungan, 12.Kuningan, 13.Langkir, 14. Mandasiya, 15. Julungpujud, 16.Pahang, 17.Kuruwelut, 18.Marakeh, 19.Medangkungan, 20.Tambir, 21.Maktal, 22.Wuye, 23.Manahil, 24.Prangbakat, 25.Bala, 26.Wugu, 27.Wayang, 28. Kulawu, 29.Dhukut, 30.Watugunung.
         Berbeda dengan sistem kalender Gregorian yang menggunakan hitungan matahari, kalender Pawukon menggunakan hitungan rembulan dengan menghitung siklus rembulan mengitari bumi berdasar pengamatan empirik pada bentuk rembulan. Atas dasar pengamatan empirik itu, maka dalam sistem satuan bulan kalender pawukon siklus putaran rembulan mengitari bumi dibagi menjadi dua, yaitu Tanggal  (dimulai saat rembulan berbentuk garis [tanggal 1] hingga rembulan penuh  [tanggal 15] atau Purnama) dan Panglong  (dimulai saat rembulan penuh [tanggal 1] hingga rembulan gelap [tanggal 15] atau Tilem). Jadi sistem penanggalan pawukon hanya mengenal satuan hitungan tanggal dari tanggal 1 – 15 paruh terang (Tanggal) dan tanggal 1-15 paruh gelap (Panglong).
         Satu satuan  hitungan bulan (tanggal 1-15 tanggal +  tanggal 1-15 palong = 30 hari) berjumlah 12 satuan yang masing-masing dikenal dengan nama: Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kadasa, Destok, Kasada dan saat Islam datang nama-nama bulan diubah menjadi: Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Syawal, Dulkaidah, Besar. Setiap 12 satuan bulan dalam kalender pawukon, dijadikan satuan baru yang disebut Tahun, di mana satuan tahun itu ada delapan dengan nama masing-masing : Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakhir. Kedelapan satuan tahun itu disatukan dalam satuan baru yang disebut Windu (siklusnya berlangsung selama delapan tahun) yang masing-masing disebut: Adi, Kuntoro, Sengara, Sancaya. Demikianlah, satu siklus putaran windu terjadi selama  8 tahun  x  4 windu = 32 tahun sekali.
       “Sekarang saya mau tanya, “ kata Guru Sufi memandang ke arah Sukirin,”Pak Sukirin ini lahir tanggal, bulan dan tahun berapa?”
          “Ee saya lahir  tanggal 29 Agustus 1958, Pak Kyai,” kata Sukirin spontan.
       Guru Sufi diam beberapa detik dan setelah itu berkata,”Pak Sukirin ini pasti lahir pada hari Jum’at Legi, bulan Sapar.”
       “Lho Pak Kyai, kok bisa tahu dengan tepat?” sergah Sukirin terheran-heran.
       “Itu karena saya menggunakan rumus hitungan kalender pawukon,” sahut Guru Sufi.
       “Jadi Pak Kyai,” sahut Sukirin makin heran,”Kalender Pawukon yang digunakan kakek saya dulu  itu,  bukan golongan kalender klenik yang penuh kemusyrikan tapi ada sistem hitungannya?”
        “Ya pasti hitungan astronomis diformulasi dengan hitungan musim (pranamangsa). Karena itu, kalau mau diuji akurasi ketepatan sistem kalender, saya menjagokan akurasi ketepatan kalender pawukon dan pranatamangsa daripada kalender Gregorian,” kata Guru Sufi tegas.
        “Bagaimana itu, Pak Kyai, apa bisa dijelaskan?” Sukirin minta penjelasan.
       “Dalam uji empirik-matematis  atas ketepatan sistem kalender Gregorian diperoleh fakta bahwa setiap 2300 tahun sekali wajib dilakukan penyesuaian-penyesuaian, karena setelah 2300 tahun hitungan kalender Gregorian sudah mengalami deviasi yang makin lama makin besar. Sementara sistem kalender Pranatamangsa, baru mengalami deviasi setelah 99.000 tahun,” kata Guru Sufi.
         “99.000 tahun Pak Kyai?” tanya Sukirin heran.
         “Itu fakta yang bisa diuji secara empirik-matematis,” kata Guru Sufi,”Tapi karena kalender Pawukon dan Pranatamangsa itu diciptakan oleh inlander kulit coklat bermental budak, etnis biadab berjiwa  pemalas, goblok, dan terbelakang, maka karya ciptaan mereka itu harus diabaikan dan dibuang jauh-jauh dari pikiran dan jiwa generasi penerusnya. Sebab yang paling cocok untuk  kaum intelektual adalah kalender Gregorian bikinan ras tinggi yang unggul lagi mulia: kulit putih.”
          “Itu namanya takdir, guru,” sahut Dullah disambung Tavip dan dibenarkan Sukirin.
         “Ya lepas dari itu takdir Ilahi, yang pasti Tuhan sudah membuka mata kita untuk melihat sebuah bangsa yang bin ajaib: bangsa yang antipati dan membenci semua hal yang diciptakan bangsanya sendiri, sebaliknya sangat bangga dan merasa mulia jika sudah menggunakan produk bangsa lain yang mereka anggap lebih superior,” kata Guru Sufi menghela nafas panjang.
(Bersambung…)

Karya: KH Agus Sunyoto

Sumber: