26 Feb 2014

Pulang Kampung ke Negeri Asing

17 Maret 2011 pukul 0:50

(Dikops dari catatan Faebook Agus Sunyoto II)
  Mbah Karno, paman Guru Sufi yang pulang kampung setelah tinggal di Belanda selama 35 tahun, ingin melepas kerinduan terhadap kampung kelahirannya yang terletak di pinggiran kota. Dengan bayangan kampungnya masih sama dengan saat ia bekerja di negeri kincir angin itu, ia ingin berkeliling dari rumah keluarga satu ke rumah keluarga lain, termasuk berkeliling dari warung satu ke warung yang lain untuk menikmati makanan, jajanan, minuman khas yang sangat dirindukannya selama bertahun- tahun.
     Dengan diantar Sufi tua, Mbah Karno pertama-tama akan ke rumah Karlin, keponakannya. Sepanjang perjalanan, Mbah Karno terheran-heran melihat kampung kelahirannya sudah berubah jadi bagian dari kota. Toko-toko, ruko-ruko, restoran, bank, dealer mobil dan motor, counter HP, biro perjalanan, bar, panti pijat, biro iklan, mini market, mall, dan hotel berderet-deret sepanjang kanan dan kiri jalan. Pasar krempyeng, tempat orang kampung dulu belanja sudah tergusur jauh.”Semua sudah berubah. Aku tidak mengenal lagi kampung kelahiranku,” kata Mbah Karno bernada kecewa.
        Di rumah Karlin, Mbah Karno disambut oleh keluarga besar adiknya, Mbah Karso, yang diwakili Karlin. Ketika Karlin memperkenalkan anak-anaknya, anak-anak saudaranya, anak-anak saudara sepupunya yang merupakan cucu keponakan Mbah Karno, justru membuat Mbah Karno tertegun-tegun heran. Sebab semua nama yang disebut Karlin bukanlah nama-nama kampung yang pernah dikenalnya dulu seperti Bambang, Karyono, Joko, Kandar, Suparman, Rahayu, Endang, Poniti, Painem, Wagisah, Leginem. Sebaliknya, nama cucu- cucu keponakannya seperti Farel, Marvel, Johny, Charlie, Adelia, Christina, Ceilla, Cornelia telah membuatnya terheran-heran, apalagi setelah ia diberitahu bahwa nama tetangga-tetangga juga sama, yaitu nama Barat yang keren. ”Sungguh, aku tidak lagi melihat keluarga dan tetangga kampungku. Nama-nama mereka sangat asing, sama dengan nama tetangga dan kawan-kawanku di Belanda,” gumam Mbah Karno sedih.
        Kesedihan Mbah Karno makin bertambah manakala para keponakan dan cucu-cucu keponakannya memanggilnya dengan sebutan ’oom dan opa’. Cucu-cucu keponakannya, memanggil bapak dan ibu mereka dengan sebutan Papa & mama. Adik perempuan bapak atau ibu mereka dipanggil tante. Waktu Karlin ditanya tentang perubahan sebutan itu, ia menyatakan bahwa sebutan-sebutan kampung seperti embah, bapak, emak, uwak, paman,bibi sudah ditinggalkan karena terkesan kampungan dan rendah. Karlin juga menjelaskan  kebiasaan anak  bersalaman dan mencium tangan orang tua pun sudah ditinggal karena dinilai kuno, untuk diganti tradisi global berupa ”cium pipi kanan dan pipi kiri”.
       Sepanjang perjalanan keliling bersama Sufi tua, Mbah Karno mendapati bertapa pemahaman warga kampungnya terhadap budaya peninggalan leluhur seperti wayang purwa, wayang orang, wayang klithik, ketoprak, ludruk, kentrung, jatilan, tari topeng, jaran kepang, reog, bantengan sudah jarang dikenal oleh generasi muda bangsa karena dianggap anasir kuno, rendah, tidak sesuai zaman, dan sulit difahami. Sebaliknya, kecenderungan yang terjadi adalah maraknya produk budaya global yang dianggap sesuai dengan zaman dan mencitrakan kemodernan seperti band, orkes, breakdance, dancing, karaoke, capoera, teater. Gedung-gedung pertunjukan seni tradisional satu demi satu tutup, digantikan resto, cafe, bar, night club yang menyuguhkan penyanyi-penyanyi dengan iringan grup band atau electone atau home theatre. Dongeng anak-anak tradisional khas kampung seperti ”Timun Emas, Joko Kendil, Sawunggaling, Sang Kancil, Sangkuriang, Roro Jonggrang” nyaris tak dikenal lagi oleh anak-anak muda karena sudah digantikan oleh dongeng global seperti ”Avatar, Naruto, Marsupilamy, Sinchan, Popeye, Mickey Mouse, Tom and Jerry.”
     Yang mengejutkan, selera makan dan minum penduduk muda ternyata sudah mengalami perubahan dari selera tradisional ke selera global, terutama karena terkait dengan asumsi superioritas global dan inferioritas lokal. Menu olahan masakan tradisional seperti ”pecel, tumpang, sayur asam, rawon, gudeg, mangut, soto, tiwul, gethuk, cenil, geplak, nagasari, onde-onde, wajit, jadah, lemper, ronde, bandrek, kopi tubruk, angsle, kolak, dawet, tuak, badek, legen”, dianggap menu makanan dan minuman lokal yang mewakili selera kalangan grass-root yang diasumsikan rendah dan kampungan, sehingga harus diganti menu masakan, jajan dan minuman global yang bercitra modern dan elitis seperti ”Hamburger, Hot Dog, Pizza, Spaghetti, Fried Chicken, Donat, Beefsteak, Kebab, Soup, Brownies, Spikoe, Rolade, Coke, Root Beer, Cappuccino, Moccaccino, Beer, Wishkey, Vodka, Wine, Gin.”
          Dalam memberi istilah dan memaknai tempat-tempat berjualan tradisional seperti ”kedai, warung, lepau, lapak, rombong, gerobak keliling, toko peracangan, pasar krempyeng” ternyata telah direduksi sedemikian rupa sebagai sesuatu yang rendah, grass-root, kampung, tidak bergengsi. Sebaliknya, terjadi pemberian istilah dan makna yang lebih tinggi, elitis, higienis, dan modern terhadap tempat-tempat berjualan baru yang bercitrakan budaya global seperti ”Cafe, Resto, Bar, Minimarket, Mall, Plaza, Night Club, Boutique, Counter, Outlet”. Bahkan maraknya model rambut, pakaian, sepatu, tas, topi, ikat pinggang, kacamata, softlens, motor, mobil, HP, Laptop, tatoo, anting, pergaulan ala dugem, adalah bukti dari fakta tentang kuatnya hegemoni budaya global yang makin lama makin menjauhkan anak-anak bangsa dari jati diri budayanya.
             Setelah lelah berkeliling dengan gumpalan kekecewaan yang menggunung, Mbah Karno datang ke pesantren sufi, mencurahkan semua kekecewaan dan kesedihan yang dirasakannya selama pulang kampung. Dengan suara pedih ia berkata,”Niatku pulang kampung memang untuk bersilaturahmi dan bernostalgia, mengenang kampung kelahiran yang selalu terbayang dalam ingatanku. Tapi siapa mengira, kampungku dan penduduknya telah berubah menjadi asing dan tak lagi kukenal. Menyedihkan.”
           ”Paman,” kata Guru Sufi merendah,”Perubahan itu tidak hanya di kampung kita, tapi di hampir seluruh negeri tercinta ini. Saya sendiri sudah hampir tidak mengenali siapa sebenarnya bangsa ini, karena mereka sudah berubah menjadi orang asing.”
           ”Ya Allah, aku sudah kesasar ke negeri asing kelahiranku,” keluh Mbah Karno.

Di kopas dari. https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/pulang-kampung-ke-negeri-asing/118499318224454  

Jagalah Kebersihan Pikiran

Jagalah Kebersihan Pikiran


            Dua hari tinggal di pesantren sufi sebagai tamu, Adi Bauha seorang muslim modern yang sedang  menyusun disertasi tentang praktek-praktek tasawuf di era global, mendapati amaliah-amaliah aneh yang dilakukan Guru Sufi. Pada malam dingin yang hujan, misal, ia diam-diam mengikuti Guru Sufi pergi ke perempatan dekat pasar untuk membeli nasi goreng. Ternyata, nasi goreng itu diberikan kepada seorang perempuan tidak waras yang tidur di pinggir jalan tak perduli hujan atau terang. “Bukankah, sebagai guru, dia bisa menyuruh murid atau anaknya untuk membeli nasi goreng dan memberikannya kepada orang tidak waras itu,” kata Adi Bauha dalam hati.
            Ternyata, Adi Bauha mendapati keanehan Guru Sufi yang lain, yaitu mengajak seorang gelandangan  kurang waras yang berpakaian compang-camping untuk makan siang bersama. Adi Bauha yang sedianya ikut makan, mengurungkan niatnya karena nafsu makannya mendadak hilang saat duduk bersama gelandangan bau tengik itu.  Yang juga memusingkan, para pengemis, pengamen, peminta sumbangan baik tua maupun muda selalu dikasi. Guru Sufi tidak pernah menolak “benalu” masyarakat itu. Bahkan pernah sekali Adi Bauha memergoki, saat Guru Sufi tidak punya uang untuk dikasikan pengemis, ia memberikan satu kilo beras yang akan dimasak untuk makan siang. “Bersedekah memang baik. Tapi kalau anak-anak muda pemalas sudah menadahkan tangan meminta-minta dan terus diberi, itu tidak mendidik,” kata Adi Bauha dalam hati.
            Ketika satu pagi mendapati Guru Sufi memberi sumbangan seorang laki-laki berpenampilan kusut dengan  pakaian kumal yang mengaku panitia pembangunan masjid, Adi Bauha tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya. Dengan nada memprotes, ia bertanya tentang “kepolosan” Guru Sufi yang selalu percaya dengan peminta sumbangan yang sering palsu. “Apakah itu tidak sama maknanya dengan memberi dukungan kepada para pemalas yang akan menggantungkan hidup dari sedekah orang?” tanya Adi Bauha.
            Dengan senyum Guru Sufi tidak memberi jawaban, melainkan bercerita tentang
Abul Qosim Al-Junaid  Al Baghdadi,  tokoh sufi yang besar pengaruhnya, yang wafat di Baghdad tahun 298 H- (910 M). Dengan tenang Guru Sufi mulai cerita,”Al-Junaid memiliki majelis pengajian yang diikuti oleh siapa saja. Satu saat, ada seorang laki-laki yang mengemis di antara anggota majelis pengajian. Al-Junaid berpikir,"Laki-2 itu masih sangat sehat. Dia masih mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Tapi mengapa dia mengemis dan menghinakan diri sendiri?"
               “Malam itu, al-Junaid tiba-2 bermimpi diberi suatu suguhan hidangan yang tertutup. Lalu ia ditawari untuk memakan hidangan itu. Saat al-Junaid membuka penutup hidangan,  ia mendapati  lelaki pengemis tadi  terbaring mati di atas wadah itu. Seketika al-Junaid berteriak: Aku tidak makan daging manusia. Terdengar suara: Jika demikian, kenapa engkau berbuat seperti itu di masjid?".
              "Al-Junaid terbangun. Ia sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan karena telah berpikiran tidak baik terhadap seseorang, dan ia telah ditegur karena pikiran buruknva itu. Al-Junaid menceritakan: Saat aku terjaga, aku ketakutan. Aku pun berwudhu dan shalat dua rakaat. Lalu aku pergi mencari pengemis itu. Dan aku mendapatinya di tepi Sungai Tigris sedang memunguti sisa-2 sayuran yang dicuci orang. Laki-2 itu pun memakan sisa-2 sayuran itu. Saat aku mendekat, laki-2 itu mengangkat kepalanya. Saat  melihatku, ia mendekat dan menyapaku: Junaid, apakah engkau telah bertobat atas pikiran-pikiranmu mengenaiku? Yang segera kujawab,”Ya, aku telah bertobat saudaraku.”
                 “Kalau begitu, pergilah,” kata laki-2 itu, Allah jua Yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya. Tapi kini, jagalah pikiran-pikiranmu! Jadi, saudara, seperti al-Junaid, aku selalu berusaha untuk menjaga pikiranku dari macam-macam kotoran kecurigaan terhadap siapa pun di antara manusia, baik gelandangan, pengemis, pengamen, peminta sumbangan, bahkan orang gila yang meminta atau tidak meminta-minta. Aku tidak mau mengotori pikiranku dengan bercuriga kepada siapa pun yang meminta kepadaku."

Di kutib dari Facebook Agus Sunyoto II


15 Maret 2011 pukul 20:57

https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/jagalah-kebersihan-pikiran/118240778250308

Jangan Mendikte dan Membayangkan Diri Seolah Tuhan

Jangan Mendikte dan Membayangkan Diri Seolah Tuhan

15 Maret 2011 pukul 0:16
Oleh Agus Sunyoto
(Dikutip dari Catatan Facebook Agus Sunyoto II)

            Bosan doanya selama bertahun-tahun tidak dikabulkan Tuhan, dengan wajah kusut Dullah menghadap Guru Sufi. Dengan nada putus asa  ia menyatakan bahwa tidak terkabulnya doa yang dipanjatkannya, mungkin berkaitan dengan nasib dirinya yang kurang beruntung karena tidak dihiraukan Tuhan akibat dosa-dosanya. “Padahal, saya yakin dengan kebenaran  sabda Rasulullah Saw  ad-du’a silakhul mu’miin (doa adalah senjata bagi orang beriman) dan juga janji Allah: "berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu- Q.S. Al Mu’min: 60." Tapi faktanya, sampai saat ini doa saya tidak dikabul juga oleh-Nya. Entah dosa dan kesalahan apa yang telah saya lakukan sehingga do’a saya tidak dikabul Tuhan,” kata Dullah memprotes.
            Guru Sufi tersenyum. Lalu dengan suara datar  ia mengutip petuah bijak dari Al-Hikam yang berbunyi:
“Jangan engkau berputus asa karena kelambatan pemberian Allah kepadamu, padahal doamu bersungguh-sungguh. Allah telah menjamin menerima semua doa sesuai dengan yang Dia kehendaki untukmu pada waktu yang telah Dia tentukan. Bukan menurut kehendakmu dan bukan pada waktu yang engkau tentukan”.
          “Mohon maaf guru,” kata Dullah ingin tahu,”Apa maksud guru tentang kelambatan pemberian Allah dan ketentuan pemberian menurut kehendak-Nya? Bukankah janji  Allah sudah jelas: berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu- Q.S. Al Mu’min: 60?  Kenapa harus  ditunda-tunda?”
            “Engkau pernah melihat pengemis meminta sedekah?” tanya Guru Sufi.
            “Tentu pernah, guru.”
             “Apakah yang menentukan lama dan cepatnya suatu pemberian sedekah  itu sang pengemis atau orang yang memberi sedekah?”
             “Tentu yang memberi sedekah, guru.”
             “Yang menentukan besar dan kecilnya pemberian sedekah apakah sang pengemis atau pemberi sedekah?” tanya Guru Sufi.
              “Yang memberi sedekah, guru.”
             “Jika pemberi sedekah tidak memberi uang seperti yang diinginkan pengemis tetapi member roti, kue, nasi bungkus,  apakah pengemisnya boleh marah-2 karena diberi yg bukan keinginannya?” tanya Guru Sufi.
             “Tentu tidak, guru,” kata Dullah tak mau kalah,”Tapi saya kan bukan pengemis dan Allah bukan pemberi sedekah yang sukarela memberi? Bukankah Dia sudah berjanji: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran- Q.S. Al Baqarah: 186?  Bukankah Rasulullah Saw juga bersabda: “Tiada seorangpun yang berdoa, melainkan Allah pasti akan mengabulkan doanya atau dihindarkan dari bahaya padanya atau diampuni sebagian dari dosanya selama ia tidak berdoa untuk sesuatu yang menjurus kepada dosa atau untuk memutuskan hubungan sanak keluarga?”
            “Dalil yang engkau sampaikan sudah benar,” kata Guru Sufi merendah,”Tapi dalil yang mengatakan doa Dullah bakal dikabul Allah kan tidak ada? Atau dalil bahwa Allah bakal mengabulkan doa si  Dullah juga kan tidak ada?”
              “Jadi? Bisa saja doa saya memang tidak dikabul, guru ?” gumam Dullah sedih.
              “Bukan begitu maksudnya. Tapi orang yang berdoa disuruh bersabar menunggu pemenuhan doanya. Orang yang berdoa juga harus ikhlas menerima jika yang dikabul itu bukan doa seperti yang dikehendakinya, melainkan sesuai yang dikehendaki Allah. Sabar. Itu kunci doa sesuai sabda-Nya agar kita meminta tolong kepada-Nya dengan sabar dan shalat. Karena orang yang sudah dijamin akan dikabulkan doanya oleh Allah pun, ternyata masih disuruh bersabar menunggu penggenapan janji-Nya.”
                 “Adakah yang seperti itu?” tanya Dullah penasaran.         
                 “Pernahkah engkau mendengar kisah Nabi Musa dan Nabi Harun yang berdoa dan doa mereka dikabulkan Allah sesuai firman-Nya: “ Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-sekali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui – Q.S. Yunus: 89? Tahukah engkau tentang itu?”
                   “Ya saya tahu, saya pernah dengar kisah itu, guru.”
                   “Menurutmu, berapa lama kira-kira jarak antara saat doa kemenangan Nabi Musa dan Nabi Harun itu dikabulkan Allah  dengan terwujudnya  kemenangan mereka dalam kenyataan?” tanya Guru Sufi.         
                   “Menurut saya, kira-kira sekitar  dua atau tiga tahun, guru.”
                   “Kurang tepat. Yang benar janji Allah memberi kemenangan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun dalam melawan Fir’aun itu, jarak rentang waktunya dengan realita kemenangan lamanya empat puluh tahun,” kata Guru Sufi.
                     “Empat puluh tahun?” Dullah terperangah kaget dan kemudian menggumam,”Waduh, kalau Nabi Musa saja keterkabulan doanya butuh waktu empat puluh tahun, bagaimana dengan awak yang bukan nabi dan bukan wali?”
                     “Kisah Nabi Musa tidak bisa digeneralisasi untuk semua orang, karena usia manusia sekarang ini  rata-rata lebih pendek dari usia Nabi Musa yang 120 tahun,” kata Guru Sufi menjelaskan.
                     “Jadi…?”
                      “Kisah itu menunjuk, keterkabulan doa butuh waktu sesuai yang ditentukan Sang Pengabul doa. Jadi, bersabarlah dan jangan berburuk sangka kepada-Nya. Pun jangan pernah mendikte-dikte Tuhan agar Dia memenuhi doamu sesuai keinginan nafsu yang membayangimu! Sadarlah bahwa engkau hanyalah manusia dan bukan Tuhan. Jadi jangan pernah membayangkan Tuhan harus memenuhi keinginanmu sesuai  angan-anganmu."


https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/jangan-mendikte-dan-membayangkan-diri-seolah-tuhan/118057811601938