22 Apr 2014

Makna ASh-Shadru (dada) dalam Pandangan Tasawuf


Oleh: KH Agus Sunyoto


         Allah SWT bersabda,”(Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu (shadru) karenanya, agar engkau memberi peringatan dengan (Kitab) itu dan menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman (Q.S.Al-A’raf:2)”
         Sabda Allah SWT yang berkait dengan  ash-shadru (dada) sering hanya dimaknai sebagai organ fisik manusia yang terdiri dari tulang-tulang iga yang dibungkus daging dan kulit, yang berfungsi utama melindungi hati, jantung, paru-paru, empedu,  sehingga keberadaan ash-shadru menjadi lebih dimaknai sekedar pelindung hati fisik (mudzghah)  dari  gangguan fisik dari luar.
         Dalam term sufisme makna ash-shadru lebih menunjuk kepada aspek jasmani sekaligus ruhani, di mana aspek ruhani ash-shadru adalah  substansi halus, anasir bukan materi yang melindungi istana  al-Qalbu. Ash-shadru ibarat benteng kutaraja yang berperan utama  melindungi istana raja. Di bagian luar benteng terdapat  parit-parit dan  dinding-dinding  yang melindungi  ash-shadru(dada), di mana parit-parit dan dinding itu  memiliki tugas dan sistem khusus dalam menjaga dan mengawasi (al-muraqabah) agar ash-shadru tidak runtuh. Pagar dan parit yang mengelilingi ash-shadru  struktur formasinya “dari luar (dzahir) menuju bathin” adalah sebagai berikut:
1.As-Saddan Al-Ghafara, paritnya al-Khuduud al-Maghfirah, lantainya as-Syukur diperkuat Tahlil;
2.As-Saddan Adz-Dzikru, paritnya al-Khuduud adz-Dzikru, lantainya al-Ridha, diperkuat Tahmid;
3.As-Saddan Al-Ghufran, paritnya al-Khuduud al-Nashr, lantainya ash-Shabr, diperkuat Takbir;
4.As-Saddan Al-Nashrun, paritnya al-Khuduud al-Ghalib, lantainya al-Ikhlas, diperkuat  Tamjid;
5.As-Saddan Al-Jihad, paritnya al-Khuduud al-Hidayah, lantainya an-Niyyah, diperkuat Istilam;
6.As-Saddan At-Tawakkal, paritnya al-Khuduud at-Tahmid, lantainya asy-Syath, diperkuat Tasbih;
7.As-Saddan At-Taslim, paritnya al-Khuduud al-Salam, lantainya asy-Syahadah, diperkuat Istighfar dan Shalawat.
       Benteng ash-shadru  memiliki dua pintu gerbang dzahir, yaitu pintu gerbang Al-Amru (perintah) dan pintu gerbang  An-Nahyu (larangan). Kedua pintu gerbang itu dijaga oleh dua pengawal, yaitu Al-Masyiiah (kehendak)  dan Al-Qudrah (kemampuan). Kedua pintu gerbang itu memiliki daun pintu penutup, yaitu Al-Jabarut dan Al-Malakut.
       Di dalam benteng ash-shadru (dada) terdapat singgasana raja  Nuur  Al-‘Aql yang menghalangi manusia untuk memasuki Al-Qalbu dan menelusuri  tahap-tahap ruhani hingga ke singgasana Maharaja Diraja  “Ana”.   Nuur Al-‘Aql memiliki dua wajah yang saling bertolak belakang satu sama lain. Wajah yang satu menghadap Maharaja Ghaib menerima (iqbal) dari  Maharaja. Wajah yang satu lagi menghadap dunia dzahir berpaling (idbar) dari Maharaja.  Nuur Al-‘Aql dikawal oleh hulubalang al-Khawathir, kilasan pikiran-pikiran yang terpuji maupun yang tercela yang masuk dengan sifat Ilahiah, ruhaniah, ananiyyah, syaithaniyyah. Nuur  Al-‘Aql bersifat seperti kristal  transparan yang bisa memantulkan bayangan, di mana  pemunculannya tergantung pada apa yang menguasainya. Jika dikuasai an-nafs al-lwammah yang hitam, maka al-‘aql akan hitam. Jika dikuasai an-nafs sufliyyah yang kuning, maka al-‘aql akan kuning. Jika dikuasai an-nafs ammarah yang merah, maka al-‘aql akan merah. Jika dikuasai an-nafs al-muthmainnah yang putih, maka al-‘aql akan putih.  Oleh karena perwujudannya transparan seperti kristal, maka al-‘aql hanya mungkin memanifestasikan dirinya  dengan cara “mengikat” (‘iqal) segala sesuatu agar menjadi  jism (raga), mitsal (citra), khayal (imajinasi), dan ilusi yang bersifat prasangka (wahm).  Dalam perjalanan dari yang dzahir menuju yang bathin, memasuki tahap-tahap ruangan hingga ke mahligai ghaib tempat Maharaja bertahta, Nuur ‘Al-‘Aql hanya bisa mencapai tahap Akfa, di mana terdapat Pohon Teratai di Batas Terjauh (sidrah al-muntaha), yang menjadi batas Nuur Al-‘Aql harus ditanggalkan sebagai “ikatan” (‘iqal).
          Di dalam benteng ash-shadru berkuasa empat raja bawahan yang wajahnya menghadap dunia dzahir  berpaling (idbar) dari Maharaja. Mereka ini memiliki potensi-potensi menyerap obyek-obyek duniawi  ke dalam yang berupa melihat, mendengar, mencium, merasakan, meraba (pancaindera) dan sekaligus potensi-potensi mengungkapkan respons balik naluriah mereka  keluar terhadap obyek-obyek tersebut seperti berbicara, memegang, melangkah, membuang segala sesuatu yang tidak dibutuhkan tubuh, dan naluri berketurunan.
          Demikianlah, segala potensi nafsu-nafsu  dan al-‘aql sangat menentukan situasi dan kondisi ash-shadru. Jika ash-shadru terasa sesak dan sempit, maka itu sebagai pertanda ash-shadru dikuasai nafsu-nafsu berupa  iri hati, syahwat, keinginan, dendam, cemburu, kesenangan, kemabukan, dan dikendalikan  oleh  kuasa al’aql  berupa khayalan, prasangka, khawathir, putus asa. Namun jika ash-shadru mangalami insyirah (kelapangan), maka kuasa dari anasir ruhani yang memancar dari qalbu telah  meliputi  ash-shadru sehingga semua beban lepas dan kesulitan berganti kemudahan (Q.S.As-Syarh:1-6),  semua dendam hilang dan hidup menjadi surgawi (Q.S.Al-A’raf:43).

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/makna-ash-shadru-dada-dalam-pandangan-tasawuf/120567138017672

Makna Qalbu (hati) Dalam Pandangan Tasawuf


Oleh: KH Agus Sunyoto

Makna Qalbu (hati) Dalam Pandangan Tasawuf
            Rasul Saw bersabda,’Ketahuilah, di dalam jasad ada segumpal daging (mudzghah) yang jika baik daging itu maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika jelek daging itu maka jeleklah seluruh jasadnya. Ketahuilah daging itu adalah hati (qalb).’’ (HR. Bukhari & Muslim dari Nu’man bin Basyir).
            Ungkapan Rasul Saw tentang segumpal daging fisik (mudzghah) di dalam dada manusia  yang dihubungkan dengan hati (qalb), sering diassumsikan secara kurang tepat dalam memaknai hati (qalb) yang diidentikkan sebagai organ fisik yang disebut hati  (mudzghah) tersebut. Sehingga kerusakan pada fisik hati (mudzghah) itu, ditafsirkan akan  berakibat kerusakan pada perilaku pemilik hati yang rusak tersebut.
            Dalam term sufisme makna al-qalbu (hati) lebih menunjuk kepada aspek ruhani, substansi halus, anasir bukan materi yang berfungsi mengenal segala sesuatu dan mampu merefleksikan sesuatu seperti cermin yang memantulkan sebuah gambar. Kemampuan qalb dalam merefleksikan suatu hakikat tergantung pada sifat qalb, sesuai pengaruh inderawi, syahwat, kemaksiatan, dan cinta. Sepanjang hati itu bersih dari kendala-kendala yang dapat menutupinya, maka hati dapat menangkap hakikat yang ada. Bahkan di qalb ma’rifat terjadi.
            Menurut At-Tirmidzi, qalb (hati) adalah pusat dari semua perasaan, pengenalan dan emosi di dalam diri manusia. Semua perasaan, pengenalan dan emosi manusia akan kembali ke qalb (hati) dan dari qalb (hati) dikirim kembali ke seluruh tubuh. Qalb (hati) bersifat otomatik, dapat menyerap segala bentuk emosi yang ada, dan apabila terbetik di dalamnya suatu aliran perasaan, secara langsung akan dipancarkan ke seluruh tubuh. Dengan pandangan At-Tirmidzi ini, hati dapat diibaratkan seperti istana. Jika yang memerintah istana adalah raja yang baik (ruh), maka akan baiklah semua perilaku si pemilik hati. Sebaliknya, jika yang berkuasa di istana adalah raja jahat (nafsu), maka akan rusaklah semua perilaku si pemilik hati.
            Imam Al-Ghazali mengungkapkan makna qalb dengan gambaran metaforik sebagai sumur yang digali di tanah. Sumur itu bisa diisi lewat saluran pipa dari sungai atau saluran irigasi. Tidak jarang dalam mengisi sumur dilakukan penggalian lebih dalam sampai didapati sumber air di dalam tanah. Jika digali lebih dalam, akan memancar air yang lebih jernih, lebih deras dan tidak ada habisnya. Tidak ubahnya sumur, ungkap Al-Ghazali, air di dalamnya itulah ilmu pengetahuan. Pancaindera ibarat saluran pipa atau  saluran irigasi, mengisi qalb dengan ilmu pengetahuan seibarat saluran pipa atau saluran irigasi mengisi sumur dengan air dari sungai di muka bumi. Qalb diisi ilmu pengetahuan lewat pancaindera melalui proses membaca, mendengar, merasakan, mengamati, meneliti. Sementara ada cara lain mengisi air ke dalam sumur, dengan menutup saluran pipa atau saluran irigasi. Lalu menggali qalb lebih dalam lewat uzlah, khalwat, mujahadah, muraqabah, musyahadah sampai terangkat tutup yang menyelubungi, sehingga memancar dari dalam qalb ilmu pengetahuan yang lebih bersih dan abadi, sebagaimana firman Allah: “Sejatinya, (al-Qur’an)  itu merupakan tanda-tanda yang jelas di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu (Q.S.Al-Ankabut:49).
            “Inna fii jazadi al-mudzghah. Wa fii mudzghah qalb, wa fii qalb fuad, wa fii fuad ruh, wa fii ruh sirr, wa fii sirr akfa, wa fii akfa ana!” sabda Nabi Saw ini menunjukkan bahwa di dalam mudzghah terdapat tujuh lapisan anasir halus bukan materi  bersifat ruhaniah yang makin lama makin halus hingga ke pusat  anasir hati yaitu ana (aku). Seibarat istana dengan tujuh ruangan dari  yang zhahir sampai yang bathin yang dilingkari tujuh dinding, setiap ruangan memiliki pintu dan kunci yang berujung ke pusat ruangan paling batiniah di mana sang raja berada.  Adapun yang dimaksud tujuh ruangan di istana itu, dari luar ke dalam atau dari zhahir ke bathin, adalah:
  1. Al-Mudzghah, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab  Al-Jamal (keindahan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Hidayah. Kuncinya adalah Al-Miftah Al-Iqrar (pengakuan);
  2. Al-Qalbu, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Jalal (kemuliaan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Ra’fah (kesantunan). Kuncinya Al-Miftah At-Tauhid (peng-Esa-an);
  3. Al-Fuad, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab As-Sulthan (kekuatan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Jud (kemurahan). Kuncinya Al-Miftah Al-Iman;
  4. Ar-Ruuh, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Ghaiban (kegaiban). Pintunya adalah Al-Bab Al-Majdu (kemuliaan). Kuncinya Al-Miftah Al-Islam;
  5. Sirr, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Qudrah. Pintunya adalah Al-Bab Al-Atha’ (anugerah). Kuncinya Al-Miftah Al-Ikhsan;
  6. Akfa, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Adhamah (keagungan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Rahbah (ketakutan). Kuncinya As-Shidqu (shiddiq);
  7. Ana, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Haya’ (malu). Pintunya adalah Al-Bab Al-Athaf (kelembutan). Kuncinya Al-Ma’rifat.

            Untuk bisa masuk ke dalam tujuh ruangan – khususnya ruang ketujuh yang paling ghaib – disyaratkan perjuangan (jihad) ruhani yang tidak ringan. Berbagai laku ruhani seperti uzlah, mujahadah, muraqabah, musyahadah harus dilakukan sampai dapat melewati ketujuh pintu itu beserta kuncinya. Berbagai ujian, akan dialami oleh siapa saja yang ingin memasuki tujuh ruangan suci itu agar bisa ketemu Sang Maharaja Diraja Yang telah bersabda,”Waladziina jahadu fiina, lanahdiyanahum subulana!”