Menolak Hipotesis Indonesia Adalah Benua Atlantis (VII):
Kulit Putih Jadi Pribumi Orang Jawa Jadi WNA
Memahami Nusantara Secara Emic
Dalam ranah pendekatan kualitatif, pandangan Arysio Santos yang menganggap Indonesia sebagai sisa-sisa Benua Atlantis yang tenggelam, dapat dinilai sebagai pandangan bersifat etic, yakni pandangan orang luar terhadap subyek yang diteliti, yaitu pandangan orang Brazilia yang tidak pernah ke Indonesia dan tidak mampu menangkap makna di balik yang difahami orang-orang Indonesia. Oleh karena bersifat etic, maka menjadi wajar jika pemaknaan-pemaknaan dan penafsiran-penafsiran linguistik yang dilakukan Arysio Santos kelihatan sekali selalu sepihak dan bersifat sewenang-wenang dan coersive, mengabaikan pandangan emic orang-orang Indonesia, atau sedikitnya orang-orang India yang usia peradabannya jauh lebih tua dibanding peradaban Yunani kuno dalam memandang Indonesia.
Secara common sense, jika 6000 tahun sebelum Masehi di India sudah muncul peradaban neolithik pegunungan Vindhyan di selatan Uttar Pradesh, Koldihwa di dekat Allahabad, yang disusul Chiran di Bihar, Orissa dan Chotanagpur sampai ditemukannya kota purba Mohenjodaro dan Harappa, dipastikan bangsa-bangsa tua itu akan mencatat atau setidaknya mengabadikan keberadaan benua “luar biasa” Atlantis yang letaknya tidak jauh dari negeri mereka. Di dalamIndian Mythology, misal, Donald Mackenzie tidak sedikit pun menemukan legenda dan mitos tentang benua yang tenggelam di dekat India. Legenda Kumari Kundam yang tenggelam di selatan India, adalah legenda tenggelamnya sebuah pulau kecil yang tidak sedikit pun dihubungkan dengan bangsa berperadaban tinggi. Bahkan Mackenzie mendapati mitologi India tertua, menyebut wilayah Nusantara sebagai wilayah Dewa Laut Varuna, yang secara mitologis digambarkan tinggal di istana Varunai di Varunadwipa (nama purba Kalimantan yang bermakna pulaunya Sang Baruna, yang dilafalkan keliru oleh lidah Belanda sebagai Borneo-pen). Mitologi India menggambarkan Dewa Baruna sebagai asura (musuh para sura, dewa) penguasa samudera raya. Anak-anak keturunan Baruna yang menghuni lautan disebut bangsa Kalakeya. Berkali-kali bangsa Kalakeya dari lautan itu naik ke daratan, menyerbu kota-kota dan desa-desa bahkan beberapa kali menggempur Indraloka di Amaravati, demikian mitologi India merekam keberanian sekaligus kebrutalan raksasa-raksasa laut yang disebut Kalakeya. Di samping Kalakeya, muncul pula para Danawa keturunan Danu dan para Daitya keturunan Diti. Itu artinya, ingatan purba orang-orang India kuno tentang Indonesia beserta penduduknya adalah ingatan tentang lautan dan sekali-kali bukan benua besar yang tenggelam karena banjir besar.
Menurut asumsi Arysio Santos, Gunung Krakatau adalah pilar milik Varuna yang saat meletus menjadi agnishvattha, ‘api yang memurnikan’ ras-ras Timur Jauh (Indonesia) yang berkulit merah dan putih lainnya, terutama orang-orang Tocharia (bangsa kuno yang mendiami Tarim Basin di Asia Tengah), yaitu sebutan untuk “orang-orang Cina berambut pirang”, justru bertentangan dengan teks-teks kitab Veda dan pandangan emic orang-orang Hindu. Sebab di dalam Rigveda Samhita Mandala IV Sukta 1 digambarkan bahwa Agni sebagai kekuatan api berbeda dengan saudaranya, Varuna, kekuatan air: sa bhrataram varunam agna a vavrtsva devam accha sumati yajnavanasam jyestharh yajnavanasam, rtavanam adityam carshanidhrtam rajanam carshanidhrtam (wahai Agni [api ilahi] semesta, bawalah saudaramu yang mulia, Varuna [air ilahi], pada kehadiran para pemuja. Dia sangat suka ikut serta dalam penciptaan alam semesta ini, setia pada hukum yang ditegakkan sebagai salah satu prinsip penciptaan yang tidak terbatas dan pemelihara umat manusia, ia laksana kekuasaan tertinggi yang dihormati umat manusia). Jelas sekali Veda membedakan Agni sebagai api ilahi dan Varuna sebagai air ilahi. Tidak pernah kekuatan Varuna menjadi agnishvattha, karena agnishvattha itu berkaitan dengan Dewa Agni. Bahkan sekalipun Krakatau berada di tengah laut, sepanjang sejarah belum pernah ada dongeng atau mitos yang diyakini penduduk Nusantara yang mengaitkan gunung berapi itu dengan Varuna, kecuali Prof Arysio Santos tentunya.
Dalam pandangan emic penduduk Nusantara sendiri, sedikit pun tidak terlintas bahwa mereka pernah tinggal di sebuah benua besar yang kemudian tenggelam. Orang-orang yang menyebut diri Jawa, misal, mengakui keberadaan mereka sebagai orang-orang yang hidup di perairan di mana nama Jawa berasal dari suku kata “Ja” (keluar, lahir) dan “Wa” (air, sungai), yang bermakna ‘orang-orang yang lahir dari sungai, di mana kata “Ja-wah” yang bermakna hujan, juga berkaitan dengan air. Kata Sunda, dalam bahasa Jawa Kuno dan Sunda Kuno, juga bermakna “air”. W.J.van der Meulen dalam Indonesia Di Ambang Sejarah (1988) menyatakan bahwa sejumlah bangsa yang bertempat tinggal tersebar di sepanjang pantai Laut Tiongkok Selatan menyebut dirinya “PUTERA_PUTERA SUNGAI”, sebutan yang mungkin sekali semula berhubungan dengan sungai pedalaman, akan tetapi kemudian pengertiannya dihubungkan dengan Laut Tiongkok Selatan. Hendaknya kita ingat bahwa menurut pendapat umum, bangsa-bangsa Austronesia turun melalui sungai-sungai besar ke pantai; mereka adalah bangsa-bangsa sungai sebelum menjadi bangsa-bangsa lautan.
Sebutan “putera sungai” ini (atau “putera-putera air”), masih menurut Van der Meulen, diwakili dengan jelas oleh nama-nama Tagalog (Taga-ilog) di Filipina dan Galuh (merga atau aga-lwah) sepanjang pantai utara Jawa. Pun pula ternyata nama bangsa Ambastai, yang disebut Ptolemaeus dalam Chryse Chersonesos, yang bertempat tinggal di sepanjang Sungai Ambastai, karena kata Sansekerta “ambhastas” tidak lain bermakna “(lahir) dari air”. Bahkan kerajaan tertua di Indonesia, Kutei, menyisakan prasasti Mulawarman yang berbunyi: “Sang Mulawarna seperti Raja Bhagiratha dilahirkan dari sagara… (Poerbatjaraka, Riwayat Indonesia, 1952).
Keberadaan bangsa Indonesia sebagai bangsa laut tidak perlu diragukan lagi. Orang-orang asal laut selatan yang disebut orang-orang Cina dengan sebutan “Kun lun”, dikenal sebagai bangsa pelaut. Pada akhir abad ke-3 Masehi, sebagaimana dicatat oleh seorang pegawai daerah Nanking bernama Wan Zhen, kapal-kapal dari selatan ukurannya 200 kaki (60 m) panjang, 20-30 kaki (7-10 m) tingginya, bisa dimuati 600 – 700 orang, dan muatan seberat 10.000 hou…(Wang Gungwu, Nanhai Trade. A Study of the Early History of Chinese Trade in the South China Sea, 1958). Kapal ukuran besar asal Jawa ditulis pula dalam catatan Fa Hien sewaktu ia pulang dari India, berlayar dari Srilangka dengan sebuah kapal besar berpenumpang sekitar 200 orang. Kapalnya diserang badai besar, terdampar di Ye-po-ti (Yawadi), yaitu Jawa. Ia tinggal di Jawa selama lima bulan dari Desember 412 sampai Mei 413, sebelum membangun sebuah kapal yang sama besarnya untuk berlayar kembali ke Cina (H.Giles, The Travel of Fa-hsien – 399-414 A.D,1956), di mana dengan berita Fa Hsien ini kita ketahui bahwa orang-orang Jawa pada abad ke-5 Masehi membuat kapal ukuran besar dalam tempo kurang dari lima bulan.
Identitas kelautan orang-orang Nusantara sedikitnya dicatat oleh kesaksian seorang saudagar Arab bernama Ibnu Lakis yang mencatat bahwa pada tahun 334 H (945 / 946 M), ia mendapati kira-kira 1000 perahu yang dinaiki orang Waqwaq, di daerah “sofala-nya kaum Zenggi”, yaitu di pantai Mozambique, Afrika. Orang Waqwaq itu – yang “kepulauannya terletak berhadapan dengan Negeri Cina” – menegaskan sendiri bahwa mereka “datang dari jarak yang memerlukan setahun pelayaran”. Mereka mendatangi pantai-pantai Afrika untuk mencari “bahan yang cocok untuk negeri mereka dan untuk Cina, seperti gading, kulit kura-kura, kulit macan tutul, ambar”. Yang terutama mereka cari adalah budak Zanggi,”karena orang Zanggi itu dengan mudah menanggung perbudakan dan karena kekuatan fisik mereka” (R.Mauny, The Wakwak and the Indonesia Invasion in East Africa in 945, 1965). Kesaksian Ibnu Lakis itu sedikitnya bisa dibuktikan secara faktual seputar keberadaan penduduk Madagaskar – sebuah pulau besar di Afrika timur – yang penduduknya bukan ras negro tetapi ras Austronesia – Melayu dengan bahasa campuran yang banyak menggunakan kosa kata Jawa Kuno dan Melayu. Mengapa sumber-sumber emic tentang orang-orang Indonesia yang menganggap dirinya bangsa laut tidak sedikit pun dikutip oleh Arysio Santos? Apakah buku Atlantis – The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization) yang ditulis Arysio Santos benar-benar berlatar penelitian murni tanpa hidden agenda di baliknya?
Konsekuensi Menerima Hipotesa Arysio Santos
Pernyataan Prof Arysio Santos dalam pendahuluan buku Atlantis – The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization) yang menyatakan bahwa dengan mengikuti teorinya di mana Indonesia adalah Atlantis yang tenggelam akan berakibat pada perlunya dilakukan revisi besar-besaran dalam ilmu-ilmu humaniora seperti antropologi dan sejarah, disiplin ilmu-ilmu pendukung, misalnya, linguistik, arkeologi, evolusi, paleoantropologi, mitologi, dan bahkan mungkin agama, jika dicermati lebih mendalam ternyata berakibat lebih luas dan lebih mengerikan daripada sekedar revisi besar-besaran bidang ilmu humaniora. Sebab dengan diterimanya hipotesis Arysio Santos, secara common sense yang mula-mula wajib direvisi adalah sejarah Indonesia dan khususnya identitas penduduknya. Sebab jika hipotesa Arysio Santos yang menyatakan bahwa Indonesia adalah bekas Atlantis dan orang-orang Saka, Yava, Yavana, Ionia, adalah keturunan Dravida Chamite kulit merah, penghuni awal Yavadvipa, maka keharusan fundamental yang wajib diterima adalah : “Pulau Jawa adalah tanah asal ras Arya yang bertubuh tinggi, berambut pirang, berkulit putih, dan bermata biru, yaitu ras keturunan Dravida Chamite berkulit merah dan putih asal Jawa .”
Dengan asumsi dasar yang disepakati bahwa Pulau Jawa adalah tanah asal ras Arya kulit putih, maka sesuai teori mainstream disiplin ilmu antropologi-fisik dan etnologi bahwa penduduk yang menghuni Pulau Jawa dewasa ini adalah orang-orang Deutro-Melayu yang berasal dari ras Austronesia yang asalnya dari Indo Cina dan bermigrasi ke Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi, setelah orang-orang Proto-Melayu, maka kedudukan orang-orang Jawa Deutro-Melayu harus digolongkan sebagai warga pendatang baru. Orang-orang Dravida Chemit berkulit merah dan putih, leluhur ras kulit putih, jauh lebih dulu tinggal di Jawa dibanding orang-orang Proto-Melayu apalagi Deutro-Melayu. Dan jika asumsi dasar ini sudah berkembang menjadi pandangan dogmatis dan doktriner dalam ilmu antropologi-fisik dan etnologi, tentu akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi logis tersendiri yang bisa membawa akibat serius, terutama jika ini dihubungkan dengan kecenderungan ras kulit putih untuk menghegemoni segala hal atas ras lain yang kulitnya berwarna.
Fakta sejarah telah menggoreskan tinta merah darah tentang bagaimana saat ras kulit putih datang ke Afrika untuk merampok dan menjajah dan menjadikan orang-orang Afrika sebagai bangsa jongos, kacung, babu, dan budak belian. Fakta sejarah telah menggoreskan tinta darah tentang bagaimana ras kulit putih yang datang ke Amerika -- yang semula bertujuan mencari India – telah melakukan perampokan, penjarahan, pembantaian, dan penghancuran peradaban bangsa-bangsa asli penghuni benua Amerika seperti Aztec, Inca, Maya, dan membinasakan sampai ke akar-akarnya bangsa bangsa Navayo, Apache, Commanches, Iroquis, Mohican, Chirichahua, dan lain-lain sampai bangsa ini menjadi minoritas di tanah airnya sendiri. Fakta sejarah juga menggoreskan tinta darah ketika ras kulit putih menanamkan kekuasaan atas benua Australia dengan membinasakan penduduk pribumi Aborigin lewat etnic-cleansing, salah satunya lewat pengabsahan undang-undang berburu orang Aborigin tahun 1893. Etnic-cleansing serupa dilakukan ras kulit putih atas orang-orang Maori pribumi New Zealand yang jadi minoritas dan terasing di tanah airnya sendiri. Yang paling kolosal adalah saat ras kulit putih di bawah rezim Nazi Jerman membasmi etnik Yahudi selama perang dunia II. Dan tentu, kita tidak boleh lupa dengan pembantaian sekitar 40.000 orang penduduk sipil Sulawesi selatan oleh tentara Belanda di bawah komando Raymond Westerling.
Pengalaman Pahit Bangsa Indonesia
Sejarah panjang kolonialisme kulit putih Belanda di Nusantara, telah memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana ras kulit putih itu dengan penuh tipu muslihat menelikung tokoh-tokoh pemimpin bangsa Nusantara untuk kepentingan mereka. Kisah berdirinya benteng Speelwijk yang terletak tepat di depan benteng Surosowan, Banten, adalah fakta sejarah yang tidak boleh dilupakan sebagaimana petuah Founding Father Bung Karno tentang Jas Merah (Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah). Sebagaimana diketahui, karena Belanda sudah diijinkan Sultan Banten untuk mendirikan kantor di Kalapa (Jakarta), maka keinginan Belanda mendirikan kantor di pelabuhan Banten ditolak. Berbagai upaya yang dilakukan utusan Belanda untuk membujuk sultan, tidak membawa hasil sampai satu saat utusan Belanda membawa selembar kulit kerbau kering dan meminta tanah selebar kulit kerbau untuk kantor VOC.
Sultan Banten yang berpikiran polos mengabulkan permohonan utusan VOC yang membawa selembar kulit kerbau kering itu sambil menunjuk ke arah pantai di seberang benteng Surosowan. Sultan berpikir, apa yang bisa dilakukan Belanda dengan tanah selebar kulit kerbau? Ternyata, saat para nayaka menunjukkan tanah yang dimaksud sultan, utusan Belanda itu mengeluarkan sebilah pisau yang sangat tajam. Lalu dengan lihai, ia mengiris kulit kerbau itu secara melingkar sehingga menghasilkan semacam tali kulit yang sangat panjang. Lalu dengan tali kulit itu sang utusan mengukur tanah pemberian sultan untuk kantor VOC itu. Demikianlah, meski sangat kecil untuk ukuran benteng, kantor VOC yang ternyata berbentuk benteng dan dinamai Speelwijk itu dilengkapi dengan meriam-meriam ukuran besar. Dan saat terjadi perselisihan antara sultan dengan putera mahkota, VOC memihak putera mahkota dan menyingkirkan sultan yang telah memberinya tanah. Dan untuk selanjutnya, putera mahkota yang dinobatkan VOC sebagai sultan, hanya jadi boneka yang bisa dipermainkan untuk kepentingan Belanda.
Kasus hubungan baik antara Pakubuwono III dengan VOC, ternyata juga dimanfaatkan oleh mereka. Sewaktu Pakubuwono III gering dan akan meninggal, sebagaimana lazimnya orang Jawa, kepada VOC yang dianggap sahabat itu Pakubuwono berpesan “hanitipaken praja” untuk putera-putera keturunannya. Ternyata, kata-kata “hanitipaken praja” yang diucapkan Pakubuwono III ditafsirkan VOC sebagai “menyerahkan negara” kepada VOC. Demikianlah, semenjak itu para sunan di Surakarta diangkat atas perkenan VOC karena Kerajaan Surakarta secara sah sudah menjadi milik VOC karena diberikan secara sukarela oleh Pakubuwono III. Yang menolak ketentuan, dibedhil dan ditembak dengan meriam.
Telikungan kulit putih yang tak kalah menyakitkan, sewaktu Belanda dengan gigih menolak mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Dalam berbagai usaha diplomatik yang selalu dicederai Belanda, pihak Indonesia selalu dikalah-kalahkan dan disalah-salahkan mulai perundingan Roem-Royen, Linggarjati, Renville, dan baru pada perundingan KMB – Konferensi Meja Bundar (Round Table Conference) yang dimoderatori USA, perwakilan RI benar-benar kena telikung secara menyakitkan. Dalam KMB itu, kemerdekaan bangsa Indonesia baru mendapat pengakuan setelah RI mau menanggung utang luar negeri lama yang dibuat pemerintah Hindia Belanda sebesar US$ 4 miliar dan ditambah utang luar negeri baru sebesar Rp.3,8 miliar, di mana utang luar negeri warisan rezim kolonial Belanda itu disepakati dibayar selama 35 tahun terhitung sejak 1968, sehingga lunas tahun 2003. Jadi semenjak 1950, yaitu saat KMB diselenggarakan, pemerintah RI yang menerima hasil KMB harus menanggung utang yang dibuat rezim kolonial Belanda.
Sejak menanggung utang rezim kolonial dan membuat utang luar negeri baru, pemerintah RI tidak bisa menghindar dari tekanan pihak pemberi utang. Presiden Soekarno yang marah kepada delegasi RI karena telah menerima utang warisan rezim Hindia Belanda dan membuat utang baru, tidak bisa berbuat apa-apa kecuali melampiaskan kekesalan kepada kapitalisme global. Tahun 1957, misal, Soekarno melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Ini memicu pecahnya pemberontakan PRRI/Permesta, yang terbukti diback-up Amerika. Soekarno makin tidak suka dengan praktek-praktek neo-kolonialisme imperialisme yang dikembangkan negara-negara kampiun kolonial untuk “menjajah” negara-negara yang baru merdeka dari jajahan ras kulit putih. Latar historis yang sangat difahami Soekarno itulah yang melatarinya menggalang kekuatan bangsa-bangsa Asia dan Afrika, dalam konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955. Tidak cukup Asia-Afrika, Soekarno menggagas Gerakan Non-Blok yang diikuti negara-negara berkembang sedunia. Bahkan belakangan, Soekarno membentuk NEFO - New Emerging Force – negara-negara kekuatan baru – yang dibuktikan dengan terselenggarakanya Ganefo di Jakarta. Bahkan semakin tahu kebusukan PBB yang jadi alat Barat untuk melegitimasi kejahatan-kejahatannya, membuat Soekarno meninggalkan lembaga perserikatan bangtsa-bangsa itu: Indonesia keluar dari PBB.
Tragedi jatuhnya Soekarno, perlahan-lahan membawa negara Indonesia sebagai berkah terbesar bagi kapitalisme global, sampai Presiden USA Richard Nixon pada tahun 1967 – pasca jatuhnya Soekarno – mengatakan bahwa Indonesia adalah ” the greatest prize” di Asia Tenggara. Demikianlah, sepanjang era Orde Baru yang disusul era reformasi – yang ditandai momen-momen penting seperti Pakto 1988, pembentukan PKLN (Panitia Kredit Luar negeri) 1992, penerimaan penjadwalan globalisasi dalam KTT APEC 1994, Krismon 1997, gelombang reformasi hingga jatuhnya Soeharto 1998, euforia reformasi munculnya neoliberalisme 1999, jatuhnya presiden Abdurrahman Wahid 2001, amandemen UUD 1945 pada 2001 pasca jatuhnya Abdurrahman Wahid sampai selesai 2004, lahirnya UU Naker, UU PMA, UU PSDA, UU Agraria, dsb -- telah menjadikan Indonesia bagian dari pasar global; di mana ide-ide, gagasan-gagasan, pandangan-pandangan, konsep-konsep, nilai-nilai, norma-norma yang dianut warga didasarkan pada pasar bebas; warga negara yang tidak sadar bahwa semua nilai kemasyarakatan yang disepakati para founding father telah berubah jauh di luar asumsi yang mereka fahami, kehilangan orientasi terhadap norma-norma yang mereka pegang selama itu, sehingga dalam kacamata Emile Durkheim dan Robert K. Merton, warga negara Indonesia dewasa ini bisa dikatakan sedang berada pada keadaan anomie; sementara meminjam kacamata James Petras dan Henry Veltmeyer, bangsa Indonesia dewasa ini berada di bawah bayang-bayang globalisasi, yang jika dibuka topengnya adalah New imperialism in 21st century!
Kemungkinan Terjadinya Pengulangan Sejarah
Berdasar paparan di muka, rangkaian tragedi kemanusiaan yang pernah menimpa ras kulit berwarna yang dilakukan ras kulit putih itu, bukan hal mustahil bisa menimpa orang-orang Indonesia – terutama orang-orang Jawa – yang menurut teori etnologi dan antropologi-fisik adalah orang-orang Deutro-Melayu, penduduk pendatang asal Indocina. Itu artinya, orang-orang Deutro-Melayu (Minang, Jawa, Sunda, Madura, Bali, Bugis) adalah orang-orang asing yang tanpa hak telah mendiami tanah air orang-orang Dravida Chamite berkulit merah dan putih, yaitu leluhur ras kulit putih Saka, Yava, Yavana, Ionia. Bahkan pada masa depan, bukan tidak mungkin orang-orang Deutro-Melayu, terutama orang-orang Jawa akan didudukkan pada status Warga Negara Asing karena leluhurnya dari Indocina, yaitu warga Negara Asing yang sah diusir dari tanah leluhur ras kulit putih.
Jika kemungkinan-kemungkinan tragis di atas dinilai terlalu paranoid dan berlebihan, setidaknya konsekuensi penerimaan hipotesa Arysio Santos harus diikuti revisi atas sejarah Indonesia. “Paling tidak,” kata Guru Sufi menegaskan, “Dengan diakuinya bahwa Indonesia terutama Pulau Jawa sebagai tanah asal ras kulit putih, maka sejarah kolonialisme Belanda, Inggris dan Portugis di Nusantara wajib direvisi. Maksudnya, asumsi kolonialisme yang diberikan kepada Belanda, Inggris dan Portugis selama ini harus direvisi. Sebab baik Belanda, Inggris dan Portugis sejatinya bukanlah bangsa pendatang dari Eropa yang kemudian menjajah bangsa Indonesia, melainkan mereka itu kembali ke tanah air asal leluhur mereka: tanah air orang-orang Dravida Chamite berkulit merah dan putih. Bahkan kekejaman-kekejaman yang dilakukan orang-orang kulit putih selama menjajah bangsa Indonesia, harus dibenarkan sebagai tindakan yang pantas dilakukan oleh pribumi kuno atas para pendatang baru asal negeri asing dari Indocina itu.”
Farel menarik nafas menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Tavip Terbatuk-batuk. Sukirin geleng-geleng. Selama beberapa jenak, semua terdiam seperti sedang berpikir. Namun setelah itu, Tavip tiba-tiba bertanya,”Tapi mungkinkah skenario seperti itu bisa dijalankan, Pak Kyai?”
“Tidak ada sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini. Semua serba mungkin,” kata Guru Sufi.
“Apakah mereka akan mengulangi sejarah lama ethnic-cleansing yang kelam di era masyarakat dunia sudah mengenal HAM?” tanya Tavip.
“Pengulangan bisa saja terjadi, tapi tentu tidak dengan cara-cara lama yang kasar, tetapi bisa dengan cara yang sistematik dan lebih halus seperti lewat penyebaran kuman-kuman, bakteri-bakteri, virus-virus, narkoba, miras, konflik horisontal, anarkisme,” kata Guru Sufi.
“Apakah hanya itu kemungkinannya, Mbah Kyai?” tanya Farel penasaran.
“Bisa saja skenario Neo-imperialisme yang mereka gunakan,” sahut Guru Sufi,”Yaitu, menguasai sumber-sumber daya alam di negeri ini dan mengubah sumber-sumber daya alam itu sebagai komoditas yang didistribusikan ke seluruh dunia. Juragan-juragan kulit putih cukup menunjuk kuli-kuli, jongos-jongos, kacung-kacung, centeng-centeng, dan babu-babu sebagai karyawan-karyawan untuk mengelola sumber daya alam dan produk komoditas yang sudah mereka kuasai. Itu artinya, sumber daya alam negeri ini habis terkuras, semua keuntungan mengalir ke gudang juragan kulit putih, sedang penduduk negeri ini hanya berstatus kacung, jongos, kuli, centeng, dan babu.”
“Apakah kasus debt-collector Citibank membunuh nasabah bisa disimpulkan sebagai skala gurem dari fenomena ke depan yang lebih luas yang Pak Kyai sebut sebagai Neo-imperialisme?” tanya Tavip.
Guru Sufi tidak menjawab. Ia diam. Namun sejenak setelah itu, ia berkata lantang,”Bukankah Founding Father, Proklamator bangsa, Presiden pertama kita Ir Soekarno sudah mengingatkan tentang bahaya Nekolim – Neo kolonialisme imperialisme? Bukankah James Petras dan Henry Veldmeyer sudah blak-blakan mengungkapkan bahwa Globalization Unmasked: A New Imperialism in 21st century? Apalagi yang belum jelas wahai saudara-saudaraku?” lalu dengan mengucap salam penutup, Guru Sufi pergi mengambil wudhu untuk mendirikan shalat malam.
Karya: KH Agus Sunyoto
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar