27 Apr 2014

Hipotesa Penyebab Banjir adalah Asumsi Imajiner

Menolak Hipotesis Indonesia Adalah Benua Atlantis (IV):
                                         Hipotesa Penyebab Banjir  adalah Asumsi  Imajiner
          Setelah jedah sehari, bakdal Isyak perbincangan mengenai Atlantis dilanjutkan. Namun perbincangan malam ini pesertanya bertambah karena Farel menghubungi teman-temannya sesama peminat Atlantis untuk hadir, mengikuti bahasan “ilmiah” guru pesantren yang berani-beraninya mengkritik tesis seorang Professor ilmu fisika nuklir. Meski selama mengikuti perbincangan semalam Farel dibuat terkejut waktu mengetahui Guru Sufi lebih  menguasai epistemologi keilmuan dibanding dirinya, ia tetap tidak rela menerima fakta bagaimana  hipotesa seorang profesor dikritik oleh seorang kyai kampung. Itu sebabnya, sebelum acara dimulai Farel dengan kawan-kawannya seperti Marvel Carey, Ronaldo Lobato, Diego Jabato, dan  Franco Novillero menyiapkan segala sesuatu  yang  bisa mereka gunakan untuk  mematahkan argumen-argumen guru mengaji yang tidak kenal bangku sekolah itu.
          Sementara itu, sebelum memulai bahasan kritis  hipotesa Prof Arysio Santos yang menyatakan Kepulauan Indonesia sebagai sisa Benua Atlantis yang tenggelam, Guru Sufi memohon  kepada para hadirin untuk bisa menjaga netralitas, obyektifitas  dan ketidak-berpihakan  atas masalah yang sedang dibahas bersama itu keceuali semata-mata untuk kebenaran ilmiah. “Yang kita butuhkan dalam bahasan ini, adalah Kebenaran ilmiah atas dasar epistemologi keilmuan bersifat spekulatif yang sudah kita sepakati sementara ini. Artinya, kebenaran yang kita peroleh nanti dalam perbincangan ini adalah kebenaran spekulatif yang setiap saat akan berubah jika diperoleh kebenaran lain yang lebih teruji kebenarannya,” ujar Guru Sufi.
        Seiring Sufi Kenthir menayangkan  data dokumentatif  tentang Atlantis lewat LCD Player, Guru Sufi mulai membahas karya Prof. Arysio Nunes dos Santos, guru besar  ilmu fisika nuklir di Universitas Minas Gerais, Brazil, yang berjudul  : “Atlantis the Lost Continents Finally FoundThe Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization”  yang terbit tahun 2005. “Berbeda dengan tulisan-tulisan tentang Atlantis sebelumnya yang cenderung bersifat fiksi,” kata Guru Sufi mengomentari karya yang menggemparkan itu,”Arysio Santos  dalam ranah ilmiah mengemukakan  hipotesa bahwa lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu  itu, tidak lain adalah Indonesia. Menurut Santos, dalam wawancara di laman Hubpages di Youtube, kegagalan para  ilmuwan dalam menemukan  lokasi Atlantis selama ini,  karena mereka mencari  di tempat yang salah, yaitu di sekitar Lautan Atlantik.. Padahal,  lokasi benua Atlantis yang benar secara menyakinkan adalah Indonesia.”
          “Prof Santos  menyatakan bahwa beliau  sudah meneliti kemungkinan lokasi Atlantis selama 29 tahun terakhir ini dengan pendekatan interdisiplin ilmu mencakup ilmu Geologi, Astronomi, Paleontologi, Archeologi, Linguistik, Ethnologi, dan Comparative Mythology.  Dalam usaha menunjang tesisnya, Prof  Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, dengan hasil  akhir berupa  simpulan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia,  ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.”
            “Menurut penelitian Prof Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang silam,  wilayah negara Indonesia adalah suatu  hamparan  benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti sekarang ini. Pada masa lalu,  Atlantis adalah  benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan  terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif   seperti   Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani  dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.”
         “Sebelum zaman es berakhir 30.000 sampai 11.000 tahun  lalu,  di Indonesia terdapat daratan besar. Saat itu permukaan laut 150 meter lebih rendah dari yang ada saat ini. Di lokasi itulah tempat  berkembangnya peradaban. Sementara, sisa bumi dari Asia Utara, Eropa, dan Amerika Utara masih diselimuti es. Pulau-pulau yang tersebar di Indonesia  masa itu, adalah  puncak gunung  dan dataran tinggi dari benua Atlantis, di mana ketika  dataran rendah  itu tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, dan amblesnya dataran rendah di akhir Masa Glacial atau masa  Pleistocene, puncak gunung dan dataran tinggi itu tersisa sebagai pulau-pulau. Itu terjadi sekitar 11.600 tahun lampau. Itu adalah rentang waktu sama dengan yang  dipaparkan Plato dalam dialog ciptaannya saat menyinggung Atlantis. Demikian,  tulis Arysio Santos pada  pendahuluan  bukunya.”
         “Kemunculan gunung-gunung dan pulau-pulau di Indonesia,  menurut Prof Santos,  dapat dijelaskan sepenuhnya dengan teori Lempeng Tektonik. Teori ini menunjukkan bahwa gunung-gunung dan pulau-pulau muncul dari dasar laut, bukan tenggelam ke dalamnya dengan cara apa pun. Pulau-pulau di sana hanyalah puncak-puncak vulkanis yang terbentuk dari magma basaltyang merupakan materi khas dasar laut, dan sama sekali tidak berhubungan dengan materi continental yang umumnya adalah silisius.”
            “Indonesia terletak di persimpangan tiga lempeng benua—ketiganya bertemu di sini—menciptakan tekanan sangat besar pada lapisan kulit bumi. Akibatnya, lapisan kulit bumi di wilayah ini terdesak ke atas, membentuk paparan-paparan yang luas (Paparan Sunda dan sebagainya) dan beberapa barisan pegunungan yang sangat tinggi. Paparan-paparan ini agak dangkal dan pada Zaman Es, ketika permukaan laut turun ratusan meter, mereka pun terlihat. Ini terjadi pada akhir Zaman Es, masa ketika Atlantis berkembang pesat. Seluruh wilayah ini sangat rentan terhadap gempa bumi hebat dan letusan gunung berapi yang dahsyat, yang kerap mengakibatkan kerusakan-kerusakan sangat parah. Hal ini terlihat dari beberapa catatan geologis. Gempa bumi dan tsunami mengerikan, yang dialami Aceh pada 2004, hanyalah episode terakhir dari seluruh rangkaian peristiwa panjang dalam masa sejarah dan prasejarah, seperti yang tampak dalam catatan geologis wilayah tersebut.”
            “Prof Santos meyakini bahwa benua Atlantis menghilang akibat letusan beberapa gunung berapi yang terjadi secara bersamaan pada akhir zaman es sekira 11.600 tahun lalu. Di antara gunung besar yang meletus zaman itu adalah Gunung Krakatau Purba (induk Gunung Krakatau yang meletus pada 1883) yang konon letusannya sanggup menggelapkan seluruh dunia. Letusan hebat ini menciptakan Selat Sunda, memisahkan pulau Jawa dan Sumatra, dan membuat air laut membanjiri dataran-dataran rendah yang berada di Atlantis. Ledakan dahsyat gunung ini juga dirujuk secara luas dalam semua mitos dan tradisi dunia tentang Banjir Bah, Atlantis, dan “surga”, yang sebenarnya terletak di wilayah yang sama. Letusan Krakatau ini mengakibatkan tsunami besar-besaran, yang menyapu dan menenggelamkan dataran-dataran rendah Atlantis secara permanen dan menyebabkan semua  menghilang di bawah air. Letusan Krakatau yang diikuti gunung berapi lain yang hampir  bersamaan itu  menimbulkan gempa, pencairan es, banjir, serta gelombang tsunami sangat besar.”
            “Saat gunung-gunung berapi itu meletus, ledakannya membuka Selat Sunda yang  mengakibatkan tenggelamnya sebagian permukaan bumi yang disebut Atlantis. Bencana mahadahsyat ini juga mengakibatkan punahnya hampir 70 persen spesies mamalia yang hidup pada masa itu, termasuk manusia. Mereka yang selamat kemudian berpencar ke berbagai penjuru dunia dengan membawa peradaban mereka di wilayah baru. Kemungkinan besar dua atau tiga spesies manusia seperti hobbit’ yang baru-baru ini ditemukan di Pulau Flores, musnah dalam waktu yang hampir sama. Sebelum terjadinya bencana banjir itu, beberapa wilayah Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara diyakini masih menyatu dengan semenanjung Malaysia serta Benua Asia.”
          “Setelah tersapu tsunami  besar,  dataran-dataran tinggi dan puncak-puncak vulkanis ini menjelma menjadi ribuan pulau di Indonesia, sebuah nama yang berarti sesuatu seperti “Kepulauan India”. Manusia yang bertahan hidup terpaksa  melakukan eksodus ke tempat-tempat lain yang lebih aman  di seputar Asia Tenggara, Cina, Polinesia, Amerika, Timur Dekat, hingga ke Eropa dan wilayah-wilayah Barat Jauh lainnya, di mana mereka membangun peradaban-peradaban kuno yang kita kenal saat ini dan tercatat dengan baik oleh pena sejarah. Mereka yang terpaksa pindah inilah yang menjadi ahli waris langsung dari kebudayaan agung yang usianya tertua itu. Sebagian besar kemajuan yang diperlihatkan oleh peradaban-peradaban tersebut jelas-jelas mengandung petunjuk yang memperlihatkan bahwa mereka berasal dari sebuah wilayah luas yang sekarang tenggelam, yang kini bernama Indonesia. Dari orang-orang yang bertahan hidup menghadapi bencana tersebutlah peradaban-peradaban besar muncul seperti peradaban : Lembah Sungai Indus, Mesir, Mesopotamia, Hatti, Yunani, Minoa, Kreta, Romawi, Inca, Maya, Aztec, dan sebagainya. Dalam satu atau beragam bentuk, bangsa-bangsa kuno ini hanya menyebutkan dan berbicara tentang “surga” sebagai tempat kelahiran umat manusia dan peradaban. Bagaimana mungkin mereka semua secara independen menciptakan mitos yang persis sama?”
Hipotesa Santos Tanpa Bukti dan Argumentasi Geologi
            “Sebelumnya saya mohon maaf  kepada para pecinta Prof Arysio Santos,” kata Guru Sufi mengakhiri paparan  hipotesis-nya  Arysio Santos,”Karena saya tidak mendukung hipotesa Prof Santos  yang menyatakan bahwa Indonesia adalah sisa Atlantis yang tenggelam akibat letusan Gunung Krakatau dan gunung-gunung berapi lain. Sebab, apa yang disampaikan Prof Santos dalam  buku “Atlantis the Lost Continents Finally FoundThe Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization”  pada dasarnya hanya paparan konseptual yang dibangun berdasar  asumsi imajinatif Arysio Santos.  Teori letusan Krakatau dan gunung-gunung berapi lain yang menjadi penyebab tenggelamnya Atlantis, adalah suatu simpulan yang melebihi kemestian dari cerita tentang Atlantis. “
            “Mohon maaf, Mbah Kyai,” kata Ronaldo Lobato, teman Farel,  menyela dengan suara tinggi,”Atas dasar argumen apa Mbah Kyai menilai paparan konseptual  Prof Arysio Santos  tentang tenggelamnya Atlantis dibangun berdasar asumsi imajinatif? Apa itu tidak melecehkan seorang profesor ? Bagaimana ini, seorang profesor dituduh membangun teori dengan asumsi imajinatif?”
         Diego Jabato dengan suara ditekan tinggi juga ikut  berteriak,”Saya mohon Mbah Kyai berkenan menjelaskan     argumentasi yang tepat untuk tuduhan asumsi imajinatif yang Mbah Kyai lontarkan.”
          Guru Sufi tertawa. Setelah diam sejenak ia berkata,”Pertama-tama, yang perlu kita fahami bersama, sumber utama cerita Atlantis adalah  dua karya Plato: Timaeus dan Critias. Fakta menunjuk, di dalam kedua tulisan itu, Timaeus dan Critias,  Plato tidak sekalipun menyebutkan fenomena geologis berupa letusan gunung berapi yang membuat Atlantis tenggelam. Plato hanya menyebut terjadinya banjir besar, yang dalam tempo sehari semalam telah menenggelamkan Atlantis. Argumen saya  kedua, hipotesis tenggelamnya Atlantis akibat letusan Gunung Krakatau dan gunung-gunung berapi lain, sedikit pun tidak disertai bukti geologi maupun argumentasi geologi yang memadai dari Prof  Santos. Padahal, Prof Santos adalah  seorang geolog dan ilmuwan fisika nuklir yang memiliki otoritas  untuk mengajukan argumentasi geologi. Argumen saya ketiga, dalam menyinggung gunung berapi di Atlantis, Prof Santos menggunakan pendekatan mitologis dengan mengidentifikasi Gunung Krakatau sebagai pilar Dewa Varuna dan Gunung Toba sebagai pilar Dewa Mithra. Pendekatan ini harus ditolak, karena dalam kosmolgi Hindu, Dewa Baruna dan Dewa Mithra, adalah penguasa lautan yang selalu dikaitkan dengan lautan dan sekali-kali tidak dihubungkan dengan gunung berapi.”
             “Tapi mbah,” sahut Franco Novillero menyela kurang puas dengan jawaban Guru Sufi,”Kritik argumentatif yang mbah ajukan ternyata hanya didasarkan pada logika common sense, tidak didukung pendapat pakar geologi.”
“Wah saya tidak  akan mengkritisi karya Prof Santos jika saya hanya bermodal common sense. Dan saya jamin akan menerima hipotesa Prof Santos jika beliau memaparkan hipotesisnya  secara masuk akal seperti geolog  R.Hall, H.D.Tjia dan C.D.Ollier.  Penting kita kemukakan bahwa  geolog R.Hall yang menulis  Reconstructing Cenozoic South East Asia (1995), telah menampilkan peta yang dihasilkan Southeast Asia Research Group di London tentang pulau-pulau Indo-Malaysia yang di masa lalu berupa benua yang terbagi tiga bagian struktural. Pertama-tama, di sebelah barat mencakup paparan benua Sunda Kedua, melekat pada tepian  Samudera Indonesia, terbentang ke timur hingga Maluku, meliputi tatanan palung dan pegunungan berapi Sunda-Banda yang berbentuk seperti busur. Ketiga, di timur laut mencakup tatanan  busur gunung berapi di Sulawesi-Filipina dan Halmahera. Ini masih disambung daratan Sahul yang secara tektonik merupakan jembatan stabil yang menghubungkan benua Australia dengan Papua. Jika Prof Santos menggunakan data pendukung berupa peta yang disusun ilmiah dan argumen para geolog, oastilah  saya bisa mengapresiasi argumentasinya,“ kata Guru Sufi.
           “Lho mbah kyai,” sergah Farel menukas,”Bukankah peta yang dihasilkan Asia Research Group itu justru mendukung hipotesa Prof Santos?”
          “Menurut saya, peta itu tidak mendukung argumentasi Prof Santos, nak,”kata Guru Sufi menjelaskan,” Sebab jauh sebelum Prof Santos mengemukakan hipotesanya, para geolog  sudah sama mafhum  bahwa  sebelum menjadi kepulauan seperti sekarang ini Indonesia adalah  benua besar, sebagaimana dikemukakan H.D.Tjia dalam The Sunda shelf Southeast Asia (1980) yang menyatakan bahwa paparan benua yang disebut Sunda,  memiliki kawasan bawah laut terluas di dunia, yaitu benua yang  mempunyai inti yang tua dan secara tektonik cukup stabil karena saat ini mengalami sedikit sekali kegiatan vulkanis. Sebagian besar kawasan benua itu sekarang terletak di bawah sedimen Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, sebagai dataran luas yang terkikis erosi. Kawasan-kawasan daratan yang timbul di atas inti paparan tua yang terbenam mencakup Semenanjung Malaysia, Kalimantan dan dataran rendah pantai utara  Sumatera dan Jawa. Ini berarti, sejak lama para geolog sudah tahu bahwa di masa lampau Kepulauan Indonesia adalah sebuah benua besar yang secara umum oleh kalangan geolog disebut sebagai Sundaland.”
               “Jadi mbah?” tanya Farel bingung.
               “Semua geolog tahu bahwa menurut teori geologi, sebelum menjadi  kepulauan, Indonesia dulu adalah sebuah benua besar,” kata Guru Sufi menjelaskan, “Yang mengherankan, kenapa tiba-tiba Prof Santos memunculkan teori yang sudah diketahui umum itu untuk mendukung hipotesanya dengan argumen-argumen yang justru membingungkan, seperti saat  Prof Santos mengajukan hipotesis  bahwa letusan Gunung Krakatau dan gunung-gunung berapi lainlah yang menjadi penyebab  timbulnya  air bah yang menenggelamkan Atlantis. Argumentasi itu membingungkan, karena para geolog belum ada yang menyatakan bahwa penyebab tenggelamnya benua Sundaland adalah  letusan gunung berapi. Prof Santos tidak sedikit pun menyertakan argumen geologis, seperti misal hasil uji sedimen batuan di selat Sunda yang menyatakan bahwa pada tahun 11.600 Sebelum Masehi gunung Krakatau meletus.”
               “Berbeda dengan Prof Santos, menurut teori  para geolog, pada masa Pleistosen yang berlangsung lama dan terutama pada puncak zaman es sekitar 20.000 tahun lalu, sebagian besar paparan Sunda menjadi daratan karena penurunan permukaan air laut. Namun sejak masuk akhir zaman glacial ke kala Pleistosen, terjadi pemanasan global yang membuat es mencair dan kemudian menimbulkan banjir besar yang menenggelamkan dataran rendah.  Jadi mencairnya es yang menyebabkan air laut naik dan kemudian menimbulkan banjir besar oleh para geolog dianggap sebagai penyebab tenggelamnya benua Sundaland, dan sekali-kali bukan akibat letusan gunung berapi.”
                 “Hasil penelitian geologi yang belakangan ini,  setelah melakukan penelitian selama bertahun-tahun, Stephen Oppenheimer, peneliti geologi dari Oxford  Inggris  yang menulis buku berjudul  Eden in The East (2010), menyatakan bahwa benua besar yang bernama Sundaland adalah meliputi wilayah Asia Tenggara yang bersatu dengan Kepulauan Indo-Malaysia.  Menurut Oppenheimer, saat itu tidak ada Laut Cina Selatan, Laut Jawa dan Selat Malaka karena Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia serta Laut Cina Selatan bersambung menjadi satu benua. Sulawesi, Maluku dan Papua tersambung pula sebagai daratan luas.”
           “Pada masa akhir zaman glacial, menurut Oppenheimer, terjadi beberapa kali banjir sebagai akibat mencairnya es karena  perubahan iklim. Dalam periode banjir pertama, air laut naik sampai 50 meter. Proses ini berlangsung dalam kurun  waktu 3.000 tahun. Separuh daratan yang menghubungkan Cina dengan Kalimantan dan  Semenanjung Malaysia terendam air. Kemudian terjadilah banjir kedua pada 11.000 tahun lalu. Air laut naik lagi 30 meter selama 2.500 tahun. Semenanjung Malaysia masih menempel dengan Sumatera. Namun Jawa dan Kalimantan sudah terpisah. Laut Cina Selatan mulai membentuk seperti sekarang   ini.  Masih menurut Oppenheimer, banjir ketiga terjadi pada 8.500 tahun lalu. Benua Sundaland akhirnya tenggelam sepenuhnya karena air naik lagi setinggi  20 meter. Demikianlah, terbentuknya  jajaran pulau-pulau Indonesia, yang diikuti terpisahnya Semenanjung Malaysia dengan Nusantara itu terjadi.”
               “Sejalan dengan Oppenheimer,  dalam penelitian T.H. van Andel yang ditulis dalam jurnal dengan judul “Late Quaternary history, climate and oceanography of the Timor Sea” (1967), terungkap bahwa pada masa akhir glacial sekitar 14.000 tahun yang lalu, beberapa bagian dari Paparan Sahul terbenam dengan laju pergeseran horisontal 25-45 meter setahun. Perhitungan Andel ini lebih cepat dan lebih tinggi frekuensi tenggelamnya Sundaland dibanding Oppenheimer. Sedang menurut N.S.Haile  dalam “The geomorphology and geology of the northern part of the Sunda shelf”  (1973) Paparan Sunda telah menentukan terjadinya penenggelaman jalur Sungai Proto-Lupar yang sangat cepat, sekali pun keadaan itu kemungkinan melibatkan peristiwa tektonik lokal berupa tanah terban.”   
            “Menurut teori, sejak 120.000 tahun silam, ketika iklim dunia dan permukaan laut untuk terakhir kalinya menyerupai konfigurasi sekarang,fluktuasi lingkungan berkembang dengan cepat. Memburuknya iklim berlangsung secara fluktuatif  hingga pada puncak glacial terakhir sekitar 18.000 tahun lalu. Didukung bukti arkeologis dan lingkungan, ditemukan kesepakatan umum bahwa suhu menurun dengan cepat kira-kira pada 18.000 tahun lalu.  Iklim dan permukaan laut yang meningkat yang mengakibatkan tenggelamnya dataran rendah Sundaland, disebut dengan Younger Dryas.”
            “Berdasar paparan di atas,” kata Guru Sufi memberi simpulan atas bahasan yang dilakukannya, ”Kita fahami  bersama bahwa para ilmuwan geologi secara ilmiah lewat penelitian-penelitian telah sepakat untuk  menyatakan bahwa wilayah Indonesia dulunya adalah sebuah benua luas yang tenggelam pada masa akhir zaman glacial, yang berlangsung sekitar 12.000 – 11.000 tahun silam, di mana banjir yang menenggelamkan dataran-dataran  rendah yang luas itu berlangsungnya berangsur-angsur, butuh waktu lama meski ada kemungkinan terjadi air bah besar dalam bentuk tsunami yang menenggelamkan dataran rendah dari benua Sundaland. Bersama ini pula, diberitahukan kepada hadirin semua bahwa tidak ada satu pun dari teori ilmiah dalam ilmu geologi yang menyatakan  bahwa Sundaland adalah Atlantis. Bahkan jika dikaitkan dengan cerita-cerita kuno, Sundaland sangat jauh dari kesan Atlantis, karena itu  sangat mungkin kisah tenggelamnya Sundaland berhubungan dengan peristiwa banjir besar  yang menenggelamkan dataran rendah – dataran rendah  di dunia, sebagaimana dicatat  bangsa India dalam cerita Manu – Matsya dan    kisah tenggelamnya benua Kumari Kundam di India, epos Ziusudra di  Sumeria, Gilgames di Babilonia, Atrahasisdi  Akkadia, Nabi Nuh, Ruahatu Pasifik, dan kisah-kisah legenda lainnya.”
           "Bagaimana dengan hipotesa Prof Santos yang menyatakan bahwa dari Indonesia atau Atlantis bangsa-bangsa berperadaban tinggi di dunia menyebar ke seluruh dunia untuk menelamatkan diri dari letusan gunung berapi?" tanya Farel ingin tahu kelanjutan kritik Guru Sufi terhadap hipotesa Prof Santos.
        "Seoerti semalam, kita istirahat dulu sebentar," kata Guru Sufi menghentikan perbincangan,"Kita nikmati kopi susu sambil menyantap martabak, burger, terang bulan, dan tahu pong."
(Bersambung…)

Karya: KH Agus Sunyoto

Sumber asli:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar