24 Apr 2014

Dimaki "Anjing!" Malah Bersyukur

 Penulis: KH Agus Sunyoto

       

              Setelah mendengar ceramah Ustadz Dul Wahab yang membandingkan orang-orang yang memakan secuil  harta orang mati seperti  anjing, Abab  al-Wahab, murid ustadz  Dul Wahab dan dua orang temannya,  usai shalat Isyak  berdiri di depan rumah guru mereka,  menunggu orang-orang pulang tahlil  memperingati  tujuh hari  wafatnya  Pak Supeno. Ketika melihat  Guru Sufi, Dullah, Sufi tua, dan tiga orang santri pulang tahlilan lewat di depan rumah ustadz Dul Wahab, Abab  al-Wahab berteriak lantang,”Lihat kawan,  ada barisan anjing lewat. Rupanya anjing-anjing ini sangat  kekenyangan habis makan  tumpeng .”

              Terhina gurunya dihina sebagai   “anjing makan tumpeng”, Dullah dan tiga orang santri meraung  keras dan serentak  melompat akan  menyerang Abab  al-Wahab. Namun Guru Sufi dan Sufi tua buru-buru menghalangi mereka.  Dengan suara ditekan tinggi Guru Sufi berkata,”Sudahlah, untuk apa kalian marah?”

            “Tapi guru, badui goblok itu menghina guru sebagai anjing. Mana bisa dibiarkan?” sahut Dullah.

            “Lha kita semua ini nyatanya masih cinta dunia seperti  anjing kok,  kenapa kita harus marah disebut anjing?” kata Guru Sufi menyitir Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 176 sekaligus menerjemahkan maknanya,”Orang-orang  yang cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya itu, adalah seibarat anjing. Jika dihalau ia menjulurkan lidah dan jika dibiarkan pun ia menjulurkan lidah. Jadi sepanjang kita sadar bahwa hati kita ini masih cenderung kepada duniawi, maka kita sama dengan  anjing.”

                “Berarti ada anjing teriak anjing, guru?” tanya Dullah menyindir,”Karena badui-badui goblok itu juga sangat cinta dunia.”

            “Jangan engkau keburu menilai rendah makhluk Allah yang disebut anjing,” kata Guru Sufi dengan suara direndahkan, ”Sebab di dalam diri seekor anjing, terdapat sifat-sifat yang harus dimiliki oleh orang beriman terutama yang menjalani laku tasawuf.”

            “Orang beriman yang menjalankan laku tasawuf harus  memiliki  sifat-sifat anjing?” sergah Dullah dengan nada  keheranan,”Bagaimana itu penjelasannya, wahai guru?”

            “Sufi Hasan al-Bashri telah berwasiat tentang sepuluh sifat di dalam diri anjing yang mesti dimiliki oleh seorang beriman,” kata Guru Sufi menerangkan,”Pertama, anjing suka  lapar, di mana lapar itu  menjadi kegemaran dan  kebiasaan hidup Orang-orang Shalih. Kedua, anjing  tidak memiliki tempat tinggal tertentu, di mana hal  itu merupakan  ciri-ciri dan tanda Orang-orang  Tawakkal. Ketiga, anjing tidak tidur pada malam hari kecuali sedikit, itulah tanda-tanda kehidupan para Pecinta Tuhan. Keempat, anjing waktu meninggal dunia tidak meninggalkan warisan,  itulah ciri dan tanda  Orang-orang  Zuhud. Kelima, anjing  tidak pernah meninggalkan tuannya meski  dihardik dan dijauhi, itulah tanda muriid  yang benar dalam kesetiaan kepada  gurunya.  Keenam, anjing rela ditempatkan di tempat yang paling rendah sekali pun di muka bumi, itulah tanda dan ciri Orang-orang Tawadhu’.  Ketujuh, anjing saat diusir dari satu tempat, dia akan meninggalkannya dan pindah ke tempat lain dengan sukarela, itulah tanda dan ciri Orang-orang Ridho. Kedelapan, anjing  jika dipukul, diusir, diasingkan, dan dikecewakan, dia menerimanya dengan tulus dan tidak merasa dendam atas apa yang diterimanya, itu adalah tanda dan ciri Orang-orang Khusyuk. Kesembilan, saat makanan dihidangkan, anjing  selalu duduk menunggu, itu ciri Orang-orang Fakir. Kesepuluh, anjing saat mengembara tidak pernah menengok ke tempat asalnya, itulah tanda dan ciri Musafir ruhani sejati.”   

            “Demikianlah, wahai para murid, bahwa sejatinya kita harus bersukacita dan bersyukur saat  digolongkan sebagai anjing sebagaimana  dimaksud di dalam  ayat Allah SWT. Kita harus mawas diri apakah kita memang masih seperti anjing, mencintai duniawi? Sebaliknya, kita harus sedih dan  berdukacita jika kita secara sepihak  menggolongkan diri sendiri sebagai orang beriman yang paling benar, tetapi dengan dasar pengakuan diri sendiri "ana khoiru minhu" seperti yang telah diucapkan makhluk purwakala yg terkutuk,” kata Guru Sufi  melangkah pergi, mengajak   Dullah, Sufi tua dan tiga orang santri untuk melanjutkan perjalanan pulang  ke pesantren.  Abab al-Wahab menghentakkan kaki ke lantai keras-keras, karena kali ini dia merasa ditampar keras oleh Guru Sufi, di mana ia  disamakan dengan makhluk purwakala yang telah berkata “ana khoiru minhu”, Sang Iblis, makhluk yang mengakui diri sendiri sebagai yang paling benar dan paling mulia, tetapi malah dikutuk Allah.

Nafsu Lwammah dan Bahaya Kerakusannya

Penulis : KH Agus Sunyoto

            Satu malam Dullah mengantar  Si Alan Nurdi menghadap Guru Sufi, meminta petunjuk atas nasib malang yang dialaminya setelah tujuh tahun bekerja kepada Haji Maruto Klopo Bin Atang, terutama setelah mengikuti pelatihan manajemen sufi. Menurut Nurdi: sejak manajer beserta staf dan kepala-kepala bagian mengikuti pelatihan manajemen sufi yang dibiayai perusahaan, perubahan terjadi atas kehidupan peserta pelatihan. Gaji yang seharusnya naik karena prestasi, justru dipotong ini dan itu dengan alasan sosial keagamaan, sehingga berkurang. “Cara membayar gaji pun selalu diundur-undur sampai dua bulan ke belakang. Standar gaji perusahaan yang jauh lebih rendah dibanding perusahaan lain, membuat para karyawan kalang-kabut dengan hutang makin menumpuk. Apa yang harus kami lakukan, Mbah Kyai?” tanya Si Alan Nurdi minta petunjuk.
            “Manajemen sufi?” kata Guru Sufi mengerutkan kening,”Ilmu apa itu? Aku baru dengar sekarang. Aneh sekali  ada manajemen dalam  ilmu tasawuf diterapkan di perusahaan-perusahaan yang orientasinya mencari keuntungan duniawi.”
            “Itulah masalahnya, Mbah Kyai, “kata Si Alan Nurdi minta pendapat,”Kami para karyawan harus bekerja keras dengan mencontoh kaum sufi yang berjuang keras dalam ibadah dan beramal baik dengan  ikhlas semata-mata untuk mencari ridho Allah. Anehnya, pemilik perusahaan Haji Maruto Klopo Bin Atang tidak mau ikut pelatihan dan sedikit pun tidak menunjukkan gelagat bersikap sebagai sufi.”
            Dullah tiba-tiba menyahut,”Juraganmu yang matre mana mu ikut pelatihan. Dia kan sudah tahu, guru besar  yang menjadi pelatih utama manajemen sufi, sedang sibuk menyimpan aset di mana-mana, dalam bentuk tanah, saham, perhiasan, rumah-rumah, valuta asing, dsb. Jadi itu semua hanya siasat. Istilah sufi hanya untuk manipulasi saja dari niat sebenarnya serigala berbulu domba.”
            “Sudahlah Dullah, jangan mencari-cari kesalahan orang,” kata Guru Sufi mengingatkan,”Yang penting kita harus ambil hikmah dari kasus ini. Maksudku, Si Alan Nurdi hendaknya bisa tetap sabar dan mulai belajar membaca jenis-jenis manusia dengan problem utama kehidupannya, melawan hegemoni nafsunya. Sebab, yang terberat dalam hidup adalah memerangi nafsu sendiri.”
            “Saya belum faham, Mbah Kyai. Mohon Mbah Kyai memberi petunjuk agar hati saya lebih tenang menghadapi kemiskinan yang terus mendera ini,” kata Si Alan Nurdi.
            “Sebagai pengusaha muslim yang sudah haji, juraganmu Maruto Klopo Bin Atang mestinya faham bahwa Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk membayar upah pegawai sebelum kering keringat mereka. Tapi faktanya, juraganmu malah menunda upah dua sampai tiga bulan, menunggu para pegawainya menumpuk hutang dan kelaparan. Jelas juraganmu menjadi pengikut nabi baru, yaitu Dajjal la’natullah. Bersyukurlah engkau tidak ditakdirkan menjadi orang seperti dia,” kata Guru Sufi.
            “Guru,” kata Dullah minta penjelasan terkait pelajaran yang pernah diperolehnya,”Apakah orang seperti Haji Maruto Klopo Bin Atang itu termasuk orang yang sudah dikuasai nafsu Lwammah  sehingga menjadi begitu rakus dan serakah?”
            “Kelihatannya seperti itu,” sahut Guru Sufi,”Anasir Nafsu Lwammah yang berwarna hitam, daya ke-aku-an yang mencerminkan watak tanah yang menyerap segala, telah memenangkan pertarungan melawan anasir Ruh dalam mempengaruhi akalnya yang netral. Bahkan daya akalnya yang sudah terpengaruh, mengupayakan cara-cara yang semakin memuaskan Nafsu Lwammah. Demikianlah,  pintu gerbang Al-Amru (perintah) dan pintu gerbang  An-Nahyu (larangan) yang dijaga oleh dua pengawal, yaitu Al-Masyiiah (kehendak)  dan Al-Qudrah (kemampuan), tidak bisa dipertahankan fungsinya, karena dua pengawal, Al-Masyiiah (kehendak) dan Al-Qudrah (kemampuan) ditundukkan dan dikendalikan akal yang dikuasai oleh Nafsu Lwammah. Sungguh, sangat berbahaya manusia yang hidupnya sudah dikendalikan oleh akal yang dikuasai Nafsu Lwammah, karena kerakusannya bisa membahayakan orang lain maupun diri sendiri.”
            “Guru,” kata Dullah memohon,”Mohon guru menjelaskan, berbahayanya manusia yang akalnya sudah dikuasai Nafsu Lwammah, yang membuat manusia jadi  materialis, rakus, serakah, tamak, loba, bakhil, kikir, pelit, selalu khawatir, ketakutan, resah, gelisah, dan selalu licik penuh tipu daya.”
              Guru Sufi tidak memberikan penjelasan tentang bagaimana manusia jika sudah dikuasai Nafsu Lwammah seperti diminta Dullah, sebaliknya ia menuturkan cerita tentang Nabi Isa yang dikisahkan melakukan perjalanan  bersama-sama dengan seorang Yahudi rakus. Nabi Isa, dikisahkan membawa tiga potong roti dan dititipkan kepada Yahudi rakus itu dengan berpesan,”Jagalah roti ini!” Tidak lama kemudian, Yahudi rakus itu memakan sepotong roti. Waktu Nabi Isa meminta kembali tiga potong roti yang dititipkannya, Yahudi rakus itu hanya menyerahkan dua potong roti.
            Nabi Isa bertanya,”Di manakah roti yang sepotong?” Yahudi rakus itu menjawab ,”Yang kuterima hanya dua potong.” Lalu mereka berdua melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan Yahudi rakus itu menyaksikan keajaiban-keajaiban yang dilakukan Nabi Isa. Meski begitu, saat Nabi Isa menyumpahnya agar mengakui sepotong roti yang dimakannya, Yahudi itu tetap menolak mengakui. Yahudi rakus itu berani sumpah demi Allah, hanya menerima dua potong roti.
            Di tengah perjalanan, Nabi Isa  menemukan tiga batang emas lantakan. Yahudi rakus itu berkata,”Bagilah batu bata itu!” Nabi Isa membagi sambil berkata,”Satu batang emas untukmu.  Satu batang emas untukku. Dan satu batang emas lagi untuk orang yang memakan roti sepotong.” Sambil berteriak Yahudi rakus itu tanpa malu mengaku,”Akulah yang memakan roti sepotong itu.”
            Nabi Isa berkata,”Pergilah engkau menjauh dariku. Engkau telah menyaksikan kekuasaan Allah dan bahkan berani sumpah atas nama-Nya, tetapi engkau tidak mengakuinya. Sekarang, demi secuil emas engkau mengakuinya.” Nabi Isa meninggalkan tiga batang emas lantakan itu di samping Yahudi rakus itu. Sungguh bersuka cita hati Yahudi rakus itu. Ia menimang-nimang emas batangan itu.
            Sewaktu Nabi Isa sudah jauh, Yahudi rakus itu didatangi tiga orang perampok yang tanpa ampun langsung membunuhnya dan merampas ketiga batang emasnya. Sambil beristirahat, dua orang perampok menyuruh salah seorang dari mereka untuk pergi membeli makanan. Sewaktu melihat temannya pergi membeli makanan, kedua perampok berunding untuk membunuh teman mereka jika kembali membawa makanan. Seorang perampok berkata,”Kalau dia kembali kita bunuh. Kita ambil bagiannya.”
            Perampok yang disuruh membeli makanan ke kota terdekat, ternyata selain membeli makanan juga membeli racun yang dicampurkan ke dalam makanan yang dibelinya. Dia berharap, jika kedua oranbg kawannya tewas keracunan, maka dia akan mengambil semua bagian emas yang ada. Demikianlah, sewaktu perampok itu datang membawa makanan, ia dikeroyok oleh dua orang kawannya sampai mati. Lalu kedua orang perampok itu memakan makanan yang sudah dicampuri racun. Mereka berdua pun tewas. Tiga batang emas lantakan berserak di sekitar empat mayat itu. Ketika Nabi Isa lewat tempat itu kembali, ia melihat mayat Yahudi rakus dan mayat ketiga orang perampok itu bergelimpangan di sekitar emas batangan. Nabi isa takjub melihat pemandangan itu. Jibril dikisahkan turun, menceritakan kisah manusia-manusia rakus itu kepada Nabi Isa.  
        Guru Sufi mengakhiri cerita dengan berkata,“Demikianlah, akal manusia-manusia rakus yang sudah dikuasai Nafsu Lwammah, akalnya menjadi licik. Tapi mereka itu akan binasa oleh kelicikan dan kerakusannya sendiri. Jadi tetap sabar dan berbahagialah kita yang belum tunduk dan dijajah oleh Nafsu Lwammah kita karena akal kita masih seimbang  mendengarkan  suara-suara ruhaniah tentang yang haqq dari kedalaman relung qalbu terdalam kita.  Pintu gerbang Al-Amru (perintah) dan pintu gerbang  An-Nahyu (larangan) dalam dada kita pun  masih berfungsi baik sebagaimana adanya.”
        “Terima kasih guru,” sahut Dullah,”Tapi mohon guru sudi memberikan petuah yang tepat untuk kawan saya, Si Alan Nurdi ini.”
        Guru Sufi tidak memberi petuah panjang. Ia hanya  menyitir al-Qur’an Surah 57:20 yang isinya:  “Ketahuilah, bahwa sejatinya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda-gurau,  perhiasan, saling  bermegah-megah di antara kalian, berbangga-banggaan tentang kekayaan harta benda  dan anak-anak,”  Guru Sufi  melanjutkan ucapannya dengan  mengutip dengan  al-Qur’an  Surah 3: 185 yang berbunyi:  ”Kehidupan  dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yg memperdaya!”  Lalu Guru Sufi melanjutkan lagi ucapannya,”Biarlah orang-orang rakus dibutakan mata hatinya oleh gemerlap kehidupan palsu dunia ini.”

Sumber: