Setuju Penerapan
Syariat Asal Jelas Syariat Yang Mana?
Satu malam, usai
pengajian membahas Qalbu Salim di tengah kepanikan bom buku, sekumpulan orang
muda dipimpin Ustadz Hajibul Haqq menemui Guru Sufi yang masih ditemani Sufi
tua, Sufi Kenthir, Dullah, dan Sufi Gelandangan. Tanpa diminta, Ustadz Hajibul
Haqq menceramahi Guru Sufi dengan pandangannya yang “mahabenar” bahwa semua
kecemasan, kegelisahan, ketakutan, kebingungan yang dirasakan masyarakat
Indonesia ini karena negeri ini masih belum benar-benar menerima Islam sebagai
satu-satunya aturan Kebenaran. “Bayangkan tuan guru, mayoritas warganegara
Indonesia adalah muslim, tetapi aturan-turan yang diterapkan dalam bernegara
adalah aturan-aturan kafir. Jadi negeri ini belum bisa disebut Darul Islam,
tetapi masih Darul Harb. Pantaslah orang-2 yang tinggal di wilayah Darul Harb
selalu dicekam kecemasan, kegelisahan, ketakutan, kepanikan, karena siapa pun
yang tinggal di daerah perang yang seperti itu keadaannya,” ujar Ustadz Hajibul
Haqq.
Guru Sufi mengangguk-anguk tak berkomentar. Sufi tua tiba-tiba
menyela,”Bagaimana caranya supaya kecemasan, kegelisahan, kebingungan,
ketakutan, dan kengerian yang dirasakan masyarakat itu bisa hilang?”
“Resepnya cuma satu: terapkan syariat Islam dalam kehidupan
bernegara. Pasti semua masalah yang membelit bangsa ini akan terurai dengan
sendirinya, karena seluruh undang-undang dan peraturan diatur oleh hukum Allah.
Kekacauan yang dialami bangsa ini, karena mereka ingkar. Mereka muslim tetapi
menolak menerapkan hukum Allah. Mereka lebih suka memakai hukum Dajjal,” kata
Ustadz Hajibul Haqq dengan suara ditekan tinggi.
“Tapi negara Indonesia sejak didirikan dimaksudkan bukan negara
agama tapi sebagai negara kebangsaan (nation-state). Jadi kalau Syariat Islam
diterapkan, itu menyalahi prinsip yang dikehendaki para Founding Fathers,”
sahut Dullah melontar pendapat.
“Siapa bilang tidak dikehendaki Founding Father?” tukas Ustad
Hajibul Haqq,”Di dalam Piagam Jakarta, tegas-tegas ditetapkan bahwa umat Islam
wajib menjalankan syariat. Bukankah Piagam Jakarta itu disusun oleh Bung Karno?
Hanya atas ulah segelintir orang saja, Piagam Jakarta akhirnya diubah dengan
alasan demi persatuan dan kesatuan. Bahkan saat Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
Presiden Soekarno menetapkan Piagam Jakarta berlaku sebagai keniscayaan
landasan idiil negara. Bukankah itu sudah jelas bahwa Founding Fathers
menyetujui syariat Islam?”
Sufi gelandangan yang rajin mendengar tiba-tiba ikut
bicara,”Keputusan Bung Karno tentang Piagam Jakarta dan Dekrti Presiden adalah
keputusan politik. Karena secara prinsip, beliau tetap berpegang teguh pada
Pancasila sebagai landasan idiil negara. Jadi telah terbukti dalam
sejarah, di balik Dekrit Presiden yang memberi kan janji politik kepada umat
Islam berupa pemberlakuan Piagam Jakarta yang tidak pernah terwujud dalam
realita, justru Bung Karno membubarkan Partai Masyumi yang selalu mengusung
gagasan penerapan syariat dalam bernegara.”
Ketika perdebatan akan
berlanjut karena Ustadz Hajibul Haqq sudah membusungkan dada dengan wajah
merah, tiba-tiba Guru Sufi menengahi dengan berkata merendah,”Sudah tidak usah
berdebat. Yang pasti, secara prinsip saya sangat sepakat Syariat Islam
diterapkan dalam kehidupan bernagara di Indonesia, asalkan….”
“Nah lihat, Pak Kyai,
guru kalian sudah sepakat dengan penerapan syariat dalam bernegara, sekarang
apalagi masalahnya?” seru Ustadz Hajibul Haqq dengan wajah berseri-seri.
“Maaf ustadz, saya belum
selesai bicara,” kata Guru Sufi mengingatkan agar pembicaraannya tidak
dipotong,”Maksud saya, secara prinsip saya sangat sepakat Syariat Islam
diterapkan dalam kehidupan bernegara di Indonesia, asalkan Syariat Islam itu
yang sesuai dengan yang dianut mayoritas warganegara Indonesia.
Maksud saya, Syariat Islam yang mana yang akan kita terapkan dalam kehidupan
bernegara di Indonesia ini? Syariat Islam menurut golongan Syi’ah, Wahabi,
Sunni Maturidiyyah, Ahlussunnah wal-Jama’ah? Itu harus jelas dulu. Syariat
menurut firqah, aliran, mazhab mana yang dipilih dan ditetapkan sebagai dasar
negara. Itu harus jelas dulu definisinya, sebab jika tidak, bisa menyulut
perang di antara umat Islam sendiri. Coba saja, terapkan Syariat Wahabi di
Indonesia, pasti warga muslim Ahlussunnah wal-Jama’ah yang
mayoritas dengan warga beragama lain akan mengangkat senjata untuk
memerangi minoritas yang berani menerapkan syariat dari firqahnya sebagai
landasan idiil negara tanpa persetujuan mayoritas.”
“Wah, Islam jangan
dikotak-kotak begitu, pak kyai,” kata ustadz Hajibul Haqq tak suka.
“Maaf ustadz, jika kita
memandang Islam dalam ranah ideal konseptual, kita bisa berimajinasi
Islam itu satu. Tapi saat kita memandang ke ranah realitas, Islam
jelas terbagi-bagi dalam firqah, faham, mazhab, sekte, jama’ah yang saling
berbeda satu sama lain,” kata Guru Sufi.
“Maksud saya baik, pak
kyai.”
“Saya tahu, maksud ustadz
baik,” kata Guru Sufi dengan nada suara merendah,”Tapi gagasan ustadz itu
hanya ada dalam dunia konseptual, tidak dalam dunia riil. Jadi kalau ustadz
memaksakan kehendak untuk mewujudkan dunia konseptual itu ke dalam realitas,
justru akan terjadi kekacauan. Saya sendiri yakin pada petuah bijak orang-orang
tua dalam pepatah: “Siapa yang ingin menciptakan surga di dunia,
sesungguhnya dia akan menciptakan neraka!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar