Menolak Hipotesis Indonesia Adalah Benua Atlantis (V):
Menyoal Superioritas Barat dan Inferioritas Timur
Dalam lanjutan perbincangan, Guru Sufi mulai menelaah upaya-upaya yang dilakukan Prof Arysio Santos dalam mendukung hipotesa bahwa Indonesia adalah sisa-sisa Benua Atlantis yang tenggelam akibat banjir besar. “Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa Prof Arysio Nunes dos Santos, dalam buku Atlantis – The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization) menyatakan menggunakan pendekatan interdisipliner mulai geologi, arkeologi, etnologi, antropologi, linguistik, dan comparative mythology, namun dalam rangkaian kajian-kajian yang dilakukan untuk mendukung hipotesisnya, hampir seluruh bahasan yang digunakan Prof Santos lebih banyak menggunakan pendekatan linguistik (filologi, semiotika, aitiologi), comparative mythology, sedikit Etnologi, Arkeologi dan Antropologi. Bahkan tidak satu kali pun Prof Santos mengajukan argumentasi yang ditopang data geologi sebagaimana disyaratkan dalam ilmu geologi konvensional,” kata Guru Sufi mengkritik metodologi yang digunakan Arysio Santos.
“Dalam bahasan yang menggunakan pendekatan interdisiplin itu pun,” kata Guru Sufi melanjutkan kritiknya, “Prof Arysio Santos lebih banyak menggunakan justifikasi-justifikasi dan interpolasi-interpolasi dalam memaknai sumber data, di mana hal itu mengakibatkan timbulnya perbedaan esensial dengan pandangan konvensional yang disepekati kalangan ilmuwan dari disiplin-disiplin ilmu bersangkutan. Atas alasan itu, dapat difahami jika Prof Arysio Santos dalam pendahuluan bukunya, lebih dulu memberi penjelasan bahwa jika seseorang mengikuti teorinya yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Atlantis yang tenggelam, akan membawa akibat pada perlunya dilakukan revisi besar-besaran dalam ilmu-ilmu humaniora seperti antropologi dan sejarah, dan disiplin ilmu-ilmu pendukung, seperti misalnya, linguistik, arkeologi, evolusi, paleoantropologi, mitologi, dan bahkan mungkin agama. Itu berarti, untuk membenarkan hipotesanya, Arysio Santos mensyaratkan sebuah asumsi baru, yang secara epistemologi dibangun di atas paradigma, dogma, doktrin, dan mitos yang khas Arysio Santos, yang sebenarnya hal itu bisa dilakukan budayawan dan peminat budaya, peneliti dan peminat sejarah, peneliti sosial dan antropologi, bahkan oleh mahasiswa-mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya di Indonesia.”
Farel dan kawan-kawan yang mendengar paparan Guru Sufi tidak bisa menerima penjelasan tentang gampangnya menyusun epistemologi keilmuan yang bisa dilakukan oleh siapa saja di antara budayawan, peminat budaya, peneliti dan peminat sejarah, peneliti sosial dan antropologi, terutama mahasiswa-mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya di Indonesia. Dengan nada meremehkan, ia memotong paparan Guru Sufi dengan berteriak mengacungkan tangan, membayangkan diri sebagai anggota DPR yang dilihatnya di televisi”Mohon maaf Mbah Kyai, saya mau interupsi.”
Dullah yang menyikapi tindakan Farel sebagai hal yang tidak pantas, yaitu memotong pembicaraan seseorang sebelum pembicaraan itu selesai, sudah akan menegur keras namun Guru Sufi memberi isyarat agar Farel tidak ditegur. Sambil ketawa Guru Sufi berkata,”Apa yang akan saudara sampaikan, silahkan disampaikan!”
“Begini Mbah Kyai,” sahut Farel dengan suara ditekan tinggi,”Mbah Kyai tadi menyatakan bahwa membangun epistemologi di atas paradigma, dogma, doktrin, dan mitos sebagaimana dilakukan Prof Santos adalah bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, itu membuat kami heran dan bingung. Mana mungkin mahasiswa bisa membangun epistemologi keilmuan? Apa pernyataan Mbah Kyai itu bukan arogansi kosong yang bertujuan meremehkan pendekatan metodologis yang dilakukan Prof Santos?”
Guru Sufi ketawa dan kemudian menjelaskan bahwa segala sesuatu itu tergantung dari dari sudut mana orang memandang dan bagaimana memandang sesuatu itu dibiasakan dalam proses pewarisan keilmuan. “Selama ini, menurut sistem pembelajaran yang berlaku di perguruan tinggi, secara koersif dan doktriner diberlakukan peraturan yang menyatakan bahwa dalam mengikuti mata kuliah filsafat ilmu, wajib hukumnya (fardlu ‘ain) bagi dosen dan mahasiswa untuk mempelajari kerangka paradigmatik keilmuan, struktur fundamental ilmu pengetahuan, asuimsi-asumsi dasar proses keilmuan, paradigma ilmu, dan kerangka dasar teori keilmuan yang dibangun ilmuwan kulit putih,” kata Guru Sufi.
Para dosen dan mahasiswa,” lanjut Guru Sufi menjelaskan,”Diwajibkan mengikuti petunjuk-petunjuk yang ditetapkan Archie J. Bahm dalam mempelajari unsur-unsur yang menjadi dasar fundamental bangunan ilmu; semua harus mempelajari rasionalisme-nya Spinoza, Leibniz dan Wolff, empirisme-nya Bacon, Hobbes, Locke, Berkeley, dan Hume, kritisismenya Kant dalam membangun asumsi dasar proses keilmuan; dalam menegakkan paradigma teori-teori keilmuan semua wajib mengikuti petunjuk Thomas S. Kuhn, dengan terlebih dulu mempelajari positivisme-nya Auguste Comte, John Stuart Mills dan Emile Durkheim, konstruktivisme-nya Max Weber, Husserl dan Schutz, critical theory-nya Karl Marx, Chomsky, Gramsci , Adorno, dan Habermas; dalam membangun kerangka dasar teori keilmuan yang metodologis pun, semua diwajibkan mengikuti metode berpikir induktif-eksprimentalnya Francis Bacon, penggunaan data positif-empirisnya Auguste Comte, Logika induksinya John Stuart Mills, verifikasinya Moritz Schlick, Victor Kraft, Herbert Feigl, Rudolf Carnap, falsifikasi-nya Karl Popper, paradigma-nya Kuhn, dan metodologi program riset-nya Imre Lakatos. Jadi dari hilir hingga ke hulu, kita semua diposisikan sebagai konsumen dari produk ilmu pengetahuan yang disusun ilmuwan-ilmuwan kulit putih, sehingga adanya usaha kreatif logis dari orang-orang tertentu untuk membangun epistemologi keilmuan dianggap sebagai dosa tak berampun oleh pembuat kebijakan. Yang menyedihkan, dosen dan mahasiswa pun sudah terhegemoni pikirannya untuk setia mematuhi aturan-aturan yang sudah ditetapkan sebagai kebenaran aksiomatik yang tidak bisa digugat apalagi dirubah.”
“Tapi Mbah Kyai,” sahut Diego Jabato penasaran,”Mungkinkah mahasiswa mampu membangun epistemologi keilmuan sendiri?”
“Menurut saudara, mungkinkah anak-anak Indonesia yang sekolah di desa yang fasilitas dan kecukupan gizinya kurang mampu bersaing dengan anak-anak Jerman, Perancis, Jepang, Amerika?” tanya Guru Sufi melontarkan pertanyaan tak terduga.
“Kayaknya sih, tidak mungkin bisa, Mbah Kyai,” sahut Diego Jabato ragu-ragu.
“Padahal fakta menunjuk, anak-anak Indonesia bisa memenangkan olimpiade fisika dan matematika, menyingkirkan ratusan pesaingnya, anak-anak dari negara-negara maju. Saudara tadi menyatakan tidak mungkin, karena pikiran dan jiwa saudara sudah terhegemoni oleh asumsi-asumsi yang tidak benar, yang secara sistematis dimasukkan lewat ide-ide, konsep-konsep, gagasan-gagasan, wacana-wacana, dan nilai-nilai yang disampaikan di lembaga indoktrinasi yang disebut sekolah. Demikianlah, rezim penjajah Belanda dulu lewat politik etis memperkenalkan schooling system di negeri kita tidak untuk tujuan mencerdaskan inlander, melainkan untuk mempertahankan supremasi kulit putih yang superior yang wajib dijunjung tinggi oleh inlander kulit berwarna yang inferior, yang hasilnya adalah mental minderwaardig lulusan-lulusan sekolah yang selalu merasa lebih rendah, lebih hina, kalah dalam segala terhadap kulit putih.”
Tavip, peminat budaya yang rajin mengikuti kajian-kajian budaya di pesantren tiba-tiba minta ijin diberi waktu untuk berbicara. Setelah diijinkan, Tavip tidak membincang materi yang dibahas tetapi justru menanyai latar di balik nama-nama para peminat Atlantis seperti Marvel Carey, Ronaldo Lobato, Diego Jabato, Franco Novillero, dan Farel Almirez. “Maaf ini adik-adik, saya sangat ingin tahu saja, kenapa adik-adik yang berkulit coklat seperti saya memiliki nama Spanyol. Padahal, bapak dari adik kita Farel Almirez yang bernama Bambang Sukoco adalah teman saya. Saya juga kenal ibu adik kita Farel Almirez yang bernama Andarini. Lha, kenapa mereka bisa punya anak dinamai Farel Almirez. Mohon penjelasannya,” kata Tavip ingin tahu.
Farel Almirez yang mewakili teman-temannya menuturkan latar alasan kenapa mereka dinamai nama-nama Spanyol. Menurut Farel Almirez, ibunya dan ibu teman-temannya adalah bertetangga baik. Akhir dekade 1990-an, lanjut Farel, ibunya dan para tetangga keranjingan menonton sinetron-sinetron Spanyol. Lalu Farel yang saat itu masih belajar di taman kanak-kanak namanya diganti dari Raditya menjadi Farel Almirez, yaitu nama salah seorang pemain sinetron. “Setelah itu, nama teman-teman bermain saya, ikut diganti dengan nama-nama orang yang namanya tertulis di akhir sinetron. Jadi begitulah, latar kami semua ini memakai nama-nama Spanyol,” kata Farel agak kikuk.
“Adik-adik ini tahu tidak makna dari nama kalian masing-masing?” tanya Tavip.
“Ya tidak tahu pak,” sahut Farel bersamaan dengan teman-temannya.
“Asal tahu saja, Farel atau Farol itu dalam bahasa Spanyol maknanya : lampu jalan, gertak sambal; Almirez maknanya: cobek, ulek-ulek, lumpang. Jadi Farel Almirez maknanya: cobek atau ulek-ulek si tukang gertak sambal,” kata Tavip disambut riuh ketawa hadirin. Sebentar kemudian, Tavip melanjutkan, “Nama Marvel Carey, bermakna ‘Marvel si kura-kura’, karena kata Carey dalam bahasa Spanyol maknanya penyu atau kura-kura; nama Ronaldo Lobato, maknanya ‘Ronaldo Si Anak Serigala’; nama Diego Jabato, bermakna ‘Diego Si Anak Babi Hutan’; dan nama Franco Novillero, bermakna ‘Si Gembala Sapi yang suka ceplas-ceplos. Mohon maaf, adik-adik, bukan maksud saya mengolok-olok. Tapi itulah makna nama adik-adik dalam Bahasa Spanyol, yang bisa adik-adik cek kebenarannya.”
Di tengah gelak ketawa hadirin, Guru Sufi menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Tavip dengan menanyakan latar belakang nama-nama Spanyol yang digunakan sebagian hadirin beserta maknanya, adalah sebuah analogi yang berkaitan dengan proses bagaimana epistemologi keilmuan Barat menghegemoni pikiran dan jiwa anak-anak bangsa Indonesia yang sebenarnya. “Sebagaimana dengan para ibu yang terpesona menyaksikan sinetron-sinetron dan kemudian mengganti nama anak-anak mereka seperti nama-nama yang tercantum di sinetron, demikianlah anak-anak bangsa yang terkagum-kagum dengan sistem persekolahan yang diperkenalkan oleh ‘Duli Yang Mulia Tuan Penjajah”, tidak lagi memiliki daya kritis untuk sekedar mempermasalahkan segala sesuatu yang wajib mereka pelajari karena mereka sudah dibenamkan ke dalam mentalitas kacung dan jongos, yaitu mentalitas bangsa terjajah yang selalu merasa inferior dan tidak berdaya,” ujar Guru Sufi.
“Mohon maaf Mbah Kyai,” Sukirin, teman Tavip yang duduk di samping Farel tiba-tiba menyela,”Mohon diijinkan menyampaikan pendapat.”
“Silahkan! Silahkan!” kata Guru Sufi.
Dengan suara ditekan tinggi dan terkesan emosi, Sukirin berkata,”Jika Mbah Kyai bermimpi ingin membangun epistemologi keilmuan agar bangsa kita ke depan dapat sejajar dengan Barat, mimpi itu yang justru kami ragukan.”
“Apa yang membuat saudara ragu?” tanya Guru Sufi ingin tahu.
“Bangsa-bangsa Barat, kulit putih,” sahut Sukirin menjelaskan,”Secara faktual sudah membuktikan keunggulan mereka dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidakkah Mbah Kyai sadar bahwa di dalam kehidupan sehari-hari kita ini, semua yang kita gunakan adalah produk ilmu pengetahuan dan teknologi Barat seperti: sistem kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender Masehi, sistem satuan ukuran, sistem hukum, sistem politik, sistem ideologi, sistem pendidikan, sistem budaya, sistem sosial, sistem keuangan, sistem medika, sistem komunikasi, sistem manajemen, sistem perbankan, bahkan sistem keilmuan yang digunakan bangsa kita ini adalah produk Barat; fakta menunjuk bahwa bangsa kita sejauh ini belum pernah menunjukkan bukti bahwa mereka pernah membangun dan memproduksi sebuah karya nyata dari bangsa beradab. Apa yang kami sampaikan
Sesaat Guru Sufi berhenti bicara. Ia menarik nafas berat berulang-ulang. Setelah menghembuskan nafas panjang, ia berkata,”Sistem kalender Gregorian yang secara nasional kita pakai adalah warisan kolonial yang didasari aturan-aturan yang dibuat pemerintah yang aparaturnya diisi orang-orang hasil didikan Barat. Tapi digunakannya kalender Gregorian, bukan bukti bahwa bangsa kita goblok dan tidak mengenal sistem kalender. Asal saudara tahu, sebelum bangsa kita mengambil sistem kalender Saka pada tahun 78 Masehi, bangsa kita telah memiliki sistem kalender berdasar perhitungan musim yang disebut Pranatamangsa. Lalu selama kurun yang panjang dilakukan penyesuaian-penyesuaian antara Pranatamangsa dengan kalender Saka, yang berpuncak pada masa Ratu Sanjaya (Raja Mataram, 732-754 M), yang mengembangkan sistem kalender Pawukon. Sebagai bukti, mohon ditayangkan slide-slide dan film yang memuat rekaman penjelasan kalender pawukon dan pranata mangsa!”
Sufi Kenthir dengan sigap menayangkan slide-slide dan film yang memuat penjelasan kalender pawukon dan pranamangsa, di mana sebagian besar hadirin terheran-heran menyaksikan bagaimana leluhur bangsa dalam sistem kalendernya membagi waktu ke dalam satuan-satuan hitungan dari satu sampai sepuluh. Maksudnya, jika kalender Gregorian membagi waktu dalam satuan-satuan yang disebut hari (ada tujuh satuan hari), minggu (satu kesatuan dari tujuh satuan hari), bulan (satu kesatuan dari tigapuluh satuan hari),dan tahun (satu kesatuan dari 365 satuan hari), maka kalender pawukon dan pranatamangsa membagi satuan-satuan yang disebut wara (satu satuan hari) ke dalam 10 varian yang disebut Ekawara (Luwang), Dwiwara(Menga, Pepet), Triwara (Pasah, Beteng, Kajeng), Caturwara (Sri, Laba, Jaya, mandala),Pancawara (Manis, Pahing, Pon, Wage, Kliwon), Sadwara (Tungle, Aryang, Wurukung, Paniron, Was, Mawulu), Saptawara (Radite, Soma, Anggara, Buda, Respati, Sukra, Sanaisara – saat pengaruh Islam masuk menjadi Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu), Astawara(Sri, Indra, Guru, Yama, Ludra, Brahma, Kala, Uma), Sangawara (Dangu, Jangur, Gigis, Nohan, Ogan, Erangan, Urungan, Tulus, Dadi), dan Dasawara (Pandita, Pati, Suka, Duka, Sri, Manuh, manusa, Raja, Dewa, Raksasa).
Satu satuan hari yang berjumlah tujuh dirangkai sebagai satu satuan yang disebut Wuku (satu minggu yang terdiri dari tujuh hari dinamai wuku). Dalam kalender pawukon (pa-wuku-an) terdapat 30 wuku, di mana satu siklus putaran wuku adalah 7 x 30 hari = 210 hari. Nama-nama wuku adalah: 1.Sinta, 2.Landhep, 3.Wukir, 4.Kurantil, 5.Tolu, 6.Gumbreg, 7. Warigalit, 8.Warigagung, 9. Julungwangi, 10.Sungsang, 11.Galungan, 12.Kuningan, 13.Langkir, 14. Mandasiya, 15. Julungpujud, 16.Pahang, 17.Kuruwelut, 18.Marakeh, 19.Medangkungan, 20.Tambir, 21.Maktal, 22.Wuye, 23.Manahil, 24.Prangbakat, 25.Bala, 26.Wugu, 27.Wayang, 28. Kulawu, 29.Dhukut, 30.Watugunung.
Berbeda dengan sistem kalender Gregorian yang menggunakan hitungan matahari, kalender Pawukon menggunakan hitungan rembulan dengan menghitung siklus rembulan mengitari bumi berdasar pengamatan empirik pada bentuk rembulan. Atas dasar pengamatan empirik itu, maka dalam sistem satuan bulan kalender pawukon siklus putaran rembulan mengitari bumi dibagi menjadi dua, yaitu Tanggal (dimulai saat rembulan berbentuk garis [tanggal 1] hingga rembulan penuh [tanggal 15] atau Purnama) dan Panglong (dimulai saat rembulan penuh [tanggal 1] hingga rembulan gelap [tanggal 15] atau Tilem). Jadi sistem penanggalan pawukon hanya mengenal satuan hitungan tanggal dari tanggal 1 – 15 paruh terang (Tanggal) dan tanggal 1-15 paruh gelap (Panglong).
Satu satuan hitungan bulan (tanggal 1-15 tanggal + tanggal 1-15 palong = 30 hari) berjumlah 12 satuan yang masing-masing dikenal dengan nama: Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawolu, Kasanga, Kadasa, Destok, Kasada dan saat Islam datang nama-nama bulan diubah menjadi: Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Syawal, Dulkaidah, Besar. Setiap 12 satuan bulan dalam kalender pawukon, dijadikan satuan baru yang disebut Tahun, di mana satuan tahun itu ada delapan dengan nama masing-masing : Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakhir. Kedelapan satuan tahun itu disatukan dalam satuan baru yang disebut Windu (siklusnya berlangsung selama delapan tahun) yang masing-masing disebut: Adi, Kuntoro, Sengara, Sancaya. Demikianlah, satu siklus putaran windu terjadi selama 8 tahun x 4 windu = 32 tahun sekali.
“Sekarang saya mau tanya, “ kata Guru Sufi memandang ke arah Sukirin,”Pak Sukirin ini lahir tanggal, bulan dan tahun berapa?”
“Ee saya lahir tanggal 29 Agustus 1958, Pak Kyai,” kata Sukirin spontan.
Guru Sufi diam beberapa detik dan setelah itu berkata,”Pak Sukirin ini pasti lahir pada hari Jum’at Legi, bulan Sapar.”
“Lho Pak Kyai, kok bisa tahu dengan tepat?” sergah Sukirin terheran-heran.
“Itu karena saya menggunakan rumus hitungan kalender pawukon,” sahut Guru Sufi.
“Jadi Pak Kyai,” sahut Sukirin makin heran,”Kalender Pawukon yang digunakan kakek saya dulu itu, bukan golongan kalender klenik yang penuh kemusyrikan tapi ada sistem hitungannya?”
“Ya pasti hitungan astronomis diformulasi dengan hitungan musim (pranamangsa). Karena itu, kalau mau diuji akurasi ketepatan sistem kalender, saya menjagokan akurasi ketepatan kalender pawukon dan pranatamangsa daripada kalender Gregorian,” kata Guru Sufi tegas.
“Bagaimana itu, Pak Kyai, apa bisa dijelaskan?” Sukirin minta penjelasan.
“Dalam uji empirik-matematis atas ketepatan sistem kalender Gregorian diperoleh fakta bahwa setiap 2300 tahun sekali wajib dilakukan penyesuaian-penyesuaian, karena setelah 2300 tahun hitungan kalender Gregorian sudah mengalami deviasi yang makin lama makin besar. Sementara sistem kalender Pranatamangsa, baru mengalami deviasi setelah 99.000 tahun,” kata Guru Sufi.
“99.000 tahun Pak Kyai?” tanya Sukirin heran.
“Itu fakta yang bisa diuji secara empirik-matematis,” kata Guru Sufi,”Tapi karena kalender Pawukon dan Pranatamangsa itu diciptakan oleh inlander kulit coklat bermental budak, etnis biadab berjiwa pemalas, goblok, dan terbelakang, maka karya ciptaan mereka itu harus diabaikan dan dibuang jauh-jauh dari pikiran dan jiwa generasi penerusnya. Sebab yang paling cocok untuk kaum intelektual adalah kalender Gregorian bikinan ras tinggi yang unggul lagi mulia: kulit putih.”
“Itu namanya takdir, guru,” sahut Dullah disambung Tavip dan dibenarkan Sukirin.
“Ya lepas dari itu takdir Ilahi, yang pasti Tuhan sudah membuka mata kita untuk melihat sebuah bangsa yang bin ajaib: bangsa yang antipati dan membenci semua hal yang diciptakan bangsanya sendiri, sebaliknya sangat bangga dan merasa mulia jika sudah menggunakan produk bangsa lain yang mereka anggap lebih superior,” kata Guru Sufi menghela nafas panjang.
(Bersambung…)
Karya: KH Agus Sunyoto
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar