26 Feb 2014

Jangan Mendikte dan Membayangkan Diri Seolah Tuhan

Jangan Mendikte dan Membayangkan Diri Seolah Tuhan

15 Maret 2011 pukul 0:16
Oleh Agus Sunyoto
(Dikutip dari Catatan Facebook Agus Sunyoto II)

            Bosan doanya selama bertahun-tahun tidak dikabulkan Tuhan, dengan wajah kusut Dullah menghadap Guru Sufi. Dengan nada putus asa  ia menyatakan bahwa tidak terkabulnya doa yang dipanjatkannya, mungkin berkaitan dengan nasib dirinya yang kurang beruntung karena tidak dihiraukan Tuhan akibat dosa-dosanya. “Padahal, saya yakin dengan kebenaran  sabda Rasulullah Saw  ad-du’a silakhul mu’miin (doa adalah senjata bagi orang beriman) dan juga janji Allah: "berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu- Q.S. Al Mu’min: 60." Tapi faktanya, sampai saat ini doa saya tidak dikabul juga oleh-Nya. Entah dosa dan kesalahan apa yang telah saya lakukan sehingga do’a saya tidak dikabul Tuhan,” kata Dullah memprotes.
            Guru Sufi tersenyum. Lalu dengan suara datar  ia mengutip petuah bijak dari Al-Hikam yang berbunyi:
“Jangan engkau berputus asa karena kelambatan pemberian Allah kepadamu, padahal doamu bersungguh-sungguh. Allah telah menjamin menerima semua doa sesuai dengan yang Dia kehendaki untukmu pada waktu yang telah Dia tentukan. Bukan menurut kehendakmu dan bukan pada waktu yang engkau tentukan”.
          “Mohon maaf guru,” kata Dullah ingin tahu,”Apa maksud guru tentang kelambatan pemberian Allah dan ketentuan pemberian menurut kehendak-Nya? Bukankah janji  Allah sudah jelas: berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu- Q.S. Al Mu’min: 60?  Kenapa harus  ditunda-tunda?”
            “Engkau pernah melihat pengemis meminta sedekah?” tanya Guru Sufi.
            “Tentu pernah, guru.”
             “Apakah yang menentukan lama dan cepatnya suatu pemberian sedekah  itu sang pengemis atau orang yang memberi sedekah?”
             “Tentu yang memberi sedekah, guru.”
             “Yang menentukan besar dan kecilnya pemberian sedekah apakah sang pengemis atau pemberi sedekah?” tanya Guru Sufi.
              “Yang memberi sedekah, guru.”
             “Jika pemberi sedekah tidak memberi uang seperti yang diinginkan pengemis tetapi member roti, kue, nasi bungkus,  apakah pengemisnya boleh marah-2 karena diberi yg bukan keinginannya?” tanya Guru Sufi.
             “Tentu tidak, guru,” kata Dullah tak mau kalah,”Tapi saya kan bukan pengemis dan Allah bukan pemberi sedekah yang sukarela memberi? Bukankah Dia sudah berjanji: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran- Q.S. Al Baqarah: 186?  Bukankah Rasulullah Saw juga bersabda: “Tiada seorangpun yang berdoa, melainkan Allah pasti akan mengabulkan doanya atau dihindarkan dari bahaya padanya atau diampuni sebagian dari dosanya selama ia tidak berdoa untuk sesuatu yang menjurus kepada dosa atau untuk memutuskan hubungan sanak keluarga?”
            “Dalil yang engkau sampaikan sudah benar,” kata Guru Sufi merendah,”Tapi dalil yang mengatakan doa Dullah bakal dikabul Allah kan tidak ada? Atau dalil bahwa Allah bakal mengabulkan doa si  Dullah juga kan tidak ada?”
              “Jadi? Bisa saja doa saya memang tidak dikabul, guru ?” gumam Dullah sedih.
              “Bukan begitu maksudnya. Tapi orang yang berdoa disuruh bersabar menunggu pemenuhan doanya. Orang yang berdoa juga harus ikhlas menerima jika yang dikabul itu bukan doa seperti yang dikehendakinya, melainkan sesuai yang dikehendaki Allah. Sabar. Itu kunci doa sesuai sabda-Nya agar kita meminta tolong kepada-Nya dengan sabar dan shalat. Karena orang yang sudah dijamin akan dikabulkan doanya oleh Allah pun, ternyata masih disuruh bersabar menunggu penggenapan janji-Nya.”
                 “Adakah yang seperti itu?” tanya Dullah penasaran.         
                 “Pernahkah engkau mendengar kisah Nabi Musa dan Nabi Harun yang berdoa dan doa mereka dikabulkan Allah sesuai firman-Nya: “ Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-sekali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui – Q.S. Yunus: 89? Tahukah engkau tentang itu?”
                   “Ya saya tahu, saya pernah dengar kisah itu, guru.”
                   “Menurutmu, berapa lama kira-kira jarak antara saat doa kemenangan Nabi Musa dan Nabi Harun itu dikabulkan Allah  dengan terwujudnya  kemenangan mereka dalam kenyataan?” tanya Guru Sufi.         
                   “Menurut saya, kira-kira sekitar  dua atau tiga tahun, guru.”
                   “Kurang tepat. Yang benar janji Allah memberi kemenangan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun dalam melawan Fir’aun itu, jarak rentang waktunya dengan realita kemenangan lamanya empat puluh tahun,” kata Guru Sufi.
                     “Empat puluh tahun?” Dullah terperangah kaget dan kemudian menggumam,”Waduh, kalau Nabi Musa saja keterkabulan doanya butuh waktu empat puluh tahun, bagaimana dengan awak yang bukan nabi dan bukan wali?”
                     “Kisah Nabi Musa tidak bisa digeneralisasi untuk semua orang, karena usia manusia sekarang ini  rata-rata lebih pendek dari usia Nabi Musa yang 120 tahun,” kata Guru Sufi menjelaskan.
                     “Jadi…?”
                      “Kisah itu menunjuk, keterkabulan doa butuh waktu sesuai yang ditentukan Sang Pengabul doa. Jadi, bersabarlah dan jangan berburuk sangka kepada-Nya. Pun jangan pernah mendikte-dikte Tuhan agar Dia memenuhi doamu sesuai keinginan nafsu yang membayangimu! Sadarlah bahwa engkau hanyalah manusia dan bukan Tuhan. Jadi jangan pernah membayangkan Tuhan harus memenuhi keinginanmu sesuai  angan-anganmu."


https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/jangan-mendikte-dan-membayangkan-diri-seolah-tuhan/118057811601938

Tidak ada komentar:

Posting Komentar