Jagalah Kebersihan Pikiran
Dua hari tinggal di pesantren sufi sebagai tamu, Adi Bauha seorang muslim modern yang sedang menyusun disertasi tentang praktek-praktek tasawuf di era global, mendapati amaliah-amaliah aneh yang dilakukan Guru Sufi. Pada malam dingin yang hujan, misal, ia diam-diam mengikuti Guru Sufi pergi ke perempatan dekat pasar untuk membeli nasi goreng. Ternyata, nasi goreng itu diberikan kepada seorang perempuan tidak waras yang tidur di pinggir jalan tak perduli hujan atau terang. “Bukankah, sebagai guru, dia bisa menyuruh murid atau anaknya untuk membeli nasi goreng dan memberikannya kepada orang tidak waras itu,” kata Adi Bauha dalam hati.
Ternyata, Adi Bauha mendapati keanehan Guru Sufi yang lain, yaitu mengajak seorang gelandangan kurang waras yang berpakaian compang-camping untuk makan siang bersama. Adi Bauha yang sedianya ikut makan, mengurungkan niatnya karena nafsu makannya mendadak hilang saat duduk bersama gelandangan bau tengik itu. Yang juga memusingkan, para pengemis, pengamen, peminta sumbangan baik tua maupun muda selalu dikasi. Guru Sufi tidak pernah menolak “benalu” masyarakat itu. Bahkan pernah sekali Adi Bauha memergoki, saat Guru Sufi tidak punya uang untuk dikasikan pengemis, ia memberikan satu kilo beras yang akan dimasak untuk makan siang. “Bersedekah memang baik. Tapi kalau anak-anak muda pemalas sudah menadahkan tangan meminta-minta dan terus diberi, itu tidak mendidik,” kata Adi Bauha dalam hati.
Ketika satu pagi mendapati Guru Sufi memberi sumbangan seorang laki-laki berpenampilan kusut dengan pakaian kumal yang mengaku panitia pembangunan masjid, Adi Bauha tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya. Dengan nada memprotes, ia bertanya tentang “kepolosan” Guru Sufi yang selalu percaya dengan peminta sumbangan yang sering palsu. “Apakah itu tidak sama maknanya dengan memberi dukungan kepada para pemalas yang akan menggantungkan hidup dari sedekah orang?” tanya Adi Bauha.
Dengan senyum Guru Sufi tidak memberi jawaban, melainkan bercerita tentang
Abul Qosim Al-Junaid Al Baghdadi, tokoh sufi yang besar pengaruhnya, yang wafat di Baghdad tahun 298 H- (910 M). Dengan tenang Guru Sufi mulai cerita,”Al-Junaid memiliki majelis pengajian yang diikuti oleh siapa saja. Satu saat, ada seorang laki-laki yang mengemis di antara anggota majelis pengajian. Al-Junaid berpikir,"Laki-2 itu masih sangat sehat. Dia masih mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Tapi mengapa dia mengemis dan menghinakan diri sendiri?"
“Malam itu, al-Junaid tiba-2 bermimpi diberi suatu suguhan hidangan yang tertutup. Lalu ia ditawari untuk memakan hidangan itu. Saat al-Junaid membuka penutup hidangan, ia mendapati lelaki pengemis tadi terbaring mati di atas wadah itu. Seketika al-Junaid berteriak: Aku tidak makan daging manusia. Terdengar suara: Jika demikian, kenapa engkau berbuat seperti itu di masjid?".
"Al-Junaid terbangun. Ia sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan karena telah berpikiran tidak baik terhadap seseorang, dan ia telah ditegur karena pikiran buruknva itu. Al-Junaid menceritakan: Saat aku terjaga, aku ketakutan. Aku pun berwudhu dan shalat dua rakaat. Lalu aku pergi mencari pengemis itu. Dan aku mendapatinya di tepi Sungai Tigris sedang memunguti sisa-2 sayuran yang dicuci orang. Laki-2 itu pun memakan sisa-2 sayuran itu. Saat aku mendekat, laki-2 itu mengangkat kepalanya. Saat melihatku, ia mendekat dan menyapaku: Junaid, apakah engkau telah bertobat atas pikiran-pikiranmu mengenaiku? Yang segera kujawab,”Ya, aku telah bertobat saudaraku.”
“Kalau begitu, pergilah,” kata laki-2 itu, Allah jua Yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya. Tapi kini, jagalah pikiran-pikiranmu! Jadi, saudara, seperti al-Junaid, aku selalu berusaha untuk menjaga pikiranku dari macam-macam kotoran kecurigaan terhadap siapa pun di antara manusia, baik gelandangan, pengemis, pengamen, peminta sumbangan, bahkan orang gila yang meminta atau tidak meminta-minta. Aku tidak mau mengotori pikiranku dengan bercuriga kepada siapa pun yang meminta kepadaku."
https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/jagalah-kebersihan-pikiran/118240778250308
Ternyata, Adi Bauha mendapati keanehan Guru Sufi yang lain, yaitu mengajak seorang gelandangan kurang waras yang berpakaian compang-camping untuk makan siang bersama. Adi Bauha yang sedianya ikut makan, mengurungkan niatnya karena nafsu makannya mendadak hilang saat duduk bersama gelandangan bau tengik itu. Yang juga memusingkan, para pengemis, pengamen, peminta sumbangan baik tua maupun muda selalu dikasi. Guru Sufi tidak pernah menolak “benalu” masyarakat itu. Bahkan pernah sekali Adi Bauha memergoki, saat Guru Sufi tidak punya uang untuk dikasikan pengemis, ia memberikan satu kilo beras yang akan dimasak untuk makan siang. “Bersedekah memang baik. Tapi kalau anak-anak muda pemalas sudah menadahkan tangan meminta-minta dan terus diberi, itu tidak mendidik,” kata Adi Bauha dalam hati.
Ketika satu pagi mendapati Guru Sufi memberi sumbangan seorang laki-laki berpenampilan kusut dengan pakaian kumal yang mengaku panitia pembangunan masjid, Adi Bauha tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya. Dengan nada memprotes, ia bertanya tentang “kepolosan” Guru Sufi yang selalu percaya dengan peminta sumbangan yang sering palsu. “Apakah itu tidak sama maknanya dengan memberi dukungan kepada para pemalas yang akan menggantungkan hidup dari sedekah orang?” tanya Adi Bauha.
Dengan senyum Guru Sufi tidak memberi jawaban, melainkan bercerita tentang
Abul Qosim Al-Junaid Al Baghdadi, tokoh sufi yang besar pengaruhnya, yang wafat di Baghdad tahun 298 H- (910 M). Dengan tenang Guru Sufi mulai cerita,”Al-Junaid memiliki majelis pengajian yang diikuti oleh siapa saja. Satu saat, ada seorang laki-laki yang mengemis di antara anggota majelis pengajian. Al-Junaid berpikir,"Laki-2 itu masih sangat sehat. Dia masih mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Tapi mengapa dia mengemis dan menghinakan diri sendiri?"
“Malam itu, al-Junaid tiba-2 bermimpi diberi suatu suguhan hidangan yang tertutup. Lalu ia ditawari untuk memakan hidangan itu. Saat al-Junaid membuka penutup hidangan, ia mendapati lelaki pengemis tadi terbaring mati di atas wadah itu. Seketika al-Junaid berteriak: Aku tidak makan daging manusia. Terdengar suara: Jika demikian, kenapa engkau berbuat seperti itu di masjid?".
"Al-Junaid terbangun. Ia sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan karena telah berpikiran tidak baik terhadap seseorang, dan ia telah ditegur karena pikiran buruknva itu. Al-Junaid menceritakan: Saat aku terjaga, aku ketakutan. Aku pun berwudhu dan shalat dua rakaat. Lalu aku pergi mencari pengemis itu. Dan aku mendapatinya di tepi Sungai Tigris sedang memunguti sisa-2 sayuran yang dicuci orang. Laki-2 itu pun memakan sisa-2 sayuran itu. Saat aku mendekat, laki-2 itu mengangkat kepalanya. Saat melihatku, ia mendekat dan menyapaku: Junaid, apakah engkau telah bertobat atas pikiran-pikiranmu mengenaiku? Yang segera kujawab,”Ya, aku telah bertobat saudaraku.”
“Kalau begitu, pergilah,” kata laki-2 itu, Allah jua Yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya. Tapi kini, jagalah pikiran-pikiranmu! Jadi, saudara, seperti al-Junaid, aku selalu berusaha untuk menjaga pikiranku dari macam-macam kotoran kecurigaan terhadap siapa pun di antara manusia, baik gelandangan, pengemis, pengamen, peminta sumbangan, bahkan orang gila yang meminta atau tidak meminta-minta. Aku tidak mau mengotori pikiranku dengan bercuriga kepada siapa pun yang meminta kepadaku."