Oleh KH Agus Sunyoto
Trauma Sejarah
Pelaksanaan “Syariat Islam”-nya Wahabi
Pandangan Guru Sufi terhadap pelaksanaan syariat Islam dalam bernegara
yang tidak sejalan dengan pandangan ustadz Hajibul Haqq, ternyata
berbuntut. Entah siapa yang menyebarkan, tiba-tiba Guru Sufi diisukan
sebagai kyai yang menolak syariat dan tidak mau menjalankan syariat.
Sejumlah aktivis datang untuk bertabayyun mengenai isu tak jelas itu.
Dipimpin Khoirul, Joko dan Bambang, belasan aktivis meminta penjelasan Guru
Sufi tentang kebenaran isu tersebut.
Sambil tersenyum Guru Sufi menjelaskan duduk persoalan kenapa ia tidak sepaham
dengan ustadz Hajibul Haqq dengan alasan pentingnya kejelasan yang dimaksud
syariat, karena kejelasan syariat tidak sekedar menyangkut sudut pandang yang
digunakan melainkan menyangkut pula pelaksanaannya. Sebab baiknya syariat pada
tingkat konseptual, belum tentu baik dalam pelaksanaan apalagi jika syariat itu
dimanfaatkansecara tidak semestinya untuk kepentingan pribadi. “Kita punya
sejarah kelabu tentang pelaksanaan syariat yang tidak jelas apa firqah dan
mazhabnya dan siapa pelaksananya, sehingga timbul kepahitan bagi umat,”
ujar Guru Sufi.
“Maaf Mbah Kyai, setahu saya bangsa Indonesia belum pernah menerapkan syariat
Islam,” kata Khoirul menyela penjelasan Guru Sufi,”Bahkan untuk
hukum jinayat, yang diterapkan pun bukan syariat Islam melainkan hukum
bikinan Belanda, Burgelijk Wetboek. Bagaimana Mbah Kyai bisa menyatakan kita
punya sejarah kelabu tentang pelaksanaan syariat?”
“Ketahuilah, wahai pemuda-pemuda kritis,” sahut Guru Sufi menjelaskan,”Bahwa
sejak jaman kuno bangsa kita sudah hidup teratur menurut hukum. Sejak tahun 648
Masehi, kitab Kalingga Dharmasastra jadi acuan hukum pidana dan perdata. Terus
dilanjut era Singhasari dengan Purwadigama Dharmasastra yang dilanjut era
Majapahit dengan Kutaramanawa Dharmasastra. Untuk hukum pidana, misal, semua
sama: pencuri potong tangan, rampok dihukum bunuh, koruptor dipenggal dan
dirampas harta korupnya ditambah hukuman anak dan isterinya jadi budak.
Penzinah dihukum bunuh. Pemerkosa dihukum bunuh, dan macam-macam hukuman yang
keras lainnya untuk pelaku kejahatan. Sampai zaman Demak, Pajang dan Mataram
hukum yang keras itu terus dijalankan.”
“Maaf Mbah Kyai, kalau hukum kuno seperti itu, kan sama dengan syariat Islam?”
tanya Khoirul.
“Esensinya sama tapi namanya saja yang beda,” sahut Guru Sufi,”Karena itu warga
era Majapahit sampai era Demak, yang Hindu, Buddha maupun muslim
tunduk di bawah supremasi hukum kuno itu.”
“Lalu hukum syariat mana yang Mbah Kyai sebut sebagai sejarah kelabu?”
“Waktu kaum Wahabi berkuasa di Sumatera Barat,” kata Guru Sufi menjelaskan
latar sejarah pelaksanaan syariatnya kaum Wahabi,”Waktu itu yang memimpin
Tuanku Nan Rinceh. Berbagai tindak maksiat, bid’ah, khurafat, takhayul, dan
adat kebiasaan yang tidak Islami diberantas dengan keras. Bahkan
kebiasaan makan sirih, dilarang dengan ancaman hukuman mati. Nah, sebagai contoh
ketegasan penguasa, bibi Tuanku Nan Rinceh yang sudah tua ditangkap karena
kedapatan makan sirih. Lalu orang tua yang merasa tidak melakukan dosa dan
salah itu dihukum pancung di lapangan. Tidak cukup memenggal perempuan tua itu,
Tuanku Nan Rinceh memerintahkan pengikutnya untuk tidak menguburkan mayat
bibinya, melainkan menyuruhnya buang ke hutan supaya dimakan hewan buas. Itulah
contoh yang sesuai bagi yang melanggar hukum Tuhan.”
“Tindakan Tuanku Nan Rinceh menghukum mati bibinya, menggemparkan dan membuat
takut penduduk. Tidak ada satu pun orang yang berani makan sirih lagi. Tapi,
para pengikut Tuanku Nan Rinceh justru membawa segepok daun sirih untuk
diletakkan di rumah orang-orang kaya. Mereka meminta tebusan uang kepada tuan
rumah dan jika tidak dikasi, mereka mengancam akan melaporkan kepada Tuanku Nan
Rinceh bahwa di rumah tersebut ditemukan sirih. Tindakan pengikut Tuanku Nan
Rinceh itu menggemparkan dan membuat takut penduduk. Ketika orang-orang kaya
melaporkan tindakan para pengikutnya yang menyimpang itu, Tuanku Nan Rinceh
tidak mengambil tindakan apa-apa. Ia hanya menyesalkan terjadinya penyimpangan
tersebut.”
“Watak badui yang anti feodalisme, ternyata dijalankan oleh para penyebar
Wahabi selain menista masyarakat bukan Wahabi sebagai kaum
adat yang hidup tidak mengikut hukum Islam. Kaum bangsawan muslim di
Pagaruyung, tanpa alasan jelas tiba-tiba diserang dan dijarah hartanya.
Cicit salah seorang panglima Wahabi yang mencatat kisah-kisah
teror kaum Wahabi di Sumatera Utara, termasuk kekejaman kakek buyutnya dalam
menjalankan syariat, menyusun kisah-kisah traumatik itu dalam sebuah buku yang
diberi judul Tuanku Rao. Demikianlah, resistensi muncul di mana-mana
terhadap pelaksanaan syariat Wahabi yang menakutkan penduduk itu,
sampai akhirnya pecah perang antara kaum Wahabi dengan kaum muslim setempat,
yang kita kenal sebagai Perang Paderi. Itulah, sekelumit sejarah kelabu
pelaksanaan syariat yang pernah terjadi di negeri ini. Karena itu, waktu ustadz
Hajibul Haqq bicara soal pelaksanaan syariat dalam bernegara, aku tanya dulu
syariat yang mana? Syariatnya Wahabi? Syiah? Ahlussunnah wal-Jama’ah? Itu
semata-mata karena kita pernah mengalami peristiwa traumatik dalam sejarah
penerapan syariat.”