Penulis: KH Agus Sunyoto
Setelah mendengar ceramah Ustadz Dul Wahab yang membandingkan orang-orang yang memakan secuil harta orang mati seperti anjing, Abab al-Wahab, murid ustadz Dul Wahab dan dua orang temannya, usai shalat Isyak berdiri di depan rumah guru mereka, menunggu orang-orang pulang tahlil memperingati tujuh hari wafatnya Pak Supeno. Ketika melihat Guru Sufi, Dullah, Sufi tua, dan tiga orang santri pulang tahlilan lewat di depan rumah ustadz Dul Wahab, Abab al-Wahab berteriak lantang,”Lihat kawan, ada barisan anjing lewat. Rupanya anjing-anjing ini sangat kekenyangan habis makan tumpeng .”
Terhina gurunya dihina sebagai “anjing makan tumpeng”, Dullah dan tiga orang santri meraung keras dan serentak melompat akan menyerang Abab al-Wahab. Namun Guru Sufi dan Sufi tua buru-buru menghalangi mereka. Dengan suara ditekan tinggi Guru Sufi berkata,”Sudahlah, untuk apa kalian marah?”
“Tapi guru, badui goblok itu menghina guru sebagai anjing. Mana bisa dibiarkan?” sahut Dullah.
“Lha kita semua ini nyatanya masih cinta dunia seperti anjing kok, kenapa kita harus marah disebut anjing?” kata Guru Sufi menyitir Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 176 sekaligus menerjemahkan maknanya,”Orang-orang yang cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya itu, adalah seibarat anjing. Jika dihalau ia menjulurkan lidah dan jika dibiarkan pun ia menjulurkan lidah. Jadi sepanjang kita sadar bahwa hati kita ini masih cenderung kepada duniawi, maka kita sama dengan anjing.”
“Berarti ada anjing teriak anjing, guru?” tanya Dullah menyindir,”Karena badui-badui goblok itu juga sangat cinta dunia.”
“Jangan engkau keburu menilai rendah makhluk Allah yang disebut anjing,” kata Guru Sufi dengan suara direndahkan, ”Sebab di dalam diri seekor anjing, terdapat sifat-sifat yang harus dimiliki oleh orang beriman terutama yang menjalani laku tasawuf.”
“Orang beriman yang menjalankan laku tasawuf harus memiliki sifat-sifat anjing?” sergah Dullah dengan nada keheranan,”Bagaimana itu penjelasannya, wahai guru?”
“Sufi Hasan al-Bashri telah berwasiat tentang sepuluh sifat di dalam diri anjing yang mesti dimiliki oleh seorang beriman,” kata Guru Sufi menerangkan,”Pertama, anjing suka lapar, di mana lapar itu menjadi kegemaran dan kebiasaan hidup Orang-orang Shalih. Kedua, anjing tidak memiliki tempat tinggal tertentu, di mana hal itu merupakan ciri-ciri dan tanda Orang-orang Tawakkal. Ketiga, anjing tidak tidur pada malam hari kecuali sedikit, itulah tanda-tanda kehidupan para Pecinta Tuhan. Keempat, anjing waktu meninggal dunia tidak meninggalkan warisan, itulah ciri dan tanda Orang-orang Zuhud. Kelima, anjing tidak pernah meninggalkan tuannya meski dihardik dan dijauhi, itulah tanda muriid yang benar dalam kesetiaan kepada gurunya. Keenam, anjing rela ditempatkan di tempat yang paling rendah sekali pun di muka bumi, itulah tanda dan ciri Orang-orang Tawadhu’. Ketujuh, anjing saat diusir dari satu tempat, dia akan meninggalkannya dan pindah ke tempat lain dengan sukarela, itulah tanda dan ciri Orang-orang Ridho. Kedelapan, anjing jika dipukul, diusir, diasingkan, dan dikecewakan, dia menerimanya dengan tulus dan tidak merasa dendam atas apa yang diterimanya, itu adalah tanda dan ciri Orang-orang Khusyuk. Kesembilan, saat makanan dihidangkan, anjing selalu duduk menunggu, itu ciri Orang-orang Fakir. Kesepuluh, anjing saat mengembara tidak pernah menengok ke tempat asalnya, itulah tanda dan ciri Musafir ruhani sejati.”
“Demikianlah, wahai para murid, bahwa sejatinya kita harus bersukacita dan bersyukur saat digolongkan sebagai anjing sebagaimana dimaksud di dalam ayat Allah SWT. Kita harus mawas diri apakah kita memang masih seperti anjing, mencintai duniawi? Sebaliknya, kita harus sedih dan berdukacita jika kita secara sepihak menggolongkan diri sendiri sebagai orang beriman yang paling benar, tetapi dengan dasar pengakuan diri sendiri "ana khoiru minhu" seperti yang telah diucapkan makhluk purwakala yg terkutuk,” kata Guru Sufi melangkah pergi, mengajak Dullah, Sufi tua dan tiga orang santri untuk melanjutkan perjalanan pulang ke pesantren. Abab al-Wahab menghentakkan kaki ke lantai keras-keras, karena kali ini dia merasa ditampar keras oleh Guru Sufi, di mana ia disamakan dengan makhluk purwakala yang telah berkata “ana khoiru minhu”, Sang Iblis, makhluk yang mengakui diri sendiri sebagai yang paling benar dan paling mulia, tetapi malah dikutuk Allah.