Menolak Hipotesis Indonesia Adalah Benua Atlantis (III):
Peristiwa Banjir Dunia Dicatat Bangsa-bangsa Timur Berperadaban Tinggi
Setelah hiruk melewati waktu istirahat dengan makanan ringan dan kopi tubruk, Guru Sufi melanjutkan perbincangan tentang Atlantis dengan bahasan tentang peristiwa banjir besar yang pernah melanda berbagai tempat di muka bumi. Banjir besar yang menurut teori terjadi pada masa Pleistosen, sekitar 11.000 tahun Sebelum Masehi, yaitu masa akhir era Glacial Wurm, yang mengakibatkan air laut naik dan menimbulkan air bah yang menenggelamkan dataran rendah di seluruh dunia itu, telah melahirkan sejumlah epik dan legenda serta catatan suci tentang banjir besar yang melanda dunia, yang muncul di kalangan bangsa-bangsa tua di zaman kuno seperti kisah Zuisudra di kalangan bangsa Sumeria, kisah Deucalion dalam mitologi Yunani, kisah Atlantis dalam tulisan Plato, kisah Nabi Nuh dan bahteranya dalam Kitab Beresyit (Kejadian), kisah Matsya dalam Puranas Hindu, kisah Utnapishtim dalam Epos Gilgames di Babilonia, dan kisah-kisah sejenis di Cina, Pasifik hingga benua Amerika. Sebagian besar budaya dunia di masa lampau mempunyai cerita-cerita tentang banjir besar yang menghancurkan peradaban sebelumnya. Di antara sejumlah kisah mitologis dan legendaris tentang banjir besar yang terjadi di masa silam, yang rekaman arkeologisnya ditayangkan Sufi Kenthir lewat LCD Player, rangkaian isinya kira-kira sebagai berikut:
Banjir Besar dalam Mitologi Sumeria
Mitos Sumeria tentang Ziusudra ditulis dalam prasasti batu salinan dari potongan Kitab Kejadian Eridu, yang menurut bentuk tulisannya diperkirakan berasal dari abad ke-17 Sebelum Masehi. Cerita mitologis itu menuturkan bagaimana dewa Enki memperingatkan Ziusudra (nama Ziusudra bermakna "ia melihat kehidupan," karena telah beroleh karunia keabadian dari dewa-dewa), Raja Shuruppak, tentang keputusan para dewata untuk menghancurkan umat manusia dalam sebuah air bah (meski teks yang menjelaskan mengapa dewa-dewa mengambil keputusan menghancurkan manusia hilang, diduga perbuatan manusia saat itu telah membuat marah dewa-dewa). Karena menganggap Ziusudra raja yang baik, Dewa Enki memerintahkan Ziusudra untuk membangun sebuah kapal besar (teks yang menggambarkan perintah ini pun hilang).
Banjir besar pun melanda dunia. Kapal besar yang dinaiki Ziusudra terapung di permukaan air. Setelah tujuh hari berlangsung, banjir surut. Ziusudra dengan rasa syukur membuat kurban persembahan yang semestinya dan menyembah Dewa An (dewa langit) dan Dewa Enlil (pemimpin para dewa). Atas kesetiaannya menyembah An dan Enlil, Ziusudra dianugerahi An dan Enlil kehidupan kekal di Dilmun (Taman Eden bangsa Sumeria). Di dalam prasasti yang berisidaftar raja-raja Sumeria, sebuah silsilah tentang raja-raja tradisional, yang bersifat legendaris dan mitologis, juga menyebutkan tentang adanya sebuah banjir besar. Berbagai ekskavasi arkeologi di Irak mengindikasikan tentang pernah adanya suatu banjir di Shuruppak sekitar tahun 2900-2750 SM, yang meluas hingga kota Kish, yang dipimpin raja Etana, yang konon merupakan pendiri dinasti Sumeria pertama setelah air bah itu. Raja Etana diduga keturunan Ziusudra, Raja Shuruppak, sebelum negeri itu diterjang air bah.
Epos Gilgames Babilonia
Kisah banjir besar di Babilonia yang dikenal sebagai Epos Gilgames, terukir pada sebuah meterai silinder di situs Ur III berisi 11 lempengan yang mengisahkan tokoh pahlawan, Raja Uruk bernama Gilgames, yang diyakini pemerintahannya berlangsung sekitar tahun 2700 SM-2500 SM, yaitu 200-400 tahun sebelum kisah-kisah tertulis tertua yang ditulis dalam huruf paku itu diabadikan. Gilgames dikisahkan telah bersikap kejam dan menyalah-gunakan kekuasaannya dengan meniduri perempuan-perempuan sebelum mereka ditiduri suami mereka. Dewi penciptaan Aruru marah dan menciptakan manusia liar, Enkidu, yang selalu menganggu. Enkidu bertarung melawan Gilgames dan Gilgames meninggalkan perkelahian dan mengusulkan petualangan ke hutan Aras untuk membunuh roh jahat.
Enkidu dan Gilgames lalu pergi ke hutan Aras dan atas bantuan Shamash, dewa matahari, mereka membunuh Humbaba, roh jahat penjaga pohon. Namun Humbaba sebelum mati mengutuk mereka berdua. Akibat kutukan Humbaba, Enkidu mati. Gilgames meratapi Enkidu, sambil menawarkan berbagai pemberian kepada banyak dewata agar mereka mau berjalan di sisi Enkidu di dunia bawah. Gilgames berangkat untuk mengelakkan nasib Enkidu dan membuat perjalanan berbahaya untuk mengunjungi Utnapishtim dan istrinya, satu-satunya manusia yang berhasil selamat dari banjir yang sangat dahsyat dan diberikan keabadian oleh para dewata. Utnapishtim (nama ini merupakan terjemahan langsung dari Ziusudra dalam bahasa Sumeria ke bahasa Akkadia, yang bermakna “ia melihat kehidupan” ) tinggal di Dilmun, suatu taman firdaus surgawi yang luar biasa indah. Utnapishtim dikenal sebagai orang yang hidup abadi karena kemurahan dewa-dewa.
Gilgames berangkat dengan kapal melintasi Air Kematian bersama Urshanabi, sang jurumudi, dan menyelesaikan perjalanan menuju dunia bawah. Gilgames berjumpa dengan Utnapishtim. Lalu Utnapishtim menceritakan tentang peristiwa air bah yang dahsyat. Utnapishtim menuturkan bagaimana dewa Ea memperingatkannya tentang rencana para dewata untuk menghancurkan seluruh kehidupan melalui sebuah air bah dahsyat. Dewa Ea memerintahkan Utnapishtim membangun sebuah kapal besar yang akan digunakannya untuk menyelamatkan keluarga, teman-teman, kekayaan, dan ternaknya. Air bah dahsyat pun terjadi. Dunia tenggelam. Hanya Utnapishtim beserta mereka yang naik kapalnya yang selamat. Setelah air bah yang menenggelamkan dunia surut, Utnapishtim melakukan upacara menghormati dewa-dewa. Para dewata menyesali tindakan mereka. Itu sebabnya, mereka kemudian menganugerahi Utnapishtim hidup abadi.
Epos Atrahasis Akkadia
Epos Atrahasis Akkadia (ditulis sekitar tahun 1700 SM), menjelaskan bahwa kelebihan jumlah penduduk dunia sebagai penyebab utama terjadinya banjir besar. Menurut cerita: setelah 1200 tahun kesuburan pertumbuhan manusia berlangsung, hiruk-pikuk dan kebisingan yang disebabkan manusia – menari-nari, menyanyi, bermain musik, mabuk-mabukan, bertengkar, berperang – telah mengganggu ketenangan dewa Enlil dari tidurnya. Makin bertambah jumlah manusia, kebisingan dan hiruk-pikuk manusia makin bertambah. Enlil lalu meminta tolong kepada majelis para dewa untuk mengurangi jumlah manusia. Dewa-dewa lalu mengirim wabah dan kekeringan yang disusul kelaparan karena tanah yang asin tidak bisa ditanami. Namun semua usaha para dewa itu tidak mengurangi manusia. Jumlah manusia terus bertambah dan terus mengganggu tidur Enlil.
Setelah 1200 tahun masing-masing dewa berusaha mengurangi manusia tidak membawa hasil, malahan jumlah manusia makin bertambah dan masalah pertambahan jumlah manusia yang mengganggu Enlil muncul kembali. Lalu para dewa memutuskan untuk mengambil tindakan terakhir, dengan mengirimkan air bah. Dewa Enki, yang mempunyai kewajiban moral terhadap penyelesaian itu, memberitahukan rencana dewa-dewa itu kepada Atrahasis. Enki memerintahkan Atrahasis membangun kapal penyelamat menurut ukuran yang diberikan oleh dewa. Lalu datanglah air bah dan dunia tenggelam dalam banjir besar. Hanya Atrahasis beserta keluarga dan hewan-hewan yang dimasukkan ke dalam kapalnya saja yang selamat.
Kisah Banjir Besar Zaman Nabi Nuh
Kitab Kejadian (beresyith) mengisahkan bahwa setelah Adam dan Hawa meninggalkan Taman Eden, beberapa generasi keturunan mereka menjadi manusia jahat dan hidup penuh kekerasan. Allah menyesal telah menciptakna manusia dan memutuskan untuk mengirimkan air bah untuk menghapuskan kejahatan manusia. Allah hanya menemukan satu orang di muka bumi yang layak diselamatkan, yaitu Nabi Nuh. Allah memerintah Nabi Nuh membangun sebuah bahtera dengan ukuran dan rancangan tertentu dan membawa ke dalam bahtera itu istrinya, ketiga anak lelakinya, Sem, Ham, dan Yafet beserta istri mereka, dan binatang-binatang dan burung-burung yang tidak haram sebanyak 7 pasang, jantan dan betina, dan sepasang binatang-binatang yang haram, jantan dan betina. Pada tahun ke-600 usia Nabi Nuh, Allah mengirimkan air bah dahsyat yang menenggelamkan dunia.
Menurut kisah ini, air bah datang dari (1) hujan yang secara historis pertama kali disebutkan dalam Al-kitab, yang berlangsung selama 40 hari dari "tingkap-tingkap di langit," dan (2) air dari "segala mata air samudera raya." Air dari banjir itu meningkat selama 40 hari (Kejadian 7:17) dan bertahan selama 150 hari (Kejadian 7:24, Kejadian 8:3). Pada bulan kedua, hari ke-27 bulan itu, bumi menjadi kering, dan Allah memerintahkan Nabi Nuh meninggalkan bahtera. Kisah banjir dahsyat di daerah Timur Tengah seperti tertulis dalam kisah Ziusudra dari Sumeria, kisah Gilgames dari Babilonia, kisah Atrahasis Akkadia, dan kisah Nabi Nuh memiliki kemiripan satu sama lain, yaitu kemarahan dewa-dewa atau Tuhan, perintah membuat kapal dan memasukkan hewan-hewan ke dalam kapal, banjir besar menenggelamkan dunia, dan hanya penumpang kapal yang selamat.
Air Bah Ogigian dan Deukalion Yunani
Di dalam mitologi Yunani mengenal kisah dua peristiwa air bah besar yang mengakhiri dua Zaman Manusia: Air bah Ogigian yang mengakhiri Zaman Perak dan air bah Deukalion yang mengakhiri Zaman Perunggu Pertama. Air bah Ogigian, disebut demikian karena terjadinya pada masa Ogiges, pendiri dan raja Kerajaan Thebes.
Legenda Deukalion mengisahkan Prometheus menasihati anaknya Deukalion untuk membangun sebuah peti karena banjir akan melanda. Saat banjir datang, semua orang tewas. Gunung-gunung di Thessaly terbelah, dan seluruh dunia di luar Isthmus dan Peloponnesos tenggelam. Deukalion dan istrinya Pyrrha, setelah terapung-apung di peti itu selama sembilan hari sembilan malam, mendarat di Parnassus.
Kaum Megarian mengisahkan bahwa Megarus, anak Zeus, selamat dari banjir Deukalion dengan berenang ke puncak Gunung Gerania, dibimbing teriakan-teriakan burung-burung bangau. Ada spekulasi bahwa sebuah tsunami hebat di Laut Mediterania yang disebabkan oleh ledakan Gunung Thera yang terjadi secara geologis pada sekitar 1630-1600 SM, tetapi berlangsung hingga 1500 SM. Kisah itu menjadi basis historis untuk cerita rakyat yang berkembang menjadi mitos Deukalion. Kisah banjir besar Deukalion menjadi mitos, karena bangsa Yunani belum bisa mencatat peristiwa itu karena belum mengenal tulisan.
Matsyapurana Kisahkan Banjir Besar India
Menurut Matsyapurana dan Shatapatha Brahmana (I-8, 1-6), Mantri dari raja Dravida, Satyabrata yang juga dikenal sebagai Manu, dikisahkan sedang mencuci tangannya di sebuah sungai ketika seekor ikan kecil masuk ke tangannya dan memohon kepadanya untuk menyelamatkan nyawanya.
Manu meletakkan ikan kecil itu di sebuah bejana. Namun ikan kecil itu tumbuh sangat cepat, sehingga tak lama kemudian bejana itu menjadi terlalu kecil untuk si ikan. Manu berturut-turut memindahkan ikan itu ke sebuah tangki, sungai, dan kemudian memasukkannya ke samudra. Ikan itu kemudian memperingatkan Manu, bahwa tidak lama lagi, dalam waktu seminggu akan terjadi air bah yang akan menghancurkan seluruh kehidupan. Karena itu Manu membangun sebuah kapal. Ketika ari bah dating menghancurkan dan menenggelamkan segala, kapal Manu ditarik oleh si ikan itu ke puncak gunung. Dengan demikian, Manu selamat bersama-sama dengan sejumlah "benih kehidupan" untuk membangun kembali kehidupan di muka bumi.
Kisah Air Bah di Cina
Shanhaijing, "Cerita Klasik tentang Gunung dan Lautan", berakhir dengan penguasa Tiongkok Da Yu yang selama sepuluh tahun berusaha mengendalikan air bah yang "meluap hingga ke langit”. Shujing, atau "Kitab Sejarah", ditulis sekitar 700 SM, menyatakan dalam bagian-bagian pembukaannya bahwa Kaisar Yao sedang menghadapi masalah dengan air bah yang mencapai ke Surga. Ini adalah latar belakang dari campur tangan Da Yu yang terkenal, yang berhasil mengendalikan banjir. Ia kemudian mendirikan dinasti Tiongkok yang pertama.
Catatan Sejarah Agung, Chuci, Liezi, Huainanzi, Shuowen Jiezi, Siku Quanshu, Songsi Dashu, dan lain-lainnya, serta banyak mitos rakyat lainnya, semua mengandung rujukan kepada seseorang yang bernama Nuwa. Nuwa pada umumnya digambarkan sebagai seorang perempuan yang memperbaiki langit yang rusak setelah air bah atau bencana, dan memenuhi dunia kembali dengan manusia. Ada banyak versi tentang mitos ini. Peradaban Tiongkok kuno yang terpusat pada tepi Sungai Kuning dekat kota Xi'an sekarang juga percaya bahwa banjir yang parah di sepanjang tepi sungai itu disebabkan oleh naga-naga (yang mewakili para dewa) yang hidup di sungai karena dibuat marah oleh kesalahan manusia yang melakukan kejahatan-kejahatan.
Kisah Air Bah di Pasifik
Sejumlah kisah tentang banjir besar yang disebabkan air bah, terdapat pula di pulau-pulau yang tersebar di Lautan Pasifik yang dihuni bangsa-bangsa Polonesia. Rakyat Ra'iatea, menuturkan kisah dua orang sahabat, Te-aho-aroa dan Ro'o, yang pergi menangkap ikan dan kebetulan membangunkan dewa samudera Ruahatu dengan mata kail mereka.
Dalam kemarahannya, dewa Ruahatu bersumpah akan menenggelamkan mereka bersama tempat tinggalnya ke dalam laut. Te-aho-aroa dan Ro'o memohon ampun, dan Ruahatu memperingatkan mereka bahwa mereka dapat lolos hanya dengan membawa keluarga mereka ke pulau kecil Toamarama. Mereka kemudian berlayar, dan di malam hari, pulau itu benar-benar tenggelam ke dalam laut dan baru muncul kembali esok paginya. Tak satupun yang selamat kecuali keluarga-keluarga Te-aho-aroa dan Ro’o, yang mendirikan marae (kuil-kuil) suci yang dipersembahkan kepada dewa Ruahatu.
Dalam sebuah tradisi di kalangan suku Ngāti Porou, sebuah suku Māori di pantai timur Pulau Utara Selandia Baru, Ruatapu menjadi marah ketika ayahnya Uenuku mengangkat adik tirinya Kahutia-te-rangi melewatinya. Ruatapu memikat Kahutia-te-rangi dan sejumlah besar orang muda dari keturunan bangsawan masuk ke kanonya dan membawa mereka keluar ke laut dan di sana ia menenggelamkan mereka. Ia memanggil para dewa untuk menghancurkan musuh-musuhnya dan mengancam akan kembali sebagai gelombang-gelombang besar pada awal musim panas. Sementara ia bergumul untuk mempertahankan nyawanya, Kahutia-te-rangi membacakan mantra yang memanggil ikan paus bungkuk selatan (paikea dalam bahasa Māori) untuk membawanya ke pantai. Karena itu, ia diubah namanya menjadi Paikea, dan merupakan satu-satunya orang yang selamat dari air bah.
Di Hawaii, sepasang manusia, Nu'u dan Lili-noe, selamat dari sebuah banjir di puncak Mauna Kea di Big Island. Nu'u mempersembahkan kurban kepada bulan, yang disangkanya telah menyelamatkannya. Kāne, sang dewa pencipta, turun ke bumi dengan menggunakan pelangi, menjelaskan kekeliruan Nu'u, dan menerima kurbannya.
Di Seti, di Seram Utara, penduduk percaya bahwa batas-batas tanah mereka adalah batas setelah kering ke 2 (Akibat dari Banjir Besar). Sementara kapata-kapata (pantun-pantun yang sudah mendarah daging dan menjadi simbol budaya setempat) berbicara tentang sesorang bernama NUHU, berlayar dipinggir suatu pulau (hasa-hasa e), melihat tanjung (tanjong e) dsb. Namun karena alasan-alasan tertentu maka beberapa kapata tersebut terpaksa jarang dituturkan di Maluku. Beberapa nama yang ada di Maluku juga ada di Hawaii seperti nama kota: Wahaii, Sawaii, Waitatiri (nama-nama yang sama di Pulau Seram).
Kisah Air Bah Suku Maya
Dalam mitologi Maya, dari Popol Vuh, Bagian 1, Bab 3, Huracan ("kaki-satu") adalah dewa angin dan badai yang menyebabkan Air Bah (berupa cairan pohon yang dapat terbakar) setelah manusia-manusia pertama (yang terbuat dari kayu) membangkitkan kemarahan para dewata (karena tidak mampu menyembah mereka). Ia konon hidup di dalam embun berangin di atas air banjir dan berbicara "bumi" hingga tanah muncul lagi dari lautan.
Belakangan, dalam Bagian 3, Bab 3 & 4, dikisahkan tentang empat orang lelaki dan empat orang perempuan memenuhi kembali dunia Quiche setelah air bah. Semua orang berbicara bahasa yang sama dan berkumpul bersama-sama di lokasi yang sama di mana bahasa mereka diubah, setelah itu mereka berpencar ke seluruh dunia.
Kisah Air Bah Suku Hopi
Dalam mitologi Hopi, orang-orang berulang kali menjauhkan diri dari Sotuknang, Sang Pencipta. Ia menghancurkan dunia dengan api, dan kemudian dengan udara yang dingin, dan menciptakan dunia kembali pada kedua kesempatan itu untuk orang-orang yang masih mengikuti hukum-hukum ciptaan, yang bertahan dengan bersembunyi di bawah tanah.
Pada kali yang ketiga, manusia menjadi korup dan suka berperang. Akibatnya, Sotuknang memimpin manusia kepada Perempuan Laba-laba, dan ia memotong buluh-buluh raksasa dan menampung manusia di batangnya yang berlubang. Sotuknang kemudian mendatangkan air bah yang hebat, dan manusia terapung-apung di air di dalam buluh mereka. Buluh-buluh ini kemudian berhenti di sepotong kecil tanah, dan manusia pun keluar, dengan jumlah makanan yang sama seperti waktu mereka berangkat. Manusia pergi dengan kano mereka, dipimpin oleh hikmat batin mereka (yang kabarnya berasal dari Sotuknang melalui pintu di atas kepala mereka). Mereka pergi ke timur laut, melewati pulau-pulau yang semakin besar, hingga mereka tiba di Dunia Keempat. Ketika mereka mencapai dunia yang keempat, pulau-pulau itu pun tenggelam ke dalam samudra.
Kisah Air Bah Suku Menominee
Dalam mitologi Menominee, Manabus, sang penipu, "terbakar oleh nafsunya untuk membalas dendam menembak dua dewa bawah tanah ketika dewa-dewa itu sedang bermain. Ketika mereka semua terjun ke dalam air, muncullah banjir yang besar. "Air naik .... ia tahu betul ke mana Manabus telah pergi." Ia belari dan berlari terus, tetapi air itu, yang datang dari Danau Michigan, mengejarnya semakin lama semakin cepat, bahkan ketika ia naik ke atas gunung dan mendaki puncak pohon pinus. Empat kali ia memohon kepada pohon untuk bertumbuh sedikit lagi, dan empat kali pohon itu mengabulkannya hingga ia tidak dapat bertumbuh lebih tinggi lagi. Tetapi air itu terus mendaki "terus, terus, hingga mencapai dagunya, lalu berhenti": tidak ada lagi yang lain kecuali air yang merentang hingga ke cakrawala. Dan kemudian Manabus, yang ditolong oleh binatang-binatang yang menyelam, khususnya yang paling berani di antara semuanya, Muskrat, menciptakan dunia yang kita kenal sekarang.
Setelah memaparkan cerita legenda banjir besar yang dimiliki bangsa-bangsa di dunia, Guru Sufi membuat simpulan bahwa kisah Atlantis yang ditulis Plato, hanya salah satu dari cerita-cerita kuno tentang banjir besar yang menenggelamkan dunia. “Sungguh kurang bijak, jika ada klaim bahwa bangsa kuno berperadaban tinggi yang ditenggelamkan banjir semata-mata bangsa Atlantis leluhur orang Eropa. Sebab fakta sejarah menunjuk saat prasasti-prasasti Sumeria, Babilonia, Akkadia, dan Messopotamia tentang banjir ditulis dengan huruf paku, orang Yunani masih biadab belum mengenal huruf dan pakaian. Fakta tentang ketinggian peradaban Sumeria, Babilonia,dan Messopotamia sudah diakui secara ilmiah, baik berdasar disiplin arkeologi, epigrafi, iconografi, etnohistori, sampai sejarah, sementara kisah Atlantis sampai sekarang tetap pada tingkat hipotesa tentang sebuah dongeng,” ujar Guru Sufi.
“Bagaimana dengan teorinya Prof Santos, Mbah Kyai?” Tanya Farel penasaran.
“Kita lanjut besok malam, nak,” sahut Guru Sufi,”Sekarang kalian istirahat dulu.”
(bersambung…)
Karya: KH Agus Sunyoto
Dikopas dari: