Oleh: KH Agus Sunyoto
Gara-gara pesantren dikirimi paket mencurigakan mirip bom, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Sufi Jadzab, Sufi Gelandangan, Dullah, Dul Gawul, dan Sufi tua membincang tentang perlu dan tidak perlunya paket itu dilaporkan ke pihak berwajib. Namun akibat tidak pernah membahas hal bersifat kebendaan, perbincangan tentang paket itu jadi tidak jelas arahnya apalagi Sufi Kenthir dengan tiga-empat orang santri mengiringi perbincangan itu dengan lagu “panggung sandiwara” dan musik dapur – piring seng, panci bocor, galon kosong, kardus mie instant, gelas alumunium dan sendok – yg ditabuh sekenanya.
Sufi Sudrun mula-mula menyatakan bahwa laporan ke polisi tidak dibutuhkan, karena keberadaan paket itu belum pasti berisi bom. “Kita tidak boleh su’u dzon terhadap sesuatu. Sebab sekali kita su’u dzon, kita memberi peluang kepada setan untuk membuat hati kita was-was,” kata Sufi Sudrun.
“Tapi kalau isi paket itu benar-2 bom bagaimana?” sergah Dullah dengan suara tinggi.
“Aku jamin paket itu tidak berisi bom,” tukas Sufi Jadzab menyela,”Soalnya, menurut temanku, Si Sapuregel, semua bom itu dibikin dengan tujuan untuk main sandiwara. Dalam skenario, bom paketan itu tidak akan dikirim ke pesantren-pesantren bulukan berisi orang-orang melarat, orang-orang terlantar, anak-anak yatim, orang-orang penyakitan, dan orang-orang yang sedikit gila.”
“Maaf Pakde, teman sampeyan Si Sapuregel itu siapa? Apa dia itu anggota intelijen?” tanya Dullah penasaran,”Kok kayaknya dia tahu banyak soal teror bom.”
“Sapuregel itu, kepala bangsa jin di ibukota,” kata Sufi Jadzab polos,”Segala hal yang terjadi di ibukota, pasti Sapuregel tahu.”
“Waduh Pakde, kita ini bicara bom, jangan melibatkan jin, setan, demit, pocong, gendruwo, kuntilanak,” sahut Dullah jengkel.
“Kamu jangan berpandangan sekuler, Dul,” sahut Sufi tua menyela,”Omongan Pakde tentang Sapuregel, aku yakin itu benar. Soalnya, aku juga kenal dengan penguasa ibukota itu kok. Yang perlu kita telusuri, untuk apa orang-orang bikin teror bom. Sapuregel harus menjelaskan itu.”
“Benar itu,” sahut Sufi Kenthir ikut bicara,”Ayo Pakde, tanya Si Sapuregel tentang latar di balik orang-orang bermain sandiwara dengan bom yang mencelakakan orang itu.”
Sufi Jadzab celingukan. Sebentar kemudian, ia meminta Sufi Kenthir dan para santri untuk menyanyi lagu “panggung sandiwara” dengan iringan musiknya. Setelah lagu dinyanyikan, Sufi Jadzab berkata lantang,”Sapuregel bilang, skenario sandiwara itu diberi judul “RUU Intelijen Negara”. Menurut Sapuregel, skenario itu ditulis atas pesanan Empire Global dalam rangka memuluskan program globalisasi dengan a global open society-nya. Kata Sapuregel, pasal-pasal di dalam RUU itu memberikan kewenangan kepada intelijen negara untuk masuk ke ranah privasi orang seorang. Misalnya, dalam pasal 31 intelijen diberi kewenangan untuk melakukan intersepsi komunikasi seseorang seperti menyadap telepon, menyerobot faksimile, membuka e-mail, mengontrol facebook dan twitter, mengawasi blog dan website, memeriksa surat dan paket, yanag diduga berkaitan dengan separatisme dan terorisme.”
“Waduh Pakde, apa itu ada kaitannya dengan pernyataan Menkominfo yang mempersilahkan badan intelijen untuk mengawasi dan mengontrol facebook dan twitter?” tanya Sufi Sudrun.
“Apa itu ada hubungan dengan rencana pembentukan Detasemen Anti-Anarkis?” tanya Dullah.
“Iya ya, jangan-jangan teroris yang merampok bank dan nembak polisi itu juga bagian dari sandiwara ya?” sahut Dul Gawul ragu-ragu dan ingin tahu jawaban yang pasti,”Jangan-jangan uztadz Abu Bakar al-Wahab yang diadili dengan tuduhan kampiun teroris itu juga bagian dari sandiwara yang sudah dirancang. Bagaimana itu Pakde?”
“Kok kebetulan ya, Umar Pateken juga katanya ketangkap di Pakis Wetan – Pakistan. Itu baru kabar lho, benar tidaknya belum ada yang pasti,” sahut Sufi Sudrun.
“Wah soal itu semua aku belum tanya Sapuregel,” kata Sufi Jadzab ketawa terkekeh-kekeh, ”Katanya dia juga lagi sibuk ngawasi sutradara mengatur peran para pemain sesuai skenario. Tapi menurut dia, kisruh soal teroris merampok bank, teroris nembak polisi, teroris latihan perang, menangkap dan mengadili ustadz teroris, bom buku, isu paket bom, pelajar jadi teroris; pendek kata segala kekisruhan yang berkaitan dengan teroris, ujungnya adalah pengabsahan RUU Intelijen Negara menjadi UU. ”
“Kalau RUU Intelijen Negara jadi disahkan, demokrasi akan hancur. Kebebasan akan gulung tikar. Yang muncul adalah rezim tiranik. Soalnya, penguasa bisa berbuat apa saja terhadap masyarakat atas nama UU. Itu alamat kekuasaan Shogunat yang pernah diterapkan di negeri ini pada 1942 – 1945, bakal terulang lagi dengan kenpetai-kenpetai yang lebih ganas dan buas serta brutal. Apa mungkin pemerintah yang katanya reformis itu justru menjadi penghancur demokrasi?” Sufi Gelandangan mengomentari.
“Tidak ada yang tidak mungkin dalam kehidupan di dunia ini. Apalagi di masa datang, semua DEMOKRASI akan disulap menjadi DEMOKERASI, maksudnya, siapa yang ‘demo akan dikerasi’: disergap, diborgol, dijotosi, dikepruki, ditendang, dibanting, diinjak-injak, dicekik, dibedhil, ditusuk sangkur, dimutilasi, sampai diledakkan dengan bom,” kata Sufi tua dengan suara tinggi.
“Jangan mendramatisasi keadaan mbah,” sahut Dullah lantang.
“Siapa yang mendramatisasi keadaan?” sahut Sufi tua berusaha menjelaskan sedikit informasi yang dimilikinya tentang skenario global yang dijalankan Empire Global,”Asal tahu saja, untuk masa datang dunia tidak butuh lagi demokrasi. Sebab pasca runtuhnya komunisme, yang dibutuhkan Kapitalisme Global adalah stabilitas sosial dan politik di berbagai negara, dengan target utama menjaga dan memelihara keselamatan aset-aset mereka. Itu berarti, aparatur ‘negara-negara bawahan’ yang berkedudukan state capitalism, menjalankan fungsi utama menjaga dan melindungi aset-aset Kapitalisme Global dari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan.”
“Lha, bagaimana nasib konsep Nation dan Nation-state, mbah?” tanya Dullah ingin tahu.
“Di era global dengan a global open society-nya, konsep nation dan nation state akan runtuh sendiri digantikan konsep A global open Society dengan Multi National Corporation (MNC) dan Trans National Corporation (TNC), di mana state (negara) kedudukannya diubah menjadi semacam counter atau mall, bagian dari a global free market, tempat orang menjual komoditi-komoditi yang diproduksi kapitalisme global sekaligus posko keamanan yang dibutuhkan untuk menjaga dan melindungi MNC dan TNC beserta seluruh operasionalnya. Yang pasti, ke depan nanti term Classical Capitalism akan berubah menjadi Compassionate Capitalisme, yang akan diikuti perubahan liberalism menjadi new-liberalism, democracy menjadi democrazy, ‘demokrasi’ menjadi ‘demokerasi’, ‘negara bangsa’ menjadi ‘negara bangsa-t’, yang semua prioritasnya adalah : STABILITAS!” kata Sufi tua disambut ketawa ngakak Sufi Jadzab, Sufi Kenthir, Sufi Sudrun, Sufi gelandangan, dan Dul Gawul.
Sufi tua mengambil paket kiriman dan kemudian membukanya. Isinya ternyata jenang Kudus, dodol Garut, Bakpia Pathuk, Tahu Sumedang, Peyeum Bandung kiriman dari Sufi Slendro . Setelah dibagi rata, semua makan dengan lahap diiringi nyanyian Sufi Kenthir ‘panggung sandiwara’ dengan musik dapur. Entah kesurupan setan dari mana, tiba-tiba Dullah berteriak,”Semua ternyata hanya kebohongan yang mengikuti skenario bohong-bohongan, dimainkan oleh para pembohong di bawah arahan sutradara masyhur: SI DEWA BOHONG!”
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/teror-bom-ruu-sandiwara-pembohong/122774697796916
25 Apr 2014
Teror, Bom, RUU, Sandiwara, Pembohong
Langganan:
Postingan (Atom)