22 Apr 2014

Makna Qalbu (hati) Dalam Pandangan Tasawuf


Oleh: KH Agus Sunyoto

Makna Qalbu (hati) Dalam Pandangan Tasawuf
            Rasul Saw bersabda,’Ketahuilah, di dalam jasad ada segumpal daging (mudzghah) yang jika baik daging itu maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika jelek daging itu maka jeleklah seluruh jasadnya. Ketahuilah daging itu adalah hati (qalb).’’ (HR. Bukhari & Muslim dari Nu’man bin Basyir).
            Ungkapan Rasul Saw tentang segumpal daging fisik (mudzghah) di dalam dada manusia  yang dihubungkan dengan hati (qalb), sering diassumsikan secara kurang tepat dalam memaknai hati (qalb) yang diidentikkan sebagai organ fisik yang disebut hati  (mudzghah) tersebut. Sehingga kerusakan pada fisik hati (mudzghah) itu, ditafsirkan akan  berakibat kerusakan pada perilaku pemilik hati yang rusak tersebut.
            Dalam term sufisme makna al-qalbu (hati) lebih menunjuk kepada aspek ruhani, substansi halus, anasir bukan materi yang berfungsi mengenal segala sesuatu dan mampu merefleksikan sesuatu seperti cermin yang memantulkan sebuah gambar. Kemampuan qalb dalam merefleksikan suatu hakikat tergantung pada sifat qalb, sesuai pengaruh inderawi, syahwat, kemaksiatan, dan cinta. Sepanjang hati itu bersih dari kendala-kendala yang dapat menutupinya, maka hati dapat menangkap hakikat yang ada. Bahkan di qalb ma’rifat terjadi.
            Menurut At-Tirmidzi, qalb (hati) adalah pusat dari semua perasaan, pengenalan dan emosi di dalam diri manusia. Semua perasaan, pengenalan dan emosi manusia akan kembali ke qalb (hati) dan dari qalb (hati) dikirim kembali ke seluruh tubuh. Qalb (hati) bersifat otomatik, dapat menyerap segala bentuk emosi yang ada, dan apabila terbetik di dalamnya suatu aliran perasaan, secara langsung akan dipancarkan ke seluruh tubuh. Dengan pandangan At-Tirmidzi ini, hati dapat diibaratkan seperti istana. Jika yang memerintah istana adalah raja yang baik (ruh), maka akan baiklah semua perilaku si pemilik hati. Sebaliknya, jika yang berkuasa di istana adalah raja jahat (nafsu), maka akan rusaklah semua perilaku si pemilik hati.
            Imam Al-Ghazali mengungkapkan makna qalb dengan gambaran metaforik sebagai sumur yang digali di tanah. Sumur itu bisa diisi lewat saluran pipa dari sungai atau saluran irigasi. Tidak jarang dalam mengisi sumur dilakukan penggalian lebih dalam sampai didapati sumber air di dalam tanah. Jika digali lebih dalam, akan memancar air yang lebih jernih, lebih deras dan tidak ada habisnya. Tidak ubahnya sumur, ungkap Al-Ghazali, air di dalamnya itulah ilmu pengetahuan. Pancaindera ibarat saluran pipa atau  saluran irigasi, mengisi qalb dengan ilmu pengetahuan seibarat saluran pipa atau saluran irigasi mengisi sumur dengan air dari sungai di muka bumi. Qalb diisi ilmu pengetahuan lewat pancaindera melalui proses membaca, mendengar, merasakan, mengamati, meneliti. Sementara ada cara lain mengisi air ke dalam sumur, dengan menutup saluran pipa atau saluran irigasi. Lalu menggali qalb lebih dalam lewat uzlah, khalwat, mujahadah, muraqabah, musyahadah sampai terangkat tutup yang menyelubungi, sehingga memancar dari dalam qalb ilmu pengetahuan yang lebih bersih dan abadi, sebagaimana firman Allah: “Sejatinya, (al-Qur’an)  itu merupakan tanda-tanda yang jelas di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu (Q.S.Al-Ankabut:49).
            “Inna fii jazadi al-mudzghah. Wa fii mudzghah qalb, wa fii qalb fuad, wa fii fuad ruh, wa fii ruh sirr, wa fii sirr akfa, wa fii akfa ana!” sabda Nabi Saw ini menunjukkan bahwa di dalam mudzghah terdapat tujuh lapisan anasir halus bukan materi  bersifat ruhaniah yang makin lama makin halus hingga ke pusat  anasir hati yaitu ana (aku). Seibarat istana dengan tujuh ruangan dari  yang zhahir sampai yang bathin yang dilingkari tujuh dinding, setiap ruangan memiliki pintu dan kunci yang berujung ke pusat ruangan paling batiniah di mana sang raja berada.  Adapun yang dimaksud tujuh ruangan di istana itu, dari luar ke dalam atau dari zhahir ke bathin, adalah:
  1. Al-Mudzghah, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab  Al-Jamal (keindahan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Hidayah. Kuncinya adalah Al-Miftah Al-Iqrar (pengakuan);
  2. Al-Qalbu, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Jalal (kemuliaan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Ra’fah (kesantunan). Kuncinya Al-Miftah At-Tauhid (peng-Esa-an);
  3. Al-Fuad, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab As-Sulthan (kekuatan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Jud (kemurahan). Kuncinya Al-Miftah Al-Iman;
  4. Ar-Ruuh, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Ghaiban (kegaiban). Pintunya adalah Al-Bab Al-Majdu (kemuliaan). Kuncinya Al-Miftah Al-Islam;
  5. Sirr, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Qudrah. Pintunya adalah Al-Bab Al-Atha’ (anugerah). Kuncinya Al-Miftah Al-Ikhsan;
  6. Akfa, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Adhamah (keagungan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Rahbah (ketakutan). Kuncinya As-Shidqu (shiddiq);
  7. Ana, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Haya’ (malu). Pintunya adalah Al-Bab Al-Athaf (kelembutan). Kuncinya Al-Ma’rifat.

            Untuk bisa masuk ke dalam tujuh ruangan – khususnya ruang ketujuh yang paling ghaib – disyaratkan perjuangan (jihad) ruhani yang tidak ringan. Berbagai laku ruhani seperti uzlah, mujahadah, muraqabah, musyahadah harus dilakukan sampai dapat melewati ketujuh pintu itu beserta kuncinya. Berbagai ujian, akan dialami oleh siapa saja yang ingin memasuki tujuh ruangan suci itu agar bisa ketemu Sang Maharaja Diraja Yang telah bersabda,”Waladziina jahadu fiina, lanahdiyanahum subulana!”