JACQUES DERRIDA
Pendahuluan
Seperti biasa, seorang filosof melengkapi kisah hidupnya dengan penuh
kontroversi. Begitu juga halnya dengan Derrida, filosof perancis yang terkenal
dengan “Dekontruksi”nya ini cukup bisa memancing emosi yang cukup kuat dikalangan
orang-orang yang pernah membaca pemikirannya, ataupun terhadap orang yang hanya
mendengar perihal Dekontruksinya. Bagaimana tidak, jika dikatan bahwa
dekontruksi merupakan metode yang bukan metode, dan dikatakan bahwa dekontruksi
merupakan metode taktis yang dalam prosesnya bisa membongkar tulisan dan
mengurai kembali tulisan yang sudah mapan.
Tak luput dari kritiknya
adalah modernisme, sehingga derrida bisa dikatakan merupakan salah satu orang
yang menjadi pengantar dari modernisme ke- postmodernisme. Ini jelas terlihat
dari sikapnya yang begitu semangat menyerang metafisika modernisme atau
logosentrisme yang menjadi ciri atau corak pemikiran di era modernisme.
Begitulah kiranya derrida,
kritiknya yang begitu tajam sampai kepada ranah epistemologi modern, hingga
bagaimana dia mengkritik metafisika kehadiran, lalu kritiknya terhadap
logosentrisme. Melalui dekontruksinya, kita akan mencoba mengulas lebih lebar
beberapa pandangan dan pemikirannya di halaman-halaman berikutnya.
Bigrafi
Jacques Derrida adalah
seorang yahudi Aljazair, lahir pada tanggal 15 Juli 1930 di El- Biar, salah
satu wilayah terpencil di Aljazair.[1] Dan kemudian pindah ke
Perancis untuk melanjutkan studinya pada tahun 1949, setelah dua tahun kemudian
ia pulang ke kampung halamannya di Al-Jazair guna memenuhi kewajiban militernya.
Baru kemudian pada 1952 derrida kembali ke perancis dan resmi belajar di ENS (Ecole Normal Superiuere).
Derrida kemudian melanjutkan studinya di Husserl Archive, setelah sarjana ia
mengajar di pusat kajian fenomenologi itu.
Beberapa
karyanya dalam bidang kefilsafatan diantaranya yaitu, sebuah
manuskrip yang berjudul The Problem Of Genesis in Husserl’s Phenomenology,
kemudian Of Grammatology (buku yang konon menjadi karya derrida yang
begitu terkenal), Writing and
Difference, dan Speech and Phenomena yang diterbitkannya Pada 1967, dan beberapa karya lainnyanya yang kebanyakan merupakan komentar atas
pemikir-pemikir yang kemudian mempengaruhinya.
Diantara para pemikir yang mempengaruhinya yaitu
Heidegger, Nietzsche, Adorno, Levinas, Husserl, Freud, dan Saussure. Seperti
yang dikatakan derrida bahwa pemikirannya sangat berutang budi kepada para
pemikir diatas.[2]
Cukup sulit mengetahui secara detil biografi filosof yang wafat pada 8
oktober 2004 di Perancis ini, seperti yang derrida katakan. “Haruskah seorang
filsuf menulis biografi?[3]” oleh sebab derrida tidak
pernah menulis biografi tentang dirinya, maka tak ada yang lebih penting untuk
dibahas dari sosok derrida selain pemikirannya, yakni Dekontruksi.
Derrida dan Pemikirannya
Untuk memahami pemikiran derrida, setidaknya kita pahami dulu latar
belakang pemikiran dan kritik-kritiknya. Seperti para filosof atau pemikir
lainnya, corak pemikiran seorang filosof tidak akan bisa lepas dari ruang
lingkup kehidupan atau orang yang dekat dengan dirinya, begitu halnya dengan
derrida. Derrida mengakui sendiri bahwa dirinya terpengaruh oleh pemikiran
Heidegger dalam hal mengkritik filsafat barat, ini terlihat dari kesepakatannya
dengan Heidegger yang mengkritik filsafat barat yang hanya sibuk membicarakan
dan memikirkan tentang benda yang ada sehingga lupa terhadap “ada” itu sendiri.
Searah dengan Heidegger,
Derrida juga mengajukan kritiknya terhadap pemikiran barat yang tradisional
namun lebih radikal. Baginya pemikiran barat tradisional hanya sibuk dengan
prinsip-prinsip yang menghasilkan istillah-istilah sebegitu banyaknya. Menurut
derrida, pemikiran barat sangat dipengaruhi oleh metafisika kehadiran atau
logosentrisme, dimana konsep atau teori dianggap telah mampu mengungkap atau
menghadirkan being, mereka beranggapan, dengan berhasil menjelaskan
konsep-konsep tersebut, maka mereka telah menguasai realitas. Padahal
bagi derrida, tidak cukup sebatas itu. Sebab baginya, teks, kata, atau konsep
tidak bisa menghadirkan “ada”. Semua itu hanya sebuah jejak atau bekas dari
“ada”. Sebagaimana “bekas” (trace), ia akan hilang apabila datang bekas baru.
Hal ini pula yang meresahkan derrida, bentuk
pemikiran barat yang ia sebut dengan logosentrisme, dimana logosentrisme telah
menjangkiti filsafat barat pada masa itu. Logosentrisme merupakan paham yang
mengimpikan adanya kebenaran tunggal, sesuatu yang transenden yang ada diluar
teks. Sesuatu yang berdiri di luar dan bersifat ilahiyah. Hal inilah bagi
derrida yang membentuk sistem metafisika barat yang berbasis pada kehadiran
seperti yang telah dijelaskan tadi diatas.
Seperti yang dinyatakan derrida
bahwa “tidak ada apa-apa diluar teks”, baginya teks seharusnya dipahami
sebagaimana teks itu sendiri, sehingga tidak ada pengurungan terhadap makna
yang terkandung didalam teks. Derrida memberikan kebebasan dalam memaknai
sebuah teks, sebab kebenaran bagi derrida tidak bersifat monoton seperti yang
kita pahami selama ini, yakni teks hanya sebatas pemahaman dominan saja.
Padahal bagi derrida, masih ada makna atau kebenaran yang sering atau sengaja
dihilangkan dari memahami sebuah teks. Selama ini, kebenaran atau pemaknaan
terhadap teks hanya tergantung kepada kepentingan si pengarang atau si pembaca
teks. Sehingga baginya hal ini cukup berbahaya.
Dekontruksi
Dekontruksi derrida merupakan metode yang katanya melampau metode
itu sendiri, oleh sebab dekontruksi merupakan anti metode, mungkin oleh sebab
itu pula derrida tidak pernah merincikan tentang pemikirannya ini. Meskipun begitu,
dekontruksi derrida masih bisa dicerna melalui beberapa karyanya, sebab teori
ini tidak didefinisikan melainkan menyerupai proses yang ada dalam teks itu
sendiri.
Dekontruksi tidak dapat
diharapkan menjadi sebuah alat untuk mencapai sebuah penafsiran tertentu, sebab
dekontruksi hanya permainan terhadap kata-kata atau dekontruksi adalah sebuah
istilah dalam mempertanyakan kembali suatu teks dengan menunda pemahaman awal
guna mencari sebuah pemahaman yang tersembunyi yang lebih luas.
Gampangnya, dekontruksi
berkeinginan membongkan sebuah dominasi teks atau bahasa dan sebagainya,
pembongkaran ini menusuk hingga ranah epistemologinya, masuk kedalam hal-hal
yang bersifat dasar atau pondasi, pusat dan kemudian dibalik menjadi pinggir,
begitulah dekontruksi. Sebuah permainan serius yang digagas oleh derrida dalam
membongkar epistemologi barat.
Kira-kira seperti itu
pandangan tentang dekontruksi, dimana pada prosesnya, dekontruksi membongkar
sebuah teks, dan membaginya menjadi kalimat-kalimat semula yang lebih
bersifat metaforis agar menemukan
karakternya semulai sebagaimana adanya. Sebaba bagi derrida, teks atau bahasa
bersifat polisemi dan ambigu, jika sebuah bahasa atau teks sudah berada pada
posisinya semula, yaitu bersifat polisemi dan ambigu. Maka filsafat tidak punya
alasan lagi bernegosiasi dalam mencari kebenaran.
Kesimpulan
Pemikiran derrida bagaimanapun juga bukanlah sesuatu yang mudah untuk
dipahami, seperti halnya dekontruksi yang ia gagas. Derrida beranggapan bahwa
metafisika dan epistemologi barat selama ini di dominasi oleh logosentrisme dan
metafisika kehadiran. Hal ini akan bahaya bagi filsafat sebab akan berdampak
terhadap pemikiran yang dualis dan kaku. Dengan tawaran dekontruksinya, derrida
berpikiran akan menghasilkan kebenaran yang plural, unik dan relatif. Namun
bagi penulis sendiri, gagasan derrida ini seakan-akan mengarah pada satu hal,
yakni nihilisme, terlepas dari itu semua. Tetap saja pembaca akan bisa
medekontruksi semua anggapan yang saya pahami dalam makalah ini, selamat
diskusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar