Setelah dihajar bencana beruntun seperti angin puting beliung, banjir, hujan tak kunjung redah, hama tikus, gagal panen, warga disambar petir, kompor meledak, rumah terbakar, tawuran antar desa yang merusak rumah-rumah dan membuat warga luka serta sebagian tewas, sejumlah tetua desa sebelah dipimpin Pak Modin Taibu menghadap Guru Sufi. Mereka bertanya, amaliah apakah yang dilakukan warga pesantren dan kampung sekitar sehingga tidak sedikit pun pernah disinggahi bencana. “Hampir seluruh desa di kecamatan kita pernah diterjang bencana kecuali pesantren dan kampung sekitar. Adakah amaliah yang bisa menolak bala bencana, wahai guru?” tanya Modin Taibu.
Mendapat pertanyaan tak terduga, Guru Sufi malah heran. Sebab ia tidak pernah menyadari jika dalam deraan bencana yang ganti-berganti menghantam desa-desa sekitar, ternyata pesantren dan kampung sekitarnya luput dari mendapat giliran. Setelah sujud syukur dan mengutarakan rasa syukurnya kepada Allah, Guru Sufi tidak memberikan jawaban atas pertanyaan Modin Taibu, sebaliknya ia menuturkan sebuah kisah yang dialami Nabi Musa AS. Dikisahkan, bahwa di zaman Nabi Musa AS, Bani Israil dilanda kekeringan panjang. Tumbuh-tumbuhan kering dan hewan-hewan mati bergelimpangan. Untuk mengatasi kekeringan yang mematikan itu, Nabi Musa AS dan tujuh puluh orang pemimpin puak-puak Bani Israil keturunan nabi keluar ke tengah padang dan berdoa memohon pertolongan Allah. Mereka menunjukkan kebenaran dan ketundukannya. Dengan merasa diri hina dan penuh ketundukan, mereka mendekatkan diri sebagai hamba yang lemah tak berdaya. Selama tiga hari mereka menangis dengan harapan doa mereka dikabulkan, tetapi hujan tidak turun juga.
Setelah melihat doanya belum terkabul, Nabi Musa AS berkata,”Ya Allah, Engkau telah berfirman “berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya”. Sungguh, kami semua telah berdoa kepada-Mu dan hamba-hamba-Mu sangat membutuhkannya dan sudah pula menghinakan diri di hadapan-Mu.” Lalu Allah bersabda kepada Nabi Musa AS,”Wahai Musa, sesungguhnya di dalam kaummu banyak orang yang makanan mereka berasal dari sebab haram. Juga banyak yang menjulurkan lidahnya untuk ghibah dan mengadu-domba. Mereka berhak mendapatkan amarah-Ku. Sedangkan engkau meminta rahmat untuk mereka. Bagaimana mungkin dapat bertemu antara rahmat dan azab?”
Nabi Musa AS bertanya,”Siapakah mereka itu wahai Tuhanku, sehingga kami bisa mengeluarkan mereka dari golongan kami?” Allah berfirman,”Wahai Musa, aku bukanlah Dzat yang membeberkan kesalahan dan bukan pula pengadu domba. Tetapi bertobatlah kalian dengan hati yang ikhlas. Mudah-mudahan mereka juga ikut bertobat bersama kalian, sehingga Aku berbuat dermawan kepada kalian semuanya.”
Nabi Musa AS dan ketujuh puluh orang pemimpin puak-puak Bani israil itu mengumpulkan semua Bani Israil. Setelah berkumpul, Nabi Musa AS memberitahukan kepada mereka tentang wahyu Allah itu. Orang-orang Israil yang maksiat ikut mendengarnya. Mereka ketakutan. Airmata mereka mengalir. Lalu bersama-sama dengan Bani Israil lain mereka bertaubat dengan berkata,”Ya Tuhan kami, kami dating kepada-Mu dan lari menjauhi dosa-dosa kami, kami kembali mencari pintu ampunan-Mu. Kasihanilah kami, wahai Dzat Yang Maha Penyayang.” Mereka terus berdoa seperti itu sampai turun hujan, sebagai bukti taubat mereka diterima Allah.
“Ya Allah,” teriak Guru Sufi mengangkat tangan,”Terimalah taubat kami, orang-orang yang bermaksiat dan berbuat dosa. Ampuni kami wahai Penguasa alam semesta. Ya Allah, terimalah taubat kami. Sesungguhnya rahmat-Mu lebih besar daripada murka-Mu. Ampunilah kami. Rahmati kami.”
Pak Modin Taibu dan para sesepuh desa sebelah ikut mengangkat tangan, meng-amin-I doa Guru Sufi dengan airmata bercucuran. Namun di tengah doa Guru Sufi yang panjang, para sesepuh itu tanpa sadar menggerutu sambil bergantian menyebut nama-nama warganya yang gemar berjudi, menjadi rentenir, menjual ayam tiren, memproduksi jamu palsu, menggelapkan dana bantuan desa, berselingkuh, dan suka menggunjing antar tetangga. “Begini ini, yang tidak ikut maksiat ikut kena getahnya,” sahut pak Modin Taibu usai berdoa.
Sebelum pak modin dan para sesepuh desa sebelah pulang, Guru Sufi membacakan sebuah hadits yang diriwayatkan Aus bin Malik yang menuturkan saat Rasulullah Saw berjalan melewati tanah kaum Anshar yang terlantar. Rasulullah Saw bertanya,”Apa yang menghalangi kalian untuk bercocok tanam?” Salah seorang Anshar menjawab,”Tanahnya gersang dan tidak subur, ya Rasulullah!”
Rasulullah Saw bertanya,”Apakah kalian tidak berpikir? Karena sesungguhnya Allah berfirman: Aku adalah Penanam. Bila Aku berkehendak, Aku menanam dengan air, angin atau dengan benih.” Lalu Rasulullah Saw membaca ayat,Apakah kalian semua tidak melihat apa yang telah kalian tanam” (Q.S.56:63). Kemudian Guru Sufi memberi penjelasan, bahwa hadits itu mengisyaratkan Allah adalah yang memberi dan sekaligus yang menahan dengan berbagai sebab. Makna Tauhid di balik hadits itu, kita harus meyakini bahwa semua pengaruh itu berasal dari Allah, dan sekali-kali bukan dari selain Dia, seperti pengaruh bintang, bulan, tanah dan semacamnya. Tetapi yang pasti, Allah akan menuntut seseorang yang bermaksiat dengan memutus rejekinya dan merusak harta bendanya.
Guru Sufi menyitir lagi sebuah hadits,”Tidak ada tahun, melainkan ada hujan. Tetapi bila suatu kaum melakukan maksiat, maka Allah akan mengalihkan hujan itu ke lainnya. Dan bila semua kaum bermaksiat, maka Allah akan menggerakkan hujan itu ke padang pasir dan lautan,” lalu Guru Sufi melanjutkan,”Tetapi Allah juga bisa berbuat sebaliknya, yaitu mencurahkan hujan yang terus-menerus dan merusak kepada mereka yang berbuat maksiat. Itulah laknat. Bahkan Allah bisa menggiring semua hujan dari padang gurun, lembah, hutan, dan lautan untuk dicurahkan kepada sekumpulan ahli maksiat sampai mereka bertaubat dan mendapat rahmat-Nya atau mereka binasa.”
Sumber asli:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar