‘APAKAH mempelajari Marxisme mensyaratkan, dan
menggiring orang pada, ateisme?’ Pertanyaan demikian kerap mengganggu mereka
yang tertarik dengan gagasan-gagasan Marxis dan kiri secara umum, atau yang
tertarik untuk mulai membaca Marx serta mengoleksi teks-teks Marxisme.
Beruntung jika setelah bertanya, ia menemukan jalannya sendiri untuk
mempelajari Marx; namun lebih sering, dihantui rasa takut, lebih-lebih
ditakut-takuti oleh pihak lain, orang lebih memilih menjauhi nama itu, demi
alasan ‘menjaga keutuhan akidah dan iman.’
Terdengar seperti remeh, pertanyaan itu, namun
demikian, merupakan pertanyaan, yang bahkan para Marxis sendiri dan kaum kiri
secara umum, belum dapat menjawabnya dengan memuaskan. Selalu ada kebuntuan
tertentu, ambiguitas tertentu, dalam penyikapan kaum Marxis terhadap agama. Itu
disebabkan karena terjadi ketumpangtindihan antara sikap metodologis dan
sikap aksiologis-ideologis begitu mereka berhadapan dengan teks-teks
Marx: sikap metodologis menuntut teks-teks Marx didekati sebagai suatu teks
‘ilmiah’ yang terbuka untuk dikaji, dipelajari, dikritik, sementara sikap
aksiologis-ideologis menuntut bahwa pendekatan itu tidak berhenti sebagai suatu
wawasan pengetahuan, tetapi juga harus memberi pengaruh dan bahkan membentuk
‘kepribadian,’ pikiran, dan mentalitas ideologis si pembaca sebagai militan dan
aktivis Marxis.
Kemenduaan itu, paradoksnya, bukan akibat kesalahan
para pembaca Marx, atau kita yang hari ini mulai membaca Marx dan
literatur-literatur Marxisme, tetapi muncul dari teks-teks Marx sendiri, yang
selalu berayun dan bergerak dalam ketegangan antara kesatuan teori dan praktik,
antara keinginan untuk memahami dan praktik untuk mengubah. Dalam
hal ini, Marx berhasil keluar dari kebuntuan debat tentang prioritas antara
pemikiran dan tindakan, antara refleksi dan aksi, karena berpikir, bagi Marx,
adalah suatu bentuk tindakan, sebagaimana secara dialektis, bertindak adalah
suatu bentuk kerja pemikiran dalam dunia nyata. Dalam kapasitas itu Marx secara
personal tampil sebagai pemikir sekaligus aktivis pergerakan, dan teks-teksnya
menjahit secara tak terpisahkan kedua aspek ini: sisi yang bertolak dari
konfrontasinya dengan gagasan-gagasan, di satu sisi, dan sisi yang mencatat
konfrontasi fisiknya dengan konstelasi pergerakan dan aktivisme yang ia hadapi.
Ketumpangtindihan itu muncul dari sini: kekaguman sebagian
pembaca Marx terhadap Marx lalu seakan meniscayakan bahwa mereka harus meniru
Marx dan segala atribut personal, atau juga jalan hidup, yang dipilihnya.
Pilihan Marx sebagai seorang ateis lalu dipahami sebagai keharusan untuk juga
menjadi ateis, jika ingin menjadi Marxis. Demikian juga, kekecewaannya pada
agama diinternalisir sebagai kekecewaan yang mesti ditelan mentah-mentah agar
spirit Marxisme menetes dalam diri mereka.
Pertanyaannya sekarang, dari mana muncul penerimaan
bahwa Marxisme identik dengan ateisme? Dari perangai para Marxis-kah, dari
biografi hidup Marx, atau dari teks-teks Marx sendiri? Perangai para Marxis,
betapapun merefleksikan pemikiran Marxis yang mereka anut, tidak cukup
meyakinkan untuk menjamin kebenaran opini yang telanjur menjadi stigma bagi
Marxisme ini. Marxisme berkembang sebagai tradisi pemikiran dalam konteks ruang
dan waktu yang berbeda-beda, diresepsi, dan diapropriasi seturut
kondisi-kondisi yang mensituasikan para Marxis tersebut. Untuk tahu mengapa
mereka ateis, seseorang mesti mempelajari konteks diskursif Marxisme dan agama
di ruang dan waktu tertentu di mana mereka hidup. Biografi Marx, demikian juga,
tidak cukup memberi landasan untuk membenarkan opini itu. Marx, sebagaimana
para sosialis dan komunis sebelumnya, tidak lepas dari konteks diskursif yang
mempertemukannya dalam konfrontasi dengan agama, sehingga jika ia ateis, ada
latar belakang biografis, sosial, dan politis, yang tidak terhindarkan mesti
juga dipelajari. Di antara biografi Marx dan teks-teksnya, ada celah
yang memungkinkan kita mencari jawaban atas pertanyaan ini.
Sederhananya, penting untuk mengetahui biografi Marx
dan berbagai renik konteks kehidupannya, namun lebih penting lagi, membaca
teks-teks Marx untuk mengkaji secara persis pemikiran dan teorinya tentang
agama. Di antara biografi dan pembacaan atas teks-teks itu, kita akan menemukan
bahwa tidak ada hubungan alamiah antara Marxisme dan ateisme. Meski Marx
memilih menjadi ateis, namun teks-teksnya bukan suatu ajakan untuk memeluk
ateisme, atau mengandung suatu perintah ‘suci’—yang mesti ditaati
pembacanya—untuk berganti haluan pada ateisme.
***
Sebagai sebuah teks ilmiah, apa yang ditulis tentang
agama adalah sebuah wacana, wacana tentang agama. Untuk menempatkan pandangan
Marx tentang agama sebagai suatu wacana tentang agama, teks Marx, tidak lebih
istimewa daripada teks-teks lain yang menulis tentang agama, layak dibaca
pertama-tama dalam kapasitasnya sebagai suatu tawaran metodologis. Dibaca
secara metodologis, wacana ini memberikan bahan kajian dan refleksi tentang
agama, pertama-tama sebagai objek kajian yang terbuka untuk dipelajari, dan
kedua, sebagai salah satu cara—di antara sekian banyak cara lain yang bisa
ditempuh—untuk melihat agama dari sudut pandang lain yang tidak normatif. Untuk
melakukan pembacaan secara metodologis ini, seseorang memang perlu melepaskan
terlebih dulu prasangka-prasangka pra-metodologisnya dan terbuka kepada wacana
baru yang hendak dipelajari.
Wacana agama Marx, dilihat dari statusnya sebagai
sebuah wacana tentang agama, tidak berbeda dengan wacana agama yang ditulis
oleh seorang pendakwah agama yang paling konservatif atau fundamentalis
sekalipun. Andaikan di depan saya ada sebuah teks yang ditulis Marx, dan di
sebelahnya, ada sebuah teks yang ditulis oleh Osama bin Laden, tidak ada
perbedaan antara keduanya dalam status keduanya sebagai wacana tentang agama.
Tetapi, jika saya memilih teks Marx daripada teks Osama, yang menjadi
pertanyaan: apa motif saya memilih teks Marx? Apakah karena nama Marx lebih
terdengar bergengsi daripada Osama? Ataukah karena saya lebih suka begitu saja,
secara arbitrer, pada Marx daripada Osama, tanpa alasan yang jelas? Banyak
motif yang bisa muncul, baik karena alasan preferensial (suka/tak suka) maupun
karena alasan superfisial (nama Marx lebih ‘eksotis’). Tetapi, saat mencoba
beranjak dari motif-motif ini, saya akan menemukan bahwa ketertarikan
saya—misalnya—pada Marx didorong oleh motif karena sebagai wacana, apa yang
ditulis Marx membuat saya—sebagai pembaca, misalnya—lebih terdorong untuk
berpikir ulang tentang agama, daripada teks Osama yang membuat saya semakin
tertutup dalam beragama—argumen ini tentu dapat diperpanjang lagi.
Apa yang membedakan teks Marx persisnya dalam hal ini?
Perbedaan teks Marx, lebih lanjut, terletak pada fakta bahwa wacana agama yang
dibawanya adalah suatu kritik agama. Tidak berhenti pada fakta deskriptif
tentang agama, Marx melancarkan suatu kritik agama, dalam arti menempatkan
‘agama,’ dalam ‘totalitas’-nya, sebagai suatu objek kritis. Terlepas dari nantinya
apakah kritik ini fair atau tidak (suatu pertanyaan yang tidak ada
salahnya diajukan dalam proses pembacaan ini), pertama-tama, seseorang perlu
mencoba melihat pandangan agama Marx bukan menurut pandangan si pembaca,
tetapi, secara dialektis, melihat agama di mata Marx, sebagaimana dilihat dan
dipikirkan oleh Marx. Pergantian posisi ini yang diistilahkan oleh Slavoj Žižek
sebagai parallax atau pergantian-posisi-pengamat: berhadapan dengan
seorang filsuf, menurutnya, adalah memposisikan diri kita bukan sebagai
pengamat bagi pandangan-pandangan filsuf itu dan melakukan penilaian
berdasarkan apa yang kita inginkan darinya, melainkan, sebaliknya, memposisikan
filsuf itu sebagai pengamat bagi kita dan menjadikan kita seolah-olah ‘objek
kritik’ di hadapannya.
Dengan cara pandang parallax—perubahan posisi
sebagai pembaca dari pelaku kritik menjadi objek kritik—terjadi eksteriorisasi,
yakni kondisi ketika kita melihat diri kita terbelah antara diri kita
sebagaimana hadir kepada diri kita, dan ‘citra’ diri kita sebagaimana
dihadirkan oleh pihak yang lain. Secara analogis dapat dikatakan: melalui
eksteriorisasi ini, kita melihat, di satu sisi, agama sebagaimana yang kita
anut hadir pada diri kita, namun, agama itu tidak lagi sama karena di sisi
lain, kita melihat agama sebagaimana dipikirkan oleh Marx terpantul sebagai
suatu hal baru yang berbeda dari apa yang kita pikirkan tentang agama. Dengan
demikian, terdapat dua ‘agama’ di sini: ‘agama’ sebagaimana yang saya yakini
benar dan ‘agama’ sebagaimana dipikirkan oleh Marx dan terpantul pada agama
yang saya yakini benar, namun menghadirkan sesuatu yang baru yang belum pernah
saya pikirkan dalam agama yang saya yakini benar.
Dengan eksteriorisasi ini, agama dapat menjadi objek
kritik, tanpa seseorang yang merasa beragama perlu melihat dengan motif
personal apa kritik itu dilancarkan (tanpa melihat apakah yang mengatakannya
seorang ateis atau teis). Terjadi gerak dari agama yang dihayati (interiorisasi)
ke agama yang diamati (eksteriorisasi). Juga terjadi gerak depersonalisasi:
dari agama yang diyakini secara pribadi ke agama sebagaimana yang ia lihat
sebagai suatu fenomena eksternal, yaitu agama sebagai institusi sosial, atau
yang disebut Durkheim, agama sebagai “fakta sosial”.
Bila boleh diresume dalam beberapa paragraf saja—meskipun
hal ini perlu diuji dengan referensi tekstual yang ketat atas konstelasi
teks-teks Marx sendiri—visi kritik (atau lebih tepatnya, ‘metakritik’) dalam
kritik agama Marx adalah eksteriorisasi dan depersonalisasi agama ini, yaitu
dorongan untuk menunjukkan bahwa agama adalah suatu fenomena eksternal yang
objektif, yang melampaui gambaran agama sebagaimana diyakini oleh
individu-individu pemeluk agama itu sendiri. Bahwa agama, dengan kata lain,
bukan sebagaimana ‘aku’ atau ‘engkau’ yakini, tetapi adalah yang ‘kita’ dan
‘mereka’ lakukan, sebagai suatu fenomena sosial yang objektif, yang dapat
diamati, sebagai rangkaian praktik yang membentuk suatu ‘totalitas’ bernama
agama. Agama sebagai fenomena eksternal yang objektif ini—terlepas dari framing
akademis yang dilakukan sesudahnya oleh sosiologi agama—menerjemahkan visi
Marx, yang merentang dari teks Pendahuluan Kontribusi bagi Kritik Filsafat
Hak Hegel sampai Ideologi Jerman, tentang perlunya memperlihatkan,
terutama bagi pemeluk agama, sifat keduniaan dari agama: bahwa agama, begitu
menjadi fenomena sosial—terlepas dari asal-usul keilahian atau profetiknya,
yang nyaris tidak pernah disinggung Marx—mesti diperlakukan sebagai suatu
kenyataan sosial yang sama objektif dan dapat diamati sebagaimana fenomena-fenomena
sosial yang lain.
Secara anekdotal, Marx seperti ingin mengatakan:
‘Apapun yang engkau yakini atau siapapun yang engkau sembah, dengan nama apapun
engkau menyebut sesembahanmu, atau dengan cara apapun engkau berdebat tentang
siapa yang paling benar dalam caramu meyakini sesembahanmu, engkau dalam
kenyataannya mempraktikkan apa yang engkau yakini dalam kehidupanmu sebagai
makhluk sosial, dan hal terakhir ini yang kulihat dan hendak kukritik.’
Kesimpangsiuran persepsi tentang hubungan antara Marxisme
dan agama, baik dari rata-rata kalangan Marxis terhadap kaum beragama maupun
dari rata-rata kaum beragama terhadap Marxis, muncul dari kekaburan memahami
posisi metodologis di mana Marx berdiri, yang merembet pada pencampuradukan
posisi aksiologis-ideologis yang terbentuk kemudian. Dilihat dari rata-rata
posisi Marxis terhadap kaum beragama, kritik agama Marx tampak
sebagai suatu penolakan total atas agama sebagai ilusi yang harus ditinggalkan,
di mana ateisme merupakan satu-satunya jalan keluar. Sementara itu, dilihat
dari pandangan rata-rata kaum beragama, kritik Marx tampak sebagai
permusuhan total terhadap agama, di mana penolakan atas Marx dan penyematannya
sebagai ateisme merupakan jalan keluar. Menarik melihat bahwa kedua
posisi ini, meski berbeda dalam solusinya, berangkat dari titik tolak asumsi
yang sama.
Kekaburan itu persisnya timbul dari pencampuradukan
antara, kalau boleh saya istilahkan, dua logika yang sama-sama benar dan
absah dikenakan untuk mengidentifikasi ‘agama:’ logika spiritual dan logika
dunia. Logika spiritual melihat agama dengan parameter-parameter internal
agama yang bertujuan memvalidasi kebenaran agama yang diyakini sebagai suatu
hal yang ilahiah, sakral, dan abadi. Sementara, logika dunia melihat agama
dengan parameter-parameter eksternal agama, yaitu agama sebagai praktik dan
institusi yang bekerja dengan ‘hukum-hukum dunia’ yang bisa diamati, dan dapat
berubah seiring dengan perubahan tata sosial yang membentuk dan dibentuknya.
Rata-rata kaum beragama menilai apa yang dilakukan
Marx dalam kerangka logika spiritual yang mereka anut—sehingga kritik Marx
dianggap serangan terhadap nilai-nilai terdalam agama—ketika kritik itu, di
sisi lain, justru dibangun dengan logika dunia dan dialamatkan untuk
memperlihatkan logika dunia dari agama itu sendiri. Sementara itu, rata-rata
kaum Marxis, dalam kerangka logika dunia yang mereka anut, melihat kritik Marx
ditujukan kepada logika spiritual agama, untuk menggantinya dengan suatu logika
spiritual ‘baru,’ suatu ‘agama’ baru, atau suatu ‘kepercayaan’
baru—‘ateisme’—yang pada intinya adalah penolakan terhadap agama. Dengan
demikian, menjadi lengkap sudah disjungsi total antara keduanya sehingga agama
dan Marxisme dipostulatkan sebagai dua hal yang tidak pernah dapat
dipertemukan.
Untuk mengurai simpul-simpul kebuntuan itu, apa yang
bisa dilakukan adalah mencoba menempatkan masing-masing logika pada ranah
kebenarannya sendiri: logika spiritual agama memiliki ranah kebenaran yang,
pada-dirinya, dapat memvalidasi-diri, sejauh ia berurusan dengan
parameter-parameter internal agama. Dalam hal ini, sekadar mengambil contoh,
klaim agama tentang eksistensi Tuhan, misalnya, atau eksistensi kehidupan
pasca-kematian, merupakan ranah di mana agama dapat memvalidasi-dirinya—dengan
berbagai teologinya—karena hal-hal tersebut merupakan ranah di mana logika
dunia tidak dapat sepenuhnya memverifikasi, tanpa terjebak oleh kebuntuan dan
kesulitan-kesulitan. Dalam konteks klaim internalnya, ada kebenaran agama yang,
dilihat dari logika spiritual dan ‘rasionalitas agama,’ masuk akal dan dapat
diterima, walaupun dilihat dari logika dunia, kebenaran itu boleh jadi tidak
masuk akal dan non-sense.
Di sisi lain, logika dunia memiliki ranah kebenarannya
sendiri, yang juga valid pada-dirinya, ditinjau dari sudut bahwa ia dapat
dipikirkan oleh ‘rasionalitas faktual’ dunia itu sendiri. ‘Materialisme,’
sebagai suatu ontologi sosial (baca: pemikiran mendasar tentang masyarakat,
individu, dan sejarah), dalam hal ini, sebagai suatu bentuk logika dunia (baca:
cara memikirkan dunia sebagaimana adanya), memiliki kebenarannya yang dapat
divalidasi dengan rasionalitas yang dapat dikenali dan dipelajari dari
fakta-fakta dunia. Sebagai suatu logika dunia, materialisme berkepentingan
untuk mencoba memahami dunia dengan memahami perubahan-perubahan yang inheren
dan melekat pada dunia itu sendiri sebagai realitas yang ‘material.’ Agama
adalah salah satu realitas ‘material’ itu, sehingga bila logika dunia membaca
agama, ia membacanya dalam rangka memahami dinamika agama sebagai realitas ‘material.’
Dilihat dari logika dunia, hal ini masuk akal, walaupun dilihat dari logika
spiritual agama, hal ini akan dipandang menistai kesakralan agama—suatu
kekhawatiran yang sebenarnya terlalu berlebihan, dilihat dari logika dunia,
karena bagaimanapun agama bisa eksis karena ia berpijak di atas dunia.
Dengan menempatkan kedua logika ini dalam ranah
kebenarannya masing-masing, kita sepertinya tidak akan kesulitan untuk
menjawab, misalnya, mengapa rata-rata Marxis belum bisa menerima agama sebagai
suatu kenyataan ilahiah, karena mereka melihat fenomena ‘spiritual’ agama
dengan logika dunia. Sebaliknya, kita akan mulai mengerti mengapa rata-rata
kaum beragama tidak kunjung memahami kapitalisme, misalnya, sebagai suatu
persoalan sosial dan bukan moral semata, karena mereka masih melihat
perubahan-perubahan keduniaan dengan logika spiritual. Ketidaksinkronan ini
mengakibatkan ketidakmampuan kedua pihak untuk mengakui kebenaran pihak lain,
karena keduanya tidak melihat ranah di mana masing-masing bekerja.
Dua logika ini tentu kemudian tidak selamanya
seterpisah kelihatannya, karena, di antara kepekatan yang melapisi keduanya,
terdapat titik-titik persinggungan, titik-titik yang memungkinkan lahirnya
hal-hal baru, pertemuan-pertemuan yang tak terduga, dan persilangan-persilangan
yang mengejutkan. Titik persinggungan itu yang memungkinkan dunia dipikirkan
oleh logika spiritual, yang melahirkan—untuk menyebut contoh klasik—Teologi
Pembebasan, dalam berbagai versinya (Kristiani, Islam, atau Yahudi), atau
pemikiran orang-orang seperti Thomas Münzer, teolog pemimpin para petani
revolusioner dari abad ke-16. Gagasan-gagasan ini dapat dilihat sebagai
pelampauan logika spiritual agama untuk keluar dari ranah kebenarannya sendiri
dan bertemu dengan kenyataan faktual dunia. Di sisi lain, terdapat titik
persinggungan yang memungkinkan agama dipikirkan-ulang oleh logika dunia,
seperti tercermin dari gagasan Engels yang melihat kesejajaran antara
sosialisme modern dan agama Kristen primitif, dalam cita-cita pembebasan
keduanya. Dengan tetap menjadi materialis secara filosofis, dan ateis secara
‘irreligius,’ Engels tidak menafikan karakter ganda dari agama yang, tidak
sesederhana stereotipe para filsuf Pencerahan, melihat agama tidak melulu
identik sebagai kekuatan kolot dan reaksioner. Seperti Marx dari teks Kontribusi
bagi Kritik Filsafat Hak Hegel, ia melihat karakter ganda dari agama, yang
mempertahankan tatanan yang dominan, namun di sisi lain dapat mengubahnya.
Pemikiran Engels terdengar dari jauh seperti sebuah
teologi, hingga kita akan salah mengira bahwa dia seorang teolog. Di sisi lain,
Münzer dari jauh tampak seperti seorang ateis yang revolusioner, meski nyatanya
ia seorang agamawan yang taat. Kesan yang menipu ini barangkali sedikit
isyarat, bahwa pada gilirannya menjadi tidak relevan atribut ateis atau teis
yang disandang. Ateisme mungkin adalah pilihan yang masuk akal bagi sementara
orang, walaupun tentunya bukan pilihan cerdas dan terbaik. Tetapi, seorang
ateis seperti Engels yang mau bersusah payah memikirkan agama, setidaknya lebih
baik, menurut logika dunia, daripada seorang agamawan yang lebih sibuk
memikirkan ‘keagungan’ agamanya, di tengah masyarakat yang lapar dan
pemerintahan yang korup. Engels sepertinya tak akan ‘selamat’ di akhirat, tapi
setidaknya selama di dunia, ia sudah memikirkan sesuatu yang terlupakan dari
perhatian orang-orang yang hanya berpikir untuk masuk surga, sementara
membiarkan tetangganya kelaparan.**
Muhammad Al-Fayyadl, santri filsafat di Universitas Paris VIII,
Prancis
—untuk para santri dan para akhwat-ikhwan yang hendak
membaca Marxisme