26 Feb 2014

Jagalah Kebersihan Pikiran

Jagalah Kebersihan Pikiran


            Dua hari tinggal di pesantren sufi sebagai tamu, Adi Bauha seorang muslim modern yang sedang  menyusun disertasi tentang praktek-praktek tasawuf di era global, mendapati amaliah-amaliah aneh yang dilakukan Guru Sufi. Pada malam dingin yang hujan, misal, ia diam-diam mengikuti Guru Sufi pergi ke perempatan dekat pasar untuk membeli nasi goreng. Ternyata, nasi goreng itu diberikan kepada seorang perempuan tidak waras yang tidur di pinggir jalan tak perduli hujan atau terang. “Bukankah, sebagai guru, dia bisa menyuruh murid atau anaknya untuk membeli nasi goreng dan memberikannya kepada orang tidak waras itu,” kata Adi Bauha dalam hati.
            Ternyata, Adi Bauha mendapati keanehan Guru Sufi yang lain, yaitu mengajak seorang gelandangan  kurang waras yang berpakaian compang-camping untuk makan siang bersama. Adi Bauha yang sedianya ikut makan, mengurungkan niatnya karena nafsu makannya mendadak hilang saat duduk bersama gelandangan bau tengik itu.  Yang juga memusingkan, para pengemis, pengamen, peminta sumbangan baik tua maupun muda selalu dikasi. Guru Sufi tidak pernah menolak “benalu” masyarakat itu. Bahkan pernah sekali Adi Bauha memergoki, saat Guru Sufi tidak punya uang untuk dikasikan pengemis, ia memberikan satu kilo beras yang akan dimasak untuk makan siang. “Bersedekah memang baik. Tapi kalau anak-anak muda pemalas sudah menadahkan tangan meminta-minta dan terus diberi, itu tidak mendidik,” kata Adi Bauha dalam hati.
            Ketika satu pagi mendapati Guru Sufi memberi sumbangan seorang laki-laki berpenampilan kusut dengan  pakaian kumal yang mengaku panitia pembangunan masjid, Adi Bauha tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya. Dengan nada memprotes, ia bertanya tentang “kepolosan” Guru Sufi yang selalu percaya dengan peminta sumbangan yang sering palsu. “Apakah itu tidak sama maknanya dengan memberi dukungan kepada para pemalas yang akan menggantungkan hidup dari sedekah orang?” tanya Adi Bauha.
            Dengan senyum Guru Sufi tidak memberi jawaban, melainkan bercerita tentang
Abul Qosim Al-Junaid  Al Baghdadi,  tokoh sufi yang besar pengaruhnya, yang wafat di Baghdad tahun 298 H- (910 M). Dengan tenang Guru Sufi mulai cerita,”Al-Junaid memiliki majelis pengajian yang diikuti oleh siapa saja. Satu saat, ada seorang laki-laki yang mengemis di antara anggota majelis pengajian. Al-Junaid berpikir,"Laki-2 itu masih sangat sehat. Dia masih mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Tapi mengapa dia mengemis dan menghinakan diri sendiri?"
               “Malam itu, al-Junaid tiba-2 bermimpi diberi suatu suguhan hidangan yang tertutup. Lalu ia ditawari untuk memakan hidangan itu. Saat al-Junaid membuka penutup hidangan,  ia mendapati  lelaki pengemis tadi  terbaring mati di atas wadah itu. Seketika al-Junaid berteriak: Aku tidak makan daging manusia. Terdengar suara: Jika demikian, kenapa engkau berbuat seperti itu di masjid?".
              "Al-Junaid terbangun. Ia sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan karena telah berpikiran tidak baik terhadap seseorang, dan ia telah ditegur karena pikiran buruknva itu. Al-Junaid menceritakan: Saat aku terjaga, aku ketakutan. Aku pun berwudhu dan shalat dua rakaat. Lalu aku pergi mencari pengemis itu. Dan aku mendapatinya di tepi Sungai Tigris sedang memunguti sisa-2 sayuran yang dicuci orang. Laki-2 itu pun memakan sisa-2 sayuran itu. Saat aku mendekat, laki-2 itu mengangkat kepalanya. Saat  melihatku, ia mendekat dan menyapaku: Junaid, apakah engkau telah bertobat atas pikiran-pikiranmu mengenaiku? Yang segera kujawab,”Ya, aku telah bertobat saudaraku.”
                 “Kalau begitu, pergilah,” kata laki-2 itu, Allah jua Yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya. Tapi kini, jagalah pikiran-pikiranmu! Jadi, saudara, seperti al-Junaid, aku selalu berusaha untuk menjaga pikiranku dari macam-macam kotoran kecurigaan terhadap siapa pun di antara manusia, baik gelandangan, pengemis, pengamen, peminta sumbangan, bahkan orang gila yang meminta atau tidak meminta-minta. Aku tidak mau mengotori pikiranku dengan bercuriga kepada siapa pun yang meminta kepadaku."

Di kutib dari Facebook Agus Sunyoto II


15 Maret 2011 pukul 20:57

https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/jagalah-kebersihan-pikiran/118240778250308

Jangan Mendikte dan Membayangkan Diri Seolah Tuhan

Jangan Mendikte dan Membayangkan Diri Seolah Tuhan

15 Maret 2011 pukul 0:16
Oleh Agus Sunyoto
(Dikutip dari Catatan Facebook Agus Sunyoto II)

            Bosan doanya selama bertahun-tahun tidak dikabulkan Tuhan, dengan wajah kusut Dullah menghadap Guru Sufi. Dengan nada putus asa  ia menyatakan bahwa tidak terkabulnya doa yang dipanjatkannya, mungkin berkaitan dengan nasib dirinya yang kurang beruntung karena tidak dihiraukan Tuhan akibat dosa-dosanya. “Padahal, saya yakin dengan kebenaran  sabda Rasulullah Saw  ad-du’a silakhul mu’miin (doa adalah senjata bagi orang beriman) dan juga janji Allah: "berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu- Q.S. Al Mu’min: 60." Tapi faktanya, sampai saat ini doa saya tidak dikabul juga oleh-Nya. Entah dosa dan kesalahan apa yang telah saya lakukan sehingga do’a saya tidak dikabul Tuhan,” kata Dullah memprotes.
            Guru Sufi tersenyum. Lalu dengan suara datar  ia mengutip petuah bijak dari Al-Hikam yang berbunyi:
“Jangan engkau berputus asa karena kelambatan pemberian Allah kepadamu, padahal doamu bersungguh-sungguh. Allah telah menjamin menerima semua doa sesuai dengan yang Dia kehendaki untukmu pada waktu yang telah Dia tentukan. Bukan menurut kehendakmu dan bukan pada waktu yang engkau tentukan”.
          “Mohon maaf guru,” kata Dullah ingin tahu,”Apa maksud guru tentang kelambatan pemberian Allah dan ketentuan pemberian menurut kehendak-Nya? Bukankah janji  Allah sudah jelas: berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu- Q.S. Al Mu’min: 60?  Kenapa harus  ditunda-tunda?”
            “Engkau pernah melihat pengemis meminta sedekah?” tanya Guru Sufi.
            “Tentu pernah, guru.”
             “Apakah yang menentukan lama dan cepatnya suatu pemberian sedekah  itu sang pengemis atau orang yang memberi sedekah?”
             “Tentu yang memberi sedekah, guru.”
             “Yang menentukan besar dan kecilnya pemberian sedekah apakah sang pengemis atau pemberi sedekah?” tanya Guru Sufi.
              “Yang memberi sedekah, guru.”
             “Jika pemberi sedekah tidak memberi uang seperti yang diinginkan pengemis tetapi member roti, kue, nasi bungkus,  apakah pengemisnya boleh marah-2 karena diberi yg bukan keinginannya?” tanya Guru Sufi.
             “Tentu tidak, guru,” kata Dullah tak mau kalah,”Tapi saya kan bukan pengemis dan Allah bukan pemberi sedekah yang sukarela memberi? Bukankah Dia sudah berjanji: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran- Q.S. Al Baqarah: 186?  Bukankah Rasulullah Saw juga bersabda: “Tiada seorangpun yang berdoa, melainkan Allah pasti akan mengabulkan doanya atau dihindarkan dari bahaya padanya atau diampuni sebagian dari dosanya selama ia tidak berdoa untuk sesuatu yang menjurus kepada dosa atau untuk memutuskan hubungan sanak keluarga?”
            “Dalil yang engkau sampaikan sudah benar,” kata Guru Sufi merendah,”Tapi dalil yang mengatakan doa Dullah bakal dikabul Allah kan tidak ada? Atau dalil bahwa Allah bakal mengabulkan doa si  Dullah juga kan tidak ada?”
              “Jadi? Bisa saja doa saya memang tidak dikabul, guru ?” gumam Dullah sedih.
              “Bukan begitu maksudnya. Tapi orang yang berdoa disuruh bersabar menunggu pemenuhan doanya. Orang yang berdoa juga harus ikhlas menerima jika yang dikabul itu bukan doa seperti yang dikehendakinya, melainkan sesuai yang dikehendaki Allah. Sabar. Itu kunci doa sesuai sabda-Nya agar kita meminta tolong kepada-Nya dengan sabar dan shalat. Karena orang yang sudah dijamin akan dikabulkan doanya oleh Allah pun, ternyata masih disuruh bersabar menunggu penggenapan janji-Nya.”
                 “Adakah yang seperti itu?” tanya Dullah penasaran.         
                 “Pernahkah engkau mendengar kisah Nabi Musa dan Nabi Harun yang berdoa dan doa mereka dikabulkan Allah sesuai firman-Nya: “ Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-sekali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui – Q.S. Yunus: 89? Tahukah engkau tentang itu?”
                   “Ya saya tahu, saya pernah dengar kisah itu, guru.”
                   “Menurutmu, berapa lama kira-kira jarak antara saat doa kemenangan Nabi Musa dan Nabi Harun itu dikabulkan Allah  dengan terwujudnya  kemenangan mereka dalam kenyataan?” tanya Guru Sufi.         
                   “Menurut saya, kira-kira sekitar  dua atau tiga tahun, guru.”
                   “Kurang tepat. Yang benar janji Allah memberi kemenangan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun dalam melawan Fir’aun itu, jarak rentang waktunya dengan realita kemenangan lamanya empat puluh tahun,” kata Guru Sufi.
                     “Empat puluh tahun?” Dullah terperangah kaget dan kemudian menggumam,”Waduh, kalau Nabi Musa saja keterkabulan doanya butuh waktu empat puluh tahun, bagaimana dengan awak yang bukan nabi dan bukan wali?”
                     “Kisah Nabi Musa tidak bisa digeneralisasi untuk semua orang, karena usia manusia sekarang ini  rata-rata lebih pendek dari usia Nabi Musa yang 120 tahun,” kata Guru Sufi menjelaskan.
                     “Jadi…?”
                      “Kisah itu menunjuk, keterkabulan doa butuh waktu sesuai yang ditentukan Sang Pengabul doa. Jadi, bersabarlah dan jangan berburuk sangka kepada-Nya. Pun jangan pernah mendikte-dikte Tuhan agar Dia memenuhi doamu sesuai keinginan nafsu yang membayangimu! Sadarlah bahwa engkau hanyalah manusia dan bukan Tuhan. Jadi jangan pernah membayangkan Tuhan harus memenuhi keinginanmu sesuai  angan-anganmu."


https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/jangan-mendikte-dan-membayangkan-diri-seolah-tuhan/118057811601938