22 Apr 2014

Makna ASh-Shadru (dada) dalam Pandangan Tasawuf


Oleh: KH Agus Sunyoto


         Allah SWT bersabda,”(Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu (shadru) karenanya, agar engkau memberi peringatan dengan (Kitab) itu dan menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman (Q.S.Al-A’raf:2)”
         Sabda Allah SWT yang berkait dengan  ash-shadru (dada) sering hanya dimaknai sebagai organ fisik manusia yang terdiri dari tulang-tulang iga yang dibungkus daging dan kulit, yang berfungsi utama melindungi hati, jantung, paru-paru, empedu,  sehingga keberadaan ash-shadru menjadi lebih dimaknai sekedar pelindung hati fisik (mudzghah)  dari  gangguan fisik dari luar.
         Dalam term sufisme makna ash-shadru lebih menunjuk kepada aspek jasmani sekaligus ruhani, di mana aspek ruhani ash-shadru adalah  substansi halus, anasir bukan materi yang melindungi istana  al-Qalbu. Ash-shadru ibarat benteng kutaraja yang berperan utama  melindungi istana raja. Di bagian luar benteng terdapat  parit-parit dan  dinding-dinding  yang melindungi  ash-shadru(dada), di mana parit-parit dan dinding itu  memiliki tugas dan sistem khusus dalam menjaga dan mengawasi (al-muraqabah) agar ash-shadru tidak runtuh. Pagar dan parit yang mengelilingi ash-shadru  struktur formasinya “dari luar (dzahir) menuju bathin” adalah sebagai berikut:
1.As-Saddan Al-Ghafara, paritnya al-Khuduud al-Maghfirah, lantainya as-Syukur diperkuat Tahlil;
2.As-Saddan Adz-Dzikru, paritnya al-Khuduud adz-Dzikru, lantainya al-Ridha, diperkuat Tahmid;
3.As-Saddan Al-Ghufran, paritnya al-Khuduud al-Nashr, lantainya ash-Shabr, diperkuat Takbir;
4.As-Saddan Al-Nashrun, paritnya al-Khuduud al-Ghalib, lantainya al-Ikhlas, diperkuat  Tamjid;
5.As-Saddan Al-Jihad, paritnya al-Khuduud al-Hidayah, lantainya an-Niyyah, diperkuat Istilam;
6.As-Saddan At-Tawakkal, paritnya al-Khuduud at-Tahmid, lantainya asy-Syath, diperkuat Tasbih;
7.As-Saddan At-Taslim, paritnya al-Khuduud al-Salam, lantainya asy-Syahadah, diperkuat Istighfar dan Shalawat.
       Benteng ash-shadru  memiliki dua pintu gerbang dzahir, yaitu pintu gerbang Al-Amru (perintah) dan pintu gerbang  An-Nahyu (larangan). Kedua pintu gerbang itu dijaga oleh dua pengawal, yaitu Al-Masyiiah (kehendak)  dan Al-Qudrah (kemampuan). Kedua pintu gerbang itu memiliki daun pintu penutup, yaitu Al-Jabarut dan Al-Malakut.
       Di dalam benteng ash-shadru (dada) terdapat singgasana raja  Nuur  Al-‘Aql yang menghalangi manusia untuk memasuki Al-Qalbu dan menelusuri  tahap-tahap ruhani hingga ke singgasana Maharaja Diraja  “Ana”.   Nuur Al-‘Aql memiliki dua wajah yang saling bertolak belakang satu sama lain. Wajah yang satu menghadap Maharaja Ghaib menerima (iqbal) dari  Maharaja. Wajah yang satu lagi menghadap dunia dzahir berpaling (idbar) dari Maharaja.  Nuur Al-‘Aql dikawal oleh hulubalang al-Khawathir, kilasan pikiran-pikiran yang terpuji maupun yang tercela yang masuk dengan sifat Ilahiah, ruhaniah, ananiyyah, syaithaniyyah. Nuur  Al-‘Aql bersifat seperti kristal  transparan yang bisa memantulkan bayangan, di mana  pemunculannya tergantung pada apa yang menguasainya. Jika dikuasai an-nafs al-lwammah yang hitam, maka al-‘aql akan hitam. Jika dikuasai an-nafs sufliyyah yang kuning, maka al-‘aql akan kuning. Jika dikuasai an-nafs ammarah yang merah, maka al-‘aql akan merah. Jika dikuasai an-nafs al-muthmainnah yang putih, maka al-‘aql akan putih.  Oleh karena perwujudannya transparan seperti kristal, maka al-‘aql hanya mungkin memanifestasikan dirinya  dengan cara “mengikat” (‘iqal) segala sesuatu agar menjadi  jism (raga), mitsal (citra), khayal (imajinasi), dan ilusi yang bersifat prasangka (wahm).  Dalam perjalanan dari yang dzahir menuju yang bathin, memasuki tahap-tahap ruangan hingga ke mahligai ghaib tempat Maharaja bertahta, Nuur ‘Al-‘Aql hanya bisa mencapai tahap Akfa, di mana terdapat Pohon Teratai di Batas Terjauh (sidrah al-muntaha), yang menjadi batas Nuur Al-‘Aql harus ditanggalkan sebagai “ikatan” (‘iqal).
          Di dalam benteng ash-shadru berkuasa empat raja bawahan yang wajahnya menghadap dunia dzahir  berpaling (idbar) dari Maharaja. Mereka ini memiliki potensi-potensi menyerap obyek-obyek duniawi  ke dalam yang berupa melihat, mendengar, mencium, merasakan, meraba (pancaindera) dan sekaligus potensi-potensi mengungkapkan respons balik naluriah mereka  keluar terhadap obyek-obyek tersebut seperti berbicara, memegang, melangkah, membuang segala sesuatu yang tidak dibutuhkan tubuh, dan naluri berketurunan.
          Demikianlah, segala potensi nafsu-nafsu  dan al-‘aql sangat menentukan situasi dan kondisi ash-shadru. Jika ash-shadru terasa sesak dan sempit, maka itu sebagai pertanda ash-shadru dikuasai nafsu-nafsu berupa  iri hati, syahwat, keinginan, dendam, cemburu, kesenangan, kemabukan, dan dikendalikan  oleh  kuasa al’aql  berupa khayalan, prasangka, khawathir, putus asa. Namun jika ash-shadru mangalami insyirah (kelapangan), maka kuasa dari anasir ruhani yang memancar dari qalbu telah  meliputi  ash-shadru sehingga semua beban lepas dan kesulitan berganti kemudahan (Q.S.As-Syarh:1-6),  semua dendam hilang dan hidup menjadi surgawi (Q.S.Al-A’raf:43).

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/makna-ash-shadru-dada-dalam-pandangan-tasawuf/120567138017672

Makna Qalbu (hati) Dalam Pandangan Tasawuf


Oleh: KH Agus Sunyoto

Makna Qalbu (hati) Dalam Pandangan Tasawuf
            Rasul Saw bersabda,’Ketahuilah, di dalam jasad ada segumpal daging (mudzghah) yang jika baik daging itu maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika jelek daging itu maka jeleklah seluruh jasadnya. Ketahuilah daging itu adalah hati (qalb).’’ (HR. Bukhari & Muslim dari Nu’man bin Basyir).
            Ungkapan Rasul Saw tentang segumpal daging fisik (mudzghah) di dalam dada manusia  yang dihubungkan dengan hati (qalb), sering diassumsikan secara kurang tepat dalam memaknai hati (qalb) yang diidentikkan sebagai organ fisik yang disebut hati  (mudzghah) tersebut. Sehingga kerusakan pada fisik hati (mudzghah) itu, ditafsirkan akan  berakibat kerusakan pada perilaku pemilik hati yang rusak tersebut.
            Dalam term sufisme makna al-qalbu (hati) lebih menunjuk kepada aspek ruhani, substansi halus, anasir bukan materi yang berfungsi mengenal segala sesuatu dan mampu merefleksikan sesuatu seperti cermin yang memantulkan sebuah gambar. Kemampuan qalb dalam merefleksikan suatu hakikat tergantung pada sifat qalb, sesuai pengaruh inderawi, syahwat, kemaksiatan, dan cinta. Sepanjang hati itu bersih dari kendala-kendala yang dapat menutupinya, maka hati dapat menangkap hakikat yang ada. Bahkan di qalb ma’rifat terjadi.
            Menurut At-Tirmidzi, qalb (hati) adalah pusat dari semua perasaan, pengenalan dan emosi di dalam diri manusia. Semua perasaan, pengenalan dan emosi manusia akan kembali ke qalb (hati) dan dari qalb (hati) dikirim kembali ke seluruh tubuh. Qalb (hati) bersifat otomatik, dapat menyerap segala bentuk emosi yang ada, dan apabila terbetik di dalamnya suatu aliran perasaan, secara langsung akan dipancarkan ke seluruh tubuh. Dengan pandangan At-Tirmidzi ini, hati dapat diibaratkan seperti istana. Jika yang memerintah istana adalah raja yang baik (ruh), maka akan baiklah semua perilaku si pemilik hati. Sebaliknya, jika yang berkuasa di istana adalah raja jahat (nafsu), maka akan rusaklah semua perilaku si pemilik hati.
            Imam Al-Ghazali mengungkapkan makna qalb dengan gambaran metaforik sebagai sumur yang digali di tanah. Sumur itu bisa diisi lewat saluran pipa dari sungai atau saluran irigasi. Tidak jarang dalam mengisi sumur dilakukan penggalian lebih dalam sampai didapati sumber air di dalam tanah. Jika digali lebih dalam, akan memancar air yang lebih jernih, lebih deras dan tidak ada habisnya. Tidak ubahnya sumur, ungkap Al-Ghazali, air di dalamnya itulah ilmu pengetahuan. Pancaindera ibarat saluran pipa atau  saluran irigasi, mengisi qalb dengan ilmu pengetahuan seibarat saluran pipa atau saluran irigasi mengisi sumur dengan air dari sungai di muka bumi. Qalb diisi ilmu pengetahuan lewat pancaindera melalui proses membaca, mendengar, merasakan, mengamati, meneliti. Sementara ada cara lain mengisi air ke dalam sumur, dengan menutup saluran pipa atau saluran irigasi. Lalu menggali qalb lebih dalam lewat uzlah, khalwat, mujahadah, muraqabah, musyahadah sampai terangkat tutup yang menyelubungi, sehingga memancar dari dalam qalb ilmu pengetahuan yang lebih bersih dan abadi, sebagaimana firman Allah: “Sejatinya, (al-Qur’an)  itu merupakan tanda-tanda yang jelas di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu (Q.S.Al-Ankabut:49).
            “Inna fii jazadi al-mudzghah. Wa fii mudzghah qalb, wa fii qalb fuad, wa fii fuad ruh, wa fii ruh sirr, wa fii sirr akfa, wa fii akfa ana!” sabda Nabi Saw ini menunjukkan bahwa di dalam mudzghah terdapat tujuh lapisan anasir halus bukan materi  bersifat ruhaniah yang makin lama makin halus hingga ke pusat  anasir hati yaitu ana (aku). Seibarat istana dengan tujuh ruangan dari  yang zhahir sampai yang bathin yang dilingkari tujuh dinding, setiap ruangan memiliki pintu dan kunci yang berujung ke pusat ruangan paling batiniah di mana sang raja berada.  Adapun yang dimaksud tujuh ruangan di istana itu, dari luar ke dalam atau dari zhahir ke bathin, adalah:
  1. Al-Mudzghah, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab  Al-Jamal (keindahan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Hidayah. Kuncinya adalah Al-Miftah Al-Iqrar (pengakuan);
  2. Al-Qalbu, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Jalal (kemuliaan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Ra’fah (kesantunan). Kuncinya Al-Miftah At-Tauhid (peng-Esa-an);
  3. Al-Fuad, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab As-Sulthan (kekuatan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Jud (kemurahan). Kuncinya Al-Miftah Al-Iman;
  4. Ar-Ruuh, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Ghaiban (kegaiban). Pintunya adalah Al-Bab Al-Majdu (kemuliaan). Kuncinya Al-Miftah Al-Islam;
  5. Sirr, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Qudrah. Pintunya adalah Al-Bab Al-Atha’ (anugerah). Kuncinya Al-Miftah Al-Ikhsan;
  6. Akfa, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Adhamah (keagungan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Rahbah (ketakutan). Kuncinya As-Shidqu (shiddiq);
  7. Ana, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Haya’ (malu). Pintunya adalah Al-Bab Al-Athaf (kelembutan). Kuncinya Al-Ma’rifat.

            Untuk bisa masuk ke dalam tujuh ruangan – khususnya ruang ketujuh yang paling ghaib – disyaratkan perjuangan (jihad) ruhani yang tidak ringan. Berbagai laku ruhani seperti uzlah, mujahadah, muraqabah, musyahadah harus dilakukan sampai dapat melewati ketujuh pintu itu beserta kuncinya. Berbagai ujian, akan dialami oleh siapa saja yang ingin memasuki tujuh ruangan suci itu agar bisa ketemu Sang Maharaja Diraja Yang telah bersabda,”Waladziina jahadu fiina, lanahdiyanahum subulana!”


11 Mar 2014

Trauma sejarah Pelaksanaan "Syariat Islam"-nya Wahabi


Oleh KH Agus Sunyoto

Trauma Sejarah Pelaksanaan  “Syariat Islam”-nya Wahabi

               Pandangan Guru Sufi  terhadap pelaksanaan syariat Islam dalam bernegara yang tidak sejalan dengan pandangan ustadz  Hajibul Haqq, ternyata berbuntut.  Entah siapa yang menyebarkan, tiba-tiba Guru Sufi diisukan sebagai kyai yang menolak syariat dan tidak mau menjalankan syariat.  Sejumlah aktivis datang untuk bertabayyun mengenai isu  tak jelas itu. Dipimpin Khoirul,  Joko dan Bambang, belasan aktivis meminta penjelasan Guru Sufi tentang kebenaran isu tersebut.
           Sambil tersenyum Guru Sufi menjelaskan duduk persoalan kenapa ia tidak sepaham dengan ustadz Hajibul Haqq dengan alasan pentingnya kejelasan yang dimaksud syariat, karena kejelasan syariat tidak sekedar menyangkut sudut pandang yang digunakan melainkan menyangkut pula pelaksanaannya. Sebab baiknya syariat pada tingkat konseptual, belum tentu baik dalam pelaksanaan apalagi jika syariat itu dimanfaatkansecara tidak semestinya untuk kepentingan pribadi. “Kita punya sejarah kelabu tentang pelaksanaan syariat yang tidak jelas apa firqah dan mazhabnya dan  siapa pelaksananya, sehingga timbul kepahitan bagi umat,” ujar Guru Sufi.
                “Maaf Mbah Kyai, setahu saya bangsa Indonesia belum pernah menerapkan syariat Islam,” kata Khoirul menyela penjelasan Guru Sufi,”Bahkan untuk  hukum  jinayat, yang diterapkan pun bukan syariat Islam melainkan hukum bikinan Belanda, Burgelijk Wetboek. Bagaimana Mbah Kyai bisa menyatakan kita punya sejarah kelabu tentang pelaksanaan syariat?”
                “Ketahuilah, wahai pemuda-pemuda kritis,” sahut Guru Sufi menjelaskan,”Bahwa sejak jaman kuno bangsa kita sudah hidup teratur menurut hukum. Sejak tahun 648 Masehi, kitab Kalingga Dharmasastra jadi acuan hukum pidana dan perdata. Terus dilanjut era Singhasari dengan Purwadigama Dharmasastra yang dilanjut era Majapahit dengan Kutaramanawa Dharmasastra. Untuk hukum pidana, misal, semua sama: pencuri potong tangan, rampok dihukum bunuh, koruptor dipenggal dan dirampas harta korupnya ditambah hukuman anak dan isterinya jadi budak. Penzinah dihukum bunuh. Pemerkosa dihukum bunuh, dan macam-macam hukuman yang keras lainnya untuk pelaku kejahatan. Sampai zaman Demak, Pajang dan Mataram hukum yang keras itu terus dijalankan.”
                “Maaf Mbah Kyai, kalau hukum kuno seperti itu, kan sama dengan syariat Islam?” tanya Khoirul.
                “Esensinya sama tapi namanya saja yang beda,” sahut Guru Sufi,”Karena itu warga era  Majapahit sampai era  Demak, yang Hindu, Buddha maupun muslim tunduk di bawah supremasi hukum kuno itu.”
                “Lalu hukum syariat mana yang Mbah Kyai sebut sebagai sejarah kelabu?”
                “Waktu kaum Wahabi berkuasa di Sumatera Barat,” kata Guru Sufi menjelaskan latar sejarah pelaksanaan syariatnya kaum Wahabi,”Waktu itu yang memimpin Tuanku Nan Rinceh. Berbagai tindak maksiat, bid’ah, khurafat, takhayul, dan adat kebiasaan yang tidak Islami  diberantas dengan keras. Bahkan kebiasaan makan sirih, dilarang dengan ancaman hukuman mati. Nah, sebagai contoh ketegasan penguasa, bibi Tuanku Nan Rinceh yang sudah tua ditangkap karena kedapatan makan sirih. Lalu orang tua yang merasa tidak melakukan dosa dan salah itu dihukum pancung di lapangan. Tidak cukup memenggal perempuan tua itu, Tuanku Nan Rinceh memerintahkan pengikutnya untuk tidak menguburkan mayat bibinya, melainkan menyuruhnya buang ke hutan supaya dimakan hewan buas. Itulah contoh yang sesuai bagi yang melanggar hukum Tuhan.”
                “Tindakan Tuanku Nan Rinceh menghukum mati bibinya, menggemparkan dan membuat takut penduduk. Tidak ada satu pun orang yang berani makan sirih lagi. Tapi, para pengikut Tuanku Nan Rinceh justru membawa segepok daun sirih untuk diletakkan di rumah orang-orang kaya. Mereka meminta tebusan uang kepada tuan rumah dan jika tidak dikasi, mereka mengancam akan melaporkan kepada Tuanku Nan Rinceh bahwa di rumah tersebut ditemukan sirih. Tindakan pengikut Tuanku Nan Rinceh itu menggemparkan dan membuat takut penduduk. Ketika orang-orang kaya melaporkan tindakan para pengikutnya yang menyimpang itu, Tuanku Nan Rinceh tidak mengambil tindakan apa-apa. Ia hanya menyesalkan terjadinya penyimpangan tersebut.”
                “Watak badui yang anti feodalisme, ternyata dijalankan oleh para penyebar Wahabi  selain  menista  masyarakat bukan Wahabi sebagai kaum adat yang hidup tidak mengikut hukum Islam. Kaum bangsawan muslim di Pagaruyung, tanpa alasan jelas tiba-tiba diserang dan dijarah hartanya.  Cicit salah seorang panglima Wahabi yang  mencatat  kisah-kisah  teror kaum Wahabi di Sumatera Utara, termasuk kekejaman kakek buyutnya dalam menjalankan syariat, menyusun kisah-kisah traumatik itu dalam sebuah buku yang diberi judul Tuanku Rao. Demikianlah, resistensi muncul  di mana-mana terhadap  pelaksanaan syariat Wahabi  yang menakutkan penduduk itu, sampai akhirnya pecah perang antara kaum Wahabi dengan kaum muslim setempat, yang kita kenal sebagai Perang Paderi. Itulah, sekelumit sejarah kelabu pelaksanaan syariat yang pernah terjadi di negeri ini. Karena itu, waktu ustadz Hajibul Haqq bicara soal pelaksanaan syariat dalam bernegara, aku tanya dulu syariat yang mana? Syariatnya Wahabi? Syiah? Ahlussunnah wal-Jama’ah? Itu semata-mata karena kita pernah mengalami peristiwa traumatik dalam sejarah penerapan syariat.”

10 Mar 2014

Setuju Penerapan Syariat Asal Jelas Syariat Yang Mana

Setuju Penerapan Syariat Asal  Jelas Syariat Yang Mana?

 Satu malam, usai pengajian membahas Qalbu Salim di tengah kepanikan bom buku, sekumpulan orang muda dipimpin Ustadz Hajibul Haqq menemui Guru Sufi yang masih ditemani Sufi tua, Sufi Kenthir, Dullah, dan Sufi Gelandangan. Tanpa diminta, Ustadz Hajibul Haqq menceramahi Guru Sufi dengan pandangannya yang “mahabenar” bahwa semua kecemasan, kegelisahan, ketakutan, kebingungan yang dirasakan masyarakat Indonesia ini karena negeri ini masih belum benar-benar menerima Islam sebagai satu-satunya aturan Kebenaran. “Bayangkan tuan guru, mayoritas warganegara Indonesia adalah muslim, tetapi aturan-turan yang diterapkan dalam bernegara adalah aturan-aturan kafir. Jadi negeri ini belum bisa disebut Darul Islam, tetapi masih Darul Harb. Pantaslah orang-2 yang tinggal di wilayah Darul Harb selalu dicekam kecemasan, kegelisahan, ketakutan, kepanikan, karena siapa pun yang tinggal di daerah perang yang seperti itu keadaannya,” ujar Ustadz Hajibul Haqq.
Guru Sufi mengangguk-anguk tak berkomentar. Sufi tua tiba-tiba menyela,”Bagaimana caranya supaya kecemasan, kegelisahan, kebingungan, ketakutan, dan  kengerian yang dirasakan masyarakat itu bisa hilang?”
“Resepnya cuma satu: terapkan syariat Islam dalam kehidupan bernegara. Pasti semua masalah yang membelit bangsa ini akan terurai dengan sendirinya, karena seluruh undang-undang dan peraturan diatur oleh hukum Allah. Kekacauan yang dialami bangsa ini, karena mereka ingkar. Mereka muslim tetapi menolak menerapkan hukum Allah. Mereka lebih suka memakai hukum Dajjal,” kata Ustadz Hajibul Haqq dengan suara ditekan tinggi.
“Tapi negara Indonesia sejak didirikan dimaksudkan bukan negara agama tapi sebagai negara kebangsaan (nation-state). Jadi kalau Syariat Islam diterapkan, itu menyalahi prinsip yang dikehendaki para Founding Fathers,” sahut Dullah melontar pendapat.
“Siapa bilang tidak dikehendaki Founding Father?” tukas Ustad Hajibul Haqq,”Di dalam Piagam Jakarta, tegas-tegas ditetapkan bahwa umat Islam wajib menjalankan syariat. Bukankah Piagam Jakarta itu disusun oleh Bung Karno? Hanya atas ulah segelintir orang saja, Piagam Jakarta akhirnya diubah dengan alasan demi persatuan dan kesatuan. Bahkan saat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menetapkan Piagam Jakarta berlaku sebagai keniscayaan landasan idiil negara. Bukankah itu sudah jelas bahwa Founding Fathers menyetujui syariat Islam?”
Sufi gelandangan yang rajin mendengar tiba-tiba ikut bicara,”Keputusan Bung Karno tentang Piagam Jakarta dan Dekrti Presiden adalah keputusan politik. Karena secara prinsip, beliau tetap berpegang teguh pada Pancasila sebagai landasan idiil negara.  Jadi telah terbukti dalam sejarah, di balik Dekrit Presiden yang memberi kan janji politik kepada umat Islam berupa pemberlakuan Piagam Jakarta yang tidak pernah terwujud dalam realita, justru Bung Karno membubarkan Partai Masyumi yang selalu mengusung gagasan penerapan syariat dalam bernegara.”
 Ketika perdebatan akan berlanjut karena Ustadz Hajibul  Haqq sudah membusungkan dada dengan wajah merah, tiba-tiba Guru Sufi menengahi dengan berkata merendah,”Sudah tidak usah berdebat. Yang pasti, secara prinsip saya sangat sepakat Syariat Islam diterapkan dalam kehidupan bernagara di Indonesia, asalkan….”
 “Nah lihat, Pak Kyai, guru kalian sudah sepakat dengan penerapan syariat dalam bernegara, sekarang apalagi masalahnya?” seru Ustadz Hajibul Haqq dengan wajah berseri-seri.
 “Maaf ustadz, saya belum selesai bicara,” kata Guru Sufi mengingatkan agar pembicaraannya tidak dipotong,”Maksud saya, secara prinsip saya sangat sepakat Syariat Islam diterapkan dalam kehidupan bernegara di Indonesia, asalkan Syariat Islam itu yang sesuai  dengan yang dianut mayoritas warganegara Indonesia.  Maksud saya, Syariat Islam yang mana yang akan kita terapkan dalam kehidupan bernegara di Indonesia ini? Syariat Islam menurut golongan Syi’ah, Wahabi, Sunni Maturidiyyah, Ahlussunnah wal-Jama’ah? Itu harus jelas dulu. Syariat menurut firqah, aliran, mazhab mana yang dipilih dan ditetapkan sebagai dasar negara. Itu harus jelas dulu definisinya, sebab jika tidak, bisa menyulut perang di antara umat Islam sendiri. Coba saja, terapkan Syariat Wahabi di Indonesia, pasti warga muslim Ahlussunnah wal-Jama’ah  yang  mayoritas dengan warga beragama lain  akan mengangkat senjata untuk memerangi minoritas yang berani menerapkan syariat dari firqahnya sebagai landasan idiil negara tanpa persetujuan mayoritas.”
 “Wah, Islam  jangan dikotak-kotak begitu, pak kyai,” kata ustadz Hajibul Haqq tak suka.
 “Maaf ustadz, jika kita memandang Islam  dalam ranah ideal konseptual, kita bisa berimajinasi  Islam itu satu. Tapi saat kita memandang  ke ranah realitas, Islam jelas terbagi-bagi dalam firqah, faham, mazhab, sekte, jama’ah yang saling berbeda satu sama lain,” kata Guru Sufi.
 “Maksud saya baik, pak kyai.”
“Saya tahu, maksud ustadz baik,” kata Guru Sufi dengan nada suara  merendah,”Tapi gagasan ustadz itu hanya ada dalam dunia konseptual, tidak dalam dunia riil. Jadi kalau ustadz memaksakan kehendak untuk mewujudkan dunia konseptual itu ke dalam realitas, justru akan terjadi kekacauan. Saya sendiri yakin pada petuah bijak orang-orang tua  dalam pepatah: “Siapa yang ingin menciptakan surga di dunia, sesungguhnya dia akan menciptakan neraka!”

Dikopas dari Facebook Agus Sunyoto II

sumber asli: https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/setuju-penerapan-syariat-asal-jelas-syariat-yang-mana/119323831475336