26 Apr 2014

Menggugat Hegemoni Wacana Doktriner Barat

Menolak Hipotesis Indonesia Adalah Benua Atlantis (I):
                                                  Menggugat  Hegemoni  Wacana Doktriner Barat
                Sesuai janji Guru Sufi untuk membincang  buku berjudul Atlantis – The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of  Plato’s Lost Civilization),yang  ditulis Prof Arysio Nunes dos Santos, Sabtu malam Pesantren Sufi mengadakan telaah  bebas tentang buku yang menggemparkan itu. Oleh karena bahasannya umum, sejumlah aktivis, pengamat sosial  dan peminat Atlantis yang diberitahu Dullah ikut hadir. Menurut Dullah, mereka ingin  mengetahui bagaimana orang-orang di pesantren menyikapi hasil pemikiran ilmiah seorang profesor pakar geologi dan fisikawan nuklir asal Brazil itu. Satu-dua orang di antara peminat Atlantis yang hadir, menduga bahwa bahasan atas hipotesa Prof Arysio Santos itu bakal sarat dengan dalil-dalil agama yang dihubungkan dengan simpulan halal, haram, baik, buruk, benar, dan sesat. Sebagaimana ciri khas  orang-orang pesantren pengamal tasawuf, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Sufi gelandangan, Sufi Slendro, Sufi Jadzab, Sufi tua, dan Dul Gawul duduk bersila  berkerudung sarung. 
            Namun saat Guru Sufi mulai bicara, para aktivis dan pengamat sosial serta peminat Atlantis mulai mengerutkan kening dan menyimak setiap kata-kata yang meluncur dari mulut Guru Sufi. Sebab sebelum masuk ke dalam substansi buku Atlanyis-nya Arysio Santos, Guru Sufi terlebih dulu mengajak semua yang hadir untuk membersihkan pikiran dan jiwa dari radiasi membahayakan asumsi-asumsi doktriner yang dibangun pemikir-pemikir kulit putih  yang seringkali sudah menghegemoni pikiran dan jiwa bangsa-bangsa bermental kacung dan jongos, yang selama berbilang abad pernah dijajah kulit putih.
            “Jika kita belajar filsafat Barat,” kata Guru Sufi memulai kupasan kritisnya,”Kita diharuskan mengagumi pikiran filsuf-filsuf Yunani abad ke-5 SM seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, Herakleitos, Pythagoras, Parmenides, dan Demokritos. Sebab pada masa itu, para filsuf tersebut sudah menyelidiki perubahan alam sampai mereka meyakini adanya azas pertama yang menjadi dasar dari alam ini. Thales meyakini, air adalah azas pertama alam. Anaximandros meyakini azas pertama itu: to apeiron (yang tidak terbatas), Anaximenes meyakini azas itu: udara, Heraklitos meyakini azas itu: api. Era di mana tokoh-tokoh di atas hidup, ditetapkan sebagai era filsafat alam dalam sejarah filsafat dunia.”
            “Seperti jongos mendapat perintah majikannya, tanpa bertanya apa pun seluruh bangsa kulit berwarna meng-amin-i ketetapan dalam ilmu filsafat itu sebagai kebenaran aksiomatik. Artinya, siapa pun di antara bangsa-bangsa di dunia jika mempelajari filsafat harus mengakui kebenaran bahwa tokoh-tokoh pemikir asal Miletos itu adalah filsuf-filsuf  tertua di dunia dengan teori filsafat alamnya. Padahal, abad ke-15 SM, seorang guru suci di India bernama Kapila, mengajarkan suatu konsep pokok ajaran Sankhya-Yoga tentang azas pertama yang menjadi dasar dari alam semesta ini. Berbeda dengan filsuf Miletos yang meyakini azas pertama dari alam adalah “air”, “to apeiron”, “udara”, dan “api”, Kapila mengajarkan konsep pokok dalam sistem ganda terbentuknya alam yang digambarkan sebagai: (1) alam semesta dibangun di atas landasan dikotomi yang tidak terpecahkan (atomik) antara “sel kehidupan” (purusa) dan “materi” (prakrti) tak bernyawa; (2) bahwa “materi” (prakrti), meski pada dasarnya sederhana dan tidak bersenyawa, bisa lenyap atau mewujud dalam tiga bentuk yang berbeda (yang disebut guna), yang sebanding dengan tiga jenis tali; (3) bahwa setiap “sel kehidupan” (purusa) yang bersatu dengan “materi” (prakrti) terlibat dalam penghambaan “lingkaran transmigrasi” (samsara) tiada akhir.”
            “Bertolak dari konsep alam yang dibangun Kapila, harusnya dialah yang menduduki posisi tertinggi sebagai filsuf tertua peletak dasar filsafat alam. Namun karena Kapila itu bangsa kulit berwarna, maka dia digolongkan sebagai agamawan dan sekali-kali bukan pemikir. Konsep pemikirannya digolongkan sebagai pikiran mistis dan sekali-kali bukan filsafat,” kata Guru Sufi menyimpulkan.
            “Tapi guru,” tukas Sufi tua menyela,”Kalau tidak salah tokoh Kapila itu ceritanya masuk dalam epos Mahabharata bagian Adiparwa. Apakah Kapila itu bukan sekedar tokoh rekaan alias dongeng?”
            “Memang tokoh Kapila itu pemikir dan sekaligus mistikus kuno yang dimuat dalam epos Mahabharata. Tetapi bukan berarti beliau itu tokoh fiktif, karena pikiran-pikiran beliau itu sudah dicatat oleh Isvarakrsna dalam Sankhya-karika pada pertengahan abad ke-5 SM, sejaman dengan era Thales. Ajaran-ajaran Mahavira dan Sidharta Gautama, terasa sekali memuat doktrin-doktrin Kapila. Itu berarti, Kapila bukanlah tokoh fiktif,” kata Guru Sufi menjelaskan.
            “Kayaknya memang ada diskriminasi dalam keilmuan,” Sufi Kenthir berbisik.
             Terdiam sebentar memberi peluang kepada para peserta untuk merenung, Guru Sufi melanjutkan lagi telaahnya, kali itu dalam kaitan dengan buku Arysio Santos. Dengan suara ditekan Guru Sufi berkata, “Semua bahasan terkait Atlantis, termasuk yang disusun Arysio Santos, dasar utamanya adalah dua buah buku dongeng kuno karya Plato berjudul Timaeus dan Critias. Di dalam dongeng itu, Plato melukiskan benua Atlantis sebagai berikut:
               “Di hadapan Selat Mainstay Haigelisi, ada sebuah pulau yang sangat besar, dari sana kalian dapat pergi ke pulau lainnya. Di  depan pulau-pulau itu adalah seluruhnya daratan yang dikelilingi laut samudera. Itulah  Kerajaan Atlantis. Ketika itu, Atlantis baru akan melancarkan perang besar dengan Athena. Namun, di luar dugaan, Atlantis tiba-tiba mengalami gempa bumi dan banjir, tidak sampai sehari semalam, tenggelam sama sekali di dasar laut. Negara besar yang melampaui peradaban tinggi itu, lenyap dalam semalam.”
              Satu bagian dalam dialog buku Critias, tercatat kisah Atlantis yang diceritakan oleh adik sepupu Critias. Critias adalah murid filsuf Socrates, tiga kali ia menekankan keberadaan Atlantis dalam dialog. Kisah Atlantis sendiri berasal dari cerita lisan Joepe,  moyang lelaki Critias. Joepe mengaku mendengar kisah Atlantis  dari seorang penyair Yunani kuno bernama Solon (639-559 SM). Solon adalah orang yang paling bijaksana di antara tujuh  mahabijak Yunani kuno. Menurut cerita, suatu kali ketika Solon berkeliling Mesir. Solon bertemu pendeta dari Sais, yang menerjemahkan sejarah Athena kuno dan Atlantis, yang ditranskrip dari  hireoglif papiri di Mesir, ke dalam  bahasa Yunani. Menurut Plutarch, Solon bertemu dengan "Psenophis Heliopolis, dan Sonchis Saite, yang paling dipelajari dari semua pendeta". Dari tempat pemujaan makam leluhur ia  mengetahui legenda Atlantis. Catatan dalam dialog tentang Atlantis, secara garis besar seperti berikut ini:
            “Atlantis adalah sebuah daratan raksasa di atas Samudera Atlantik di sebelah barat Laut Tengah yang sangat jauh, sebuah surga beriklim tropis  yang penuh dengan segala jenis keindahan dan kekayaan: daratan-daratan yang luas dan ladang-ladang yang indah, lembah-lembah dan gunung-gunung; batu-batu permata dan logam dari berbagai jenis; kayu-kayu wangi, wewangian, dan bahan celup yang sangat tinggi nilainya; sungai-sungai, danau-danau, dan irigasi yang melimpah; pertanian yang paling produktif; istana-istana bertabur emas; tembok bentengnya perak; gajah dan segala jenis binatang buas hidup bebas; di sana tingkat peradaban manusia sangat menakjubkan. 
        “Atlantis memiliki pelabuhan dan kapal dengan perlengkapan yang sempurna, juga ada benda yang bisa membawa orang terbang. Kekuasaannya tidak hanya terbatas di Eropa, bahkan jauh sampai daratan Afrika. Setelah dilanda gempa dahsyat, tenggelamlah Atlantis  ke dasar laut beserta peradabannya, juga hilang dalam ingatan orang-orang.
        “Menurut perhitungan versi Plato, waktu tenggelamnya kerajaan Atlantis, kurang lebih 11.150 tahun silam. Plato pernah beberapa kali mengatakan, bahwa keadaan kerajaan Atlantis itu diceritakan secara lisan turun-temurun. Namun cerita itu sama sekali bukan rekaan imajinasinya sendiri. Plato bahkan mengaku pernah pergi ke Mesir minta petunjuk pendeta dan rahib terkenal setempat waktu itu. Guru Plato yaitu Socrates ketika membicarakan tentang kerajaan Atlantis juga menekankan kebenarannya, karena hal itu adalah nyata, nilainya jauh lebih kuat dibanding kisah yang direkayasa,” kata Guru Sufi berhenti bicara.
            “Apakah menurut guru, dalam kasus Atlantis terjadi pula suatu diskriminasi?” tanya Sufi Sudrun ingin tahu.
            “Sangat jelas sekali diskriminasinya,” sahut Guru Sufi dengan suara tinggi,”Bayangkan, Plato yang hidup pada abad ke-3 SM, menuliskan dongeng Atlantis dari masa 11.150 tahun lalu, yang berarti sepuluh milenium jarak waktunya. Arogannya, dongeng Atlantis dipaksakan untuk diyakini sebagai kebenaran sejarah. Sementara tulisan-tulisan pujangga Indonesia yang menuturkan sebuah peristiwa sejarah dengan kerangka penulisan yang khas, yaitu dituangkan dalam bentuk kakawin dan tembang gede maupun tembang alit, tidak sedikit pun diakui sebagai catatan sejarah melainkan dinilai sebagai karya sastera atau paling tinggi dinilai sebagai historiografi. Dalam menyusun sejarah perang Jawa pada 1835-1830 M, misal, sumber-sumber data yang digunakan adalah berasal dari colonial archive dan daghregister yang ditulis orang-orang Belanda. Tulisan tangan Pangeran Dipanegara yang dituangkan dalam bentuk tembang dengan judul Babad Dipanegaran, sedikit pun tidak dianggap sebagai sumber data. Karena apa Babad Dipanegaran tidak dijadikan sumber data sejarah? Karena Pangeran Dipanegara yang menulis pengalaman  hidupnya sebagai pelaku sejarah itu kulitnya coklat.”
            “Jadi guru,” sahut Dullah penasaran,”Apakah dengan menelaah karya Prof Arysio Santos sama maknanya dengan membincang dongeng kuno  karena kisah yang ditulis Plato  itu terjadi kira-kira 13.161 tahun silam dan  ditulis oleh Plato sekitar 2.350 tahun silam?”
             “Karena tidak ada bukti material dari sisa-sisa peradaban Atlantis kecuali dongengan Plato, maka seharusnya kita tidak perlu serius membahas masalah Atlantis. Namun karena yang menulis seorang profesor ahli fisika nuklir, maka orang-orang dari bangsa-bangsa bermental jongos merasa wajib untuk meng-amin-i kebenaran teori tentang dongeng itu sebagai kebenaran ilmiah. Kebodohan bangsa-bangsa bermental jongos itu makin tampak saat mereka sangat bangga negerinya diidentikkan dengan Atlantis, negeri kuno yang dihuni bangsa  berperadaban tinggi. Tanpa menyoal pendekatan metodologi apa yang digunakan Arysio Santos dalam menyusun hipotesanya tentang dongeng Atlantis, mereka benarkan 100 % tulisan dari orang bergelar profesor itu,” kata Guru Sufi memancing.
            Farel, seorang peminat Atlantis, dengan dada berdebar-debar menahan emosi menanggapi pandangan Guru Sufi,”Maaf Mbah Kyai, tadi Mbah Kyai sudah  menyinggung soal pendekatan metodologis yang digunakan Prof Santos. Apakah Mbah Kyai faham, pendekatan metodologis apa yang digunakan Prof Santos dalam penelitiannya tentang Atlantis  yang 30 tahun itu?”
            “Sebagai seorang geolog dan pakar fisika nuklir,” sahut Guru Sufi menjelaskan, “Seharusnya Prof Arysio Santos mendukung hipotesis dengan bidang keilmuan yang didalaminya, yaitu geologi dan fisika nuklir. Anehnya, geolog dan fisikawan nuklir asal Brazil itu justru menggunakan pendekatan interdisipliner yang lebih banyak melibatkan pendekatan arkeologi, filologi, semiotik, aitiologi, sejarah, antropologi, etnologi, hermeunetika, dan sangat sedikit teori geologi. Pendekatan metodologis yang dilakukan Arysio Santos itulah yang membuat kita harus kritis menanggapi setiap pandangan asumtif yang dimunculkannya, karena dengan disiplin-disiplin ilmu yang bukan bidangnya dan terbukti kurang dikuasainya itu, pandangan asumtif Santos cenderung bersifat etic. Nah, jika sebuah pandangan asumtif atas suatu penelitian yang bersifat ilmu-ilmu humaniora sudah bersifat etic, maka rawan terjadi kecenderungan untuk memaksakan kehendak penelitinya dalam menarik simpulan-simpulan.”
              “Tapi Mbah Kyai,” sahut Farel belum  puas,”Jika pendekatan metodologis yang dilakukan Prof Santos dianggap salah, apakah kita mampu membangun epistemologi kelimuan sendiri? Bukankah selama ini yang mengembangkan epistemologi keilmuan itu memang ras kulit putih? Jangan-jangan kita ini sinis terhadap karya orang lain karena sejatinya untuk menutupi ketidak- mampuan membangun epistemologi keilmuan sendiri. Bagaimana ini Mbah Kyai?”
            “Engkau kurang menyimak mendengar  penjelasanku, Farel,” kata Guru Sufi senang dengan keberanian Farel mengkritiknya,”Sebab  tidak sedikit pun aku menyalahkan pendekatan interdisipliner yang digunakan Prof Arysio Santos. Yang aku kritik adalah kapasitas Prof Santos dalam menguasai secara baik disiplin-disiplin ilmu yang dia gunakan, sehingga sangat terasa sekali bagaimana ia memaksakan pandangan-pandangan etic dalam simpulan-simpulan yang ditariknya secara kurang tepat.”
            “Nah, soal epistemologi keilmuan yang kau anggap milik ras kulit putih dan hanya dikembangkan oleh ras kulit putih, itu merupakan bukti kekurang-fahamanmu dalam sejarah ilmu pengetahuan. Sebab, bertolak dari sejarah ilmu pengetahuan, kita akan menemukan fakta bahwa sewaktu ras kulit putih di Eropa akrab dengan takhayul, sihir, dongeng, filsafat agama yang jauh dari pengembangan ilmu pengetahuan, orang-orang Islam sudah mengembangkan epistemologi keilmuan dalam rangka menyusun, merumuskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, mulai yang berhubungan dengan agama sampai ilmu kimia, matematika, astronomi, kedokteran, politik, sosial, hukum, tatanegara, dan sebagainya.”
            “Jika kita cermati perkembangan Islam, kita akan temukan fakta bahwa sampai saat Nabi Muhammad Saw wafat, ilmu pengetahuan belum berkembang meski benih-benihnya sudah tersebar dalam al-Qur’an dan Hadits. Baru setelah al-Qur’an dibukukan di masa Khalifah Abu Bakar yang selesai pada masa Khalifah Utsman. Sejak al-Qur’an dibukukan lahir ilmu tajwid, nahwu, sharaf, balaghah, hadits dengan mustholah hadits-nya,  fiqh dengan  ushul fiqh-nya, akhlaq, tauhid, tasawuf, tafsir, falak, manthiq, kimia, aljabar, filsafat, siyasah, kalam, adab, yang semuanya butuh  epistemologi keilmuan. Bahkan fiqh dengan ushul fiqh-nya, sangat kaya epistemologi. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam meng-istinbat hukum seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishab, sangat efektif dalam mengembangkan hukum Islam bahkan sangat kondusif dalam mengembangkan pemikiran yang lebih luas.”
            “Sayang sekali, sejak dunia Islam jatuh ke dalam kolonialisme ras kulit putih, tradisi keilmuan dalam mengembangkan epistemologi telah pudar. Umat Islam – lewat lembaga indoktrinasi yang disebut sekolah – hanya diposisikan sebagai konsumen dari epistemologi kulit putih. Seperti kacung yang patuh kepada majikan, umat Islam yang mayoritas adalah bangsa-bangsa kulit berwarna, hanya mengkonsumsi asumsi dasar, paradigma, dogma, doktrin, dan mitos yang diproduksi kulit putih. Demikianlah, ras kulit berwarna yang sudah dihegemoni nalar dan jiwanya itu, dari waktu ke waktu hanya diperbolehkan menjadi konsumen epistemologi kulit putih. Kulit berwarna  didudukkan sebagai ras inferior yang bodoh dan tidak pintar. Oleh sebab itu, sewaktu Korea Utara bisa membuat nuklir, langsung dicap sebagai bangsa penjahat. Asal kau tahu, Farel, bahwa anak-anak muda dari bangsa kita ini sekarang mulai banyak yang menunjukkan bakat luar biasa, menciptakan asumsi dasar, paradigma, dogma, doktrin, dan mitos untuk membangun epistemologi keilmuan sendiri.”
            “Mohon tanya, Mbah Kyai,” tanya Farel penasaran dan ingin tahu,”Apakah benar anak-anak muda di antara bangsa kita sudah bisa membangun epistemologi keilmuan sendiri? Apakah ada buktinya, Mbah Kyai?”
            Guru Sufi ketawa. Lalu sambil menujuk Sufi Kenthir, Guru Sufi berkata,”Itu, yang duduk kemulan sarung, yang disebut Sufi Kenthir, adalah seorang hacker. Dia jago komputer. Nah, sebagai hacker, dia diam-diam telah menyusun asumsi dasar, paradigma, dogma, dan doktrin keilmuan sendiri dalam membuat program. Dan ternyata, programnya itu mampu menyerang dan merusak program yang asumsi dasar, paradigma, dogma, dan doktrinnya telah disusun secara canggih oleh perusahaan-perusahaan komputer kelas dunia. Jadi, hacker-hacker, sejatinya adalah anak-anak muda yang genius yang mampu membangun epistemologi keilmuan sendiri meski hasilnya sering merugikan perusahaan-perusahaan raksasa milik kulit putih. Terus terang, aku salut dengan para hacker muda Indonesia. Sebab mereka itulah manusia merdeka yang bisa membebaskan diri dari keharusan tunduk pada wacana-wacana hegemonik kulit putih. Merekalah manusia-manusia yang merdeka dari hegemoni pikiran Barat.”

Sumber asli:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar