27 Apr 2014

Jawa Sebagai Asal-usul Ras Kulit Putih

Menolak Hipotesis Indonesia Adalah Benua Atlantis (VI):
                                                 Jawa Sebagai Asal-usul Ras Kulit Putih
          Setelah perbincangan terhenti setengah  jam,  pembahasan hipotesis Atlantis-nya Prof Arysio Santos, Ph.D  dilanjutkan dengan kesepakatan bahwa dalam mencari dan menentukan kebenaran ilmiah tidak boleh ada keberpihakan dalam  kaitan dengan  warna kulit, status kedudukan, gelar akademis, asal almamater, dan fanatisme membuta atas alasan tertentu. Kesepakatan itu penting, untuk memberikan hak azasi manusia dalam menyampaikan kebenaran ilmiah tanpa memandang siapa dan darimana asal orang yang menyampaikan kebenaran ilmiah tersebut. Demikianlah, Guru Sufi yang berasal dari kalangan berlatar pendidikan pesantren – lembaga pendidikan asli Indonesia yang eksistensi keberadaannya tidak pernah diakui secara formal oleh  pemerintah – dianggap sejajar dengan guru besar ilmu fisika nuklir dari Brazil dalam membincang Atlantis, dengan tetap menggunakan kaidah-kaidah epistemologi keilmuan yang disepakati secara umum di dunia  akademis.
          Dalam kesepakatan itu, tercantum pula kesediaan Guru Sufi untuk membahas Atlantis-nya Prof Arysio Santos hanya pada fokus hipotesis  yang berkaitan dengan Indonesia sebagai  sisa-sisa benua atlantis yang dianggap sebagai  negeri asal ras kulit putih. Bagian itu, menurut Guru Sufi, perlu dibahas khusus secara ilmiah dari berbagai interdisiplin keilmuan karena berkaitan dengan nasib bangsa Indonesia di masa depan. “Untuk paparan yang lain-lain dari hipotesis Prof Santos, saya tidak menanggapinya, terutama setelah hati  saya dimasuki prasangka tentang  tujuan utama di balik penulisan buku itu. Saya tidak mau su’u dzan,” kata Guru Sufi.
        Tavip yang tidak puas dengan penjelasan Guru Sufi atas alasan tidak berkenannya  membahas secara utuh Atlantis-nya Prof Santos, meminta agar Guru Sufi sedikit saja memberikan alasan-alasan untuk keengganannya itu. “Apa yang membuat Pak Kyai menaruh su’u dzan kepada karya Prof Santos? Bisakah Pak Kyai sedikit saja memberi alasan kepada kami?” tanya Tavip ingin tahu.
         “Kalau Anda membaca Atlantis secara utuh dengan asumsi-asumsi, persepsi-persepsi, tafsiran-tafsiran, dan interpolasi-interpolasi teoritik yang dilakukan Prof Santos,” kata Guru Sufi menjelaskan sekilas,”Anda akan mendapati profesor kita itu seperti “diburu” suatu target untuk membenarkan argumen-argumen yang digunakannya mendukung hipotesisnya. Lihat saja, saat Prof Santos tidak mendapati hipotesisnya  didukung oleh  tulisan Plato, Timaeus dan Critias    ia tegas menyatakan bahwa fakta fisiografi yang ditunjukkan Plato tentang lokasi Atlantis yang tidak aplikatif ditetapkan di wilayah sekitar Gibraltar adalah omong kosong. Lalu  Prof Santos menggunakan sumber-sumber lain dari dongeng-dongeng kuno seperti kisah Atlas bikinan Homerus, karya Herodotus, Hesiodes, Pindar, Theopompos, Orpheus, Appolonius, Diodorus Siculus. Dan sebagai konsekuensi atas pilihannya itu, Prof Santos mengidentifikasi Atlantis sebagai nama tempat yang sama dengan yang disebut dalam dongeng-dongeng kuno seperti Colchis, Phaeacia, Shceria, Aeaea, Hesperia, Elysium, Padang Elys, Taman Hesperides, Tartarus, Hades, Erebus, Hyperborea, Delos. Sederet nama-nama  itu, menurut Prof Santos, memang berbeda, tetapi tempat yang mereka rujuk selalu satu dan sama, yaitu surga yang hancur dan berubah menjadi neraka, tanah kematian yang suram. Dengan kata lain, tanah yang dulunya bagai surga itu  tidak lain dan tidak bukan adalah Atlantis – Eden itu sendiri.”
        “Berarti Pak Kyai mau mengatakan, di balik kengototan Prof Santos untuk membenarkan hipotesisnya, ada semacam hidden agenda yang membuatnya dengan semena-mena mengubah asumsi, persepsi,  tafsiran yang sudah terbentuk  selama beradab-abad dengan interpolasi-interpolasi yang disesuaikan dengan keinginannya, begitukah pak kyai?” kata Tavip menyimpulkan.
         “Itu hanya salah satu aspek yang membuatku su’u dzan,” kata Guru Sufi menjelaskan,”Dalam su’u dzan itu aku berpikir: jangan-jangan beliau itu seperti Clifford Geertz waktu menulis The Religion of Java, atau seperti Samuel P. Huntington waktu menulis The Clash of Civilization and The Remaking of World Order, atau seperti George Soros yang menulis On Soros : Staying Ahead of the Curveyang dilatari hidden agenda   pesanan kapitalisme global.”
         “Kami faham, pak kyai, monggo dilanjutkan!” kata Tavip.
        Guru Sufi dibantu Sufi Kenthir yang menayangkan film-film lewat LCD Player, melanjutkan pembahasan Atlantis-nya Prof Santos, khususnya yang terkait dengan Indonesia, yang dipaparkannya sebagai berikut:

Pulau Jawa Sebagai Asal Ras Kulit Putih
            Dengan memaknai  kata Sansekerta Sveta-dvipa atau Saka-dvipa dengan makna “Pulau Putih” surgawi dalam tradisi-tradisi Hindu,  Prof Arysio Santos menunjuk pada lokasi geografis Indonesia, dengan menyimpulkan bahwa orang-orang Saka yang juga dikenal sebagai orang-orang Yava atau Yavanas (Bangsa Berkulit Putih), adalah orang-orang yang sama dengan orang-orang Ionia (atau yang disebut Homer sebagai orang-orang Iafo atau Iafone), nama yang kemungkinan berarti orang-orang Jawa (Javana), yaitu orang-orang yang sebenarnya berasal dari Pulau Jawa (Java), salah satu pulau besar di Indonesia. Dengan logika ini, Prof Santos meyakini bahwa orang-orang Saka, Yava, Yavana, Iona, Iafo, Iafone (Ras Kulit Putih) kemungkinan sama dengan orang-orang Jawa (Javana) di masa purbakala.
            Sebutan bangsa “Ethiopia” yang secara etnonim diberikan kepada orang Barbar dan Libia-Funisia dari Afrika Utara yang dalam bahasa Yunani kuno bermakna “bangsa dengan wajah terbakar”, adalah suatu kekeliruan dan bahkan tafsir jenaka untuk makna yang benar “dimurnikan oleh api” seperti tafsiran naskah suci Hindu kuno tentang agnishvattha, yaitu sebutan yang juga diberikan kepada ras-ras Timur Jauh (Indonesia) yang berkulit merah dan putih lainnya, terutama orang-orang Tocharia (bangsa kuno yang mendiami Tarim Basin di Asia Tengah), yaitu  sebutan untuk “orang-orang Cina berambut pirang”. Oleh sebab itu, menurut tafsir Santos, istilah yang benar untuk memaknai  orang-orang Ethiopia adalah disamakan dengan orang-orang Tocharia, orang-orang Avar, orang-orang Saka, orang-orang Hephthalite, dan orang-orang Hun berkulit putih (Arya), di mana bangsa Ethiopia kulit putih ini sebenarnya adalah orang-orang Chamite. Siapakah orang-orang Chamite ini?
            Bangsa Chamite yang bermakna bangsa berkulit merah, menurut asumsi  Santos, dapat disamakan dengan Bangsa Dravida. Orang-orang dari Timur Jauh ini merupakan bagian dari Orang-orang Laut yang menyerbu dan kemudian berdiam di wilayah Eropa, contohnya seperti orang-orang Yunani, Etrusca, Libya. Bangsa Dravida sendiri aslinya berkulit merah. Kulit gelap pada sebagian besar orang Dravida yang sekarang ini, disebabkan oleh percampuran rasial dengan bangsa-bangsa Melanosoid setempat (bangsa Munda, Negro, Melanesia, Australoid). Hal yang kurang-lebih sama, di mana orang-orang Arya bercampur dengan bangsa-bangsa Alpine Eropa dan Timur Dekat yang berkulit terang yang menjadikan orang-orang  Arya ikut berkulit terang. Demikianlah, orang-orang Dravida Chamite asli yang berkulit merah dari Atlantis itu melahirkan bangsa-bangsa India Utara yang berkulit Melanesoid dan bangsa-bangsa Eropa dan Levant yang berkulit putih-terang.
            Dengan menunjuk pada temuan mumi-mumi yang berasal dari padang pasir Mongolia dan wilayah Tarim Basin, sebuah tempat di propinsi Xinjiang, Cina, mumi-mumi yang berambut merah, berpostur tubuh tinggi dan bermata biru, berpakaian wol dengan motif petak-petak (tartan) yang mirip dengan motif milik orang Irlandia atau bangsa-bangsa Celtic-Britania lainnya, kemungkinan berkaitan dengan bangsa Sere dan Tocharia, yaitu bangsa Hun kulit putih. Menurut asumsi Santos, bangsa Hun kulit putih itu dikenal juga sebagai bangsa Hephthalite, yang mungkin berhubungan dengan Napthali putera Yakub, karena kata Napthali dalam bahasa Yahudi bermakna “jagoan, pejuang”, yang sesuai dengan peran orang-orang Hephthalite sebagai prajurit bayaran dalam istana-istana bangsa India dan Timur Jauh lainnya, termasuk Cina. Itu berarti, secara etimologis, Bangsa Yahudi (Jews), berasal dari akar kata Sansekerta yudh, yang artinya sama dengan kata itu dalam bahasa Yahudi.
            Bertolak dari bukti-bukti linguistik yang dipaparkannya – yang sebenarnya membingungkan bagi orang-orang yang faham dan menguasai teori-teori linguistik --  Prof Arysio Santos memperkuat keyakinannya tentang asal-usul bangsa-bangsa kulit putih di daerah Timur Jauh, yaitu  bahwa mereka itu sebenarnya  berasal dari Atlantis (Timur Jauh) itu sendiri. Dari Atlantis yang tenggelam itu, orang-orang  yang selamat dari bencana alam akhirnya mengungsi sampai ke Asia Tenggara, lalu ke Cina, dan akhirnya tiba di Eropa dan Timur Dekat.
            Dengan memaknai  Sveta-dvipa atau Saka-dvipa sebagai  “Pulau Putih”  yang dihuni parapitri (arwah leluhur) yang juga dikenal sebagai agnishvattha, yang merujuk kepada “mereka yang duduk terlalu dekat dengan api” dan terbakar sehingga termurnikan sebagaimana terjadi pada emas,  Prof Arysio Santos menafsirkan “api” yang mensucikan itu adalah gunung berapi besar di Indonesia, yaitu gunung berapi Krakatau, yang dengan garang membakar seluruh wilayah Indonesia pada permulaan zaman. “Pasti, gunung ini juga yang menghanguskan orang-orang Ethiopia, Barbar, Libia, dan bangsa-bangsa berkulit merah atau putih lainnya yang berasal dari Timur Jauh (Jawa),” tulis Santos dalam bukunya.

Bangsa Kulit Putih Yang Bertaubat
             Sebagai orang Brazilia, Arysio Santos tampaknya tidak terlepas sama sekali dari proses ideologisasi Yudeo-Kristiani, terutama dalam memandang manusia dalam pandangan oposisi biner yang memilah manusia ke dalam dua golongan besar, yaitu pertama-tama golongan manusia yang diberkati Tuhan dan kedua adalah golongan manusia yang dikutuk Tuhan, sebagaimana kisah anak Adam dan Hawa, Habel (yang diberkati) dan Kain (yang dikutuk), Henokh (yang diberkati) dan kaumnya (yang dikutuk), Nuh (yang diberkati) dan kaumnya (yang dikutuk), Luth (yang diberkati) dan kaumnya (yang dikutuk), Musa (yang diberkati) dan Fir’aun (yang dikutuk), demikianlah Arysio Santos memandang orang-orang Ethiopia, Barbar, Libia, dan bangsa-bangsa kulit merah dan kulit putih asal Atlantis,  yang tersebar ke Asia Tenggara, Cina, Eropa, dan Timur Dekat akibat amukan gunung berapi Krakatau, ada  di antaranya yang bertaubat dan  kembali menjadi orang baik seperti yang terjadi pada  dua bangsa, yaitu Tocharia dan Celtic (keduanya leluhur ras kulit putih). Tetapi kebanyakan, bangsa yang dikutuk dengan agnishvattha, letusan Krakatau itu,  masih tetap dalam kejahatan dan barbarisme. Di antara mereka yang tetap jahat dan barbarik itu adalah bangsa Berber yang biadab dan bangsa Yueh-chi, sebuah nama yang dalam bahasa Cina bermakna “orang barbar.” Nama yang terakhir itu, Yueh-chi, diperuntukkan bagi bangsa barbar Hsiung-nu, yang dalam tradisi Barat dikenal sebagai “bangsa Hun” dan dalam tradisi India kuno dinamai Huna. Demikianlah, di dunia ini ada bangsa-bangsa yang diberkati (ras kulit putih) dan ada juga bangsa-bangsa yang dikutuk dan terkutuk (ras kulit berwarna).
            Nama Yueh-chi yang bermakna “orang barbar”, menurut Arysio Santos, berhubungan dengan sebutan yang diperuntukkan bagi orang Yahudi. “Orang-orang barbar” itu terus menyerang orang-orang Cina, yang terpaksa membangun Tembok Cina untuk melindungi diri dari serangan berkala, yang dilancarkan bersama bangsa pengembara berkuda sekutu mereka yang buas, yaitu bangsa Mongol. Kata “barbar” yang berasal dari bahasa Sansekerta yang merujuk pada cara bicara “gelagapan” orang-orang barbar, adalah istilah yang ditujukan kepada penutur bahasa-bahasa berbasis bahasa Dravida, seperti Berber (Tamazight), Guanche, Etrusca, Pelasgia, dan lainnya. Sejumlah pakar, menurut Santos, mengidentifikasi bangsa yang gemar berperang ini dengan Gog dan Magog (Ya’juj wa Ma’juj).
            Dengan mengikuti asumsi dasar, sudut pandang dan argumen-argumen yang cukup berbelit-belit dengan interpolasi yang diajukan Arysio Santos, sebenarnya dapat ditarik satu simpulan yang berhubungan dengan keyakinan pakar Fisika Nuklir asal Brazil yang bersumber dari doktrin Yudeo-Kristiani tentang keberadaan manusia-manusia atau bangsa-bangsa yang diberkati dan bangsa-bangsa terkutuk. Sekalipun Arysio Santos menyatakan bahwa asal usul ras kulit putih adalah dari Dravida Chamite berkulit merah – yang menurunkan bangsa-bangsa kulit gelap dan sekaligus bangsa-bangsa kulit putih – yang berasal dari Jawa (Yava-Yavana-Iona), tetapi puak-puak bangsa keturunan Dravida Chamite  itu sebagian besar seperti bangsa Berber, Yueh-chi, Guanche, Yahudi, Hsiung-nu, dan Mongol adalah orang-orang jahat dan barbarik yang terkutuk. Sebaliknya, puak-puak bangsa yang kembali menjadi baik setelah bencana dibakar api Krakatau itu adalah bangsa kulit putih Tocharia dan Celtic, yang juga termasuk di dalamnya bangsa Etrusca dan  Pelasgia, yang menjadi leluhur ras kulit putih.  

Konsekuensi Logis Menerima Hipotesa Santos
            Seperti disadari Arysio Santos bahwa dengan menerima hipotesanya akan dibutuhkan revisi terhadap ilmu-ilmu humaniora seperti antropologi dan sejarah, serta disiplin ilmu-ilmu pendukung, misalnya, linguistik, arkeologi, evolusi, paleoantropologi, mitologi, dan bahkan mungkin agama, demikianlah penerimaan hipotesa Arysia Santos sebagai kebenaran akan menimbulkan dampak lebih serius dari yang diperkirakan semula, terutama dalam kaitan dengan eksistensi penduduk Indonesia – khususnya Pulau Jawa – yang hidup di abad sekarang ini.  
                 Pertama-tama, dengan menerima hipotesa Arysio Santos bahwa asal-usul ras kulit putih Ethiopia yang disebut Saka, Yava, Yavana itu dari Pulau Jawa, asumsi dan tafsir lama tentang sebutan Saka, Yava, Yawana  yang sudah dikenal orang India dan para pakar etnologi, antropologi, mitologi, dan iconografi harus diubah total. Sejak zaman kuno, misal, orang-orang India yang membaca epos Mahabharata sudah mengetahui  bahwa orang-orang Yavana dan Saka – yang menjadi pasukan penunggang pendukung Kurawa dalam perang Bharatayuddha – adalah orang-orang ras kulit putih. Prof H.H.Wilson dalam penjelasannya tentang pasukan berkuda Kurawa yang dipimpin Duhsasana, yang termasuk di dalamnya orang-orang Saka dan Yavana, digambarkan sebagai berikut:
               “The Kamboja cavalry were troops of Khorasan, Balkh, and Bokhara, that the Sakas, the Sace of the ancients, were some of the Scythians from Turkestan and Tartary, and that the Yavanas, “Ionians”, were the Greeks of Bactria.”
            Jelas sekali bahwa dalam pandangan Prof H.H.Wilson yang disebut orang-orang Saka adalah orang-orang Scythia dari Turkestan dan Tartar, sedang orang-orang Yavana adalah orang-orang Ionia, orang-orang Yunani dari Bactria. Itu berarti, mengidentifikasi bangsa Scyth sebagai bangsa yang sama dengan bangsa Yawana apalagi dengan bangsa Jawa, adalah membingungkan dan tidak bisa diterima akal sehat, kecuali kalau para ilmuwan etnologi sedunia sepakat membenarkan pandangan Arysio Santos, dan menggunakan pandangan itu sebagai bagian dari reformasi ilmu etnologi (ini akan menggelikan, karena epistemologi keilmuan sebuah bidang ilmu [etnologi] didasarkan pada asumsi dasar, paradigma, dogma, doktrin, dan mitos yang diletakkan pakar dari disiplin  ilmu lain [fisika nuklir]).
            Dalam hipotesis Arysioa Santos selanjutnya, setelah bencana besar akibat letusan gunung berapi Krakatau dan gunung-gunung berapi lain, yang terjadi pada masa Pleistosen,  puak-puak yang selamat mengungsi ke Asia Tenggara, Cina,  Timur Dekat, dan Eropa. Itu berarti,  teori etno-history yang menyatakan bahwa pada kurun tahun 1500 – 700 SM ras Arya dari daerah Kaukasus masuk ke anak benua India dengan  melewati celah Khaybar dan menghuni daerah kuno yang disebut Aryavarta (sekarang Kashmir) harus dianggap keliru, dan kemudian teori itu dibalik  menjadi “ras-ras Arya berambut pirang, bermata biru dan bertubuh tinggi” itu sesungguhnya berasal dari Jawa, naik ke Asia Tenggara terus ke daratan India hingga masuk ke daerah Kashmir dan kemudian menerobos ke daerah Kaukasus terus ke Timur Dekat dan ke Eropa maupun ke Mesir dan Libia.
            Konsekuensi logis dari penerimaan hipotesa asumtif Arysio Santos itu, adalah menafikan seluruh teori yang dikembangkan pakar ethnology dan philology seperti Dr Robert Gordon Latham & Prof H.H.Wilson, pakar Bahasa Sanskrit dan Comparative Philology seperti Prof Max Muller, Prof Elliot Smith,  pakar arkeologi Prof Macdonell, Prof Oldenberg, orientalis Sir William Jones, Sir William Muir,  pakar Indologi dan Comparative Mythology Prof Donald Mackenzie yang sudah menjadi bagian integral dari perkembangan disiplin ilmu bersangkutan, untuk digantikan oleh asumsi dasar baru yang diletakkan oleh seorang pakar fisika nuklir yang kapasitas, kredibelitas dan kualitasnya dalam ilmu-ilmu ethnology, philology, archeology, comparative philology, comparative mythology masih perlu diuji dan dipersoalkan secara ilmiah.
        Sebagai contoh kecil dari “kekurang-fahaman” Arysio Santos  tentang bahasa Sansekerta dan kosmologi   Agama Hindu di India, adalah saat  Prof asal Brazil itu  secara  tidak konsisten memaknai Atala sebagai surga di satu uraian dan Atala sebagai neraka pada paparan yang lain. Di dalam purana-purana yang diyakini kebenarannya oleh umat Hindu, Atala, adalah salah satu dari dunia bawah yang terdapat  di bawah lapisan neraka. Dalam keyakinan Hindu, di bawah lapisan neraka terdapat tempat-tempat yang disebut: Sutala, Witala, Talatala, Mahatala, Rasatala, Atala,  Patala, tempat   yang dihuni oleh para naga, yang penuh dengan permata cemerlang, ke mana para puteri Daitya dan Danawa mengembara. Dua lapis di bawah Atala, yakni di bawah Patala, adalah perwujudan Wisynu yang mengandung tamoguna, yang disebut sesha atau ananta, yaitu Naga Agung yang mendukung dunia.
       Jadi dalam kepercayaan Hindu, Atala tidak pernah dimaknai sebagai tempat di permukaan bumi yang subur makmur yang dihuni orang-orang Yavana berkulit putih, yang kemudian tenggelam ke dasar laut karena banjir besar. Keyakinan tentang naga sesha atau naga anantabhoga, penghuni lapisan di bawah Atala itu, sampai saat ini masih  diyakini oleh sebagian penduduk Jawa dan Bali serta Sunda dalam hubungan dengan perhitungan mistis tentang nagadina (sistem kalender yang terkait dengan kesialan dan keberuntungan seseorang berdasar letak kedudukan naga sesha, yang disebut hari Taliwangke, Samparwangke, Sarik Agung, dsb), yang bersifat gaib tidak kasat mata inderawi. Jadi kalau kata Atala dikaitkan dengan Atalantis atau Atlantis – benua fisik yang tenggelam karena bencana – dapat dikata sebagai hipotesa otak-atik mathuk berdasar kesamaan lafal suatu kosa kata.

Memahami Ke-kuno-an dengan Ke-kini-an
            Pendekatan kualitatif dengan fenomenologi sebagai kajian yang proporsional dalam meneliti obyek-obyek yang berhubungan dengan ide-ide, gagasan-gagasan, konsep-konsep, pandangan-pandangan, dan nilai-nilai suatu komunitas yang mensyaratkan pemahaman (verstehen) emic, jelas diabaikan oleh Arysio Santos, yang latar keilmuannya eksakta (fisika nuklir).  Dengan pandangan etic sebagai peneliti, misal, Arysio Santos dengan pandangan orang jaman modern ini menafsirkan tulisan Plato dalam Timaeus dan Critias yang ditulis pada abad-abad sebelum masehi.
         Tanpa mempertimbangkan bahwa orang-orang Yunani – termasuk Plato dan filsuf  lain yang dianggap jenius – pada abad ke-4 SM itu memandang bumi datar seperti meja, laut tengah sebagai laut besar di dalam pilar-pilar Herkules, pilar-pilar Herkules adalah sebutan untuk Selat Gibraltar, Atlantik di sebelah barat dan di luar pilar-pilar Herkules adalah lautan besar yang tidak bisa dilayari bahkan dianggap sebagai batas dunia (Tartarus), Arysio Santos “memaksa” menafsirkan tulisan Plato sebagai gambaran sebuah benua yang berjarak puluhan ribu kilometer, yang secara geografis dan politis dihalangi kerajaan-kerajaan kuno musuh Yunani, yang pada saat Plato hidup adalah Kekaisaran Persia Akhemeniyah yang beribukota di Susa, Kerajaan Afghan Gandhara yang beribukota di Takshashila, Kerajaan Kamboja yang beribukota di Rajapura, Kerajaan Matsya yang beribukota di Vairata, Kerajaan Surasena yang  beribukota di Mathura, Kerajaan Kuru yang beribukota di Hastinapura, Kerajaan Panchala yang beribukota di Ahicchatra, dan belasaan kerajaan kerajaan lain di Uttar Pradesh, Bihar, Madhya Pradesh, Maharasthtra, Pandia, Kalingga, hingga Lankapura yang memisahkan Yunani dengan “Atlantis”, yaitu Indonesia.
         Dengan memahami letak geografi Yunani yang dihalangi kerajaan-kerajaan besar yang menghalanginya, sangat mustahil jika orang seperti Plato menuliskan legenda suatu bangsa yang tinggal sangat jauh di sebuah wilayah berjarak puluhan ribu kilometer, terra incognita, yang diantarai kerajaan-kerajaan besar yang kadangkala  terlibat peperangan dengan Yunani. Strabo, ahli geografi Romawi, yang hidup sejaman dengan Kaisar Agustus (27 SM – 14 M), yaitu 300 – 400 tahun setelah Plato, menyatakan bahwa pada masa itu ada sekitar 120 buah kapal yang membongkar sauh dari pelabuhan Myos Hormos di Laut Merah menuju India. Padahal pada masa lampau, ungkap Strabo, tidak ada 20 orang kapten kapal yang berani berlayar masuk ke Teluk Arab sampai mereka  dapat mengetahui apa yang dijual di seberang sana (Sir Mort Wheeler, Rome beyond the Imperial frontiers, 1955). Catatan Strabo itu menunjuk, bahwa pada masa awal abad Masehi pun orang-orang Romawi hanya sedikit mengetahui informasi tentang India dan Indonesia apalagi pada masa Plato hidup, kira-kira 300 – 400 tahun sebelum Strabo.
         Jalan baru lewat laut yang dikemukakan Strabo, lebih panjang lebar dijelaskan oleh Plinius di dalam petunjuk untuk pelayaran yang berasal dari akhir abad pertama, yang kurang jelas dikarang oleh siapa tetapi diberi judul “Periplous tes Erythras Thalasses”, yang intinya menuturkan kisah pelaut Yunani bernama Hippalos, yang pertama kali menemukan kemungkinan untuk berlayar langsung dari  muara Laut Merah ke muara Sungai Gangga, dan bahkan langsung ke pantai India selatan, dengan memanfaatkan “angin Etesia”, angin barat daya, yang bertiup pada bulan  Juni sampai September (R.Hennig, Terrae Incognitae, 1944).  Bahkan 500 tahun setelah Plato meninggal, saat astronom dan geograf Claudius Ptolemaeus, menulis petunjuk untuk menyusun gambaran dunia berjudul “Geographike Hyphegesis”,  yang mencatat berbagai daerah di dunia Romawi-Hellenistis, baik daerah yang paling utara dan barat, maupun wilayah yang paling selatan dan timur (J.Fischer SJ & P.F.Cavalieri, Claudii Ptolemaei Geographiae Codex Urbinuys Graecus 82, 1932), India tetap belum utuh diketahui. Dan  pada tahun 150 M, Claudius Ptolemaeus menulis tentang Chryse Chersonesos (Semenanjung Emas), yang mencatat perjalanan lewat laut dari Teluk Arab ke “Sungai Sutera” (Paul Wheatley, The Golden Khersonese, 1966), gambaran peta pelayaran yang ditulis tentang nama-nama tempat masih sangat  kabur, sebagaimana kritik Van der Meulen terhadap Paul Wheatley yang dinilai keliru menetapkan nama-nama tempat yang ditunjuk Ptolemaeus.
             Bertolak dari catatan Strabo, Periplous dan Ptolemaeus yang hidup antara 300 – 500 tahun setelah Plato meninggal, tidak sedikit pun tersirat dalam catatan mereka tentang adanya  “legenda” Atlantis dalam pelayaran para pelaut Romawi dari Teluk Arab sampai ke Sungai Sutera. Itu berarti, sejak era Plato sampai Ptolemaeus, asumsi bahwa Atlantis terletak di sebelah timur Laut Arab tidak sedikit pun pernah singgah di dalam ingatan orang-orang Yunani-Romawi. Dengan demikian, “memaksa” lokasi Atlantis yang ada dalam pikiran dan imajinasi orang-orang Yunani kuno ke sebuah tempat yang tak mereka kenal yang disebut Periplous sebagai Terrae Incognitae, adalah usaha memaksakan kehendak dari orang-orang yang hidup pada abad sekarang untuk merekonstruksi pandangan emic orang kuno ke ranah pandangan etic  “orang luar” masa kini yang tidak memahami apa yang difahami oleh  orang-orang di masa lampau. Dan menurut pendekatan kualitatif maupun common sense, tindakan semacam itu potensial  menimbulkan kesesatan dalam memaknai obyek yang diteliti. “Demikianlah, argumen-argumen yang saya susun dengan terbuka  ini simpulannya menolak tegas hipotesis Prof Arysio Santos yang menyatakan bahwa Indonesia adalah sisa-sisa benua Atlantis, sekaligus menampik keras hipotesis bahwa Jawa adalah tanah asal ras kulit putih,” kata Guru Sufi mengakhiri sanggahannya.
            “Mohon maaf Mbah Kyai,” Farel tiba-tiba menyela,”Jika penghuni purba Indonesia bukan orang-orang Dravida Chamite berkulit merah seperti hipotesis Prof Santos, siapakah menurut Mbah Kyai orang-orang yang awal sekali menghuni Indonesia?”
            “Menurut Serat Kandhaning Ringgit Purwa,” sahut Guru Sufi mengutip sumber dari  historiografi Jawa,”Raja pertama di Yawadwipa adalah Bandung Pragosa (Kera Sakti), yakni manusia berwujud kera. Pernyataan historiografi yang ditulis abad ke-17 itu dibuktikan dengan temuan Eugene Dubois tentang  fosil Pithecanthropus Erectus (Manusia Berjalan Tegak) di Sangiran pada abad ke-19. Selain itu, ada juga penghuni lanjutan yang dikenal sebagai Meganthropus Palaeojavanicus. Selanjutnya ada Homo Wajakinensis, yang menunjukkan ciri Melanesoid seperti Papua.”
            “Berarti orang-orang Dravida Chamite berkulit merah tidak pernah menjadi penghuni Jawa, ya Mbah Kyai?” Farel menyimpulkan.
            “Sebutan kulit merah di India, justru tidak diberikan kepada orang-orang Dravida kulit hitam tetapi kepada suku-suku liar penghuni hutan, yang dalam kisah Ramayana disebut Vanara (berkulit kemerahan seperti warna kera-pen). Dan di dalam mitologi India, penghuni lautan ini disebut Kalakeya, Danawa, Daitya, yang semua bermakna raksasa penghuni lautan,” kata Guru Sufi menjelaskan.
            “Apa ya kira-kira konsekuensi logis bagi  bangsa indonesia jika hipotesis Jawa sebagai negeri asal ras kulit putih seperti yang dilontarkan Prof Santos itu diterima sebagai kebenaran ilmiah?” tanya Tavip ingin tahu.
            Guru Sufi diam. Ia memandangi wajah para peserta perbincangan satu demi satu. Ia menangkap kesan, mereka itu  kelihatan sekali menyimpan rasa ingin tahu dan penasaran menunggu jawaban darinya.  
(Bersambung).

Karya: Agus Sunyoto

Sumber: