27 Feb 2014

Forum Muslim Tanpa Nama Islam


Forum Muslim Tanpa Nama Islam 

(Ditulis oleh Agus Sunyoto II pada 18 Maret 2011 pukul 21:35)
           Suatu sore, tiga orang aktivis muda, Bambang,  Totok dan Khoirul  menghadap Guru Sufi . Mereka meminta restu sekaligus barokah doa untuk membentuk forum persaudaraan muslim yang dinamai  FORUM  SOLIDARITAS  ISLAM, yang bertujuan  menggalang  solidaritas kaum muslimin dalam menghadapi  gelombang  globalisasi yang akan menghilangkan identitas etnis, budaya, bahasa, agama, bahkan teritorial negara. Namun jauh dari harapan mereka bertiga, Guru Sufi  justru tidak sepakat dengan penyertaan nama ISLAM dari forum itu. Guru Sufi menyarankan, agar mereka mencari nama lain yang representatif mewakili Keislaman.
            Curiga ada agenda tersembunyi di balik penolakan Guru Sufi  terhadap nama Islam, Totok menyoal  latar ditolaknya sebutan Islam dalam menamai forum. “Apakah penolakan Mbah Kyai tidak berkaitan dengan Islamophobia?” tanya Totok minta penegasan, yang disusul pertanyaan Bambang dan Khoirul,”Kami hanya mohon penjelasan, Mbah Kyai, untuk memberi alasan kepada teman-teman jika mereka nanti bertanya tentang digantikannya nama Islam pada forum ini.”
            Dengan sabar Guru Sufi balik bertanya,”Apakah kalian bertiga sudah membaca buku yang ditulis Samuel P. Huntington yang berjudul The Clash of Civilizations And  The Remaking of World Order?”
            “Belum Mbah Kyai,” sahut Bambang dan Totok, tetapi Khoirul mengaku sudah membacanya.
            “Apakah kalian bertiga sudah mengetahui sosio-psiko linguistik masyarakat Indonesia, baik dari membaca teori maupun dengan meneliti langsung realita  di lapangan?” tanya Guru Sufi lagi.
            “Kami belum mengetahuinya. Mbah Kyai,” sahut Bambang dan Totok heran,”Dan apa hubungan semua itu dengan nama Islam bagi forum yang akan kami bentuk?”
            “Jika  Mas Khoirul sudah membaca tulisan Huntington, pasti  akan bisa menyimpulkan adanya skenario global untuk menciptakan panggung konflik di era global pasca runtuhnya komunisme dunia.  Maksudnya, di era global sekarang ini konflik yang terjadi bukan lagi antara golongan proletar yang diwakili komunis dan golongan borjuis yang diwakili kapitalis, melainkan konflik antara Islam dengan Kristen di satu pihak dan dengan Konghucu di lain pihak. Nah, dengan menangkap makna di balik skenario global yang dilancarkan sejak dasawarsa 1990-an, Islam sudah diposisikan sebagai common enemy bagi seluruh bangsa di dunia,” papar Guru Sufi.
            “Jadi, kalau kita memakai nama Islam untuk aktivitas ke luar, sama artinya dengan memberi dukungan bagi skenario Huntington itu Mbah Kyai?” tanya Khoirul ingin penjelasan.
            “Ya sudah pasti seperti itu.”
            “Lalu alasan sosio-psiko linguistik untuk tidak menggunakan nama ISLAM itu dasarnya apa?” tanya Bambang, Totok dan Khoirul berbarengan.
            “Bangsa kita adalah bangsa maritim yang punya sejarah panjang dalam proses menciptakan kosa kata beserta  asumsi makna yang menyertainya. Dan sejauh yang aku ketahui, kosa kata yang berakhiran AM, cenderung dimaknai secara negatif sebagai sesuatu yang menakutkan,” kata Guru Sufi menjelaskan.
            “Contohnya apa Mbah Kyai?” tanya Khoirul penasaran.
            “Coba kalian deretkan kosa-kosa kata : SelAM, dalAm, karAM, tenggelAM, rendAM,   hitAM, malAM, kelAM, surAM, murAM, kusAM, burAM, serAM, kejAM, curAM, tajAM,  silAM, dendAM, gendAM, jerAM, pendAM, kecAM, lebAM, jerAM, tikAM, ancAM, hantAM, gerAM, makAM, jahanAM, dan banyak lagi,” kata Guru Sufi memberi contoh,”Termasuk dengan kata-kata Islam yang sudah terlanjur membentuk asumsi konotatif yang menakutkan bagi masyarakat bangsa kita seperti:  Darul Islam/ Tentara Islam (DI/TII), Negara Islam (NII), Brigade Pembela Islam, Forum Masyarakat Islam, dan lain-lain.”
            “Tapi Mbah Kyai,” kata Totok menyela,”Niat kami baik.”
            “Aku tahu maksud kalian baik,” kata Guru Sufi,”Ingin menunjukkan identitas Islam di tengah arus globalisasi. Tetapi aku melihat potensi, forum solidaritas yang akan kalian bentuk itu potensial menimbulkan kekerasan dalam mengatasi masalah. Itu sebabnya, aku kurang sepakat. Tapi kalau forum itu untuk kegiatan sosial seperti pendidikan, panti asuhan, panti wredha yang tidak memungkinkan bagi terjadinya kekerasan, tidak masalah kalian menggunakan nama Islam. Soalnya, sekarang ini orang bicara tentang HAM saja sudah potensial untuk menghadapi kekerasan sampai dikirimi bom. Soalnya, HAM itu kosa kata yang berakhiran AM.”

Sumber Asli https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/forum-muslim-tanpa-nama-islam/118876994853353

26 Feb 2014

Pulang Kampung ke Negeri Asing

17 Maret 2011 pukul 0:50

(Dikops dari catatan Faebook Agus Sunyoto II)
  Mbah Karno, paman Guru Sufi yang pulang kampung setelah tinggal di Belanda selama 35 tahun, ingin melepas kerinduan terhadap kampung kelahirannya yang terletak di pinggiran kota. Dengan bayangan kampungnya masih sama dengan saat ia bekerja di negeri kincir angin itu, ia ingin berkeliling dari rumah keluarga satu ke rumah keluarga lain, termasuk berkeliling dari warung satu ke warung yang lain untuk menikmati makanan, jajanan, minuman khas yang sangat dirindukannya selama bertahun- tahun.
     Dengan diantar Sufi tua, Mbah Karno pertama-tama akan ke rumah Karlin, keponakannya. Sepanjang perjalanan, Mbah Karno terheran-heran melihat kampung kelahirannya sudah berubah jadi bagian dari kota. Toko-toko, ruko-ruko, restoran, bank, dealer mobil dan motor, counter HP, biro perjalanan, bar, panti pijat, biro iklan, mini market, mall, dan hotel berderet-deret sepanjang kanan dan kiri jalan. Pasar krempyeng, tempat orang kampung dulu belanja sudah tergusur jauh.”Semua sudah berubah. Aku tidak mengenal lagi kampung kelahiranku,” kata Mbah Karno bernada kecewa.
        Di rumah Karlin, Mbah Karno disambut oleh keluarga besar adiknya, Mbah Karso, yang diwakili Karlin. Ketika Karlin memperkenalkan anak-anaknya, anak-anak saudaranya, anak-anak saudara sepupunya yang merupakan cucu keponakan Mbah Karno, justru membuat Mbah Karno tertegun-tegun heran. Sebab semua nama yang disebut Karlin bukanlah nama-nama kampung yang pernah dikenalnya dulu seperti Bambang, Karyono, Joko, Kandar, Suparman, Rahayu, Endang, Poniti, Painem, Wagisah, Leginem. Sebaliknya, nama cucu- cucu keponakannya seperti Farel, Marvel, Johny, Charlie, Adelia, Christina, Ceilla, Cornelia telah membuatnya terheran-heran, apalagi setelah ia diberitahu bahwa nama tetangga-tetangga juga sama, yaitu nama Barat yang keren. ”Sungguh, aku tidak lagi melihat keluarga dan tetangga kampungku. Nama-nama mereka sangat asing, sama dengan nama tetangga dan kawan-kawanku di Belanda,” gumam Mbah Karno sedih.
        Kesedihan Mbah Karno makin bertambah manakala para keponakan dan cucu-cucu keponakannya memanggilnya dengan sebutan ’oom dan opa’. Cucu-cucu keponakannya, memanggil bapak dan ibu mereka dengan sebutan Papa & mama. Adik perempuan bapak atau ibu mereka dipanggil tante. Waktu Karlin ditanya tentang perubahan sebutan itu, ia menyatakan bahwa sebutan-sebutan kampung seperti embah, bapak, emak, uwak, paman,bibi sudah ditinggalkan karena terkesan kampungan dan rendah. Karlin juga menjelaskan  kebiasaan anak  bersalaman dan mencium tangan orang tua pun sudah ditinggal karena dinilai kuno, untuk diganti tradisi global berupa ”cium pipi kanan dan pipi kiri”.
       Sepanjang perjalanan keliling bersama Sufi tua, Mbah Karno mendapati bertapa pemahaman warga kampungnya terhadap budaya peninggalan leluhur seperti wayang purwa, wayang orang, wayang klithik, ketoprak, ludruk, kentrung, jatilan, tari topeng, jaran kepang, reog, bantengan sudah jarang dikenal oleh generasi muda bangsa karena dianggap anasir kuno, rendah, tidak sesuai zaman, dan sulit difahami. Sebaliknya, kecenderungan yang terjadi adalah maraknya produk budaya global yang dianggap sesuai dengan zaman dan mencitrakan kemodernan seperti band, orkes, breakdance, dancing, karaoke, capoera, teater. Gedung-gedung pertunjukan seni tradisional satu demi satu tutup, digantikan resto, cafe, bar, night club yang menyuguhkan penyanyi-penyanyi dengan iringan grup band atau electone atau home theatre. Dongeng anak-anak tradisional khas kampung seperti ”Timun Emas, Joko Kendil, Sawunggaling, Sang Kancil, Sangkuriang, Roro Jonggrang” nyaris tak dikenal lagi oleh anak-anak muda karena sudah digantikan oleh dongeng global seperti ”Avatar, Naruto, Marsupilamy, Sinchan, Popeye, Mickey Mouse, Tom and Jerry.”
     Yang mengejutkan, selera makan dan minum penduduk muda ternyata sudah mengalami perubahan dari selera tradisional ke selera global, terutama karena terkait dengan asumsi superioritas global dan inferioritas lokal. Menu olahan masakan tradisional seperti ”pecel, tumpang, sayur asam, rawon, gudeg, mangut, soto, tiwul, gethuk, cenil, geplak, nagasari, onde-onde, wajit, jadah, lemper, ronde, bandrek, kopi tubruk, angsle, kolak, dawet, tuak, badek, legen”, dianggap menu makanan dan minuman lokal yang mewakili selera kalangan grass-root yang diasumsikan rendah dan kampungan, sehingga harus diganti menu masakan, jajan dan minuman global yang bercitra modern dan elitis seperti ”Hamburger, Hot Dog, Pizza, Spaghetti, Fried Chicken, Donat, Beefsteak, Kebab, Soup, Brownies, Spikoe, Rolade, Coke, Root Beer, Cappuccino, Moccaccino, Beer, Wishkey, Vodka, Wine, Gin.”
          Dalam memberi istilah dan memaknai tempat-tempat berjualan tradisional seperti ”kedai, warung, lepau, lapak, rombong, gerobak keliling, toko peracangan, pasar krempyeng” ternyata telah direduksi sedemikian rupa sebagai sesuatu yang rendah, grass-root, kampung, tidak bergengsi. Sebaliknya, terjadi pemberian istilah dan makna yang lebih tinggi, elitis, higienis, dan modern terhadap tempat-tempat berjualan baru yang bercitrakan budaya global seperti ”Cafe, Resto, Bar, Minimarket, Mall, Plaza, Night Club, Boutique, Counter, Outlet”. Bahkan maraknya model rambut, pakaian, sepatu, tas, topi, ikat pinggang, kacamata, softlens, motor, mobil, HP, Laptop, tatoo, anting, pergaulan ala dugem, adalah bukti dari fakta tentang kuatnya hegemoni budaya global yang makin lama makin menjauhkan anak-anak bangsa dari jati diri budayanya.
             Setelah lelah berkeliling dengan gumpalan kekecewaan yang menggunung, Mbah Karno datang ke pesantren sufi, mencurahkan semua kekecewaan dan kesedihan yang dirasakannya selama pulang kampung. Dengan suara pedih ia berkata,”Niatku pulang kampung memang untuk bersilaturahmi dan bernostalgia, mengenang kampung kelahiran yang selalu terbayang dalam ingatanku. Tapi siapa mengira, kampungku dan penduduknya telah berubah menjadi asing dan tak lagi kukenal. Menyedihkan.”
           ”Paman,” kata Guru Sufi merendah,”Perubahan itu tidak hanya di kampung kita, tapi di hampir seluruh negeri tercinta ini. Saya sendiri sudah hampir tidak mengenali siapa sebenarnya bangsa ini, karena mereka sudah berubah menjadi orang asing.”
           ”Ya Allah, aku sudah kesasar ke negeri asing kelahiranku,” keluh Mbah Karno.

Di kopas dari. https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/pulang-kampung-ke-negeri-asing/118499318224454