25 Apr 2014

Teror, Bom, RUU, Sandiwara, Pembohong

Oleh: KH Agus Sunyoto
            Gara-gara  pesantren dikirimi  paket mencurigakan mirip bom, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Sufi Jadzab, Sufi Gelandangan, Dullah, Dul Gawul, dan Sufi tua membincang tentang perlu dan tidak perlunya paket itu dilaporkan ke pihak berwajib. Namun akibat tidak pernah membahas hal bersifat kebendaan, perbincangan tentang paket itu jadi tidak jelas arahnya apalagi Sufi Kenthir dengan tiga-empat orang santri mengiringi perbincangan itu dengan lagu  “panggung sandiwara”  dan musik dapur – piring seng, panci bocor, galon kosong, kardus mie instant, gelas alumunium dan sendok – yg ditabuh sekenanya.
            Sufi Sudrun mula-mula menyatakan bahwa laporan ke polisi tidak dibutuhkan, karena keberadaan paket itu belum pasti berisi bom. “Kita tidak boleh su’u dzon terhadap sesuatu. Sebab sekali kita su’u dzon, kita memberi peluang kepada setan untuk membuat hati kita was-was,” kata Sufi Sudrun.
            “Tapi kalau isi paket itu benar-2 bom bagaimana?” sergah Dullah dengan suara tinggi.
            “Aku jamin paket itu tidak berisi bom,” tukas Sufi Jadzab menyela,”Soalnya, menurut temanku, Si Sapuregel, semua bom itu dibikin dengan tujuan untuk main sandiwara. Dalam skenario, bom paketan itu tidak akan dikirim ke pesantren-pesantren bulukan berisi orang-orang melarat, orang-orang terlantar, anak-anak yatim, orang-orang penyakitan, dan orang-orang yang sedikit gila.”
            “Maaf Pakde, teman sampeyan Si Sapuregel itu siapa? Apa dia itu anggota intelijen?” tanya Dullah penasaran,”Kok kayaknya dia tahu banyak soal teror bom.”
            “Sapuregel itu, kepala bangsa jin di ibukota,” kata Sufi Jadzab polos,”Segala hal yang terjadi di ibukota, pasti Sapuregel tahu.”
            “Waduh Pakde, kita ini bicara bom, jangan melibatkan jin, setan, demit, pocong, gendruwo, kuntilanak,” sahut Dullah jengkel.
            “Kamu jangan berpandangan sekuler, Dul,” sahut Sufi tua menyela,”Omongan Pakde tentang Sapuregel, aku yakin itu benar. Soalnya, aku juga kenal dengan penguasa ibukota itu kok. Yang perlu kita telusuri, untuk apa orang-orang bikin teror bom. Sapuregel harus menjelaskan itu.”
            “Benar itu,” sahut Sufi Kenthir ikut bicara,”Ayo Pakde, tanya Si Sapuregel tentang latar di balik orang-orang bermain sandiwara dengan bom yang mencelakakan orang itu.”
            Sufi Jadzab celingukan. Sebentar kemudian, ia meminta Sufi Kenthir dan para santri untuk menyanyi lagu “panggung sandiwara” dengan iringan musiknya. Setelah lagu dinyanyikan, Sufi Jadzab berkata lantang,”Sapuregel bilang, skenario sandiwara itu diberi judul “RUU Intelijen Negara”. Menurut Sapuregel, skenario itu ditulis atas pesanan Empire Global dalam rangka memuluskan program globalisasi dengan a global open society-nya. Kata Sapuregel, pasal-pasal di dalam RUU itu memberikan kewenangan kepada intelijen negara  untuk masuk ke ranah privasi orang seorang. Misalnya, dalam pasal 31  intelijen diberi kewenangan untuk melakukan intersepsi komunikasi seseorang seperti menyadap telepon, menyerobot faksimile, membuka e-mail, mengontrol facebook dan twitter, mengawasi blog dan website, memeriksa surat dan paket, yanag diduga berkaitan dengan separatisme dan terorisme.”
            “Waduh Pakde, apa itu ada kaitannya dengan pernyataan Menkominfo yang mempersilahkan badan intelijen untuk mengawasi dan mengontrol facebook dan twitter?” tanya Sufi Sudrun.
            “Apa itu ada hubungan dengan rencana pembentukan Detasemen Anti-Anarkis?” tanya Dullah.
            “Iya ya,  jangan-jangan teroris yang merampok bank dan nembak polisi itu  juga bagian dari sandiwara ya?” sahut Dul Gawul ragu-ragu dan ingin tahu jawaban  yang pasti,”Jangan-jangan uztadz Abu Bakar al-Wahab  yang diadili dengan tuduhan kampiun teroris itu  juga bagian dari  sandiwara yang sudah dirancang. Bagaimana itu Pakde?”
            “Kok kebetulan ya, Umar Pateken juga katanya ketangkap di Pakis Wetan – Pakistan. Itu  baru kabar lho, benar tidaknya belum ada yang pasti,” sahut Sufi Sudrun.
            “Wah soal itu semua aku belum tanya Sapuregel,” kata Sufi Jadzab ketawa terkekeh-kekeh, ”Katanya dia juga lagi sibuk ngawasi sutradara mengatur peran para pemain sesuai skenario. Tapi menurut dia, kisruh soal teroris merampok bank, teroris nembak polisi, teroris latihan perang, menangkap dan mengadili ustadz teroris, bom buku, isu paket bom, pelajar jadi teroris; pendek kata segala kekisruhan yang berkaitan dengan teroris, ujungnya adalah pengabsahan RUU Intelijen Negara menjadi UU. ”
            “Kalau RUU Intelijen Negara jadi disahkan, demokrasi akan hancur. Kebebasan akan gulung tikar. Yang muncul adalah rezim tiranik. Soalnya, penguasa bisa berbuat apa saja terhadap masyarakat atas nama UU. Itu alamat kekuasaan Shogunat yang pernah diterapkan di negeri ini pada 1942 – 1945, bakal terulang lagi dengan kenpetai-kenpetai yang lebih ganas dan buas serta brutal.  Apa mungkin pemerintah yang katanya reformis itu justru menjadi penghancur demokrasi?”  Sufi Gelandangan mengomentari.
            “Tidak ada yang tidak mungkin dalam kehidupan di dunia ini. Apalagi di masa datang, semua DEMOKRASI  akan disulap menjadi DEMOKERASI, maksudnya, siapa yang  ‘demo akan dikerasi’: disergap, diborgol, dijotosi, dikepruki,  ditendang, dibanting, diinjak-injak, dicekik, dibedhil, ditusuk sangkur, dimutilasi, sampai diledakkan dengan bom,” kata Sufi tua dengan suara tinggi.
            “Jangan mendramatisasi keadaan mbah,” sahut Dullah lantang.
            “Siapa yang mendramatisasi keadaan?” sahut Sufi tua berusaha menjelaskan sedikit  informasi yang dimilikinya tentang  skenario global yang dijalankan Empire Global,”Asal tahu saja,  untuk masa datang dunia  tidak butuh lagi  demokrasi. Sebab pasca runtuhnya komunisme, yang dibutuhkan Kapitalisme Global adalah stabilitas sosial dan politik di berbagai negara, dengan target utama  menjaga dan memelihara  keselamatan aset-aset mereka.  Itu berarti, aparatur ‘negara-negara bawahan’ yang berkedudukan state capitalism, menjalankan fungsi utama menjaga dan melindungi aset-aset Kapitalisme Global dari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan.”
                “Lha, bagaimana nasib  konsep Nation dan Nation-state, mbah?” tanya Dullah ingin tahu.
                “Di era global dengan a global open society-nya, konsep  nation dan nation state   akan runtuh sendiri digantikan konsep A global open  Society dengan Multi National Corporation (MNC)  dan Trans National Corporation (TNC),   di mana state (negara) kedudukannya diubah menjadi semacam counter atau  mall, bagian dari a global free market,  tempat orang  menjual komoditi-komoditi  yang diproduksi kapitalisme global  sekaligus posko keamanan yang dibutuhkan untuk menjaga dan melindungi  MNC dan TNC beserta seluruh operasionalnya.  Yang pasti, ke depan nanti  term  Classical Capitalism  akan  berubah menjadi  Compassionate Capitalisme, yang akan diikuti perubahan liberalism menjadi new-liberalism,   democracy  menjadi democrazy, ‘demokrasi’  menjadi ‘demokerasi’, ‘negara bangsa’  menjadi ‘negara bangsa-t’, yang semua  prioritasnya adalah  : STABILITAS!” kata Sufi tua disambut ketawa ngakak Sufi Jadzab, Sufi Kenthir, Sufi Sudrun, Sufi gelandangan, dan Dul Gawul.
           Sufi tua mengambil paket kiriman dan kemudian membukanya. Isinya ternyata jenang Kudus, dodol Garut, Bakpia Pathuk, Tahu Sumedang, Peyeum Bandung kiriman dari  Sufi Slendro . Setelah dibagi rata, semua makan dengan lahap  diiringi  nyanyian Sufi Kenthir ‘panggung sandiwara’ dengan musik dapur. Entah kesurupan setan dari mana, tiba-tiba Dullah berteriak,”Semua ternyata hanya  kebohongan yang mengikuti skenario  bohong-bohongan, dimainkan oleh para pembohong di bawah arahan sutradara masyhur:  SI DEWA BOHONG!”
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/teror-bom-ruu-sandiwara-pembohong/122774697796916

24 Apr 2014

Dimaki "Anjing!" Malah Bersyukur

 Penulis: KH Agus Sunyoto

       

              Setelah mendengar ceramah Ustadz Dul Wahab yang membandingkan orang-orang yang memakan secuil  harta orang mati seperti  anjing, Abab  al-Wahab, murid ustadz  Dul Wahab dan dua orang temannya,  usai shalat Isyak  berdiri di depan rumah guru mereka,  menunggu orang-orang pulang tahlil  memperingati  tujuh hari  wafatnya  Pak Supeno. Ketika melihat  Guru Sufi, Dullah, Sufi tua, dan tiga orang santri pulang tahlilan lewat di depan rumah ustadz Dul Wahab, Abab  al-Wahab berteriak lantang,”Lihat kawan,  ada barisan anjing lewat. Rupanya anjing-anjing ini sangat  kekenyangan habis makan  tumpeng .”

              Terhina gurunya dihina sebagai   “anjing makan tumpeng”, Dullah dan tiga orang santri meraung  keras dan serentak  melompat akan  menyerang Abab  al-Wahab. Namun Guru Sufi dan Sufi tua buru-buru menghalangi mereka.  Dengan suara ditekan tinggi Guru Sufi berkata,”Sudahlah, untuk apa kalian marah?”

            “Tapi guru, badui goblok itu menghina guru sebagai anjing. Mana bisa dibiarkan?” sahut Dullah.

            “Lha kita semua ini nyatanya masih cinta dunia seperti  anjing kok,  kenapa kita harus marah disebut anjing?” kata Guru Sufi menyitir Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 176 sekaligus menerjemahkan maknanya,”Orang-orang  yang cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya itu, adalah seibarat anjing. Jika dihalau ia menjulurkan lidah dan jika dibiarkan pun ia menjulurkan lidah. Jadi sepanjang kita sadar bahwa hati kita ini masih cenderung kepada duniawi, maka kita sama dengan  anjing.”

                “Berarti ada anjing teriak anjing, guru?” tanya Dullah menyindir,”Karena badui-badui goblok itu juga sangat cinta dunia.”

            “Jangan engkau keburu menilai rendah makhluk Allah yang disebut anjing,” kata Guru Sufi dengan suara direndahkan, ”Sebab di dalam diri seekor anjing, terdapat sifat-sifat yang harus dimiliki oleh orang beriman terutama yang menjalani laku tasawuf.”

            “Orang beriman yang menjalankan laku tasawuf harus  memiliki  sifat-sifat anjing?” sergah Dullah dengan nada  keheranan,”Bagaimana itu penjelasannya, wahai guru?”

            “Sufi Hasan al-Bashri telah berwasiat tentang sepuluh sifat di dalam diri anjing yang mesti dimiliki oleh seorang beriman,” kata Guru Sufi menerangkan,”Pertama, anjing suka  lapar, di mana lapar itu  menjadi kegemaran dan  kebiasaan hidup Orang-orang Shalih. Kedua, anjing  tidak memiliki tempat tinggal tertentu, di mana hal  itu merupakan  ciri-ciri dan tanda Orang-orang  Tawakkal. Ketiga, anjing tidak tidur pada malam hari kecuali sedikit, itulah tanda-tanda kehidupan para Pecinta Tuhan. Keempat, anjing waktu meninggal dunia tidak meninggalkan warisan,  itulah ciri dan tanda  Orang-orang  Zuhud. Kelima, anjing  tidak pernah meninggalkan tuannya meski  dihardik dan dijauhi, itulah tanda muriid  yang benar dalam kesetiaan kepada  gurunya.  Keenam, anjing rela ditempatkan di tempat yang paling rendah sekali pun di muka bumi, itulah tanda dan ciri Orang-orang Tawadhu’.  Ketujuh, anjing saat diusir dari satu tempat, dia akan meninggalkannya dan pindah ke tempat lain dengan sukarela, itulah tanda dan ciri Orang-orang Ridho. Kedelapan, anjing  jika dipukul, diusir, diasingkan, dan dikecewakan, dia menerimanya dengan tulus dan tidak merasa dendam atas apa yang diterimanya, itu adalah tanda dan ciri Orang-orang Khusyuk. Kesembilan, saat makanan dihidangkan, anjing  selalu duduk menunggu, itu ciri Orang-orang Fakir. Kesepuluh, anjing saat mengembara tidak pernah menengok ke tempat asalnya, itulah tanda dan ciri Musafir ruhani sejati.”   

            “Demikianlah, wahai para murid, bahwa sejatinya kita harus bersukacita dan bersyukur saat  digolongkan sebagai anjing sebagaimana  dimaksud di dalam  ayat Allah SWT. Kita harus mawas diri apakah kita memang masih seperti anjing, mencintai duniawi? Sebaliknya, kita harus sedih dan  berdukacita jika kita secara sepihak  menggolongkan diri sendiri sebagai orang beriman yang paling benar, tetapi dengan dasar pengakuan diri sendiri "ana khoiru minhu" seperti yang telah diucapkan makhluk purwakala yg terkutuk,” kata Guru Sufi  melangkah pergi, mengajak   Dullah, Sufi tua dan tiga orang santri untuk melanjutkan perjalanan pulang  ke pesantren.  Abab al-Wahab menghentakkan kaki ke lantai keras-keras, karena kali ini dia merasa ditampar keras oleh Guru Sufi, di mana ia  disamakan dengan makhluk purwakala yang telah berkata “ana khoiru minhu”, Sang Iblis, makhluk yang mengakui diri sendiri sebagai yang paling benar dan paling mulia, tetapi malah dikutuk Allah.

Nafsu Lwammah dan Bahaya Kerakusannya

Penulis : KH Agus Sunyoto

            Satu malam Dullah mengantar  Si Alan Nurdi menghadap Guru Sufi, meminta petunjuk atas nasib malang yang dialaminya setelah tujuh tahun bekerja kepada Haji Maruto Klopo Bin Atang, terutama setelah mengikuti pelatihan manajemen sufi. Menurut Nurdi: sejak manajer beserta staf dan kepala-kepala bagian mengikuti pelatihan manajemen sufi yang dibiayai perusahaan, perubahan terjadi atas kehidupan peserta pelatihan. Gaji yang seharusnya naik karena prestasi, justru dipotong ini dan itu dengan alasan sosial keagamaan, sehingga berkurang. “Cara membayar gaji pun selalu diundur-undur sampai dua bulan ke belakang. Standar gaji perusahaan yang jauh lebih rendah dibanding perusahaan lain, membuat para karyawan kalang-kabut dengan hutang makin menumpuk. Apa yang harus kami lakukan, Mbah Kyai?” tanya Si Alan Nurdi minta petunjuk.
            “Manajemen sufi?” kata Guru Sufi mengerutkan kening,”Ilmu apa itu? Aku baru dengar sekarang. Aneh sekali  ada manajemen dalam  ilmu tasawuf diterapkan di perusahaan-perusahaan yang orientasinya mencari keuntungan duniawi.”
            “Itulah masalahnya, Mbah Kyai, “kata Si Alan Nurdi minta pendapat,”Kami para karyawan harus bekerja keras dengan mencontoh kaum sufi yang berjuang keras dalam ibadah dan beramal baik dengan  ikhlas semata-mata untuk mencari ridho Allah. Anehnya, pemilik perusahaan Haji Maruto Klopo Bin Atang tidak mau ikut pelatihan dan sedikit pun tidak menunjukkan gelagat bersikap sebagai sufi.”
            Dullah tiba-tiba menyahut,”Juraganmu yang matre mana mu ikut pelatihan. Dia kan sudah tahu, guru besar  yang menjadi pelatih utama manajemen sufi, sedang sibuk menyimpan aset di mana-mana, dalam bentuk tanah, saham, perhiasan, rumah-rumah, valuta asing, dsb. Jadi itu semua hanya siasat. Istilah sufi hanya untuk manipulasi saja dari niat sebenarnya serigala berbulu domba.”
            “Sudahlah Dullah, jangan mencari-cari kesalahan orang,” kata Guru Sufi mengingatkan,”Yang penting kita harus ambil hikmah dari kasus ini. Maksudku, Si Alan Nurdi hendaknya bisa tetap sabar dan mulai belajar membaca jenis-jenis manusia dengan problem utama kehidupannya, melawan hegemoni nafsunya. Sebab, yang terberat dalam hidup adalah memerangi nafsu sendiri.”
            “Saya belum faham, Mbah Kyai. Mohon Mbah Kyai memberi petunjuk agar hati saya lebih tenang menghadapi kemiskinan yang terus mendera ini,” kata Si Alan Nurdi.
            “Sebagai pengusaha muslim yang sudah haji, juraganmu Maruto Klopo Bin Atang mestinya faham bahwa Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk membayar upah pegawai sebelum kering keringat mereka. Tapi faktanya, juraganmu malah menunda upah dua sampai tiga bulan, menunggu para pegawainya menumpuk hutang dan kelaparan. Jelas juraganmu menjadi pengikut nabi baru, yaitu Dajjal la’natullah. Bersyukurlah engkau tidak ditakdirkan menjadi orang seperti dia,” kata Guru Sufi.
            “Guru,” kata Dullah minta penjelasan terkait pelajaran yang pernah diperolehnya,”Apakah orang seperti Haji Maruto Klopo Bin Atang itu termasuk orang yang sudah dikuasai nafsu Lwammah  sehingga menjadi begitu rakus dan serakah?”
            “Kelihatannya seperti itu,” sahut Guru Sufi,”Anasir Nafsu Lwammah yang berwarna hitam, daya ke-aku-an yang mencerminkan watak tanah yang menyerap segala, telah memenangkan pertarungan melawan anasir Ruh dalam mempengaruhi akalnya yang netral. Bahkan daya akalnya yang sudah terpengaruh, mengupayakan cara-cara yang semakin memuaskan Nafsu Lwammah. Demikianlah,  pintu gerbang Al-Amru (perintah) dan pintu gerbang  An-Nahyu (larangan) yang dijaga oleh dua pengawal, yaitu Al-Masyiiah (kehendak)  dan Al-Qudrah (kemampuan), tidak bisa dipertahankan fungsinya, karena dua pengawal, Al-Masyiiah (kehendak) dan Al-Qudrah (kemampuan) ditundukkan dan dikendalikan akal yang dikuasai oleh Nafsu Lwammah. Sungguh, sangat berbahaya manusia yang hidupnya sudah dikendalikan oleh akal yang dikuasai Nafsu Lwammah, karena kerakusannya bisa membahayakan orang lain maupun diri sendiri.”
            “Guru,” kata Dullah memohon,”Mohon guru menjelaskan, berbahayanya manusia yang akalnya sudah dikuasai Nafsu Lwammah, yang membuat manusia jadi  materialis, rakus, serakah, tamak, loba, bakhil, kikir, pelit, selalu khawatir, ketakutan, resah, gelisah, dan selalu licik penuh tipu daya.”
              Guru Sufi tidak memberikan penjelasan tentang bagaimana manusia jika sudah dikuasai Nafsu Lwammah seperti diminta Dullah, sebaliknya ia menuturkan cerita tentang Nabi Isa yang dikisahkan melakukan perjalanan  bersama-sama dengan seorang Yahudi rakus. Nabi Isa, dikisahkan membawa tiga potong roti dan dititipkan kepada Yahudi rakus itu dengan berpesan,”Jagalah roti ini!” Tidak lama kemudian, Yahudi rakus itu memakan sepotong roti. Waktu Nabi Isa meminta kembali tiga potong roti yang dititipkannya, Yahudi rakus itu hanya menyerahkan dua potong roti.
            Nabi Isa bertanya,”Di manakah roti yang sepotong?” Yahudi rakus itu menjawab ,”Yang kuterima hanya dua potong.” Lalu mereka berdua melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan Yahudi rakus itu menyaksikan keajaiban-keajaiban yang dilakukan Nabi Isa. Meski begitu, saat Nabi Isa menyumpahnya agar mengakui sepotong roti yang dimakannya, Yahudi itu tetap menolak mengakui. Yahudi rakus itu berani sumpah demi Allah, hanya menerima dua potong roti.
            Di tengah perjalanan, Nabi Isa  menemukan tiga batang emas lantakan. Yahudi rakus itu berkata,”Bagilah batu bata itu!” Nabi Isa membagi sambil berkata,”Satu batang emas untukmu.  Satu batang emas untukku. Dan satu batang emas lagi untuk orang yang memakan roti sepotong.” Sambil berteriak Yahudi rakus itu tanpa malu mengaku,”Akulah yang memakan roti sepotong itu.”
            Nabi Isa berkata,”Pergilah engkau menjauh dariku. Engkau telah menyaksikan kekuasaan Allah dan bahkan berani sumpah atas nama-Nya, tetapi engkau tidak mengakuinya. Sekarang, demi secuil emas engkau mengakuinya.” Nabi Isa meninggalkan tiga batang emas lantakan itu di samping Yahudi rakus itu. Sungguh bersuka cita hati Yahudi rakus itu. Ia menimang-nimang emas batangan itu.
            Sewaktu Nabi Isa sudah jauh, Yahudi rakus itu didatangi tiga orang perampok yang tanpa ampun langsung membunuhnya dan merampas ketiga batang emasnya. Sambil beristirahat, dua orang perampok menyuruh salah seorang dari mereka untuk pergi membeli makanan. Sewaktu melihat temannya pergi membeli makanan, kedua perampok berunding untuk membunuh teman mereka jika kembali membawa makanan. Seorang perampok berkata,”Kalau dia kembali kita bunuh. Kita ambil bagiannya.”
            Perampok yang disuruh membeli makanan ke kota terdekat, ternyata selain membeli makanan juga membeli racun yang dicampurkan ke dalam makanan yang dibelinya. Dia berharap, jika kedua oranbg kawannya tewas keracunan, maka dia akan mengambil semua bagian emas yang ada. Demikianlah, sewaktu perampok itu datang membawa makanan, ia dikeroyok oleh dua orang kawannya sampai mati. Lalu kedua orang perampok itu memakan makanan yang sudah dicampuri racun. Mereka berdua pun tewas. Tiga batang emas lantakan berserak di sekitar empat mayat itu. Ketika Nabi Isa lewat tempat itu kembali, ia melihat mayat Yahudi rakus dan mayat ketiga orang perampok itu bergelimpangan di sekitar emas batangan. Nabi isa takjub melihat pemandangan itu. Jibril dikisahkan turun, menceritakan kisah manusia-manusia rakus itu kepada Nabi Isa.  
        Guru Sufi mengakhiri cerita dengan berkata,“Demikianlah, akal manusia-manusia rakus yang sudah dikuasai Nafsu Lwammah, akalnya menjadi licik. Tapi mereka itu akan binasa oleh kelicikan dan kerakusannya sendiri. Jadi tetap sabar dan berbahagialah kita yang belum tunduk dan dijajah oleh Nafsu Lwammah kita karena akal kita masih seimbang  mendengarkan  suara-suara ruhaniah tentang yang haqq dari kedalaman relung qalbu terdalam kita.  Pintu gerbang Al-Amru (perintah) dan pintu gerbang  An-Nahyu (larangan) dalam dada kita pun  masih berfungsi baik sebagaimana adanya.”
        “Terima kasih guru,” sahut Dullah,”Tapi mohon guru sudi memberikan petuah yang tepat untuk kawan saya, Si Alan Nurdi ini.”
        Guru Sufi tidak memberi petuah panjang. Ia hanya  menyitir al-Qur’an Surah 57:20 yang isinya:  “Ketahuilah, bahwa sejatinya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda-gurau,  perhiasan, saling  bermegah-megah di antara kalian, berbangga-banggaan tentang kekayaan harta benda  dan anak-anak,”  Guru Sufi  melanjutkan ucapannya dengan  mengutip dengan  al-Qur’an  Surah 3: 185 yang berbunyi:  ”Kehidupan  dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yg memperdaya!”  Lalu Guru Sufi melanjutkan lagi ucapannya,”Biarlah orang-orang rakus dibutakan mata hatinya oleh gemerlap kehidupan palsu dunia ini.”

Sumber: 

23 Apr 2014

Maksiat, Laknat , Taubat, dan Rahmat

(Penulis: KH Agus Sunyoto)

                Setelah dihajar bencana beruntun seperti angin puting beliung, banjir, hujan tak kunjung redah, hama tikus, gagal panen, warga disambar petir,  kompor meledak,  rumah terbakar, tawuran   antar desa yang merusak rumah-rumah dan  membuat warga luka serta  sebagian tewas, sejumlah tetua desa sebelah dipimpin Pak Modin Taibu  menghadap Guru Sufi.  Mereka bertanya, amaliah apakah yang dilakukan warga pesantren dan kampung sekitar sehingga tidak sedikit pun pernah disinggahi bencana. “Hampir seluruh desa di kecamatan kita pernah diterjang bencana kecuali pesantren dan kampung sekitar. Adakah amaliah yang bisa menolak bala bencana, wahai guru?” tanya Modin Taibu.
                Mendapat pertanyaan tak terduga, Guru Sufi malah heran. Sebab ia tidak pernah menyadari jika dalam deraan bencana yang ganti-berganti menghantam desa-desa sekitar, ternyata pesantren dan kampung sekitarnya luput dari mendapat giliran. Setelah sujud syukur dan mengutarakan rasa syukurnya kepada Allah, Guru Sufi tidak memberikan jawaban atas pertanyaan Modin Taibu, sebaliknya ia menuturkan sebuah kisah yang dialami Nabi Musa AS. Dikisahkan, bahwa di zaman Nabi Musa AS, Bani Israil dilanda kekeringan panjang. Tumbuh-tumbuhan kering dan hewan-hewan mati bergelimpangan.  Untuk mengatasi kekeringan yang mematikan itu, Nabi Musa AS dan tujuh puluh orang pemimpin puak-puak Bani Israil keturunan nabi keluar ke tengah padang dan berdoa memohon pertolongan Allah. Mereka menunjukkan kebenaran dan ketundukannya.  Dengan merasa diri hina dan penuh ketundukan, mereka mendekatkan diri sebagai hamba yang lemah tak berdaya. Selama tiga hari mereka menangis dengan harapan doa mereka dikabulkan, tetapi hujan tidak turun juga.
                Setelah melihat doanya belum terkabul, Nabi Musa AS berkata,”Ya Allah, Engkau telah berfirman “berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya”.  Sungguh, kami semua telah berdoa kepada-Mu dan hamba-hamba-Mu sangat membutuhkannya dan sudah pula menghinakan diri di hadapan-Mu.”  Lalu Allah bersabda  kepada Nabi Musa AS,”Wahai Musa, sesungguhnya di dalam kaummu  banyak  orang yang makanan mereka berasal dari sebab haram.  Juga banyak yang menjulurkan lidahnya untuk ghibah dan mengadu-domba. Mereka berhak mendapatkan amarah-Ku. Sedangkan engkau meminta rahmat untuk mereka. Bagaimana mungkin dapat bertemu antara rahmat dan azab?”
                 Nabi Musa AS bertanya,”Siapakah mereka itu wahai Tuhanku, sehingga kami bisa mengeluarkan mereka dari golongan kami?” Allah berfirman,”Wahai Musa, aku bukanlah Dzat yang membeberkan kesalahan dan bukan pula pengadu domba. Tetapi bertobatlah kalian dengan hati yang ikhlas. Mudah-mudahan mereka juga ikut bertobat bersama kalian, sehingga Aku berbuat dermawan kepada kalian semuanya.”
                Nabi Musa AS dan ketujuh puluh orang  pemimpin puak-puak Bani israil itu mengumpulkan semua Bani Israil. Setelah berkumpul, Nabi Musa AS memberitahukan kepada mereka tentang wahyu Allah itu.  Orang-orang Israil yang maksiat ikut mendengarnya.  Mereka ketakutan.  Airmata mereka mengalir. Lalu bersama-sama dengan Bani Israil lain mereka bertaubat dengan berkata,”Ya Tuhan kami, kami dating kepada-Mu dan lari menjauhi dosa-dosa kami, kami kembali mencari pintu ampunan-Mu. Kasihanilah kami, wahai Dzat Yang Maha Penyayang.” Mereka terus berdoa seperti itu sampai turun hujan, sebagai bukti taubat mereka diterima Allah.
                “Ya Allah,” teriak Guru Sufi mengangkat tangan,”Terimalah taubat kami, orang-orang yang bermaksiat dan berbuat dosa. Ampuni kami wahai Penguasa alam semesta. Ya Allah, terimalah taubat kami. Sesungguhnya rahmat-Mu lebih besar daripada murka-Mu. Ampunilah kami. Rahmati kami.”
                Pak Modin Taibu dan para sesepuh desa sebelah ikut mengangkat tangan, meng-amin-I doa Guru Sufi  dengan airmata bercucuran. Namun di tengah doa Guru Sufi yang panjang, para sesepuh itu tanpa sadar menggerutu sambil bergantian  menyebut nama-nama  warganya yang  gemar  berjudi, menjadi rentenir, menjual  ayam  tiren, memproduksi  jamu palsu, menggelapkan dana bantuan desa, berselingkuh, dan suka menggunjing antar tetangga. “Begini ini, yang tidak ikut maksiat ikut kena getahnya,” sahut pak Modin Taibu usai berdoa.
                    Sebelum pak modin dan para sesepuh desa sebelah pulang, Guru Sufi membacakan sebuah hadits yang diriwayatkan Aus bin Malik yang menuturkan saat Rasulullah Saw berjalan melewati tanah kaum Anshar yang terlantar. Rasulullah Saw bertanya,”Apa yang menghalangi kalian untuk bercocok tanam?” Salah seorang Anshar menjawab,”Tanahnya gersang dan tidak subur, ya Rasulullah!”
                Rasulullah Saw bertanya,”Apakah kalian tidak berpikir? Karena sesungguhnya Allah berfirman: Aku adalah Penanam. Bila Aku berkehendak, Aku menanam dengan air, angin atau dengan benih.” Lalu Rasulullah Saw membaca ayat,Apakah kalian semua tidak melihat apa yang telah kalian tanam” (Q.S.56:63). Kemudian Guru Sufi memberi penjelasan, bahwa hadits itu mengisyaratkan Allah adalah yang memberi dan sekaligus yang menahan dengan berbagai sebab. Makna Tauhid di balik hadits itu, kita harus meyakini bahwa semua pengaruh itu berasal dari Allah, dan sekali-kali bukan dari selain Dia, seperti pengaruh bintang, bulan, tanah dan semacamnya.  Tetapi yang pasti, Allah akan menuntut seseorang yang bermaksiat dengan memutus rejekinya dan merusak harta bendanya.
                Guru Sufi menyitir lagi sebuah hadits,”Tidak ada tahun, melainkan ada hujan. Tetapi bila suatu kaum melakukan maksiat, maka Allah akan mengalihkan hujan itu ke lainnya. Dan bila semua kaum bermaksiat, maka Allah akan menggerakkan hujan itu ke padang pasir dan lautan,” lalu Guru Sufi melanjutkan,”Tetapi Allah juga bisa berbuat sebaliknya, yaitu mencurahkan hujan yang terus-menerus dan merusak kepada mereka yang berbuat maksiat. Itulah laknat.  Bahkan Allah bisa menggiring semua hujan dari padang gurun, lembah, hutan, dan lautan untuk dicurahkan kepada sekumpulan ahli maksiat sampai mereka bertaubat dan mendapat rahmat-Nya atau mereka binasa.”

Sumber asli:

22 Apr 2014

Makna ASh-Shadru (dada) dalam Pandangan Tasawuf


Oleh: KH Agus Sunyoto


         Allah SWT bersabda,”(Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu (shadru) karenanya, agar engkau memberi peringatan dengan (Kitab) itu dan menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman (Q.S.Al-A’raf:2)”
         Sabda Allah SWT yang berkait dengan  ash-shadru (dada) sering hanya dimaknai sebagai organ fisik manusia yang terdiri dari tulang-tulang iga yang dibungkus daging dan kulit, yang berfungsi utama melindungi hati, jantung, paru-paru, empedu,  sehingga keberadaan ash-shadru menjadi lebih dimaknai sekedar pelindung hati fisik (mudzghah)  dari  gangguan fisik dari luar.
         Dalam term sufisme makna ash-shadru lebih menunjuk kepada aspek jasmani sekaligus ruhani, di mana aspek ruhani ash-shadru adalah  substansi halus, anasir bukan materi yang melindungi istana  al-Qalbu. Ash-shadru ibarat benteng kutaraja yang berperan utama  melindungi istana raja. Di bagian luar benteng terdapat  parit-parit dan  dinding-dinding  yang melindungi  ash-shadru(dada), di mana parit-parit dan dinding itu  memiliki tugas dan sistem khusus dalam menjaga dan mengawasi (al-muraqabah) agar ash-shadru tidak runtuh. Pagar dan parit yang mengelilingi ash-shadru  struktur formasinya “dari luar (dzahir) menuju bathin” adalah sebagai berikut:
1.As-Saddan Al-Ghafara, paritnya al-Khuduud al-Maghfirah, lantainya as-Syukur diperkuat Tahlil;
2.As-Saddan Adz-Dzikru, paritnya al-Khuduud adz-Dzikru, lantainya al-Ridha, diperkuat Tahmid;
3.As-Saddan Al-Ghufran, paritnya al-Khuduud al-Nashr, lantainya ash-Shabr, diperkuat Takbir;
4.As-Saddan Al-Nashrun, paritnya al-Khuduud al-Ghalib, lantainya al-Ikhlas, diperkuat  Tamjid;
5.As-Saddan Al-Jihad, paritnya al-Khuduud al-Hidayah, lantainya an-Niyyah, diperkuat Istilam;
6.As-Saddan At-Tawakkal, paritnya al-Khuduud at-Tahmid, lantainya asy-Syath, diperkuat Tasbih;
7.As-Saddan At-Taslim, paritnya al-Khuduud al-Salam, lantainya asy-Syahadah, diperkuat Istighfar dan Shalawat.
       Benteng ash-shadru  memiliki dua pintu gerbang dzahir, yaitu pintu gerbang Al-Amru (perintah) dan pintu gerbang  An-Nahyu (larangan). Kedua pintu gerbang itu dijaga oleh dua pengawal, yaitu Al-Masyiiah (kehendak)  dan Al-Qudrah (kemampuan). Kedua pintu gerbang itu memiliki daun pintu penutup, yaitu Al-Jabarut dan Al-Malakut.
       Di dalam benteng ash-shadru (dada) terdapat singgasana raja  Nuur  Al-‘Aql yang menghalangi manusia untuk memasuki Al-Qalbu dan menelusuri  tahap-tahap ruhani hingga ke singgasana Maharaja Diraja  “Ana”.   Nuur Al-‘Aql memiliki dua wajah yang saling bertolak belakang satu sama lain. Wajah yang satu menghadap Maharaja Ghaib menerima (iqbal) dari  Maharaja. Wajah yang satu lagi menghadap dunia dzahir berpaling (idbar) dari Maharaja.  Nuur Al-‘Aql dikawal oleh hulubalang al-Khawathir, kilasan pikiran-pikiran yang terpuji maupun yang tercela yang masuk dengan sifat Ilahiah, ruhaniah, ananiyyah, syaithaniyyah. Nuur  Al-‘Aql bersifat seperti kristal  transparan yang bisa memantulkan bayangan, di mana  pemunculannya tergantung pada apa yang menguasainya. Jika dikuasai an-nafs al-lwammah yang hitam, maka al-‘aql akan hitam. Jika dikuasai an-nafs sufliyyah yang kuning, maka al-‘aql akan kuning. Jika dikuasai an-nafs ammarah yang merah, maka al-‘aql akan merah. Jika dikuasai an-nafs al-muthmainnah yang putih, maka al-‘aql akan putih.  Oleh karena perwujudannya transparan seperti kristal, maka al-‘aql hanya mungkin memanifestasikan dirinya  dengan cara “mengikat” (‘iqal) segala sesuatu agar menjadi  jism (raga), mitsal (citra), khayal (imajinasi), dan ilusi yang bersifat prasangka (wahm).  Dalam perjalanan dari yang dzahir menuju yang bathin, memasuki tahap-tahap ruangan hingga ke mahligai ghaib tempat Maharaja bertahta, Nuur ‘Al-‘Aql hanya bisa mencapai tahap Akfa, di mana terdapat Pohon Teratai di Batas Terjauh (sidrah al-muntaha), yang menjadi batas Nuur Al-‘Aql harus ditanggalkan sebagai “ikatan” (‘iqal).
          Di dalam benteng ash-shadru berkuasa empat raja bawahan yang wajahnya menghadap dunia dzahir  berpaling (idbar) dari Maharaja. Mereka ini memiliki potensi-potensi menyerap obyek-obyek duniawi  ke dalam yang berupa melihat, mendengar, mencium, merasakan, meraba (pancaindera) dan sekaligus potensi-potensi mengungkapkan respons balik naluriah mereka  keluar terhadap obyek-obyek tersebut seperti berbicara, memegang, melangkah, membuang segala sesuatu yang tidak dibutuhkan tubuh, dan naluri berketurunan.
          Demikianlah, segala potensi nafsu-nafsu  dan al-‘aql sangat menentukan situasi dan kondisi ash-shadru. Jika ash-shadru terasa sesak dan sempit, maka itu sebagai pertanda ash-shadru dikuasai nafsu-nafsu berupa  iri hati, syahwat, keinginan, dendam, cemburu, kesenangan, kemabukan, dan dikendalikan  oleh  kuasa al’aql  berupa khayalan, prasangka, khawathir, putus asa. Namun jika ash-shadru mangalami insyirah (kelapangan), maka kuasa dari anasir ruhani yang memancar dari qalbu telah  meliputi  ash-shadru sehingga semua beban lepas dan kesulitan berganti kemudahan (Q.S.As-Syarh:1-6),  semua dendam hilang dan hidup menjadi surgawi (Q.S.Al-A’raf:43).

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/makna-ash-shadru-dada-dalam-pandangan-tasawuf/120567138017672

Makna Qalbu (hati) Dalam Pandangan Tasawuf


Oleh: KH Agus Sunyoto

Makna Qalbu (hati) Dalam Pandangan Tasawuf
            Rasul Saw bersabda,’Ketahuilah, di dalam jasad ada segumpal daging (mudzghah) yang jika baik daging itu maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika jelek daging itu maka jeleklah seluruh jasadnya. Ketahuilah daging itu adalah hati (qalb).’’ (HR. Bukhari & Muslim dari Nu’man bin Basyir).
            Ungkapan Rasul Saw tentang segumpal daging fisik (mudzghah) di dalam dada manusia  yang dihubungkan dengan hati (qalb), sering diassumsikan secara kurang tepat dalam memaknai hati (qalb) yang diidentikkan sebagai organ fisik yang disebut hati  (mudzghah) tersebut. Sehingga kerusakan pada fisik hati (mudzghah) itu, ditafsirkan akan  berakibat kerusakan pada perilaku pemilik hati yang rusak tersebut.
            Dalam term sufisme makna al-qalbu (hati) lebih menunjuk kepada aspek ruhani, substansi halus, anasir bukan materi yang berfungsi mengenal segala sesuatu dan mampu merefleksikan sesuatu seperti cermin yang memantulkan sebuah gambar. Kemampuan qalb dalam merefleksikan suatu hakikat tergantung pada sifat qalb, sesuai pengaruh inderawi, syahwat, kemaksiatan, dan cinta. Sepanjang hati itu bersih dari kendala-kendala yang dapat menutupinya, maka hati dapat menangkap hakikat yang ada. Bahkan di qalb ma’rifat terjadi.
            Menurut At-Tirmidzi, qalb (hati) adalah pusat dari semua perasaan, pengenalan dan emosi di dalam diri manusia. Semua perasaan, pengenalan dan emosi manusia akan kembali ke qalb (hati) dan dari qalb (hati) dikirim kembali ke seluruh tubuh. Qalb (hati) bersifat otomatik, dapat menyerap segala bentuk emosi yang ada, dan apabila terbetik di dalamnya suatu aliran perasaan, secara langsung akan dipancarkan ke seluruh tubuh. Dengan pandangan At-Tirmidzi ini, hati dapat diibaratkan seperti istana. Jika yang memerintah istana adalah raja yang baik (ruh), maka akan baiklah semua perilaku si pemilik hati. Sebaliknya, jika yang berkuasa di istana adalah raja jahat (nafsu), maka akan rusaklah semua perilaku si pemilik hati.
            Imam Al-Ghazali mengungkapkan makna qalb dengan gambaran metaforik sebagai sumur yang digali di tanah. Sumur itu bisa diisi lewat saluran pipa dari sungai atau saluran irigasi. Tidak jarang dalam mengisi sumur dilakukan penggalian lebih dalam sampai didapati sumber air di dalam tanah. Jika digali lebih dalam, akan memancar air yang lebih jernih, lebih deras dan tidak ada habisnya. Tidak ubahnya sumur, ungkap Al-Ghazali, air di dalamnya itulah ilmu pengetahuan. Pancaindera ibarat saluran pipa atau  saluran irigasi, mengisi qalb dengan ilmu pengetahuan seibarat saluran pipa atau saluran irigasi mengisi sumur dengan air dari sungai di muka bumi. Qalb diisi ilmu pengetahuan lewat pancaindera melalui proses membaca, mendengar, merasakan, mengamati, meneliti. Sementara ada cara lain mengisi air ke dalam sumur, dengan menutup saluran pipa atau saluran irigasi. Lalu menggali qalb lebih dalam lewat uzlah, khalwat, mujahadah, muraqabah, musyahadah sampai terangkat tutup yang menyelubungi, sehingga memancar dari dalam qalb ilmu pengetahuan yang lebih bersih dan abadi, sebagaimana firman Allah: “Sejatinya, (al-Qur’an)  itu merupakan tanda-tanda yang jelas di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu (Q.S.Al-Ankabut:49).
            “Inna fii jazadi al-mudzghah. Wa fii mudzghah qalb, wa fii qalb fuad, wa fii fuad ruh, wa fii ruh sirr, wa fii sirr akfa, wa fii akfa ana!” sabda Nabi Saw ini menunjukkan bahwa di dalam mudzghah terdapat tujuh lapisan anasir halus bukan materi  bersifat ruhaniah yang makin lama makin halus hingga ke pusat  anasir hati yaitu ana (aku). Seibarat istana dengan tujuh ruangan dari  yang zhahir sampai yang bathin yang dilingkari tujuh dinding, setiap ruangan memiliki pintu dan kunci yang berujung ke pusat ruangan paling batiniah di mana sang raja berada.  Adapun yang dimaksud tujuh ruangan di istana itu, dari luar ke dalam atau dari zhahir ke bathin, adalah:
  1. Al-Mudzghah, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab  Al-Jamal (keindahan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Hidayah. Kuncinya adalah Al-Miftah Al-Iqrar (pengakuan);
  2. Al-Qalbu, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Jalal (kemuliaan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Ra’fah (kesantunan). Kuncinya Al-Miftah At-Tauhid (peng-Esa-an);
  3. Al-Fuad, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab As-Sulthan (kekuatan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Jud (kemurahan). Kuncinya Al-Miftah Al-Iman;
  4. Ar-Ruuh, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Ghaiban (kegaiban). Pintunya adalah Al-Bab Al-Majdu (kemuliaan). Kuncinya Al-Miftah Al-Islam;
  5. Sirr, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Qudrah. Pintunya adalah Al-Bab Al-Atha’ (anugerah). Kuncinya Al-Miftah Al-Ikhsan;
  6. Akfa, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Adhamah (keagungan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Rahbah (ketakutan). Kuncinya As-Shidqu (shiddiq);
  7. Ana, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Haya’ (malu). Pintunya adalah Al-Bab Al-Athaf (kelembutan). Kuncinya Al-Ma’rifat.

            Untuk bisa masuk ke dalam tujuh ruangan – khususnya ruang ketujuh yang paling ghaib – disyaratkan perjuangan (jihad) ruhani yang tidak ringan. Berbagai laku ruhani seperti uzlah, mujahadah, muraqabah, musyahadah harus dilakukan sampai dapat melewati ketujuh pintu itu beserta kuncinya. Berbagai ujian, akan dialami oleh siapa saja yang ingin memasuki tujuh ruangan suci itu agar bisa ketemu Sang Maharaja Diraja Yang telah bersabda,”Waladziina jahadu fiina, lanahdiyanahum subulana!”


11 Mar 2014

Trauma sejarah Pelaksanaan "Syariat Islam"-nya Wahabi


Oleh KH Agus Sunyoto

Trauma Sejarah Pelaksanaan  “Syariat Islam”-nya Wahabi

               Pandangan Guru Sufi  terhadap pelaksanaan syariat Islam dalam bernegara yang tidak sejalan dengan pandangan ustadz  Hajibul Haqq, ternyata berbuntut.  Entah siapa yang menyebarkan, tiba-tiba Guru Sufi diisukan sebagai kyai yang menolak syariat dan tidak mau menjalankan syariat.  Sejumlah aktivis datang untuk bertabayyun mengenai isu  tak jelas itu. Dipimpin Khoirul,  Joko dan Bambang, belasan aktivis meminta penjelasan Guru Sufi tentang kebenaran isu tersebut.
           Sambil tersenyum Guru Sufi menjelaskan duduk persoalan kenapa ia tidak sepaham dengan ustadz Hajibul Haqq dengan alasan pentingnya kejelasan yang dimaksud syariat, karena kejelasan syariat tidak sekedar menyangkut sudut pandang yang digunakan melainkan menyangkut pula pelaksanaannya. Sebab baiknya syariat pada tingkat konseptual, belum tentu baik dalam pelaksanaan apalagi jika syariat itu dimanfaatkansecara tidak semestinya untuk kepentingan pribadi. “Kita punya sejarah kelabu tentang pelaksanaan syariat yang tidak jelas apa firqah dan mazhabnya dan  siapa pelaksananya, sehingga timbul kepahitan bagi umat,” ujar Guru Sufi.
                “Maaf Mbah Kyai, setahu saya bangsa Indonesia belum pernah menerapkan syariat Islam,” kata Khoirul menyela penjelasan Guru Sufi,”Bahkan untuk  hukum  jinayat, yang diterapkan pun bukan syariat Islam melainkan hukum bikinan Belanda, Burgelijk Wetboek. Bagaimana Mbah Kyai bisa menyatakan kita punya sejarah kelabu tentang pelaksanaan syariat?”
                “Ketahuilah, wahai pemuda-pemuda kritis,” sahut Guru Sufi menjelaskan,”Bahwa sejak jaman kuno bangsa kita sudah hidup teratur menurut hukum. Sejak tahun 648 Masehi, kitab Kalingga Dharmasastra jadi acuan hukum pidana dan perdata. Terus dilanjut era Singhasari dengan Purwadigama Dharmasastra yang dilanjut era Majapahit dengan Kutaramanawa Dharmasastra. Untuk hukum pidana, misal, semua sama: pencuri potong tangan, rampok dihukum bunuh, koruptor dipenggal dan dirampas harta korupnya ditambah hukuman anak dan isterinya jadi budak. Penzinah dihukum bunuh. Pemerkosa dihukum bunuh, dan macam-macam hukuman yang keras lainnya untuk pelaku kejahatan. Sampai zaman Demak, Pajang dan Mataram hukum yang keras itu terus dijalankan.”
                “Maaf Mbah Kyai, kalau hukum kuno seperti itu, kan sama dengan syariat Islam?” tanya Khoirul.
                “Esensinya sama tapi namanya saja yang beda,” sahut Guru Sufi,”Karena itu warga era  Majapahit sampai era  Demak, yang Hindu, Buddha maupun muslim tunduk di bawah supremasi hukum kuno itu.”
                “Lalu hukum syariat mana yang Mbah Kyai sebut sebagai sejarah kelabu?”
                “Waktu kaum Wahabi berkuasa di Sumatera Barat,” kata Guru Sufi menjelaskan latar sejarah pelaksanaan syariatnya kaum Wahabi,”Waktu itu yang memimpin Tuanku Nan Rinceh. Berbagai tindak maksiat, bid’ah, khurafat, takhayul, dan adat kebiasaan yang tidak Islami  diberantas dengan keras. Bahkan kebiasaan makan sirih, dilarang dengan ancaman hukuman mati. Nah, sebagai contoh ketegasan penguasa, bibi Tuanku Nan Rinceh yang sudah tua ditangkap karena kedapatan makan sirih. Lalu orang tua yang merasa tidak melakukan dosa dan salah itu dihukum pancung di lapangan. Tidak cukup memenggal perempuan tua itu, Tuanku Nan Rinceh memerintahkan pengikutnya untuk tidak menguburkan mayat bibinya, melainkan menyuruhnya buang ke hutan supaya dimakan hewan buas. Itulah contoh yang sesuai bagi yang melanggar hukum Tuhan.”
                “Tindakan Tuanku Nan Rinceh menghukum mati bibinya, menggemparkan dan membuat takut penduduk. Tidak ada satu pun orang yang berani makan sirih lagi. Tapi, para pengikut Tuanku Nan Rinceh justru membawa segepok daun sirih untuk diletakkan di rumah orang-orang kaya. Mereka meminta tebusan uang kepada tuan rumah dan jika tidak dikasi, mereka mengancam akan melaporkan kepada Tuanku Nan Rinceh bahwa di rumah tersebut ditemukan sirih. Tindakan pengikut Tuanku Nan Rinceh itu menggemparkan dan membuat takut penduduk. Ketika orang-orang kaya melaporkan tindakan para pengikutnya yang menyimpang itu, Tuanku Nan Rinceh tidak mengambil tindakan apa-apa. Ia hanya menyesalkan terjadinya penyimpangan tersebut.”
                “Watak badui yang anti feodalisme, ternyata dijalankan oleh para penyebar Wahabi  selain  menista  masyarakat bukan Wahabi sebagai kaum adat yang hidup tidak mengikut hukum Islam. Kaum bangsawan muslim di Pagaruyung, tanpa alasan jelas tiba-tiba diserang dan dijarah hartanya.  Cicit salah seorang panglima Wahabi yang  mencatat  kisah-kisah  teror kaum Wahabi di Sumatera Utara, termasuk kekejaman kakek buyutnya dalam menjalankan syariat, menyusun kisah-kisah traumatik itu dalam sebuah buku yang diberi judul Tuanku Rao. Demikianlah, resistensi muncul  di mana-mana terhadap  pelaksanaan syariat Wahabi  yang menakutkan penduduk itu, sampai akhirnya pecah perang antara kaum Wahabi dengan kaum muslim setempat, yang kita kenal sebagai Perang Paderi. Itulah, sekelumit sejarah kelabu pelaksanaan syariat yang pernah terjadi di negeri ini. Karena itu, waktu ustadz Hajibul Haqq bicara soal pelaksanaan syariat dalam bernegara, aku tanya dulu syariat yang mana? Syariatnya Wahabi? Syiah? Ahlussunnah wal-Jama’ah? Itu semata-mata karena kita pernah mengalami peristiwa traumatik dalam sejarah penerapan syariat.”