27 Apr 2014

Hipotesa Penyebab Banjir adalah Asumsi Imajiner

Menolak Hipotesis Indonesia Adalah Benua Atlantis (IV):
                                         Hipotesa Penyebab Banjir  adalah Asumsi  Imajiner
          Setelah jedah sehari, bakdal Isyak perbincangan mengenai Atlantis dilanjutkan. Namun perbincangan malam ini pesertanya bertambah karena Farel menghubungi teman-temannya sesama peminat Atlantis untuk hadir, mengikuti bahasan “ilmiah” guru pesantren yang berani-beraninya mengkritik tesis seorang Professor ilmu fisika nuklir. Meski selama mengikuti perbincangan semalam Farel dibuat terkejut waktu mengetahui Guru Sufi lebih  menguasai epistemologi keilmuan dibanding dirinya, ia tetap tidak rela menerima fakta bagaimana  hipotesa seorang profesor dikritik oleh seorang kyai kampung. Itu sebabnya, sebelum acara dimulai Farel dengan kawan-kawannya seperti Marvel Carey, Ronaldo Lobato, Diego Jabato, dan  Franco Novillero menyiapkan segala sesuatu  yang  bisa mereka gunakan untuk  mematahkan argumen-argumen guru mengaji yang tidak kenal bangku sekolah itu.
          Sementara itu, sebelum memulai bahasan kritis  hipotesa Prof Arysio Santos yang menyatakan Kepulauan Indonesia sebagai sisa Benua Atlantis yang tenggelam, Guru Sufi memohon  kepada para hadirin untuk bisa menjaga netralitas, obyektifitas  dan ketidak-berpihakan  atas masalah yang sedang dibahas bersama itu keceuali semata-mata untuk kebenaran ilmiah. “Yang kita butuhkan dalam bahasan ini, adalah Kebenaran ilmiah atas dasar epistemologi keilmuan bersifat spekulatif yang sudah kita sepakati sementara ini. Artinya, kebenaran yang kita peroleh nanti dalam perbincangan ini adalah kebenaran spekulatif yang setiap saat akan berubah jika diperoleh kebenaran lain yang lebih teruji kebenarannya,” ujar Guru Sufi.
        Seiring Sufi Kenthir menayangkan  data dokumentatif  tentang Atlantis lewat LCD Player, Guru Sufi mulai membahas karya Prof. Arysio Nunes dos Santos, guru besar  ilmu fisika nuklir di Universitas Minas Gerais, Brazil, yang berjudul  : “Atlantis the Lost Continents Finally FoundThe Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization”  yang terbit tahun 2005. “Berbeda dengan tulisan-tulisan tentang Atlantis sebelumnya yang cenderung bersifat fiksi,” kata Guru Sufi mengomentari karya yang menggemparkan itu,”Arysio Santos  dalam ranah ilmiah mengemukakan  hipotesa bahwa lokasi Atlantis yang hilang sejak kira-kira 11.600 tahun yang lalu  itu, tidak lain adalah Indonesia. Menurut Santos, dalam wawancara di laman Hubpages di Youtube, kegagalan para  ilmuwan dalam menemukan  lokasi Atlantis selama ini,  karena mereka mencari  di tempat yang salah, yaitu di sekitar Lautan Atlantik.. Padahal,  lokasi benua Atlantis yang benar secara menyakinkan adalah Indonesia.”
          “Prof Santos  menyatakan bahwa beliau  sudah meneliti kemungkinan lokasi Atlantis selama 29 tahun terakhir ini dengan pendekatan interdisiplin ilmu mencakup ilmu Geologi, Astronomi, Paleontologi, Archeologi, Linguistik, Ethnologi, dan Comparative Mythology.  Dalam usaha menunjang tesisnya, Prof  Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, dengan hasil  akhir berupa  simpulan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia,  ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko.”
            “Menurut penelitian Prof Santos, pada masa puluhan ribu tahun yang silam,  wilayah negara Indonesia adalah suatu  hamparan  benua yang menyatu. Tidak terpecah-pecah dalam puluhan ribu pulau seperti sekarang ini. Pada masa lalu,  Atlantis adalah  benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan  terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif   seperti   Kerinci, Talang, Krakatoa, Malabar, Galunggung, Pangrango, Merapi, Merbabu, Semeru, Bromo, Agung, Rinjani  dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.”
         “Sebelum zaman es berakhir 30.000 sampai 11.000 tahun  lalu,  di Indonesia terdapat daratan besar. Saat itu permukaan laut 150 meter lebih rendah dari yang ada saat ini. Di lokasi itulah tempat  berkembangnya peradaban. Sementara, sisa bumi dari Asia Utara, Eropa, dan Amerika Utara masih diselimuti es. Pulau-pulau yang tersebar di Indonesia  masa itu, adalah  puncak gunung  dan dataran tinggi dari benua Atlantis, di mana ketika  dataran rendah  itu tenggelam akibat naiknya permukaan air laut, dan amblesnya dataran rendah di akhir Masa Glacial atau masa  Pleistocene, puncak gunung dan dataran tinggi itu tersisa sebagai pulau-pulau. Itu terjadi sekitar 11.600 tahun lampau. Itu adalah rentang waktu sama dengan yang  dipaparkan Plato dalam dialog ciptaannya saat menyinggung Atlantis. Demikian,  tulis Arysio Santos pada  pendahuluan  bukunya.”
         “Kemunculan gunung-gunung dan pulau-pulau di Indonesia,  menurut Prof Santos,  dapat dijelaskan sepenuhnya dengan teori Lempeng Tektonik. Teori ini menunjukkan bahwa gunung-gunung dan pulau-pulau muncul dari dasar laut, bukan tenggelam ke dalamnya dengan cara apa pun. Pulau-pulau di sana hanyalah puncak-puncak vulkanis yang terbentuk dari magma basaltyang merupakan materi khas dasar laut, dan sama sekali tidak berhubungan dengan materi continental yang umumnya adalah silisius.”
            “Indonesia terletak di persimpangan tiga lempeng benua—ketiganya bertemu di sini—menciptakan tekanan sangat besar pada lapisan kulit bumi. Akibatnya, lapisan kulit bumi di wilayah ini terdesak ke atas, membentuk paparan-paparan yang luas (Paparan Sunda dan sebagainya) dan beberapa barisan pegunungan yang sangat tinggi. Paparan-paparan ini agak dangkal dan pada Zaman Es, ketika permukaan laut turun ratusan meter, mereka pun terlihat. Ini terjadi pada akhir Zaman Es, masa ketika Atlantis berkembang pesat. Seluruh wilayah ini sangat rentan terhadap gempa bumi hebat dan letusan gunung berapi yang dahsyat, yang kerap mengakibatkan kerusakan-kerusakan sangat parah. Hal ini terlihat dari beberapa catatan geologis. Gempa bumi dan tsunami mengerikan, yang dialami Aceh pada 2004, hanyalah episode terakhir dari seluruh rangkaian peristiwa panjang dalam masa sejarah dan prasejarah, seperti yang tampak dalam catatan geologis wilayah tersebut.”
            “Prof Santos meyakini bahwa benua Atlantis menghilang akibat letusan beberapa gunung berapi yang terjadi secara bersamaan pada akhir zaman es sekira 11.600 tahun lalu. Di antara gunung besar yang meletus zaman itu adalah Gunung Krakatau Purba (induk Gunung Krakatau yang meletus pada 1883) yang konon letusannya sanggup menggelapkan seluruh dunia. Letusan hebat ini menciptakan Selat Sunda, memisahkan pulau Jawa dan Sumatra, dan membuat air laut membanjiri dataran-dataran rendah yang berada di Atlantis. Ledakan dahsyat gunung ini juga dirujuk secara luas dalam semua mitos dan tradisi dunia tentang Banjir Bah, Atlantis, dan “surga”, yang sebenarnya terletak di wilayah yang sama. Letusan Krakatau ini mengakibatkan tsunami besar-besaran, yang menyapu dan menenggelamkan dataran-dataran rendah Atlantis secara permanen dan menyebabkan semua  menghilang di bawah air. Letusan Krakatau yang diikuti gunung berapi lain yang hampir  bersamaan itu  menimbulkan gempa, pencairan es, banjir, serta gelombang tsunami sangat besar.”
            “Saat gunung-gunung berapi itu meletus, ledakannya membuka Selat Sunda yang  mengakibatkan tenggelamnya sebagian permukaan bumi yang disebut Atlantis. Bencana mahadahsyat ini juga mengakibatkan punahnya hampir 70 persen spesies mamalia yang hidup pada masa itu, termasuk manusia. Mereka yang selamat kemudian berpencar ke berbagai penjuru dunia dengan membawa peradaban mereka di wilayah baru. Kemungkinan besar dua atau tiga spesies manusia seperti hobbit’ yang baru-baru ini ditemukan di Pulau Flores, musnah dalam waktu yang hampir sama. Sebelum terjadinya bencana banjir itu, beberapa wilayah Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara diyakini masih menyatu dengan semenanjung Malaysia serta Benua Asia.”
          “Setelah tersapu tsunami  besar,  dataran-dataran tinggi dan puncak-puncak vulkanis ini menjelma menjadi ribuan pulau di Indonesia, sebuah nama yang berarti sesuatu seperti “Kepulauan India”. Manusia yang bertahan hidup terpaksa  melakukan eksodus ke tempat-tempat lain yang lebih aman  di seputar Asia Tenggara, Cina, Polinesia, Amerika, Timur Dekat, hingga ke Eropa dan wilayah-wilayah Barat Jauh lainnya, di mana mereka membangun peradaban-peradaban kuno yang kita kenal saat ini dan tercatat dengan baik oleh pena sejarah. Mereka yang terpaksa pindah inilah yang menjadi ahli waris langsung dari kebudayaan agung yang usianya tertua itu. Sebagian besar kemajuan yang diperlihatkan oleh peradaban-peradaban tersebut jelas-jelas mengandung petunjuk yang memperlihatkan bahwa mereka berasal dari sebuah wilayah luas yang sekarang tenggelam, yang kini bernama Indonesia. Dari orang-orang yang bertahan hidup menghadapi bencana tersebutlah peradaban-peradaban besar muncul seperti peradaban : Lembah Sungai Indus, Mesir, Mesopotamia, Hatti, Yunani, Minoa, Kreta, Romawi, Inca, Maya, Aztec, dan sebagainya. Dalam satu atau beragam bentuk, bangsa-bangsa kuno ini hanya menyebutkan dan berbicara tentang “surga” sebagai tempat kelahiran umat manusia dan peradaban. Bagaimana mungkin mereka semua secara independen menciptakan mitos yang persis sama?”
Hipotesa Santos Tanpa Bukti dan Argumentasi Geologi
            “Sebelumnya saya mohon maaf  kepada para pecinta Prof Arysio Santos,” kata Guru Sufi mengakhiri paparan  hipotesis-nya  Arysio Santos,”Karena saya tidak mendukung hipotesa Prof Santos  yang menyatakan bahwa Indonesia adalah sisa Atlantis yang tenggelam akibat letusan Gunung Krakatau dan gunung-gunung berapi lain. Sebab, apa yang disampaikan Prof Santos dalam  buku “Atlantis the Lost Continents Finally FoundThe Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization”  pada dasarnya hanya paparan konseptual yang dibangun berdasar  asumsi imajinatif Arysio Santos.  Teori letusan Krakatau dan gunung-gunung berapi lain yang menjadi penyebab tenggelamnya Atlantis, adalah suatu simpulan yang melebihi kemestian dari cerita tentang Atlantis. “
            “Mohon maaf, Mbah Kyai,” kata Ronaldo Lobato, teman Farel,  menyela dengan suara tinggi,”Atas dasar argumen apa Mbah Kyai menilai paparan konseptual  Prof Arysio Santos  tentang tenggelamnya Atlantis dibangun berdasar asumsi imajinatif? Apa itu tidak melecehkan seorang profesor ? Bagaimana ini, seorang profesor dituduh membangun teori dengan asumsi imajinatif?”
         Diego Jabato dengan suara ditekan tinggi juga ikut  berteriak,”Saya mohon Mbah Kyai berkenan menjelaskan     argumentasi yang tepat untuk tuduhan asumsi imajinatif yang Mbah Kyai lontarkan.”
          Guru Sufi tertawa. Setelah diam sejenak ia berkata,”Pertama-tama, yang perlu kita fahami bersama, sumber utama cerita Atlantis adalah  dua karya Plato: Timaeus dan Critias. Fakta menunjuk, di dalam kedua tulisan itu, Timaeus dan Critias,  Plato tidak sekalipun menyebutkan fenomena geologis berupa letusan gunung berapi yang membuat Atlantis tenggelam. Plato hanya menyebut terjadinya banjir besar, yang dalam tempo sehari semalam telah menenggelamkan Atlantis. Argumen saya  kedua, hipotesis tenggelamnya Atlantis akibat letusan Gunung Krakatau dan gunung-gunung berapi lain, sedikit pun tidak disertai bukti geologi maupun argumentasi geologi yang memadai dari Prof  Santos. Padahal, Prof Santos adalah  seorang geolog dan ilmuwan fisika nuklir yang memiliki otoritas  untuk mengajukan argumentasi geologi. Argumen saya ketiga, dalam menyinggung gunung berapi di Atlantis, Prof Santos menggunakan pendekatan mitologis dengan mengidentifikasi Gunung Krakatau sebagai pilar Dewa Varuna dan Gunung Toba sebagai pilar Dewa Mithra. Pendekatan ini harus ditolak, karena dalam kosmolgi Hindu, Dewa Baruna dan Dewa Mithra, adalah penguasa lautan yang selalu dikaitkan dengan lautan dan sekali-kali tidak dihubungkan dengan gunung berapi.”
             “Tapi mbah,” sahut Franco Novillero menyela kurang puas dengan jawaban Guru Sufi,”Kritik argumentatif yang mbah ajukan ternyata hanya didasarkan pada logika common sense, tidak didukung pendapat pakar geologi.”
“Wah saya tidak  akan mengkritisi karya Prof Santos jika saya hanya bermodal common sense. Dan saya jamin akan menerima hipotesa Prof Santos jika beliau memaparkan hipotesisnya  secara masuk akal seperti geolog  R.Hall, H.D.Tjia dan C.D.Ollier.  Penting kita kemukakan bahwa  geolog R.Hall yang menulis  Reconstructing Cenozoic South East Asia (1995), telah menampilkan peta yang dihasilkan Southeast Asia Research Group di London tentang pulau-pulau Indo-Malaysia yang di masa lalu berupa benua yang terbagi tiga bagian struktural. Pertama-tama, di sebelah barat mencakup paparan benua Sunda Kedua, melekat pada tepian  Samudera Indonesia, terbentang ke timur hingga Maluku, meliputi tatanan palung dan pegunungan berapi Sunda-Banda yang berbentuk seperti busur. Ketiga, di timur laut mencakup tatanan  busur gunung berapi di Sulawesi-Filipina dan Halmahera. Ini masih disambung daratan Sahul yang secara tektonik merupakan jembatan stabil yang menghubungkan benua Australia dengan Papua. Jika Prof Santos menggunakan data pendukung berupa peta yang disusun ilmiah dan argumen para geolog, oastilah  saya bisa mengapresiasi argumentasinya,“ kata Guru Sufi.
           “Lho mbah kyai,” sergah Farel menukas,”Bukankah peta yang dihasilkan Asia Research Group itu justru mendukung hipotesa Prof Santos?”
          “Menurut saya, peta itu tidak mendukung argumentasi Prof Santos, nak,”kata Guru Sufi menjelaskan,” Sebab jauh sebelum Prof Santos mengemukakan hipotesanya, para geolog  sudah sama mafhum  bahwa  sebelum menjadi kepulauan seperti sekarang ini Indonesia adalah  benua besar, sebagaimana dikemukakan H.D.Tjia dalam The Sunda shelf Southeast Asia (1980) yang menyatakan bahwa paparan benua yang disebut Sunda,  memiliki kawasan bawah laut terluas di dunia, yaitu benua yang  mempunyai inti yang tua dan secara tektonik cukup stabil karena saat ini mengalami sedikit sekali kegiatan vulkanis. Sebagian besar kawasan benua itu sekarang terletak di bawah sedimen Laut Cina Selatan dan Laut Jawa, sebagai dataran luas yang terkikis erosi. Kawasan-kawasan daratan yang timbul di atas inti paparan tua yang terbenam mencakup Semenanjung Malaysia, Kalimantan dan dataran rendah pantai utara  Sumatera dan Jawa. Ini berarti, sejak lama para geolog sudah tahu bahwa di masa lampau Kepulauan Indonesia adalah sebuah benua besar yang secara umum oleh kalangan geolog disebut sebagai Sundaland.”
               “Jadi mbah?” tanya Farel bingung.
               “Semua geolog tahu bahwa menurut teori geologi, sebelum menjadi  kepulauan, Indonesia dulu adalah sebuah benua besar,” kata Guru Sufi menjelaskan, “Yang mengherankan, kenapa tiba-tiba Prof Santos memunculkan teori yang sudah diketahui umum itu untuk mendukung hipotesanya dengan argumen-argumen yang justru membingungkan, seperti saat  Prof Santos mengajukan hipotesis  bahwa letusan Gunung Krakatau dan gunung-gunung berapi lainlah yang menjadi penyebab  timbulnya  air bah yang menenggelamkan Atlantis. Argumentasi itu membingungkan, karena para geolog belum ada yang menyatakan bahwa penyebab tenggelamnya benua Sundaland adalah  letusan gunung berapi. Prof Santos tidak sedikit pun menyertakan argumen geologis, seperti misal hasil uji sedimen batuan di selat Sunda yang menyatakan bahwa pada tahun 11.600 Sebelum Masehi gunung Krakatau meletus.”
               “Berbeda dengan Prof Santos, menurut teori  para geolog, pada masa Pleistosen yang berlangsung lama dan terutama pada puncak zaman es sekitar 20.000 tahun lalu, sebagian besar paparan Sunda menjadi daratan karena penurunan permukaan air laut. Namun sejak masuk akhir zaman glacial ke kala Pleistosen, terjadi pemanasan global yang membuat es mencair dan kemudian menimbulkan banjir besar yang menenggelamkan dataran rendah.  Jadi mencairnya es yang menyebabkan air laut naik dan kemudian menimbulkan banjir besar oleh para geolog dianggap sebagai penyebab tenggelamnya benua Sundaland, dan sekali-kali bukan akibat letusan gunung berapi.”
                 “Hasil penelitian geologi yang belakangan ini,  setelah melakukan penelitian selama bertahun-tahun, Stephen Oppenheimer, peneliti geologi dari Oxford  Inggris  yang menulis buku berjudul  Eden in The East (2010), menyatakan bahwa benua besar yang bernama Sundaland adalah meliputi wilayah Asia Tenggara yang bersatu dengan Kepulauan Indo-Malaysia.  Menurut Oppenheimer, saat itu tidak ada Laut Cina Selatan, Laut Jawa dan Selat Malaka karena Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Semenanjung Malaysia serta Laut Cina Selatan bersambung menjadi satu benua. Sulawesi, Maluku dan Papua tersambung pula sebagai daratan luas.”
           “Pada masa akhir zaman glacial, menurut Oppenheimer, terjadi beberapa kali banjir sebagai akibat mencairnya es karena  perubahan iklim. Dalam periode banjir pertama, air laut naik sampai 50 meter. Proses ini berlangsung dalam kurun  waktu 3.000 tahun. Separuh daratan yang menghubungkan Cina dengan Kalimantan dan  Semenanjung Malaysia terendam air. Kemudian terjadilah banjir kedua pada 11.000 tahun lalu. Air laut naik lagi 30 meter selama 2.500 tahun. Semenanjung Malaysia masih menempel dengan Sumatera. Namun Jawa dan Kalimantan sudah terpisah. Laut Cina Selatan mulai membentuk seperti sekarang   ini.  Masih menurut Oppenheimer, banjir ketiga terjadi pada 8.500 tahun lalu. Benua Sundaland akhirnya tenggelam sepenuhnya karena air naik lagi setinggi  20 meter. Demikianlah, terbentuknya  jajaran pulau-pulau Indonesia, yang diikuti terpisahnya Semenanjung Malaysia dengan Nusantara itu terjadi.”
               “Sejalan dengan Oppenheimer,  dalam penelitian T.H. van Andel yang ditulis dalam jurnal dengan judul “Late Quaternary history, climate and oceanography of the Timor Sea” (1967), terungkap bahwa pada masa akhir glacial sekitar 14.000 tahun yang lalu, beberapa bagian dari Paparan Sahul terbenam dengan laju pergeseran horisontal 25-45 meter setahun. Perhitungan Andel ini lebih cepat dan lebih tinggi frekuensi tenggelamnya Sundaland dibanding Oppenheimer. Sedang menurut N.S.Haile  dalam “The geomorphology and geology of the northern part of the Sunda shelf”  (1973) Paparan Sunda telah menentukan terjadinya penenggelaman jalur Sungai Proto-Lupar yang sangat cepat, sekali pun keadaan itu kemungkinan melibatkan peristiwa tektonik lokal berupa tanah terban.”   
            “Menurut teori, sejak 120.000 tahun silam, ketika iklim dunia dan permukaan laut untuk terakhir kalinya menyerupai konfigurasi sekarang,fluktuasi lingkungan berkembang dengan cepat. Memburuknya iklim berlangsung secara fluktuatif  hingga pada puncak glacial terakhir sekitar 18.000 tahun lalu. Didukung bukti arkeologis dan lingkungan, ditemukan kesepakatan umum bahwa suhu menurun dengan cepat kira-kira pada 18.000 tahun lalu.  Iklim dan permukaan laut yang meningkat yang mengakibatkan tenggelamnya dataran rendah Sundaland, disebut dengan Younger Dryas.”
            “Berdasar paparan di atas,” kata Guru Sufi memberi simpulan atas bahasan yang dilakukannya, ”Kita fahami  bersama bahwa para ilmuwan geologi secara ilmiah lewat penelitian-penelitian telah sepakat untuk  menyatakan bahwa wilayah Indonesia dulunya adalah sebuah benua luas yang tenggelam pada masa akhir zaman glacial, yang berlangsung sekitar 12.000 – 11.000 tahun silam, di mana banjir yang menenggelamkan dataran-dataran  rendah yang luas itu berlangsungnya berangsur-angsur, butuh waktu lama meski ada kemungkinan terjadi air bah besar dalam bentuk tsunami yang menenggelamkan dataran rendah dari benua Sundaland. Bersama ini pula, diberitahukan kepada hadirin semua bahwa tidak ada satu pun dari teori ilmiah dalam ilmu geologi yang menyatakan  bahwa Sundaland adalah Atlantis. Bahkan jika dikaitkan dengan cerita-cerita kuno, Sundaland sangat jauh dari kesan Atlantis, karena itu  sangat mungkin kisah tenggelamnya Sundaland berhubungan dengan peristiwa banjir besar  yang menenggelamkan dataran rendah – dataran rendah  di dunia, sebagaimana dicatat  bangsa India dalam cerita Manu – Matsya dan    kisah tenggelamnya benua Kumari Kundam di India, epos Ziusudra di  Sumeria, Gilgames di Babilonia, Atrahasisdi  Akkadia, Nabi Nuh, Ruahatu Pasifik, dan kisah-kisah legenda lainnya.”
           "Bagaimana dengan hipotesa Prof Santos yang menyatakan bahwa dari Indonesia atau Atlantis bangsa-bangsa berperadaban tinggi di dunia menyebar ke seluruh dunia untuk menelamatkan diri dari letusan gunung berapi?" tanya Farel ingin tahu kelanjutan kritik Guru Sufi terhadap hipotesa Prof Santos.
        "Seoerti semalam, kita istirahat dulu sebentar," kata Guru Sufi menghentikan perbincangan,"Kita nikmati kopi susu sambil menyantap martabak, burger, terang bulan, dan tahu pong."
(Bersambung…)

Karya: KH Agus Sunyoto

Sumber asli:

Peristiwa Banjir Dunia Dicatat Bangsa-bangsa Timur Berperadaban Tinggi

Menolak Hipotesis Indonesia Adalah Benua Atlantis (III): 
                               Peristiwa Banjir Dunia Dicatat Bangsa-bangsa Timur Berperadaban Tinggi
            Setelah hiruk melewati waktu istirahat dengan makanan ringan dan kopi tubruk, Guru Sufi melanjutkan perbincangan tentang Atlantis dengan bahasan tentang peristiwa banjir besar yang pernah melanda berbagai tempat di muka bumi.  Banjir besar yang menurut teori terjadi pada masa Pleistosen, sekitar 11.000 tahun Sebelum Masehi, yaitu masa akhir era Glacial Wurm, yang mengakibatkan air laut naik dan menimbulkan air  bah yang menenggelamkan dataran rendah di seluruh dunia itu, telah melahirkan sejumlah epik dan legenda serta catatan suci  tentang banjir besar yang melanda dunia, yang muncul di kalangan bangsa-bangsa tua  di zaman kuno seperti kisah Zuisudra di kalangan bangsa Sumeria, kisah Deucalion dalam mitologi Yunani, kisah Atlantis dalam tulisan Plato,  kisah Nabi Nuh dan bahteranya dalam Kitab Beresyit (Kejadian), kisah Matsya dalam Puranas Hindu,  kisah  Utnapishtim dalam Epos Gilgames di Babilonia, dan kisah-kisah sejenis di Cina, Pasifik hingga benua Amerika. Sebagian besar budaya dunia di masa lampau mempunyai cerita-cerita tentang banjir besar yang menghancurkan peradaban sebelumnya. Di antara sejumlah kisah mitologis dan legendaris tentang banjir besar yang terjadi di masa silam, yang rekaman arkeologisnya ditayangkan Sufi Kenthir lewat LCD Player, rangkaian isinya kira-kira sebagai berikut:

Banjir Besar dalam Mitologi Sumeria
           Mitos Sumeria tentang Ziusudra ditulis dalam prasasti batu salinan dari potongan Kitab Kejadian Eridu, yang menurut bentuk tulisannya diperkirakan berasal dari abad ke-17 Sebelum Masehi. Cerita mitologis itu menuturkan bagaimana dewa Enki memperingatkan Ziusudra (nama Ziusudra bermakna "ia melihat kehidupan," karena telah beroleh karunia keabadian dari dewa-dewa), Raja Shuruppak, tentang keputusan para dewata untuk menghancurkan umat manusia dalam sebuah air bah (meski teks yang menjelaskan mengapa dewa-dewa mengambil keputusan menghancurkan manusia hilang, diduga perbuatan manusia saat itu telah membuat marah dewa-dewa). Karena menganggap Ziusudra raja yang baik,  Dewa Enki memerintahkan Ziusudra untuk  membangun sebuah kapal besar (teks yang menggambarkan perintah ini pun hilang).
           Banjir besar pun melanda dunia. Kapal besar yang dinaiki Ziusudra terapung di permukaan air. Setelah tujuh hari berlangsung, banjir surut.  Ziusudra dengan rasa syukur  membuat kurban persembahan  yang semestinya dan menyembah Dewa An (dewa langit) dan Dewa  Enlil (pemimpin para dewa). Atas kesetiaannya menyembah An dan Enlil,  Ziusudra dianugerahi An dan Enlil  kehidupan kekal di Dilmun (Taman Eden bangsa Sumeria). Di dalam prasasti yang berisidaftar raja-raja Sumeria, sebuah silsilah tentang raja-raja tradisional, yang bersifat legendaris dan mitologis, juga menyebutkan tentang adanya sebuah banjir besar. Berbagai ekskavasi arkeologi di Irak mengindikasikan tentang pernah adanya suatu banjir di Shuruppak sekitar tahun 2900-2750 SM, yang meluas hingga kota Kish, yang dipimpin raja Etana, yang konon merupakan pendiri dinasti Sumeria pertama setelah air bah itu. Raja Etana diduga keturunan Ziusudra, Raja Shuruppak, sebelum negeri itu diterjang air bah.

Epos Gilgames Babilonia
          Kisah banjir besar di Babilonia yang dikenal sebagai  Epos Gilgames, terukir pada sebuah meterai silinder di  situs Ur III berisi 11 lempengan yang mengisahkan tokoh pahlawan, Raja Uruk bernama Gilgames, yang diyakini pemerintahannya berlangsung sekitar tahun 2700 SM-2500 SM, yaitu 200-400 tahun sebelum kisah-kisah tertulis tertua yang ditulis dalam huruf paku itu diabadikan. Gilgames dikisahkan telah bersikap kejam dan menyalah-gunakan kekuasaannya dengan meniduri perempuan-perempuan sebelum mereka ditiduri suami mereka. Dewi penciptaan Aruru marah dan menciptakan manusia liar, Enkidu, yang selalu menganggu. Enkidu bertarung melawan Gilgames dan Gilgames meninggalkan  perkelahian dan mengusulkan petualangan ke hutan Aras untuk membunuh roh jahat.
           Enkidu dan Gilgames lalu pergi ke hutan Aras dan atas bantuan Shamash, dewa matahari, mereka membunuh Humbaba, roh jahat penjaga pohon. Namun Humbaba sebelum mati mengutuk mereka berdua.  Akibat kutukan Humbaba, Enkidu mati. Gilgames meratapi Enkidu, sambil menawarkan berbagai pemberian kepada banyak dewata agar mereka mau berjalan di sisi Enkidu di dunia bawah. Gilgames berangkat untuk mengelakkan nasib Enkidu dan membuat perjalanan berbahaya untuk mengunjungi Utnapishtim dan istrinya, satu-satunya manusia yang berhasil selamat dari banjir yang sangat dahsyat dan  diberikan keabadian oleh para dewata. Utnapishtim (nama ini merupakan  terjemahan langsung dari Ziusudra dalam bahasa Sumeria ke bahasa Akkadia, yang bermakna “ia  melihat kehidupan” ) tinggal di Dilmun, suatu taman firdaus surgawi yang luar biasa indah. Utnapishtim dikenal sebagai orang yang hidup abadi karena kemurahan dewa-dewa.
           Gilgames berangkat dengan kapal melintasi Air Kematian bersama Urshanabi, sang jurumudi, dan menyelesaikan perjalanan menuju dunia bawah. Gilgames berjumpa dengan Utnapishtim. Lalu Utnapishtim  menceritakan  tentang peristiwa air bah yang dahsyat. Utnapishtim menuturkan bagaimana dewa Ea memperingatkannya tentang rencana para dewata untuk menghancurkan seluruh kehidupan melalui sebuah air bah dahsyat.  Dewa Ea  memerintahkan Utnapishtim membangun sebuah kapal besar yang akan digunakannya untuk menyelamatkan keluarga, teman-teman, kekayaan, dan  ternaknya. Air bah dahsyat pun  terjadi. Dunia tenggelam. Hanya Utnapishtim beserta mereka yang naik kapalnya yang selamat. Setelah air bah yang menenggelamkan dunia surut, Utnapishtim melakukan upacara menghormati dewa-dewa.  Para dewata menyesali tindakan mereka. Itu sebabnya, mereka kemudian  menganugerahi  Utnapishtim hidup abadi.

Epos Atrahasis Akkadia
          Epos Atrahasis Akkadia (ditulis sekitar  tahun 1700 SM), menjelaskan bahwa kelebihan jumlah  penduduk dunia sebagai penyebab utama terjadinya banjir besar. Menurut cerita: setelah 1200 tahun kesuburan pertumbuhan manusia berlangsung, hiruk-pikuk dan kebisingan yang disebabkan manusia – menari-nari, menyanyi, bermain musik, mabuk-mabukan, bertengkar, berperang – telah mengganggu ketenangan  dewa Enlil dari   tidurnya. Makin bertambah jumlah manusia,  kebisingan dan hiruk-pikuk manusia makin bertambah. Enlil lalu  meminta tolong kepada majelis para dewa untuk mengurangi jumlah manusia. Dewa-dewa lalu mengirim wabah dan kekeringan yang  disusul kelaparan karena tanah yang asin tidak bisa ditanami.  Namun semua usaha para dewa itu tidak  mengurangi manusia. Jumlah manusia terus bertambah dan terus  mengganggu tidur  Enlil.
           Setelah 1200 tahun  masing-masing dewa berusaha mengurangi manusia  tidak membawa hasil, malahan jumlah manusia makin bertambah dan masalah pertambahan jumlah  manusia yang mengganggu Enlil  muncul kembali. Lalu  para dewa memutuskan untuk mengambil tindakan terakhir, dengan mengirimkan air bah.  Dewa  Enki, yang mempunyai kewajiban moral terhadap penyelesaian itu, memberitahukan rencana dewa-dewa itu kepada Atrahasis. Enki memerintahkan  Atrahasis membangun kapal penyelamat menurut ukuran yang diberikan oleh dewa. Lalu datanglah air bah dan  dunia tenggelam dalam banjir besar. Hanya  Atrahasis beserta keluarga dan hewan-hewan yang dimasukkan ke dalam kapalnya saja yang selamat.

Kisah Banjir Besar Zaman Nabi Nuh
       Kitab Kejadian (beresyith) mengisahkan bahwa setelah Adam dan Hawa meninggalkan Taman Eden,  beberapa generasi keturunan mereka menjadi manusia jahat dan hidup  penuh kekerasan. Allah menyesal telah menciptakna manusia dan memutuskan untuk mengirimkan air bah untuk menghapuskan kejahatan manusia. Allah hanya menemukan satu orang di muka bumi yang layak diselamatkan, yaitu Nabi Nuh. Allah memerintah Nabi Nuh membangun sebuah bahtera dengan ukuran dan rancangan tertentu dan membawa ke dalam bahtera itu istrinya, ketiga anak lelakinya, Sem, Ham, dan Yafet  beserta istri mereka, dan binatang-binatang dan burung-burung yang tidak haram sebanyak 7 pasang, jantan dan betina, dan sepasang binatang-binatang yang haram, jantan dan betina. Pada tahun ke-600 usia Nabi Nuh, Allah mengirimkan air bah dahsyat yang menenggelamkan dunia.
          Menurut kisah ini, air bah datang dari (1) hujan yang secara historis pertama kali disebutkan dalam Al-kitab, yang berlangsung selama 40 hari dari  "tingkap-tingkap di langit," dan (2) air dari "segala mata air samudera raya."  Air dari banjir itu meningkat selama 40 hari (Kejadian 7:17) dan bertahan selama 150 hari (Kejadian 7:24, Kejadian 8:3). Pada bulan kedua, hari ke-27 bulan itu, bumi menjadi kering, dan Allah memerintahkan Nabi Nuh meninggalkan bahtera. Kisah banjir dahsyat di daerah Timur Tengah seperti tertulis dalam kisah Ziusudra dari Sumeria, kisah  Gilgames dari Babilonia, kisah Atrahasis Akkadia, dan kisah Nabi Nuh memiliki kemiripan satu sama lain, yaitu kemarahan dewa-dewa atau Tuhan, perintah membuat kapal dan memasukkan hewan-hewan ke dalam kapal, banjir besar menenggelamkan dunia, dan hanya penumpang kapal yang selamat.

Air Bah Ogigian dan Deukalion Yunani
       Di dalam mitologi Yunani mengenal kisah dua peristiwa air bah besar yang mengakhiri dua Zaman Manusia: Air bah Ogigian yang mengakhiri Zaman Perak dan air bah Deukalion yang mengakhiri Zaman Perunggu Pertama. Air bah Ogigian,  disebut demikian karena terjadinya pada masa Ogiges, pendiri dan raja Kerajaan Thebes.       
         Legenda Deukalion mengisahkan Prometheus menasihati anaknya Deukalion untuk membangun sebuah peti karena banjir akan melanda. Saat banjir datang, semua orang tewas. Gunung-gunung di Thessaly terbelah, dan seluruh dunia di luar Isthmus dan Peloponnesos tenggelam. Deukalion dan istrinya Pyrrha, setelah terapung-apung di peti itu selama sembilan hari sembilan malam,  mendarat di Parnassus.
          Kaum Megarian mengisahkan bahwa Megarus, anak Zeus, selamat dari banjir Deukalion dengan berenang ke puncak Gunung Gerania, dibimbing teriakan-teriakan burung-burung bangau. Ada spekulasi bahwa sebuah tsunami hebat di Laut Mediterania yang disebabkan oleh ledakan Gunung  Thera yang terjadi secara geologis pada sekitar 1630-1600 SM, tetapi berlangsung  hingga 1500 SM.  Kisah itu menjadi basis historis untuk cerita rakyat yang berkembang menjadi mitos Deukalion. Kisah banjir besar Deukalion menjadi mitos, karena bangsa Yunani belum bisa mencatat peristiwa itu karena belum mengenal tulisan.

Matsyapurana Kisahkan Banjir Besar India
         Menurut Matsyapurana dan Shatapatha Brahmana (I-8, 1-6), Mantri dari raja Dravida, Satyabrata yang juga dikenal sebagai Manu, dikisahkan sedang mencuci tangannya di sebuah sungai ketika seekor ikan kecil masuk ke tangannya dan memohon kepadanya untuk menyelamatkan nyawanya.
          Manu  meletakkan ikan kecil itu di sebuah bejana. Namun ikan kecil itu tumbuh sangat cepat, sehingga  tak lama kemudian bejana itu menjadi terlalu kecil untuk si ikan. Manu  berturut-turut memindahkan ikan itu ke sebuah tangki, sungai, dan kemudian memasukkannya ke samudra. Ikan itu kemudian memperingatkan Manu,  bahwa tidak lama lagi, dalam waktu seminggu akan terjadi  air bah yang akan menghancurkan seluruh kehidupan. Karena itu Manu membangun sebuah kapal. Ketika ari bah dating menghancurkan dan menenggelamkan segala, kapal Manu ditarik oleh si ikan itu ke puncak gunung. Dengan demikian, Manu  selamat bersama-sama dengan sejumlah "benih kehidupan" untuk membangun kembali kehidupan di muka bumi.

Kisah Air Bah di Cina
    Shanhaijing, "Cerita Klasik tentang Gunung dan Lautan", berakhir dengan penguasa Tiongkok Da Yu yang selama sepuluh tahun berusaha mengendalikan air bah yang "meluap hingga ke langit”.   Shujing, atau "Kitab Sejarah", ditulis sekitar 700 SM, menyatakan dalam bagian-bagian pembukaannya bahwa Kaisar Yao sedang menghadapi masalah dengan air bah yang mencapai ke Surga. Ini adalah latar belakang dari campur tangan Da Yu yang terkenal, yang berhasil mengendalikan banjir. Ia kemudian mendirikan dinasti Tiongkok yang pertama.
       Catatan Sejarah Agung, Chuci, Liezi, Huainanzi, Shuowen Jiezi, Siku Quanshu, Songsi Dashu, dan lain-lainnya, serta banyak mitos rakyat lainnya, semua mengandung rujukan kepada seseorang yang bernama Nuwa. Nuwa pada umumnya digambarkan sebagai seorang perempuan yang memperbaiki langit yang rusak setelah air bah atau bencana, dan memenuhi dunia kembali dengan manusia. Ada banyak versi tentang mitos ini. Peradaban Tiongkok kuno yang terpusat pada tepi Sungai Kuning dekat kota Xi'an sekarang juga percaya bahwa banjir yang parah di sepanjang tepi sungai itu disebabkan oleh naga-naga (yang mewakili para dewa) yang hidup di sungai karena dibuat marah oleh kesalahan manusia yang melakukan kejahatan-kejahatan.

Kisah Air Bah di Pasifik
       Sejumlah kisah tentang banjir besar yang disebabkan air bah, terdapat pula di pulau-pulau yang tersebar di Lautan Pasifik yang dihuni bangsa-bangsa Polonesia.  Rakyat Ra'iatea,  menuturkan kisah dua orang sahabat, Te-aho-aroa dan Ro'o, yang pergi menangkap ikan dan kebetulan membangunkan dewa samudera Ruahatu dengan mata kail mereka.
         Dalam kemarahannya, dewa Ruahatu  bersumpah akan  menenggelamkan mereka bersama tempat tinggalnya ke dalam laut. Te-aho-aroa dan Ro'o memohon ampun, dan Ruahatu memperingatkan mereka bahwa mereka dapat lolos hanya dengan membawa keluarga mereka ke pulau kecil Toamarama. Mereka kemudian berlayar, dan di malam hari, pulau itu benar-benar tenggelam ke dalam laut dan baru muncul kembali esok paginya. Tak satupun yang selamat kecuali keluarga-keluarga Te-aho-aroa dan Ro’o, yang mendirikan marae (kuil-kuil) suci yang dipersembahkan kepada dewa Ruahatu.
          Dalam sebuah tradisi di kalangan suku Ngāti Porou, sebuah suku Māori di pantai timur Pulau Utara Selandia Baru, Ruatapu menjadi marah ketika ayahnya Uenuku mengangkat adik tirinya Kahutia-te-rangi melewatinya. Ruatapu memikat Kahutia-te-rangi dan sejumlah besar orang muda dari keturunan bangsawan masuk ke kanonya dan membawa mereka keluar ke laut dan di sana ia menenggelamkan mereka. Ia memanggil para dewa untuk menghancurkan musuh-musuhnya dan mengancam akan kembali sebagai gelombang-gelombang besar pada awal musim panas. Sementara ia bergumul untuk mempertahankan nyawanya, Kahutia-te-rangi membacakan mantra yang memanggil ikan paus bungkuk selatan (paikea dalam bahasa Māori) untuk membawanya ke pantai. Karena itu, ia diubah namanya menjadi Paikea, dan merupakan satu-satunya orang yang selamat dari air bah.
                  Di Hawaii, sepasang manusia, Nu'u dan Lili-noe, selamat dari sebuah banjir di puncak Mauna Kea di Big Island. Nu'u mempersembahkan kurban kepada bulan, yang disangkanya telah menyelamatkannya. Kāne, sang dewa pencipta, turun ke bumi dengan menggunakan pelangi, menjelaskan kekeliruan Nu'u, dan menerima kurbannya.
         Di Seti, di Seram Utara, penduduk percaya bahwa batas-batas tanah mereka adalah batas setelah kering ke 2 (Akibat dari Banjir Besar). Sementara kapata-kapata (pantun-pantun yang sudah mendarah daging dan menjadi simbol budaya setempat) berbicara tentang sesorang bernama NUHU, berlayar dipinggir suatu pulau (hasa-hasa e), melihat tanjung (tanjong e) dsb. Namun karena alasan-alasan tertentu maka beberapa kapata tersebut terpaksa jarang dituturkan di Maluku. Beberapa nama yang ada di Maluku juga ada di Hawaii seperti nama kota: Wahaii, Sawaii, Waitatiri (nama-nama yang sama di Pulau Seram).

Kisah Air Bah Suku Maya
         Dalam mitologi Maya, dari Popol Vuh, Bagian 1, Bab 3, Huracan ("kaki-satu") adalah dewa angin dan badai yang menyebabkan Air Bah (berupa cairan pohon yang dapat terbakar) setelah manusia-manusia pertama (yang terbuat dari kayu) membangkitkan kemarahan para dewata (karena tidak mampu menyembah mereka). Ia konon hidup di dalam embun berangin di atas air banjir dan berbicara "bumi" hingga tanah muncul lagi dari lautan.
      Belakangan, dalam Bagian 3, Bab 3 & 4, dikisahkan tentang empat orang lelaki dan empat orang perempuan memenuhi kembali dunia Quiche setelah air bah. Semua orang berbicara bahasa yang sama dan berkumpul bersama-sama di lokasi yang sama di mana bahasa mereka diubah, setelah itu mereka berpencar ke seluruh dunia.

Kisah Air Bah Suku Hopi
       Dalam mitologi Hopi, orang-orang berulang kali menjauhkan diri dari Sotuknang, Sang Pencipta. Ia menghancurkan dunia dengan api, dan kemudian dengan udara yang dingin, dan menciptakan dunia kembali pada kedua kesempatan itu untuk orang-orang yang masih mengikuti hukum-hukum ciptaan, yang bertahan dengan bersembunyi di bawah tanah.
        Pada kali yang ketiga, manusia menjadi korup dan suka berperang. Akibatnya, Sotuknang memimpin manusia kepada Perempuan Laba-laba, dan ia memotong buluh-buluh raksasa dan menampung manusia di batangnya yang berlubang. Sotuknang kemudian mendatangkan air bah yang hebat, dan manusia terapung-apung di air di dalam buluh mereka. Buluh-buluh ini kemudian berhenti di sepotong kecil tanah, dan manusia pun keluar, dengan jumlah makanan yang sama seperti waktu mereka berangkat. Manusia pergi dengan kano mereka, dipimpin oleh hikmat batin mereka (yang kabarnya berasal dari Sotuknang melalui pintu di atas kepala mereka). Mereka pergi ke timur laut, melewati pulau-pulau yang semakin besar, hingga mereka tiba di Dunia Keempat. Ketika mereka mencapai dunia yang keempat, pulau-pulau itu pun tenggelam ke dalam samudra.

Kisah Air Bah Suku Menominee
      Dalam mitologi Menominee, Manabus, sang penipu, "terbakar oleh nafsunya untuk membalas dendam menembak dua dewa bawah tanah ketika dewa-dewa itu sedang bermain. Ketika mereka semua terjun ke dalam air, muncullah banjir yang besar. "Air naik .... ia tahu betul ke mana Manabus telah pergi." Ia belari dan berlari terus, tetapi air itu, yang datang dari Danau Michigan, mengejarnya semakin lama semakin cepat, bahkan ketika ia naik ke atas gunung dan mendaki puncak pohon pinus. Empat kali ia memohon kepada pohon untuk bertumbuh sedikit lagi, dan empat kali pohon itu mengabulkannya hingga ia tidak dapat bertumbuh lebih tinggi lagi. Tetapi air itu terus mendaki "terus, terus, hingga mencapai dagunya, lalu berhenti": tidak ada lagi yang lain kecuali air yang merentang hingga ke cakrawala. Dan kemudian Manabus, yang ditolong oleh binatang-binatang yang menyelam, khususnya yang paling berani di antara semuanya, Muskrat, menciptakan dunia yang kita kenal sekarang.
            Setelah memaparkan cerita legenda banjir besar yang dimiliki bangsa-bangsa di dunia, Guru Sufi membuat simpulan bahwa kisah Atlantis yang ditulis Plato, hanya salah satu dari cerita-cerita kuno tentang banjir besar yang menenggelamkan dunia. “Sungguh kurang bijak, jika ada klaim bahwa bangsa kuno berperadaban tinggi yang ditenggelamkan banjir semata-mata bangsa Atlantis leluhur orang Eropa. Sebab fakta sejarah  menunjuk saat prasasti-prasasti Sumeria, Babilonia, Akkadia,  dan Messopotamia tentang banjir ditulis dengan huruf paku, orang Yunani masih biadab belum mengenal huruf dan pakaian. Fakta tentang ketinggian peradaban  Sumeria, Babilonia,dan Messopotamia sudah diakui  secara ilmiah, baik berdasar disiplin arkeologi, epigrafi, iconografi, etnohistori, sampai sejarah, sementara  kisah  Atlantis sampai sekarang  tetap pada tingkat hipotesa tentang sebuah  dongeng,” ujar Guru Sufi.
            “Bagaimana dengan teorinya Prof Santos, Mbah Kyai?” Tanya Farel penasaran.
            “Kita lanjut besok malam, nak,” sahut Guru Sufi,”Sekarang kalian istirahat dulu.”

(bersambung…)

Karya: KH Agus Sunyoto

Dikopas dari:

Lingkaran Setan Dongeng Atlantis Masuk Labirin

Menolak Hipotesis Indonesia Adalah Benua Atlantis (I):
                                        Lingkaran Setan Dongeng Atlantis Masuk Labirin
Setelah membincang hegemoni Barat kulit putih dalam berbagai aspek terutama dalam epistemologi keilmuan, dengan dibantu Sufi Kenthir yang menyiapkan film-film tentang Atlantis yang ditayangkan lewat LCD Player, Guru Sufi menjelaskan bagaimana dongeng Plato tentang Atlantis telah menginspirasi sejarawan, sastrawan, filsuf, etnolog, antropolog, tukang dongeng, dan ideolog untuk menulis kisah Atlantis menurut imajinasi asumtif mereka. Hanya beberapa dekade setelah Timaeus dan Critias yang ditulis Plato menjadi bahasan orang-orang Yunani, telah  sejumlah  imitasi parodik tentang Atlantis sebagaimana ditulis sejarawan Theopompus dari Chios, yang  menulis tentang sebuah  wilayah yang disebut Meropis. Deskripsi wilayah Meropis  ini ada pada Buku 8 Philippica, yang berisi dialog antara Raja Midas dan Silenus, teman dari Dionysus. Silenus mendeskripsikan Bangsa Meropis, ras manusia yang bertubuh dua kali dari ukuran tubuh manusia biasa, yang  menghuni dua kota utama di pulau Meropis,  Eusebes ,( "kota Pious") danMachimos ("kota-Pertempuran"). Silenius juga menggambarkan bahwa angkatan bersenjata sebanyak sepuluh juta tentara menyebrangi samudra untuk menaklukan Hyperborea, tetapi meninggalkan rencana ini ketika mereka menyadari bahwa bangsa Hyperborea adalah bangsa paling beruntung di dunia.
         Heinz-Günther Nesselrath menafsirkan bahwa cerita Silenus dan Raja Midas tentang Meropis dan Hyperborea  yang ditulis Theopompus  merupakan jiplakan dari kisah Atlantis, untuk alasan membongkar dongeng Plato dengan tujuan untuk mengejek.  Sebab dibanding Atlantis yang tidak jelas keberadaannya, Hyperborea keberadaannya dalam sejarah lebih jelas meski banyak dibungkus dongeng. Hyperborea adalah sebuah wilayah yang  terletak di utara Yunani. Sebagian orang berpendapat wilayah ini masih merupakan satu kesatuan dari benua, dibatasi oleh Sungai Okeanos di Utara dan puncak-puncak pegunungan mitos Rhipaion di Selatan. Hyperborea merupakan negara-agama yang diperintah oleh tiga pendeta Apollo yang disebut Boreadea. Mereka adalah putra-putra dan keturunan Boreas. Leto, ibu Apollo lahir di Hyperborea, oleh sebab itu Apollo sangat dipuja disana melebihi dewa-dewa lainnya.Herakles keturunan Perseus beberapa kali dituturkan pernah berkunjung ke Hyperborea.
         Zoticus, seorang filsuf Neo-Platonis pada abad ke-3 M, menulis puisi berdasarkan catatan Plato mengenai Atlantis. Sejarawan abad ke-4 M, Ammianus Marcellinus, berdasarkan karya Timagenes (sejarawan abad ke-1 SM) yang hilang, menulis bahwa Druid dari Galia mengatakan bahwa sebagian penduduk Galia adalah imigran dari kepulauan yang jauh. Catatan Ammianus ditafsirkan  oleh sebagian orang sebagai klaim bahwa ketika Atlantis tenggelam, penduduknya mengungsi ke Eropa Barat. Tetapi  Ammianus buru-buru  mengatakan bahwa “Drasidae (Druid) menyebut kembali bahwa sebagian dari penduduk Galia adalah penduduk asli, tetapi ada  juga yang bermigrasi dari kepulauan dan wilayah yang  melewati Rhine" (Res Gestae 15.9), tanda bahwa imigran datang ke Galia dari utara dan timur, tidak dari Samudra Atlantic seperti diklaim sebagian orang.
             Francis Bacon tahun 1627 menulis novel berjudul  The New Atlantis, yang  mendeskripsikan komunitas utopia yang disebut Bensalem, yang terletak di Lautan Pasifik di pantai barat Amerika. Bacon terinspirasi tulisan Thomas Moore berjudul Utopia Island, di mana Thomas Moore sendiri terinspirasi tulisan Plato, Republic. Karakter dalam novel yang ditulis Bacon ini memberikan sekilas gambaran sejarah Atlantis yang mirip dengan catatan Plato, tetapi tidak jelas apakah Bacon menyebut Amerika Utara atau Amerika Selatan.  Isaac Newton pada  tahun 1728 juga menulis novel berjudul  The Chronology of the Ancient Kingdoms Amended (Kronologi Keruntuhan Kerajaan-kerajaan Kuno), mempelajari berbagai hubungan mitologi dengan Atlantis.
        Pada pertengahan dan akhir abad ke-19, beberapa sarjana Mesoamerika, dimulai dari Charles Etienne Brasseur de Bourbourg,  termasuk Edward Herbert Thompson dan Augustus Le Plongeon, menyatakan bahwa Atlantis berhubungan dengan peradaban Maya dan Astec. Pada tahun 1882, Ignatius L. Donnelly mempublikasikan karya berjudul  Atlantis: the Antediluvian World. Karyanya menarik minat banyak orang terhadap Atlantis. Donnelly mengambil catatan Plato mengenai Atlantis dengan serius dan menyatakan bahwa semua peradaban kuno yang diketahui berasal dari kebudayaan Neolitik yang tinggi. Menurut Donnelly, ada kaitan antara Atlantis dengan Aztlan. Aztlan adalah tempat tinggal bagi leluhur suku Aztec. Donnelly menyatakan bahwa wilayah timur Karibia adalah lokasi bekas Aztlan, seperti yang ditunjuk suku Aztec. Ia pun berpendapat bahwa Atlantis dulunya berada di wilayah Karibia.
           Sepanjang akhir abad ke-19, ide mengenai dongeng legendaris  Atlantis digabungkan dengan cerita-cerita "benua hilang" lainnya, seperti Benua Mu dan Lemuria yang hilang. Helena Blavatsky, "Nenek Pergerakan Era Baru", menulis dalam The Secret Doctrine , bahwa bangsa Atlantis adalah pahlawan budaya (kontras dengan  Plato yang mendeskripsikan mereka dengan  masalah militer), dan "Akar Ras" ke-4, yang diteruskan oleh "Ras Arya". Rudolf Steiner menulis tentang evolusi budaya Mu atau Atlantis.
           Edgar Cayce, pertama kali menyebut Atlantis tahun 1923,  dan mengemukakan pendapatnya yang senada dengan Ignatius L. Donnely, bahwa lokasi Atlantis terletak di Karibia. Ia juga menyatakan bahwa Atlantis merupakan sebuah peradaban berevolusi tinggi yang pernah ada di masa kuno. Ia juga mendukung pernyataan Plato mengenai kekuatan perang Atlantis yang memiliki kapal dan pesawat tempur yang menggunakan perangkat-perangkat perang dengan memanfaatkan energi berbentuk kristal yang misterius. Cayce juga memprediksi bahwa Atlantis yang hilang ini akan muncul ke permukaan pada 1968 atau 1969, yang ternyata prediksinya tidak terbukti.
        Telah diklaim bahwa sebelum era Eratosthenes tahun 250 SM, penulis Yunani menyatakan bahwa lokasi “Pilar-pilar Herkules” yang disebut Plato sebagai batas menuju Atlantis,  letaknya di Selat Sisilia. Namun  tidak terdapat bukti yang cukup untuk membuktikan hal tersebut. Menurut Herodotus (circa 430 SM), ekspedisi Finisi telah berlayar mengitari Afrika atas perintah firaun Necho, berlayar ke selatan Laut Merah dan Samudera Hindia dan bagian utara di Atlantik, memasuki kembali Laut Tengah melalui Pilar Hercules. Deskripsinya di Afrika barat laut menjelaskan bahwa ia melokasikan Pilar Hercules dengan tepat di tempat pilar-pilar Hercules berada saat ini. Kepercayaan bahwa pilar Hercules yang telah diletakkan di Selat Sisilia menurut Eratosthenes, telah dikutip dalam beberapa teori Atlantis.
           Konsep Atlantis menarik perhatian teoritisi Nazi. Pada tahun 1938, Heinrich Himmler mengorganisir pencarian di Tibet untuk menemukan sisa bangsa Atlantis putih. Menurut Julius Evola  dalam Revolt Against the Modern World  (1934), bangsa Atlantis adalah manusia super (Übermensch) Hyperborea—Nordic yang berasal dari Kutub Utara. Alfred Rosenberg  dalam The Myth of the Twentieth Century (1930) juga berbicara mengenai kepala ras "Nordik-Atlantis" atau "Arya-Nordik" kulit putih.
           Masalah dongeng Atlantis yang melahirkan berbagai karya dengan spekulasi-spekulasinya, makin menarik minat orang untuk mendalaminya lebih jauh terutama ketika  tahun 1968, sekumpulan penyelam yang menyelam ke dasar laut  di kepulauan Bimini di sekitar Samudera Atlantik di gugusan Pulau Bahama, dalam perjalanan kembali, tiba-tiba seorang penyelam  menjerit kaget karena di dasar laut, ia  menemukan sebuah jalan besar. Beberapa penyelam secara bersamaan terjun ke bawah untuk melihat, ternyata memang ada sebuah jalan besar membentang tersusun dari batu raksasa. Itu adalah sebuah jalan besar yang dibangun dengan menggunakan batu persegi panjang dan poligon, besar kecilnya batu dan ketebalan tidak sama, namun penyusunannya sangat rapi, konturnya cemerlang. Orang menduga   itu  merupakan jalan dari  kerajaan Atlantis.
      Awal tahun 1970-an, sekelompok peneliti datang di sekitar kepulauan Yasuel di  Samudera Atlantik. Mereka telah mengambil inti karang dengan mengebor pada kedalaman 800 meter di dasar laut. Ternyata,  tempat itu memang benar-benar sebuah daratan pada 12.000 tahun silam. Kesimpulan yang ditarik atas dasar teknologi ilmu pengetahuan, begitu mirip seperti yang dilukiskan Plato. Namun, apakah di situ tempat tenggelamnya kerajaan Atlantis? Tidak ada penjelasan. Semua hanya hipotesa.
         Tahun 1974, sebuah kapal peninjau laut Uni Soviet telah membuat 8 lembar foto yang jika disarikan membentuk sebuah bangunan kuno bawah laut mahakarya manusia. Apakah ini dibangun oleh orang Atlantis? Tahun 1979, sekumpulan ilmuwan Amerika dan Perancis dengan piranti instrumen yang canggih menemukan piramida di dasar laut di lokasi “segitiga maut” laut Bermuda. Panjang piramida kurang lebih 300 meter, tinggi kurang lebih 200 meter, puncak piramida dengan permukaan samudera hanya berjarak 100 meter. Ukurannya lebih besar dibanding piramida Mesir. Bagian bawah piramida terdapat dua lubang raksasa, air laut dengan kecepatan yang menakjubkan mengalir di dasar lubang. Apakah piramida besar bawah laut ini  dibangun oleh orang-orang Atlantis? Pasukan kerajaan Atlantis pernah menaklukkan Mesir, apakah orang Atlantis membawa peradaban piramida ke Mesir? Benua Amerika juga terdapat piramida, apakah berasal dari Mesir atau berasal dari kerajaan Atlantis?
         Tahun 1985, dua kelasi Norwegia menemukan sebuah kota kuno di bawah areal laut di “segitiga maut” luat Bermuda. Pada foto yang dibuat oleh mereka berdua, ada dataran, jalan besar vertikal dan horizontal serta lorong, rumah beratap kubah, gelanggang aduan (binatang), kuil, bantaran sungai dll. Mereka berdua mengatakan: “Mutlak percaya, yang kami temukan adalah Benua Atlantik! Sama persis seperti yang dilukiskan Plato!” Benarkah klaim itu? Yang disayangkan, piramida dasar laut segitiga Bermuda, belum berhasil diselidiki dari atas permukaan laut dengan menggunakan instrumen canggih, hingga kini belum ada seorang pun ilmuwan dapat memastikan apakah itu sebuah bangunan yang benar-benar dibangun oleh tenaga manusia, sebab mungkin saja itu  sebuah puncak gunung bawah air yang berbentuk limas.
          Foto peninggalan bangunan kuno di dasar laut yang diambil tim ekspedisi Rusia, juga tidak dapat membuktikan di sana adalah bekas tempat kerajaan Atlantis. Setelah itu ada tim ekspedisi menyelam ke dasar samudera jalan batu di dasar lautan Atlantik Pulau Bimini, mengambil sampel “jalan batu” dan dilakukan penelitian laboratorium serta dianalisa. Hasilnya menunjukkan, bahwa jalan batu ini umurnya belum mencapai 10.000 tahun. Jika jalan ini dibuat oleh bangsa kerajaan Atlantis, setidak-tidaknya tidak kurang dari 10.000 tahun.  Mengenai foto yang ditunjukkan kedua kelasi Norwegia itu, hingga kini pun tidak dapat membuktikan apa-apa. Satu-satunya kesimpulan  yang dapat diperoleh adalah benar ada sebuah daratan yang karam di dasar laut Atlantik. Jika memang benar di atas laut Atlantik pernah ada kerajaan Atlantis, dan kerajaan Atlantis memang benar tenggelam di dasar laut Atlantik, maka di dasar laut Atlantik pasti dapat ditemukan bekas-bekasnya. Faktanya, hingga saat ini, kerajaan Atlantis tetap merupakan sebuah misteri sepanjang masa.
           Tim arkeolog Amerika Serikat, belum lama ini mengklaim telah menemukan sisa peradaban Atlantis yang terkubur lumpur di sebelah selatan Spanyol. Sebuah kota metropolis pertama terkubur di dasar laut. Richard Freund dari Universitas Hartford Connecticut mengatakan temuan terkini Atlantis itu  ada di sebelah utara kota Cadiz, Spanyol Selatan. Atlantis, kata Freund terkubur di dasar laut akibat terjangan tsunami dahsyat. "Tsunami dahsyat telah  melumat kota yang jauhnya 60 mil dari pesisir. Memang sukar dipercaya, tapi itulah yang kami temukan," kata Freund, seperti dikutip Daily Mail.
       Tim peneliti mengumpulkan data dari berbagai sumber. Salah satunya adalah foto satelit di daerah itu yang diperkirakan sudah tenggelam. Kemudian foto itu dibandingkan dengan survei lapangan menggunakan sonar dan pemetaan digital. Hasilnya, mereka menemukan struktur bangunan yang menyerupai 'kota'. Dari data gambar-gambar Atlantis yang beredar dibandingkanlah struktur tersebut, para peneliti yakin mereka sudah menemukan kota legenda itu.  Rencananya penemuan itu akan ditayangkan di National Geographic dengan judul 'Finding Atlantis'. Freund yakin, ada sejumlah ciri dari struktur kota yang terpendam itu yang menunjukkan kalau itu adalah Atlantis.  "Kami menemukan sesuatu yang tidak ditemukan peneliti lain sebelumnya. Penemuan ini membuat kredibilitas temuan kami sangat baik, terutama dari sisi arkeologis, temuan ini menguatkan fakta-faktanya," kata Freund tanpa menjelaskan apa temuan itu, sehingga sampai saat ini rencana Freund belum terwujud dan  Atlantis tetap menjadi misteri tak terpecahkan. Bahkan dongeng Atlantis yang ditulis Plato, sekarang ini sudah menjadi lingkaran setan masalah yang tak diketahui ujung dan pangkalnya lagi, di mana para peminat Atlantis seperti masuk labirin yang banyak jalan dan tidak bisa keluar.
            Setelah melihat film-film dan komentar-komentar tentang usaha-usaha mencari Atlantis, Farel bertanya,”Kalau pun bukti empirik tentang Atlantis belum ditemukan, bukan berarti peristiwa benua tenggelam tidak ada, Mbah Kyai. Soalnya, kisah banjir besar yang terjadi pada akhir zaman es atau  masa Pleistosen, yang menenggelamkan benua dan pulau-pulau,  menurut para geolog, pernah terjadi. Bahkan cerita agama membenarkan itu. Bagaimana ini Mbah Kyai?”
             “Soal banjir besar yang melanda dunia  itu, pastinya aku percaya,” kata Guru Sufi datar, ”Berbagai bangsa tua di dunia seperti Sumeria, Babilon, Akkadia, Ibrani, Yunani, India, Cina, Aztec, Maya, mencatat peristiwa air bah itu. Itu artinya, banjir besar yang menenggelamkan benua dan pulau-pulau itu memang pernah terjadi. Yang aku tidak sepakat, kalau kisah-kisah air bah besar yang menenggelamkan bangsa-bangsa tua berperadaban tinggi itu diklaim sebagai Atlantis. Sebab tidak ada secuil pun bukti arkeologis yang berkaitan dengan dongeng Atlantis.”
            “Bagaimana Mbah Kyai,” sahut Farel penasaran dan ingin menguji pengetahuan Guru Sufi,”Apakah Mbah Kyai bisa menerangkan kepada kami tentang peristiwa-peristiwa  banjir besar di berbagai tempat pada  zaman kuno yang menenggelamkan dataran rendah di muka bumi?”
            “Insya Allah bisa, tapi kita istirahat dulu. Makan singkong rebus, tempe goreng, ketan bubuk,  dan minum kopi tubruk,” kata Guru Sufi yang disambut kata sepakat dari para peserta.
(bersambung…)

Oleh: KH Agus Sunyoto

Sumber Asli:

26 Apr 2014

Menggugat Hegemoni Wacana Doktriner Barat

Menolak Hipotesis Indonesia Adalah Benua Atlantis (I):
                                                  Menggugat  Hegemoni  Wacana Doktriner Barat
                Sesuai janji Guru Sufi untuk membincang  buku berjudul Atlantis – The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of  Plato’s Lost Civilization),yang  ditulis Prof Arysio Nunes dos Santos, Sabtu malam Pesantren Sufi mengadakan telaah  bebas tentang buku yang menggemparkan itu. Oleh karena bahasannya umum, sejumlah aktivis, pengamat sosial  dan peminat Atlantis yang diberitahu Dullah ikut hadir. Menurut Dullah, mereka ingin  mengetahui bagaimana orang-orang di pesantren menyikapi hasil pemikiran ilmiah seorang profesor pakar geologi dan fisikawan nuklir asal Brazil itu. Satu-dua orang di antara peminat Atlantis yang hadir, menduga bahwa bahasan atas hipotesa Prof Arysio Santos itu bakal sarat dengan dalil-dalil agama yang dihubungkan dengan simpulan halal, haram, baik, buruk, benar, dan sesat. Sebagaimana ciri khas  orang-orang pesantren pengamal tasawuf, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Sufi gelandangan, Sufi Slendro, Sufi Jadzab, Sufi tua, dan Dul Gawul duduk bersila  berkerudung sarung. 
            Namun saat Guru Sufi mulai bicara, para aktivis dan pengamat sosial serta peminat Atlantis mulai mengerutkan kening dan menyimak setiap kata-kata yang meluncur dari mulut Guru Sufi. Sebab sebelum masuk ke dalam substansi buku Atlanyis-nya Arysio Santos, Guru Sufi terlebih dulu mengajak semua yang hadir untuk membersihkan pikiran dan jiwa dari radiasi membahayakan asumsi-asumsi doktriner yang dibangun pemikir-pemikir kulit putih  yang seringkali sudah menghegemoni pikiran dan jiwa bangsa-bangsa bermental kacung dan jongos, yang selama berbilang abad pernah dijajah kulit putih.
            “Jika kita belajar filsafat Barat,” kata Guru Sufi memulai kupasan kritisnya,”Kita diharuskan mengagumi pikiran filsuf-filsuf Yunani abad ke-5 SM seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, Herakleitos, Pythagoras, Parmenides, dan Demokritos. Sebab pada masa itu, para filsuf tersebut sudah menyelidiki perubahan alam sampai mereka meyakini adanya azas pertama yang menjadi dasar dari alam ini. Thales meyakini, air adalah azas pertama alam. Anaximandros meyakini azas pertama itu: to apeiron (yang tidak terbatas), Anaximenes meyakini azas itu: udara, Heraklitos meyakini azas itu: api. Era di mana tokoh-tokoh di atas hidup, ditetapkan sebagai era filsafat alam dalam sejarah filsafat dunia.”
            “Seperti jongos mendapat perintah majikannya, tanpa bertanya apa pun seluruh bangsa kulit berwarna meng-amin-i ketetapan dalam ilmu filsafat itu sebagai kebenaran aksiomatik. Artinya, siapa pun di antara bangsa-bangsa di dunia jika mempelajari filsafat harus mengakui kebenaran bahwa tokoh-tokoh pemikir asal Miletos itu adalah filsuf-filsuf  tertua di dunia dengan teori filsafat alamnya. Padahal, abad ke-15 SM, seorang guru suci di India bernama Kapila, mengajarkan suatu konsep pokok ajaran Sankhya-Yoga tentang azas pertama yang menjadi dasar dari alam semesta ini. Berbeda dengan filsuf Miletos yang meyakini azas pertama dari alam adalah “air”, “to apeiron”, “udara”, dan “api”, Kapila mengajarkan konsep pokok dalam sistem ganda terbentuknya alam yang digambarkan sebagai: (1) alam semesta dibangun di atas landasan dikotomi yang tidak terpecahkan (atomik) antara “sel kehidupan” (purusa) dan “materi” (prakrti) tak bernyawa; (2) bahwa “materi” (prakrti), meski pada dasarnya sederhana dan tidak bersenyawa, bisa lenyap atau mewujud dalam tiga bentuk yang berbeda (yang disebut guna), yang sebanding dengan tiga jenis tali; (3) bahwa setiap “sel kehidupan” (purusa) yang bersatu dengan “materi” (prakrti) terlibat dalam penghambaan “lingkaran transmigrasi” (samsara) tiada akhir.”
            “Bertolak dari konsep alam yang dibangun Kapila, harusnya dialah yang menduduki posisi tertinggi sebagai filsuf tertua peletak dasar filsafat alam. Namun karena Kapila itu bangsa kulit berwarna, maka dia digolongkan sebagai agamawan dan sekali-kali bukan pemikir. Konsep pemikirannya digolongkan sebagai pikiran mistis dan sekali-kali bukan filsafat,” kata Guru Sufi menyimpulkan.
            “Tapi guru,” tukas Sufi tua menyela,”Kalau tidak salah tokoh Kapila itu ceritanya masuk dalam epos Mahabharata bagian Adiparwa. Apakah Kapila itu bukan sekedar tokoh rekaan alias dongeng?”
            “Memang tokoh Kapila itu pemikir dan sekaligus mistikus kuno yang dimuat dalam epos Mahabharata. Tetapi bukan berarti beliau itu tokoh fiktif, karena pikiran-pikiran beliau itu sudah dicatat oleh Isvarakrsna dalam Sankhya-karika pada pertengahan abad ke-5 SM, sejaman dengan era Thales. Ajaran-ajaran Mahavira dan Sidharta Gautama, terasa sekali memuat doktrin-doktrin Kapila. Itu berarti, Kapila bukanlah tokoh fiktif,” kata Guru Sufi menjelaskan.
            “Kayaknya memang ada diskriminasi dalam keilmuan,” Sufi Kenthir berbisik.
             Terdiam sebentar memberi peluang kepada para peserta untuk merenung, Guru Sufi melanjutkan lagi telaahnya, kali itu dalam kaitan dengan buku Arysio Santos. Dengan suara ditekan Guru Sufi berkata, “Semua bahasan terkait Atlantis, termasuk yang disusun Arysio Santos, dasar utamanya adalah dua buah buku dongeng kuno karya Plato berjudul Timaeus dan Critias. Di dalam dongeng itu, Plato melukiskan benua Atlantis sebagai berikut:
               “Di hadapan Selat Mainstay Haigelisi, ada sebuah pulau yang sangat besar, dari sana kalian dapat pergi ke pulau lainnya. Di  depan pulau-pulau itu adalah seluruhnya daratan yang dikelilingi laut samudera. Itulah  Kerajaan Atlantis. Ketika itu, Atlantis baru akan melancarkan perang besar dengan Athena. Namun, di luar dugaan, Atlantis tiba-tiba mengalami gempa bumi dan banjir, tidak sampai sehari semalam, tenggelam sama sekali di dasar laut. Negara besar yang melampaui peradaban tinggi itu, lenyap dalam semalam.”
              Satu bagian dalam dialog buku Critias, tercatat kisah Atlantis yang diceritakan oleh adik sepupu Critias. Critias adalah murid filsuf Socrates, tiga kali ia menekankan keberadaan Atlantis dalam dialog. Kisah Atlantis sendiri berasal dari cerita lisan Joepe,  moyang lelaki Critias. Joepe mengaku mendengar kisah Atlantis  dari seorang penyair Yunani kuno bernama Solon (639-559 SM). Solon adalah orang yang paling bijaksana di antara tujuh  mahabijak Yunani kuno. Menurut cerita, suatu kali ketika Solon berkeliling Mesir. Solon bertemu pendeta dari Sais, yang menerjemahkan sejarah Athena kuno dan Atlantis, yang ditranskrip dari  hireoglif papiri di Mesir, ke dalam  bahasa Yunani. Menurut Plutarch, Solon bertemu dengan "Psenophis Heliopolis, dan Sonchis Saite, yang paling dipelajari dari semua pendeta". Dari tempat pemujaan makam leluhur ia  mengetahui legenda Atlantis. Catatan dalam dialog tentang Atlantis, secara garis besar seperti berikut ini:
            “Atlantis adalah sebuah daratan raksasa di atas Samudera Atlantik di sebelah barat Laut Tengah yang sangat jauh, sebuah surga beriklim tropis  yang penuh dengan segala jenis keindahan dan kekayaan: daratan-daratan yang luas dan ladang-ladang yang indah, lembah-lembah dan gunung-gunung; batu-batu permata dan logam dari berbagai jenis; kayu-kayu wangi, wewangian, dan bahan celup yang sangat tinggi nilainya; sungai-sungai, danau-danau, dan irigasi yang melimpah; pertanian yang paling produktif; istana-istana bertabur emas; tembok bentengnya perak; gajah dan segala jenis binatang buas hidup bebas; di sana tingkat peradaban manusia sangat menakjubkan. 
        “Atlantis memiliki pelabuhan dan kapal dengan perlengkapan yang sempurna, juga ada benda yang bisa membawa orang terbang. Kekuasaannya tidak hanya terbatas di Eropa, bahkan jauh sampai daratan Afrika. Setelah dilanda gempa dahsyat, tenggelamlah Atlantis  ke dasar laut beserta peradabannya, juga hilang dalam ingatan orang-orang.
        “Menurut perhitungan versi Plato, waktu tenggelamnya kerajaan Atlantis, kurang lebih 11.150 tahun silam. Plato pernah beberapa kali mengatakan, bahwa keadaan kerajaan Atlantis itu diceritakan secara lisan turun-temurun. Namun cerita itu sama sekali bukan rekaan imajinasinya sendiri. Plato bahkan mengaku pernah pergi ke Mesir minta petunjuk pendeta dan rahib terkenal setempat waktu itu. Guru Plato yaitu Socrates ketika membicarakan tentang kerajaan Atlantis juga menekankan kebenarannya, karena hal itu adalah nyata, nilainya jauh lebih kuat dibanding kisah yang direkayasa,” kata Guru Sufi berhenti bicara.
            “Apakah menurut guru, dalam kasus Atlantis terjadi pula suatu diskriminasi?” tanya Sufi Sudrun ingin tahu.
            “Sangat jelas sekali diskriminasinya,” sahut Guru Sufi dengan suara tinggi,”Bayangkan, Plato yang hidup pada abad ke-3 SM, menuliskan dongeng Atlantis dari masa 11.150 tahun lalu, yang berarti sepuluh milenium jarak waktunya. Arogannya, dongeng Atlantis dipaksakan untuk diyakini sebagai kebenaran sejarah. Sementara tulisan-tulisan pujangga Indonesia yang menuturkan sebuah peristiwa sejarah dengan kerangka penulisan yang khas, yaitu dituangkan dalam bentuk kakawin dan tembang gede maupun tembang alit, tidak sedikit pun diakui sebagai catatan sejarah melainkan dinilai sebagai karya sastera atau paling tinggi dinilai sebagai historiografi. Dalam menyusun sejarah perang Jawa pada 1835-1830 M, misal, sumber-sumber data yang digunakan adalah berasal dari colonial archive dan daghregister yang ditulis orang-orang Belanda. Tulisan tangan Pangeran Dipanegara yang dituangkan dalam bentuk tembang dengan judul Babad Dipanegaran, sedikit pun tidak dianggap sebagai sumber data. Karena apa Babad Dipanegaran tidak dijadikan sumber data sejarah? Karena Pangeran Dipanegara yang menulis pengalaman  hidupnya sebagai pelaku sejarah itu kulitnya coklat.”
            “Jadi guru,” sahut Dullah penasaran,”Apakah dengan menelaah karya Prof Arysio Santos sama maknanya dengan membincang dongeng kuno  karena kisah yang ditulis Plato  itu terjadi kira-kira 13.161 tahun silam dan  ditulis oleh Plato sekitar 2.350 tahun silam?”
             “Karena tidak ada bukti material dari sisa-sisa peradaban Atlantis kecuali dongengan Plato, maka seharusnya kita tidak perlu serius membahas masalah Atlantis. Namun karena yang menulis seorang profesor ahli fisika nuklir, maka orang-orang dari bangsa-bangsa bermental jongos merasa wajib untuk meng-amin-i kebenaran teori tentang dongeng itu sebagai kebenaran ilmiah. Kebodohan bangsa-bangsa bermental jongos itu makin tampak saat mereka sangat bangga negerinya diidentikkan dengan Atlantis, negeri kuno yang dihuni bangsa  berperadaban tinggi. Tanpa menyoal pendekatan metodologi apa yang digunakan Arysio Santos dalam menyusun hipotesanya tentang dongeng Atlantis, mereka benarkan 100 % tulisan dari orang bergelar profesor itu,” kata Guru Sufi memancing.
            Farel, seorang peminat Atlantis, dengan dada berdebar-debar menahan emosi menanggapi pandangan Guru Sufi,”Maaf Mbah Kyai, tadi Mbah Kyai sudah  menyinggung soal pendekatan metodologis yang digunakan Prof Santos. Apakah Mbah Kyai faham, pendekatan metodologis apa yang digunakan Prof Santos dalam penelitiannya tentang Atlantis  yang 30 tahun itu?”
            “Sebagai seorang geolog dan pakar fisika nuklir,” sahut Guru Sufi menjelaskan, “Seharusnya Prof Arysio Santos mendukung hipotesis dengan bidang keilmuan yang didalaminya, yaitu geologi dan fisika nuklir. Anehnya, geolog dan fisikawan nuklir asal Brazil itu justru menggunakan pendekatan interdisipliner yang lebih banyak melibatkan pendekatan arkeologi, filologi, semiotik, aitiologi, sejarah, antropologi, etnologi, hermeunetika, dan sangat sedikit teori geologi. Pendekatan metodologis yang dilakukan Arysio Santos itulah yang membuat kita harus kritis menanggapi setiap pandangan asumtif yang dimunculkannya, karena dengan disiplin-disiplin ilmu yang bukan bidangnya dan terbukti kurang dikuasainya itu, pandangan asumtif Santos cenderung bersifat etic. Nah, jika sebuah pandangan asumtif atas suatu penelitian yang bersifat ilmu-ilmu humaniora sudah bersifat etic, maka rawan terjadi kecenderungan untuk memaksakan kehendak penelitinya dalam menarik simpulan-simpulan.”
              “Tapi Mbah Kyai,” sahut Farel belum  puas,”Jika pendekatan metodologis yang dilakukan Prof Santos dianggap salah, apakah kita mampu membangun epistemologi kelimuan sendiri? Bukankah selama ini yang mengembangkan epistemologi keilmuan itu memang ras kulit putih? Jangan-jangan kita ini sinis terhadap karya orang lain karena sejatinya untuk menutupi ketidak- mampuan membangun epistemologi keilmuan sendiri. Bagaimana ini Mbah Kyai?”
            “Engkau kurang menyimak mendengar  penjelasanku, Farel,” kata Guru Sufi senang dengan keberanian Farel mengkritiknya,”Sebab  tidak sedikit pun aku menyalahkan pendekatan interdisipliner yang digunakan Prof Arysio Santos. Yang aku kritik adalah kapasitas Prof Santos dalam menguasai secara baik disiplin-disiplin ilmu yang dia gunakan, sehingga sangat terasa sekali bagaimana ia memaksakan pandangan-pandangan etic dalam simpulan-simpulan yang ditariknya secara kurang tepat.”
            “Nah, soal epistemologi keilmuan yang kau anggap milik ras kulit putih dan hanya dikembangkan oleh ras kulit putih, itu merupakan bukti kekurang-fahamanmu dalam sejarah ilmu pengetahuan. Sebab, bertolak dari sejarah ilmu pengetahuan, kita akan menemukan fakta bahwa sewaktu ras kulit putih di Eropa akrab dengan takhayul, sihir, dongeng, filsafat agama yang jauh dari pengembangan ilmu pengetahuan, orang-orang Islam sudah mengembangkan epistemologi keilmuan dalam rangka menyusun, merumuskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, mulai yang berhubungan dengan agama sampai ilmu kimia, matematika, astronomi, kedokteran, politik, sosial, hukum, tatanegara, dan sebagainya.”
            “Jika kita cermati perkembangan Islam, kita akan temukan fakta bahwa sampai saat Nabi Muhammad Saw wafat, ilmu pengetahuan belum berkembang meski benih-benihnya sudah tersebar dalam al-Qur’an dan Hadits. Baru setelah al-Qur’an dibukukan di masa Khalifah Abu Bakar yang selesai pada masa Khalifah Utsman. Sejak al-Qur’an dibukukan lahir ilmu tajwid, nahwu, sharaf, balaghah, hadits dengan mustholah hadits-nya,  fiqh dengan  ushul fiqh-nya, akhlaq, tauhid, tasawuf, tafsir, falak, manthiq, kimia, aljabar, filsafat, siyasah, kalam, adab, yang semuanya butuh  epistemologi keilmuan. Bahkan fiqh dengan ushul fiqh-nya, sangat kaya epistemologi. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam meng-istinbat hukum seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishab, sangat efektif dalam mengembangkan hukum Islam bahkan sangat kondusif dalam mengembangkan pemikiran yang lebih luas.”
            “Sayang sekali, sejak dunia Islam jatuh ke dalam kolonialisme ras kulit putih, tradisi keilmuan dalam mengembangkan epistemologi telah pudar. Umat Islam – lewat lembaga indoktrinasi yang disebut sekolah – hanya diposisikan sebagai konsumen dari epistemologi kulit putih. Seperti kacung yang patuh kepada majikan, umat Islam yang mayoritas adalah bangsa-bangsa kulit berwarna, hanya mengkonsumsi asumsi dasar, paradigma, dogma, doktrin, dan mitos yang diproduksi kulit putih. Demikianlah, ras kulit berwarna yang sudah dihegemoni nalar dan jiwanya itu, dari waktu ke waktu hanya diperbolehkan menjadi konsumen epistemologi kulit putih. Kulit berwarna  didudukkan sebagai ras inferior yang bodoh dan tidak pintar. Oleh sebab itu, sewaktu Korea Utara bisa membuat nuklir, langsung dicap sebagai bangsa penjahat. Asal kau tahu, Farel, bahwa anak-anak muda dari bangsa kita ini sekarang mulai banyak yang menunjukkan bakat luar biasa, menciptakan asumsi dasar, paradigma, dogma, doktrin, dan mitos untuk membangun epistemologi keilmuan sendiri.”
            “Mohon tanya, Mbah Kyai,” tanya Farel penasaran dan ingin tahu,”Apakah benar anak-anak muda di antara bangsa kita sudah bisa membangun epistemologi keilmuan sendiri? Apakah ada buktinya, Mbah Kyai?”
            Guru Sufi ketawa. Lalu sambil menujuk Sufi Kenthir, Guru Sufi berkata,”Itu, yang duduk kemulan sarung, yang disebut Sufi Kenthir, adalah seorang hacker. Dia jago komputer. Nah, sebagai hacker, dia diam-diam telah menyusun asumsi dasar, paradigma, dogma, dan doktrin keilmuan sendiri dalam membuat program. Dan ternyata, programnya itu mampu menyerang dan merusak program yang asumsi dasar, paradigma, dogma, dan doktrinnya telah disusun secara canggih oleh perusahaan-perusahaan komputer kelas dunia. Jadi, hacker-hacker, sejatinya adalah anak-anak muda yang genius yang mampu membangun epistemologi keilmuan sendiri meski hasilnya sering merugikan perusahaan-perusahaan raksasa milik kulit putih. Terus terang, aku salut dengan para hacker muda Indonesia. Sebab mereka itulah manusia merdeka yang bisa membebaskan diri dari keharusan tunduk pada wacana-wacana hegemonik kulit putih. Merekalah manusia-manusia yang merdeka dari hegemoni pikiran Barat.”

Sumber asli: