26 Apr 2014

Menggugat Hegemoni Wacana Doktriner Barat

Menolak Hipotesis Indonesia Adalah Benua Atlantis (I):
                                                  Menggugat  Hegemoni  Wacana Doktriner Barat
                Sesuai janji Guru Sufi untuk membincang  buku berjudul Atlantis – The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of  Plato’s Lost Civilization),yang  ditulis Prof Arysio Nunes dos Santos, Sabtu malam Pesantren Sufi mengadakan telaah  bebas tentang buku yang menggemparkan itu. Oleh karena bahasannya umum, sejumlah aktivis, pengamat sosial  dan peminat Atlantis yang diberitahu Dullah ikut hadir. Menurut Dullah, mereka ingin  mengetahui bagaimana orang-orang di pesantren menyikapi hasil pemikiran ilmiah seorang profesor pakar geologi dan fisikawan nuklir asal Brazil itu. Satu-dua orang di antara peminat Atlantis yang hadir, menduga bahwa bahasan atas hipotesa Prof Arysio Santos itu bakal sarat dengan dalil-dalil agama yang dihubungkan dengan simpulan halal, haram, baik, buruk, benar, dan sesat. Sebagaimana ciri khas  orang-orang pesantren pengamal tasawuf, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Sufi gelandangan, Sufi Slendro, Sufi Jadzab, Sufi tua, dan Dul Gawul duduk bersila  berkerudung sarung. 
            Namun saat Guru Sufi mulai bicara, para aktivis dan pengamat sosial serta peminat Atlantis mulai mengerutkan kening dan menyimak setiap kata-kata yang meluncur dari mulut Guru Sufi. Sebab sebelum masuk ke dalam substansi buku Atlanyis-nya Arysio Santos, Guru Sufi terlebih dulu mengajak semua yang hadir untuk membersihkan pikiran dan jiwa dari radiasi membahayakan asumsi-asumsi doktriner yang dibangun pemikir-pemikir kulit putih  yang seringkali sudah menghegemoni pikiran dan jiwa bangsa-bangsa bermental kacung dan jongos, yang selama berbilang abad pernah dijajah kulit putih.
            “Jika kita belajar filsafat Barat,” kata Guru Sufi memulai kupasan kritisnya,”Kita diharuskan mengagumi pikiran filsuf-filsuf Yunani abad ke-5 SM seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, Herakleitos, Pythagoras, Parmenides, dan Demokritos. Sebab pada masa itu, para filsuf tersebut sudah menyelidiki perubahan alam sampai mereka meyakini adanya azas pertama yang menjadi dasar dari alam ini. Thales meyakini, air adalah azas pertama alam. Anaximandros meyakini azas pertama itu: to apeiron (yang tidak terbatas), Anaximenes meyakini azas itu: udara, Heraklitos meyakini azas itu: api. Era di mana tokoh-tokoh di atas hidup, ditetapkan sebagai era filsafat alam dalam sejarah filsafat dunia.”
            “Seperti jongos mendapat perintah majikannya, tanpa bertanya apa pun seluruh bangsa kulit berwarna meng-amin-i ketetapan dalam ilmu filsafat itu sebagai kebenaran aksiomatik. Artinya, siapa pun di antara bangsa-bangsa di dunia jika mempelajari filsafat harus mengakui kebenaran bahwa tokoh-tokoh pemikir asal Miletos itu adalah filsuf-filsuf  tertua di dunia dengan teori filsafat alamnya. Padahal, abad ke-15 SM, seorang guru suci di India bernama Kapila, mengajarkan suatu konsep pokok ajaran Sankhya-Yoga tentang azas pertama yang menjadi dasar dari alam semesta ini. Berbeda dengan filsuf Miletos yang meyakini azas pertama dari alam adalah “air”, “to apeiron”, “udara”, dan “api”, Kapila mengajarkan konsep pokok dalam sistem ganda terbentuknya alam yang digambarkan sebagai: (1) alam semesta dibangun di atas landasan dikotomi yang tidak terpecahkan (atomik) antara “sel kehidupan” (purusa) dan “materi” (prakrti) tak bernyawa; (2) bahwa “materi” (prakrti), meski pada dasarnya sederhana dan tidak bersenyawa, bisa lenyap atau mewujud dalam tiga bentuk yang berbeda (yang disebut guna), yang sebanding dengan tiga jenis tali; (3) bahwa setiap “sel kehidupan” (purusa) yang bersatu dengan “materi” (prakrti) terlibat dalam penghambaan “lingkaran transmigrasi” (samsara) tiada akhir.”
            “Bertolak dari konsep alam yang dibangun Kapila, harusnya dialah yang menduduki posisi tertinggi sebagai filsuf tertua peletak dasar filsafat alam. Namun karena Kapila itu bangsa kulit berwarna, maka dia digolongkan sebagai agamawan dan sekali-kali bukan pemikir. Konsep pemikirannya digolongkan sebagai pikiran mistis dan sekali-kali bukan filsafat,” kata Guru Sufi menyimpulkan.
            “Tapi guru,” tukas Sufi tua menyela,”Kalau tidak salah tokoh Kapila itu ceritanya masuk dalam epos Mahabharata bagian Adiparwa. Apakah Kapila itu bukan sekedar tokoh rekaan alias dongeng?”
            “Memang tokoh Kapila itu pemikir dan sekaligus mistikus kuno yang dimuat dalam epos Mahabharata. Tetapi bukan berarti beliau itu tokoh fiktif, karena pikiran-pikiran beliau itu sudah dicatat oleh Isvarakrsna dalam Sankhya-karika pada pertengahan abad ke-5 SM, sejaman dengan era Thales. Ajaran-ajaran Mahavira dan Sidharta Gautama, terasa sekali memuat doktrin-doktrin Kapila. Itu berarti, Kapila bukanlah tokoh fiktif,” kata Guru Sufi menjelaskan.
            “Kayaknya memang ada diskriminasi dalam keilmuan,” Sufi Kenthir berbisik.
             Terdiam sebentar memberi peluang kepada para peserta untuk merenung, Guru Sufi melanjutkan lagi telaahnya, kali itu dalam kaitan dengan buku Arysio Santos. Dengan suara ditekan Guru Sufi berkata, “Semua bahasan terkait Atlantis, termasuk yang disusun Arysio Santos, dasar utamanya adalah dua buah buku dongeng kuno karya Plato berjudul Timaeus dan Critias. Di dalam dongeng itu, Plato melukiskan benua Atlantis sebagai berikut:
               “Di hadapan Selat Mainstay Haigelisi, ada sebuah pulau yang sangat besar, dari sana kalian dapat pergi ke pulau lainnya. Di  depan pulau-pulau itu adalah seluruhnya daratan yang dikelilingi laut samudera. Itulah  Kerajaan Atlantis. Ketika itu, Atlantis baru akan melancarkan perang besar dengan Athena. Namun, di luar dugaan, Atlantis tiba-tiba mengalami gempa bumi dan banjir, tidak sampai sehari semalam, tenggelam sama sekali di dasar laut. Negara besar yang melampaui peradaban tinggi itu, lenyap dalam semalam.”
              Satu bagian dalam dialog buku Critias, tercatat kisah Atlantis yang diceritakan oleh adik sepupu Critias. Critias adalah murid filsuf Socrates, tiga kali ia menekankan keberadaan Atlantis dalam dialog. Kisah Atlantis sendiri berasal dari cerita lisan Joepe,  moyang lelaki Critias. Joepe mengaku mendengar kisah Atlantis  dari seorang penyair Yunani kuno bernama Solon (639-559 SM). Solon adalah orang yang paling bijaksana di antara tujuh  mahabijak Yunani kuno. Menurut cerita, suatu kali ketika Solon berkeliling Mesir. Solon bertemu pendeta dari Sais, yang menerjemahkan sejarah Athena kuno dan Atlantis, yang ditranskrip dari  hireoglif papiri di Mesir, ke dalam  bahasa Yunani. Menurut Plutarch, Solon bertemu dengan "Psenophis Heliopolis, dan Sonchis Saite, yang paling dipelajari dari semua pendeta". Dari tempat pemujaan makam leluhur ia  mengetahui legenda Atlantis. Catatan dalam dialog tentang Atlantis, secara garis besar seperti berikut ini:
            “Atlantis adalah sebuah daratan raksasa di atas Samudera Atlantik di sebelah barat Laut Tengah yang sangat jauh, sebuah surga beriklim tropis  yang penuh dengan segala jenis keindahan dan kekayaan: daratan-daratan yang luas dan ladang-ladang yang indah, lembah-lembah dan gunung-gunung; batu-batu permata dan logam dari berbagai jenis; kayu-kayu wangi, wewangian, dan bahan celup yang sangat tinggi nilainya; sungai-sungai, danau-danau, dan irigasi yang melimpah; pertanian yang paling produktif; istana-istana bertabur emas; tembok bentengnya perak; gajah dan segala jenis binatang buas hidup bebas; di sana tingkat peradaban manusia sangat menakjubkan. 
        “Atlantis memiliki pelabuhan dan kapal dengan perlengkapan yang sempurna, juga ada benda yang bisa membawa orang terbang. Kekuasaannya tidak hanya terbatas di Eropa, bahkan jauh sampai daratan Afrika. Setelah dilanda gempa dahsyat, tenggelamlah Atlantis  ke dasar laut beserta peradabannya, juga hilang dalam ingatan orang-orang.
        “Menurut perhitungan versi Plato, waktu tenggelamnya kerajaan Atlantis, kurang lebih 11.150 tahun silam. Plato pernah beberapa kali mengatakan, bahwa keadaan kerajaan Atlantis itu diceritakan secara lisan turun-temurun. Namun cerita itu sama sekali bukan rekaan imajinasinya sendiri. Plato bahkan mengaku pernah pergi ke Mesir minta petunjuk pendeta dan rahib terkenal setempat waktu itu. Guru Plato yaitu Socrates ketika membicarakan tentang kerajaan Atlantis juga menekankan kebenarannya, karena hal itu adalah nyata, nilainya jauh lebih kuat dibanding kisah yang direkayasa,” kata Guru Sufi berhenti bicara.
            “Apakah menurut guru, dalam kasus Atlantis terjadi pula suatu diskriminasi?” tanya Sufi Sudrun ingin tahu.
            “Sangat jelas sekali diskriminasinya,” sahut Guru Sufi dengan suara tinggi,”Bayangkan, Plato yang hidup pada abad ke-3 SM, menuliskan dongeng Atlantis dari masa 11.150 tahun lalu, yang berarti sepuluh milenium jarak waktunya. Arogannya, dongeng Atlantis dipaksakan untuk diyakini sebagai kebenaran sejarah. Sementara tulisan-tulisan pujangga Indonesia yang menuturkan sebuah peristiwa sejarah dengan kerangka penulisan yang khas, yaitu dituangkan dalam bentuk kakawin dan tembang gede maupun tembang alit, tidak sedikit pun diakui sebagai catatan sejarah melainkan dinilai sebagai karya sastera atau paling tinggi dinilai sebagai historiografi. Dalam menyusun sejarah perang Jawa pada 1835-1830 M, misal, sumber-sumber data yang digunakan adalah berasal dari colonial archive dan daghregister yang ditulis orang-orang Belanda. Tulisan tangan Pangeran Dipanegara yang dituangkan dalam bentuk tembang dengan judul Babad Dipanegaran, sedikit pun tidak dianggap sebagai sumber data. Karena apa Babad Dipanegaran tidak dijadikan sumber data sejarah? Karena Pangeran Dipanegara yang menulis pengalaman  hidupnya sebagai pelaku sejarah itu kulitnya coklat.”
            “Jadi guru,” sahut Dullah penasaran,”Apakah dengan menelaah karya Prof Arysio Santos sama maknanya dengan membincang dongeng kuno  karena kisah yang ditulis Plato  itu terjadi kira-kira 13.161 tahun silam dan  ditulis oleh Plato sekitar 2.350 tahun silam?”
             “Karena tidak ada bukti material dari sisa-sisa peradaban Atlantis kecuali dongengan Plato, maka seharusnya kita tidak perlu serius membahas masalah Atlantis. Namun karena yang menulis seorang profesor ahli fisika nuklir, maka orang-orang dari bangsa-bangsa bermental jongos merasa wajib untuk meng-amin-i kebenaran teori tentang dongeng itu sebagai kebenaran ilmiah. Kebodohan bangsa-bangsa bermental jongos itu makin tampak saat mereka sangat bangga negerinya diidentikkan dengan Atlantis, negeri kuno yang dihuni bangsa  berperadaban tinggi. Tanpa menyoal pendekatan metodologi apa yang digunakan Arysio Santos dalam menyusun hipotesanya tentang dongeng Atlantis, mereka benarkan 100 % tulisan dari orang bergelar profesor itu,” kata Guru Sufi memancing.
            Farel, seorang peminat Atlantis, dengan dada berdebar-debar menahan emosi menanggapi pandangan Guru Sufi,”Maaf Mbah Kyai, tadi Mbah Kyai sudah  menyinggung soal pendekatan metodologis yang digunakan Prof Santos. Apakah Mbah Kyai faham, pendekatan metodologis apa yang digunakan Prof Santos dalam penelitiannya tentang Atlantis  yang 30 tahun itu?”
            “Sebagai seorang geolog dan pakar fisika nuklir,” sahut Guru Sufi menjelaskan, “Seharusnya Prof Arysio Santos mendukung hipotesis dengan bidang keilmuan yang didalaminya, yaitu geologi dan fisika nuklir. Anehnya, geolog dan fisikawan nuklir asal Brazil itu justru menggunakan pendekatan interdisipliner yang lebih banyak melibatkan pendekatan arkeologi, filologi, semiotik, aitiologi, sejarah, antropologi, etnologi, hermeunetika, dan sangat sedikit teori geologi. Pendekatan metodologis yang dilakukan Arysio Santos itulah yang membuat kita harus kritis menanggapi setiap pandangan asumtif yang dimunculkannya, karena dengan disiplin-disiplin ilmu yang bukan bidangnya dan terbukti kurang dikuasainya itu, pandangan asumtif Santos cenderung bersifat etic. Nah, jika sebuah pandangan asumtif atas suatu penelitian yang bersifat ilmu-ilmu humaniora sudah bersifat etic, maka rawan terjadi kecenderungan untuk memaksakan kehendak penelitinya dalam menarik simpulan-simpulan.”
              “Tapi Mbah Kyai,” sahut Farel belum  puas,”Jika pendekatan metodologis yang dilakukan Prof Santos dianggap salah, apakah kita mampu membangun epistemologi kelimuan sendiri? Bukankah selama ini yang mengembangkan epistemologi keilmuan itu memang ras kulit putih? Jangan-jangan kita ini sinis terhadap karya orang lain karena sejatinya untuk menutupi ketidak- mampuan membangun epistemologi keilmuan sendiri. Bagaimana ini Mbah Kyai?”
            “Engkau kurang menyimak mendengar  penjelasanku, Farel,” kata Guru Sufi senang dengan keberanian Farel mengkritiknya,”Sebab  tidak sedikit pun aku menyalahkan pendekatan interdisipliner yang digunakan Prof Arysio Santos. Yang aku kritik adalah kapasitas Prof Santos dalam menguasai secara baik disiplin-disiplin ilmu yang dia gunakan, sehingga sangat terasa sekali bagaimana ia memaksakan pandangan-pandangan etic dalam simpulan-simpulan yang ditariknya secara kurang tepat.”
            “Nah, soal epistemologi keilmuan yang kau anggap milik ras kulit putih dan hanya dikembangkan oleh ras kulit putih, itu merupakan bukti kekurang-fahamanmu dalam sejarah ilmu pengetahuan. Sebab, bertolak dari sejarah ilmu pengetahuan, kita akan menemukan fakta bahwa sewaktu ras kulit putih di Eropa akrab dengan takhayul, sihir, dongeng, filsafat agama yang jauh dari pengembangan ilmu pengetahuan, orang-orang Islam sudah mengembangkan epistemologi keilmuan dalam rangka menyusun, merumuskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, mulai yang berhubungan dengan agama sampai ilmu kimia, matematika, astronomi, kedokteran, politik, sosial, hukum, tatanegara, dan sebagainya.”
            “Jika kita cermati perkembangan Islam, kita akan temukan fakta bahwa sampai saat Nabi Muhammad Saw wafat, ilmu pengetahuan belum berkembang meski benih-benihnya sudah tersebar dalam al-Qur’an dan Hadits. Baru setelah al-Qur’an dibukukan di masa Khalifah Abu Bakar yang selesai pada masa Khalifah Utsman. Sejak al-Qur’an dibukukan lahir ilmu tajwid, nahwu, sharaf, balaghah, hadits dengan mustholah hadits-nya,  fiqh dengan  ushul fiqh-nya, akhlaq, tauhid, tasawuf, tafsir, falak, manthiq, kimia, aljabar, filsafat, siyasah, kalam, adab, yang semuanya butuh  epistemologi keilmuan. Bahkan fiqh dengan ushul fiqh-nya, sangat kaya epistemologi. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam meng-istinbat hukum seperti qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishab, sangat efektif dalam mengembangkan hukum Islam bahkan sangat kondusif dalam mengembangkan pemikiran yang lebih luas.”
            “Sayang sekali, sejak dunia Islam jatuh ke dalam kolonialisme ras kulit putih, tradisi keilmuan dalam mengembangkan epistemologi telah pudar. Umat Islam – lewat lembaga indoktrinasi yang disebut sekolah – hanya diposisikan sebagai konsumen dari epistemologi kulit putih. Seperti kacung yang patuh kepada majikan, umat Islam yang mayoritas adalah bangsa-bangsa kulit berwarna, hanya mengkonsumsi asumsi dasar, paradigma, dogma, doktrin, dan mitos yang diproduksi kulit putih. Demikianlah, ras kulit berwarna yang sudah dihegemoni nalar dan jiwanya itu, dari waktu ke waktu hanya diperbolehkan menjadi konsumen epistemologi kulit putih. Kulit berwarna  didudukkan sebagai ras inferior yang bodoh dan tidak pintar. Oleh sebab itu, sewaktu Korea Utara bisa membuat nuklir, langsung dicap sebagai bangsa penjahat. Asal kau tahu, Farel, bahwa anak-anak muda dari bangsa kita ini sekarang mulai banyak yang menunjukkan bakat luar biasa, menciptakan asumsi dasar, paradigma, dogma, doktrin, dan mitos untuk membangun epistemologi keilmuan sendiri.”
            “Mohon tanya, Mbah Kyai,” tanya Farel penasaran dan ingin tahu,”Apakah benar anak-anak muda di antara bangsa kita sudah bisa membangun epistemologi keilmuan sendiri? Apakah ada buktinya, Mbah Kyai?”
            Guru Sufi ketawa. Lalu sambil menujuk Sufi Kenthir, Guru Sufi berkata,”Itu, yang duduk kemulan sarung, yang disebut Sufi Kenthir, adalah seorang hacker. Dia jago komputer. Nah, sebagai hacker, dia diam-diam telah menyusun asumsi dasar, paradigma, dogma, dan doktrin keilmuan sendiri dalam membuat program. Dan ternyata, programnya itu mampu menyerang dan merusak program yang asumsi dasar, paradigma, dogma, dan doktrinnya telah disusun secara canggih oleh perusahaan-perusahaan komputer kelas dunia. Jadi, hacker-hacker, sejatinya adalah anak-anak muda yang genius yang mampu membangun epistemologi keilmuan sendiri meski hasilnya sering merugikan perusahaan-perusahaan raksasa milik kulit putih. Terus terang, aku salut dengan para hacker muda Indonesia. Sebab mereka itulah manusia merdeka yang bisa membebaskan diri dari keharusan tunduk pada wacana-wacana hegemonik kulit putih. Merekalah manusia-manusia yang merdeka dari hegemoni pikiran Barat.”

Sumber asli:

Setelah Afghan, Irak, Libya, giliran Indonesia “Dijajah” Lagi?


Oleh: KH Agus Sunyoto





Dul Gundul, TKI yang baru pulang dari Libya, diajak Dul Gawul, bapaknya, sowan meminta barokah doa kepada Guru Sufi. Kebetulan di pesantren ada Sufi Kenthir, Sufi Sudrun, Sufi Jadzab, Sufi tua, Sufi gelandangan, Sufi Slendro, dan Dullah, maka Dul Gundul pun diminta menuturkan pengalamannya selama lima tahun bekerja di Libya. Yang mengejutkan, beda dengan berita-berita di TV dan koran, menurut Dul Gundul kehidupan rakyat Libya di bawah Khadafi jauh lebih makmur dibanding kehidupan rakyat negeri kelahirannya. “Sekolah mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi gratis dan yang melanjutkan ke luar negeri dikasi bea siswa. Kesehatan pun dijamin pemerintah. Warga Libya cukup ongkang-ongkang kaki tiap bulan dapat jatah jaminan sosial dari pemerintah. Saya belum pernah menyaksikan ada warga Libya melarat apalagi jadi gelandangan dan pengemis,” kata Dul Gundul.

“Kalau sudah makmur dan terjamin hidupnya, kenapa ada pemberontakan?” tanya Dullah.

“Wah soal itu saya tidak tahu, paklik,” sahut Dul Gundul mengusap kepalanya yang gundul.

“Yang pasti,” sahut Sufi tua menyela,”Libya itu negara kaya minyak dengan cadangan terbesar di kawasan Jabal Al-Akhdar di bagian timur, yang sudah dieksplorasi di Benghazi, Barce, Beida, Derna, Tobruk, dan Brega. Selama Perang Dunia II wilayah itu diperebutkan antara Jerman dengan Inggris.”

“Woo iya, aku pernah lihat film berjudul Tobruk,” sahut Sufi Kenthir,”Jenderal Jerman terbaik waktu itu namanya Rommel. Kalau tidak keliru, Tobruk itu kan kota di Libya timur yang sekarang berontak? Wah jangan-jangan serangan pasukan gabungan USA-Perancis-Inggris yang pakai dalih Resolusi DK PBB No.1973 tertanggal 17 Maret 2011 itu latarnya hanya mau menguasai minyak Libya seperti kasus serangan di Irak dan Afghanistan.”

“Menurut Yusuf al-Baghdady, temanku,” Sufi Jadzab tiba-tiba ikut bicara,”Latar apa pun yang dijadikan alasan negara-negara Barat melakukan agresi, sebenarnya ada penanda khas yang selalu muncul di balik alasan-alasan itu. Maksud Yusuf al-Baghdady, di balik serangan negara-negara Barat yang selalu mengatas-namakan HAM, Demokrasi, Reformasi, menumpas Terorisme, menggulingkan Tiranisme, anti Status Quo itu terdapat penanda khas: ras kulit putih menyerang ras kulit berwarna. Itu penanda khas yang melekat sejak jaman purba, karena ras kulit putih sejarahnya merupakan ras yang memiliki tabiat suka berperang (belligerent race).”

“Siapa mbah Yusuf al-Baghdady yang menjadi teman sampeyan itu, apa dia seorang intelijen atau pengamat politik internasional?” tanya Dullah ingin tahu.

“Yusuf al-Baghdady adalah kepala bangsa jin di kota Baghdad,” sahut Sufi Jadzab.

“Hwarakadah, lagi-lagi informasi dari jin mbah,” Dullah ketawa terbahak-bahak.

Sufi tua yang tidak senang melihat Dullah menertawakan Sufi Jadzab berkata lantang dengan suara ditekan tinggi,”Lepas apakah informasi itu dari jin, pocong, kuntilanak, tuyul, yang pasti apa yang dikatakan simbah memang ada buktinya. Yang nyerang Irak siapa? Sejarah mencatat George Bush si kulit putih di balik serangan itu bersama kaum Hawking. Yang nyerang Afghan siapa? Yang nyerang Libya siapa? Bahkan negara Amerika itu dulu negeri asal bangsa kulit berwarna Apache, Commanche, Sioux, Navajo, Chirichahua, Eskimo, Mohican, Aztec, Inca, Maya yang diserang, dirampok dan dirampas bangsa-bangsa kulit putih. Fakta sejarah mencatat, hampir semua bangsa-bangsa kulit berwarna pernah diserang, dijajah, diperbudak, dieksploitasi, dan dihinakan sebagai inlander oleh ras kulit putih. Itu adalah fakta sejarah. Itu harus kita sadari bersama-sama. Ingat pesan Bapak Bangsa Bung Karno: JAS MERAH – Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah! Pesan Bapak Bangsa yang kedua, waspadah Neo-Kolonialisme Imperialisme – Nekolim!”

“Benar juga ya pakde,” sahut Dullah membenarkan,”Selama ini kita selalu diarahkan untuk menilai ras kulit putih sebagai ras superior. Sedang kita yang kulit berwarna ras inferior.”

“Padahal, semua itu hanya asumsi-asumsi kosong yang mereka sebarkan seolah-olah kebenaran. Susahnya, kita ini bangsa inlander bekas jajahan, selalu menerima dan mempercayai dengan membuta apa saja asumsi yang mereka ciptakan. Mereka bicara HAM, kita dukung mati-matian mereka sebagai bangsa beradab yang menghargai HAM, meski faktanya merekalah pelanggar HAM terbesar. Mereka bicara Demokrasi, kita dukung rame-rame mereka sebagai bangsa beradab yang mengajari kita sistem kekuasaan paling unggul dan paling baik di dunia, meski faktanya kebanyakan mereka justru mempertahankan feodalismenya. Bahkan saat mereka bicara tentang pengembangan IPTEK untuk semua bangsa, faktanya mereka marah dan sakit hati sewaktu ada negara di Asia – Iran dan Korea Utara – mengembangkan teknologi nuklir dan teknologi luar angkasa. Mereka kutuk negara-negara itu sebagai sarang penjahat yang sangat membahayakan dunia. Barat kulit putih tidak rela ada bangsa Asia pintar dan menguasai teknologi tinggi. Celakanya, bangsa-bangsa kulit berwarna rame-rame ikut mengutuki Iran dan Korea Utara, sepertinya mereka juga tidak rela ada ras selain kulit putih yang pinter,” kata Sufi tua seperti berpidato memaparkan fakta-fakta.

“Sudahlah tidak usah terlalu dalam membincang Libya dan lain-lain,” tiba-tiba Guru Sufi menyela dengan suara tinggi,”Sebenarnya, negeri kita ini juga sedang dirancang untuk “dijajah” kembali dengan sistem baru oleh ras kulit putih.”

“Maaf guru,” Dullah dengan penasaran minta penjelasan,”Apa alasan guru punya prediksi bahwa negeri kita ini sedang dirancang akan “dijajah” kembali oleh ras kulit putih? Apa guru memperoleh informasi dari alam gaib?”

“Aku hanya baca beberapa buku yang mengilhamiku bahwa diam-diam negeri kita ini sedang disetting untuk dijajah kembali,” sahut Guru Sufi merendah.

“Buku? Buku apa guru?” tanya Dullah penasaran.

“Buku yang ditulis Prof Arysio Nunes dos Santos, pakar Fisika Nuklir Brazil, yang berjudulAtlantis – The Lost Continent Finally Found (The Definitive Localization of Plato’s Lost Civilization), dan buku berjudul Eden in The East (2010), yang ditulis Stephen Oppenheimer, peneliti dari Oxford Inggris, yang intinya mirip bahwa Kepulauan Nusantara dulu adalah benua yang tenggelam pada masa Pleistosen di akhir zaman es,” kata Guru Sufi.

“Lho bukankah itu buku yang menyatakan kalau Indonesia dulu adalah benua Atlantis yang memiliki peradaban maju? Bukankah kita harus bangga?” kata Dullah heran dengan cara pandang gurunya yang tak difahaminya.

“Sudut pandang kita lain, Dullah, jadi simpulan kita pun lain. Menurut hematku, justru di balik beredarnya kedua buku itu terselip suatu setting ras kulit putih yang berbahaya bagi bangsa kita, terutama klaim bahwa dari Atlantis (Indonesia) khususnya Pulau Jawa inilah asal leluhur ras kulit putih,” kata Guru Sufi menarik nafas dalam-dalam.

“Bisakah guru menjelaskan tentang kemungkinan adanya setting dalam buku-buku itu?” tanya Dullah penasaran.

“Kamu istirahat dulu, nanti nyusul shalat malam, besok saja aku ceritai,” kata Guru Sufi pergi mengambil wudhu dan mendirikan shalat malam.





Sumber:

https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/setelah-afghan-irak-libya-giliran-indonesia-dijajah-lagi/123020044439048

25 Apr 2014

Teror, Bom, RUU, Sandiwara, Pembohong

Oleh: KH Agus Sunyoto
            Gara-gara  pesantren dikirimi  paket mencurigakan mirip bom, Sufi Sudrun, Sufi Kenthir, Sufi Jadzab, Sufi Gelandangan, Dullah, Dul Gawul, dan Sufi tua membincang tentang perlu dan tidak perlunya paket itu dilaporkan ke pihak berwajib. Namun akibat tidak pernah membahas hal bersifat kebendaan, perbincangan tentang paket itu jadi tidak jelas arahnya apalagi Sufi Kenthir dengan tiga-empat orang santri mengiringi perbincangan itu dengan lagu  “panggung sandiwara”  dan musik dapur – piring seng, panci bocor, galon kosong, kardus mie instant, gelas alumunium dan sendok – yg ditabuh sekenanya.
            Sufi Sudrun mula-mula menyatakan bahwa laporan ke polisi tidak dibutuhkan, karena keberadaan paket itu belum pasti berisi bom. “Kita tidak boleh su’u dzon terhadap sesuatu. Sebab sekali kita su’u dzon, kita memberi peluang kepada setan untuk membuat hati kita was-was,” kata Sufi Sudrun.
            “Tapi kalau isi paket itu benar-2 bom bagaimana?” sergah Dullah dengan suara tinggi.
            “Aku jamin paket itu tidak berisi bom,” tukas Sufi Jadzab menyela,”Soalnya, menurut temanku, Si Sapuregel, semua bom itu dibikin dengan tujuan untuk main sandiwara. Dalam skenario, bom paketan itu tidak akan dikirim ke pesantren-pesantren bulukan berisi orang-orang melarat, orang-orang terlantar, anak-anak yatim, orang-orang penyakitan, dan orang-orang yang sedikit gila.”
            “Maaf Pakde, teman sampeyan Si Sapuregel itu siapa? Apa dia itu anggota intelijen?” tanya Dullah penasaran,”Kok kayaknya dia tahu banyak soal teror bom.”
            “Sapuregel itu, kepala bangsa jin di ibukota,” kata Sufi Jadzab polos,”Segala hal yang terjadi di ibukota, pasti Sapuregel tahu.”
            “Waduh Pakde, kita ini bicara bom, jangan melibatkan jin, setan, demit, pocong, gendruwo, kuntilanak,” sahut Dullah jengkel.
            “Kamu jangan berpandangan sekuler, Dul,” sahut Sufi tua menyela,”Omongan Pakde tentang Sapuregel, aku yakin itu benar. Soalnya, aku juga kenal dengan penguasa ibukota itu kok. Yang perlu kita telusuri, untuk apa orang-orang bikin teror bom. Sapuregel harus menjelaskan itu.”
            “Benar itu,” sahut Sufi Kenthir ikut bicara,”Ayo Pakde, tanya Si Sapuregel tentang latar di balik orang-orang bermain sandiwara dengan bom yang mencelakakan orang itu.”
            Sufi Jadzab celingukan. Sebentar kemudian, ia meminta Sufi Kenthir dan para santri untuk menyanyi lagu “panggung sandiwara” dengan iringan musiknya. Setelah lagu dinyanyikan, Sufi Jadzab berkata lantang,”Sapuregel bilang, skenario sandiwara itu diberi judul “RUU Intelijen Negara”. Menurut Sapuregel, skenario itu ditulis atas pesanan Empire Global dalam rangka memuluskan program globalisasi dengan a global open society-nya. Kata Sapuregel, pasal-pasal di dalam RUU itu memberikan kewenangan kepada intelijen negara  untuk masuk ke ranah privasi orang seorang. Misalnya, dalam pasal 31  intelijen diberi kewenangan untuk melakukan intersepsi komunikasi seseorang seperti menyadap telepon, menyerobot faksimile, membuka e-mail, mengontrol facebook dan twitter, mengawasi blog dan website, memeriksa surat dan paket, yanag diduga berkaitan dengan separatisme dan terorisme.”
            “Waduh Pakde, apa itu ada kaitannya dengan pernyataan Menkominfo yang mempersilahkan badan intelijen untuk mengawasi dan mengontrol facebook dan twitter?” tanya Sufi Sudrun.
            “Apa itu ada hubungan dengan rencana pembentukan Detasemen Anti-Anarkis?” tanya Dullah.
            “Iya ya,  jangan-jangan teroris yang merampok bank dan nembak polisi itu  juga bagian dari sandiwara ya?” sahut Dul Gawul ragu-ragu dan ingin tahu jawaban  yang pasti,”Jangan-jangan uztadz Abu Bakar al-Wahab  yang diadili dengan tuduhan kampiun teroris itu  juga bagian dari  sandiwara yang sudah dirancang. Bagaimana itu Pakde?”
            “Kok kebetulan ya, Umar Pateken juga katanya ketangkap di Pakis Wetan – Pakistan. Itu  baru kabar lho, benar tidaknya belum ada yang pasti,” sahut Sufi Sudrun.
            “Wah soal itu semua aku belum tanya Sapuregel,” kata Sufi Jadzab ketawa terkekeh-kekeh, ”Katanya dia juga lagi sibuk ngawasi sutradara mengatur peran para pemain sesuai skenario. Tapi menurut dia, kisruh soal teroris merampok bank, teroris nembak polisi, teroris latihan perang, menangkap dan mengadili ustadz teroris, bom buku, isu paket bom, pelajar jadi teroris; pendek kata segala kekisruhan yang berkaitan dengan teroris, ujungnya adalah pengabsahan RUU Intelijen Negara menjadi UU. ”
            “Kalau RUU Intelijen Negara jadi disahkan, demokrasi akan hancur. Kebebasan akan gulung tikar. Yang muncul adalah rezim tiranik. Soalnya, penguasa bisa berbuat apa saja terhadap masyarakat atas nama UU. Itu alamat kekuasaan Shogunat yang pernah diterapkan di negeri ini pada 1942 – 1945, bakal terulang lagi dengan kenpetai-kenpetai yang lebih ganas dan buas serta brutal.  Apa mungkin pemerintah yang katanya reformis itu justru menjadi penghancur demokrasi?”  Sufi Gelandangan mengomentari.
            “Tidak ada yang tidak mungkin dalam kehidupan di dunia ini. Apalagi di masa datang, semua DEMOKRASI  akan disulap menjadi DEMOKERASI, maksudnya, siapa yang  ‘demo akan dikerasi’: disergap, diborgol, dijotosi, dikepruki,  ditendang, dibanting, diinjak-injak, dicekik, dibedhil, ditusuk sangkur, dimutilasi, sampai diledakkan dengan bom,” kata Sufi tua dengan suara tinggi.
            “Jangan mendramatisasi keadaan mbah,” sahut Dullah lantang.
            “Siapa yang mendramatisasi keadaan?” sahut Sufi tua berusaha menjelaskan sedikit  informasi yang dimilikinya tentang  skenario global yang dijalankan Empire Global,”Asal tahu saja,  untuk masa datang dunia  tidak butuh lagi  demokrasi. Sebab pasca runtuhnya komunisme, yang dibutuhkan Kapitalisme Global adalah stabilitas sosial dan politik di berbagai negara, dengan target utama  menjaga dan memelihara  keselamatan aset-aset mereka.  Itu berarti, aparatur ‘negara-negara bawahan’ yang berkedudukan state capitalism, menjalankan fungsi utama menjaga dan melindungi aset-aset Kapitalisme Global dari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan.”
                “Lha, bagaimana nasib  konsep Nation dan Nation-state, mbah?” tanya Dullah ingin tahu.
                “Di era global dengan a global open society-nya, konsep  nation dan nation state   akan runtuh sendiri digantikan konsep A global open  Society dengan Multi National Corporation (MNC)  dan Trans National Corporation (TNC),   di mana state (negara) kedudukannya diubah menjadi semacam counter atau  mall, bagian dari a global free market,  tempat orang  menjual komoditi-komoditi  yang diproduksi kapitalisme global  sekaligus posko keamanan yang dibutuhkan untuk menjaga dan melindungi  MNC dan TNC beserta seluruh operasionalnya.  Yang pasti, ke depan nanti  term  Classical Capitalism  akan  berubah menjadi  Compassionate Capitalisme, yang akan diikuti perubahan liberalism menjadi new-liberalism,   democracy  menjadi democrazy, ‘demokrasi’  menjadi ‘demokerasi’, ‘negara bangsa’  menjadi ‘negara bangsa-t’, yang semua  prioritasnya adalah  : STABILITAS!” kata Sufi tua disambut ketawa ngakak Sufi Jadzab, Sufi Kenthir, Sufi Sudrun, Sufi gelandangan, dan Dul Gawul.
           Sufi tua mengambil paket kiriman dan kemudian membukanya. Isinya ternyata jenang Kudus, dodol Garut, Bakpia Pathuk, Tahu Sumedang, Peyeum Bandung kiriman dari  Sufi Slendro . Setelah dibagi rata, semua makan dengan lahap  diiringi  nyanyian Sufi Kenthir ‘panggung sandiwara’ dengan musik dapur. Entah kesurupan setan dari mana, tiba-tiba Dullah berteriak,”Semua ternyata hanya  kebohongan yang mengikuti skenario  bohong-bohongan, dimainkan oleh para pembohong di bawah arahan sutradara masyhur:  SI DEWA BOHONG!”
Sumber:
https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/teror-bom-ruu-sandiwara-pembohong/122774697796916

24 Apr 2014

Dimaki "Anjing!" Malah Bersyukur

 Penulis: KH Agus Sunyoto

       

              Setelah mendengar ceramah Ustadz Dul Wahab yang membandingkan orang-orang yang memakan secuil  harta orang mati seperti  anjing, Abab  al-Wahab, murid ustadz  Dul Wahab dan dua orang temannya,  usai shalat Isyak  berdiri di depan rumah guru mereka,  menunggu orang-orang pulang tahlil  memperingati  tujuh hari  wafatnya  Pak Supeno. Ketika melihat  Guru Sufi, Dullah, Sufi tua, dan tiga orang santri pulang tahlilan lewat di depan rumah ustadz Dul Wahab, Abab  al-Wahab berteriak lantang,”Lihat kawan,  ada barisan anjing lewat. Rupanya anjing-anjing ini sangat  kekenyangan habis makan  tumpeng .”

              Terhina gurunya dihina sebagai   “anjing makan tumpeng”, Dullah dan tiga orang santri meraung  keras dan serentak  melompat akan  menyerang Abab  al-Wahab. Namun Guru Sufi dan Sufi tua buru-buru menghalangi mereka.  Dengan suara ditekan tinggi Guru Sufi berkata,”Sudahlah, untuk apa kalian marah?”

            “Tapi guru, badui goblok itu menghina guru sebagai anjing. Mana bisa dibiarkan?” sahut Dullah.

            “Lha kita semua ini nyatanya masih cinta dunia seperti  anjing kok,  kenapa kita harus marah disebut anjing?” kata Guru Sufi menyitir Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 176 sekaligus menerjemahkan maknanya,”Orang-orang  yang cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya itu, adalah seibarat anjing. Jika dihalau ia menjulurkan lidah dan jika dibiarkan pun ia menjulurkan lidah. Jadi sepanjang kita sadar bahwa hati kita ini masih cenderung kepada duniawi, maka kita sama dengan  anjing.”

                “Berarti ada anjing teriak anjing, guru?” tanya Dullah menyindir,”Karena badui-badui goblok itu juga sangat cinta dunia.”

            “Jangan engkau keburu menilai rendah makhluk Allah yang disebut anjing,” kata Guru Sufi dengan suara direndahkan, ”Sebab di dalam diri seekor anjing, terdapat sifat-sifat yang harus dimiliki oleh orang beriman terutama yang menjalani laku tasawuf.”

            “Orang beriman yang menjalankan laku tasawuf harus  memiliki  sifat-sifat anjing?” sergah Dullah dengan nada  keheranan,”Bagaimana itu penjelasannya, wahai guru?”

            “Sufi Hasan al-Bashri telah berwasiat tentang sepuluh sifat di dalam diri anjing yang mesti dimiliki oleh seorang beriman,” kata Guru Sufi menerangkan,”Pertama, anjing suka  lapar, di mana lapar itu  menjadi kegemaran dan  kebiasaan hidup Orang-orang Shalih. Kedua, anjing  tidak memiliki tempat tinggal tertentu, di mana hal  itu merupakan  ciri-ciri dan tanda Orang-orang  Tawakkal. Ketiga, anjing tidak tidur pada malam hari kecuali sedikit, itulah tanda-tanda kehidupan para Pecinta Tuhan. Keempat, anjing waktu meninggal dunia tidak meninggalkan warisan,  itulah ciri dan tanda  Orang-orang  Zuhud. Kelima, anjing  tidak pernah meninggalkan tuannya meski  dihardik dan dijauhi, itulah tanda muriid  yang benar dalam kesetiaan kepada  gurunya.  Keenam, anjing rela ditempatkan di tempat yang paling rendah sekali pun di muka bumi, itulah tanda dan ciri Orang-orang Tawadhu’.  Ketujuh, anjing saat diusir dari satu tempat, dia akan meninggalkannya dan pindah ke tempat lain dengan sukarela, itulah tanda dan ciri Orang-orang Ridho. Kedelapan, anjing  jika dipukul, diusir, diasingkan, dan dikecewakan, dia menerimanya dengan tulus dan tidak merasa dendam atas apa yang diterimanya, itu adalah tanda dan ciri Orang-orang Khusyuk. Kesembilan, saat makanan dihidangkan, anjing  selalu duduk menunggu, itu ciri Orang-orang Fakir. Kesepuluh, anjing saat mengembara tidak pernah menengok ke tempat asalnya, itulah tanda dan ciri Musafir ruhani sejati.”   

            “Demikianlah, wahai para murid, bahwa sejatinya kita harus bersukacita dan bersyukur saat  digolongkan sebagai anjing sebagaimana  dimaksud di dalam  ayat Allah SWT. Kita harus mawas diri apakah kita memang masih seperti anjing, mencintai duniawi? Sebaliknya, kita harus sedih dan  berdukacita jika kita secara sepihak  menggolongkan diri sendiri sebagai orang beriman yang paling benar, tetapi dengan dasar pengakuan diri sendiri "ana khoiru minhu" seperti yang telah diucapkan makhluk purwakala yg terkutuk,” kata Guru Sufi  melangkah pergi, mengajak   Dullah, Sufi tua dan tiga orang santri untuk melanjutkan perjalanan pulang  ke pesantren.  Abab al-Wahab menghentakkan kaki ke lantai keras-keras, karena kali ini dia merasa ditampar keras oleh Guru Sufi, di mana ia  disamakan dengan makhluk purwakala yang telah berkata “ana khoiru minhu”, Sang Iblis, makhluk yang mengakui diri sendiri sebagai yang paling benar dan paling mulia, tetapi malah dikutuk Allah.

Nafsu Lwammah dan Bahaya Kerakusannya

Penulis : KH Agus Sunyoto

            Satu malam Dullah mengantar  Si Alan Nurdi menghadap Guru Sufi, meminta petunjuk atas nasib malang yang dialaminya setelah tujuh tahun bekerja kepada Haji Maruto Klopo Bin Atang, terutama setelah mengikuti pelatihan manajemen sufi. Menurut Nurdi: sejak manajer beserta staf dan kepala-kepala bagian mengikuti pelatihan manajemen sufi yang dibiayai perusahaan, perubahan terjadi atas kehidupan peserta pelatihan. Gaji yang seharusnya naik karena prestasi, justru dipotong ini dan itu dengan alasan sosial keagamaan, sehingga berkurang. “Cara membayar gaji pun selalu diundur-undur sampai dua bulan ke belakang. Standar gaji perusahaan yang jauh lebih rendah dibanding perusahaan lain, membuat para karyawan kalang-kabut dengan hutang makin menumpuk. Apa yang harus kami lakukan, Mbah Kyai?” tanya Si Alan Nurdi minta petunjuk.
            “Manajemen sufi?” kata Guru Sufi mengerutkan kening,”Ilmu apa itu? Aku baru dengar sekarang. Aneh sekali  ada manajemen dalam  ilmu tasawuf diterapkan di perusahaan-perusahaan yang orientasinya mencari keuntungan duniawi.”
            “Itulah masalahnya, Mbah Kyai, “kata Si Alan Nurdi minta pendapat,”Kami para karyawan harus bekerja keras dengan mencontoh kaum sufi yang berjuang keras dalam ibadah dan beramal baik dengan  ikhlas semata-mata untuk mencari ridho Allah. Anehnya, pemilik perusahaan Haji Maruto Klopo Bin Atang tidak mau ikut pelatihan dan sedikit pun tidak menunjukkan gelagat bersikap sebagai sufi.”
            Dullah tiba-tiba menyahut,”Juraganmu yang matre mana mu ikut pelatihan. Dia kan sudah tahu, guru besar  yang menjadi pelatih utama manajemen sufi, sedang sibuk menyimpan aset di mana-mana, dalam bentuk tanah, saham, perhiasan, rumah-rumah, valuta asing, dsb. Jadi itu semua hanya siasat. Istilah sufi hanya untuk manipulasi saja dari niat sebenarnya serigala berbulu domba.”
            “Sudahlah Dullah, jangan mencari-cari kesalahan orang,” kata Guru Sufi mengingatkan,”Yang penting kita harus ambil hikmah dari kasus ini. Maksudku, Si Alan Nurdi hendaknya bisa tetap sabar dan mulai belajar membaca jenis-jenis manusia dengan problem utama kehidupannya, melawan hegemoni nafsunya. Sebab, yang terberat dalam hidup adalah memerangi nafsu sendiri.”
            “Saya belum faham, Mbah Kyai. Mohon Mbah Kyai memberi petunjuk agar hati saya lebih tenang menghadapi kemiskinan yang terus mendera ini,” kata Si Alan Nurdi.
            “Sebagai pengusaha muslim yang sudah haji, juraganmu Maruto Klopo Bin Atang mestinya faham bahwa Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk membayar upah pegawai sebelum kering keringat mereka. Tapi faktanya, juraganmu malah menunda upah dua sampai tiga bulan, menunggu para pegawainya menumpuk hutang dan kelaparan. Jelas juraganmu menjadi pengikut nabi baru, yaitu Dajjal la’natullah. Bersyukurlah engkau tidak ditakdirkan menjadi orang seperti dia,” kata Guru Sufi.
            “Guru,” kata Dullah minta penjelasan terkait pelajaran yang pernah diperolehnya,”Apakah orang seperti Haji Maruto Klopo Bin Atang itu termasuk orang yang sudah dikuasai nafsu Lwammah  sehingga menjadi begitu rakus dan serakah?”
            “Kelihatannya seperti itu,” sahut Guru Sufi,”Anasir Nafsu Lwammah yang berwarna hitam, daya ke-aku-an yang mencerminkan watak tanah yang menyerap segala, telah memenangkan pertarungan melawan anasir Ruh dalam mempengaruhi akalnya yang netral. Bahkan daya akalnya yang sudah terpengaruh, mengupayakan cara-cara yang semakin memuaskan Nafsu Lwammah. Demikianlah,  pintu gerbang Al-Amru (perintah) dan pintu gerbang  An-Nahyu (larangan) yang dijaga oleh dua pengawal, yaitu Al-Masyiiah (kehendak)  dan Al-Qudrah (kemampuan), tidak bisa dipertahankan fungsinya, karena dua pengawal, Al-Masyiiah (kehendak) dan Al-Qudrah (kemampuan) ditundukkan dan dikendalikan akal yang dikuasai oleh Nafsu Lwammah. Sungguh, sangat berbahaya manusia yang hidupnya sudah dikendalikan oleh akal yang dikuasai Nafsu Lwammah, karena kerakusannya bisa membahayakan orang lain maupun diri sendiri.”
            “Guru,” kata Dullah memohon,”Mohon guru menjelaskan, berbahayanya manusia yang akalnya sudah dikuasai Nafsu Lwammah, yang membuat manusia jadi  materialis, rakus, serakah, tamak, loba, bakhil, kikir, pelit, selalu khawatir, ketakutan, resah, gelisah, dan selalu licik penuh tipu daya.”
              Guru Sufi tidak memberikan penjelasan tentang bagaimana manusia jika sudah dikuasai Nafsu Lwammah seperti diminta Dullah, sebaliknya ia menuturkan cerita tentang Nabi Isa yang dikisahkan melakukan perjalanan  bersama-sama dengan seorang Yahudi rakus. Nabi Isa, dikisahkan membawa tiga potong roti dan dititipkan kepada Yahudi rakus itu dengan berpesan,”Jagalah roti ini!” Tidak lama kemudian, Yahudi rakus itu memakan sepotong roti. Waktu Nabi Isa meminta kembali tiga potong roti yang dititipkannya, Yahudi rakus itu hanya menyerahkan dua potong roti.
            Nabi Isa bertanya,”Di manakah roti yang sepotong?” Yahudi rakus itu menjawab ,”Yang kuterima hanya dua potong.” Lalu mereka berdua melanjutkan perjalanan. Selama perjalanan Yahudi rakus itu menyaksikan keajaiban-keajaiban yang dilakukan Nabi Isa. Meski begitu, saat Nabi Isa menyumpahnya agar mengakui sepotong roti yang dimakannya, Yahudi itu tetap menolak mengakui. Yahudi rakus itu berani sumpah demi Allah, hanya menerima dua potong roti.
            Di tengah perjalanan, Nabi Isa  menemukan tiga batang emas lantakan. Yahudi rakus itu berkata,”Bagilah batu bata itu!” Nabi Isa membagi sambil berkata,”Satu batang emas untukmu.  Satu batang emas untukku. Dan satu batang emas lagi untuk orang yang memakan roti sepotong.” Sambil berteriak Yahudi rakus itu tanpa malu mengaku,”Akulah yang memakan roti sepotong itu.”
            Nabi Isa berkata,”Pergilah engkau menjauh dariku. Engkau telah menyaksikan kekuasaan Allah dan bahkan berani sumpah atas nama-Nya, tetapi engkau tidak mengakuinya. Sekarang, demi secuil emas engkau mengakuinya.” Nabi Isa meninggalkan tiga batang emas lantakan itu di samping Yahudi rakus itu. Sungguh bersuka cita hati Yahudi rakus itu. Ia menimang-nimang emas batangan itu.
            Sewaktu Nabi Isa sudah jauh, Yahudi rakus itu didatangi tiga orang perampok yang tanpa ampun langsung membunuhnya dan merampas ketiga batang emasnya. Sambil beristirahat, dua orang perampok menyuruh salah seorang dari mereka untuk pergi membeli makanan. Sewaktu melihat temannya pergi membeli makanan, kedua perampok berunding untuk membunuh teman mereka jika kembali membawa makanan. Seorang perampok berkata,”Kalau dia kembali kita bunuh. Kita ambil bagiannya.”
            Perampok yang disuruh membeli makanan ke kota terdekat, ternyata selain membeli makanan juga membeli racun yang dicampurkan ke dalam makanan yang dibelinya. Dia berharap, jika kedua oranbg kawannya tewas keracunan, maka dia akan mengambil semua bagian emas yang ada. Demikianlah, sewaktu perampok itu datang membawa makanan, ia dikeroyok oleh dua orang kawannya sampai mati. Lalu kedua orang perampok itu memakan makanan yang sudah dicampuri racun. Mereka berdua pun tewas. Tiga batang emas lantakan berserak di sekitar empat mayat itu. Ketika Nabi Isa lewat tempat itu kembali, ia melihat mayat Yahudi rakus dan mayat ketiga orang perampok itu bergelimpangan di sekitar emas batangan. Nabi isa takjub melihat pemandangan itu. Jibril dikisahkan turun, menceritakan kisah manusia-manusia rakus itu kepada Nabi Isa.  
        Guru Sufi mengakhiri cerita dengan berkata,“Demikianlah, akal manusia-manusia rakus yang sudah dikuasai Nafsu Lwammah, akalnya menjadi licik. Tapi mereka itu akan binasa oleh kelicikan dan kerakusannya sendiri. Jadi tetap sabar dan berbahagialah kita yang belum tunduk dan dijajah oleh Nafsu Lwammah kita karena akal kita masih seimbang  mendengarkan  suara-suara ruhaniah tentang yang haqq dari kedalaman relung qalbu terdalam kita.  Pintu gerbang Al-Amru (perintah) dan pintu gerbang  An-Nahyu (larangan) dalam dada kita pun  masih berfungsi baik sebagaimana adanya.”
        “Terima kasih guru,” sahut Dullah,”Tapi mohon guru sudi memberikan petuah yang tepat untuk kawan saya, Si Alan Nurdi ini.”
        Guru Sufi tidak memberi petuah panjang. Ia hanya  menyitir al-Qur’an Surah 57:20 yang isinya:  “Ketahuilah, bahwa sejatinya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda-gurau,  perhiasan, saling  bermegah-megah di antara kalian, berbangga-banggaan tentang kekayaan harta benda  dan anak-anak,”  Guru Sufi  melanjutkan ucapannya dengan  mengutip dengan  al-Qur’an  Surah 3: 185 yang berbunyi:  ”Kehidupan  dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yg memperdaya!”  Lalu Guru Sufi melanjutkan lagi ucapannya,”Biarlah orang-orang rakus dibutakan mata hatinya oleh gemerlap kehidupan palsu dunia ini.”

Sumber: 

23 Apr 2014

Maksiat, Laknat , Taubat, dan Rahmat

(Penulis: KH Agus Sunyoto)

                Setelah dihajar bencana beruntun seperti angin puting beliung, banjir, hujan tak kunjung redah, hama tikus, gagal panen, warga disambar petir,  kompor meledak,  rumah terbakar, tawuran   antar desa yang merusak rumah-rumah dan  membuat warga luka serta  sebagian tewas, sejumlah tetua desa sebelah dipimpin Pak Modin Taibu  menghadap Guru Sufi.  Mereka bertanya, amaliah apakah yang dilakukan warga pesantren dan kampung sekitar sehingga tidak sedikit pun pernah disinggahi bencana. “Hampir seluruh desa di kecamatan kita pernah diterjang bencana kecuali pesantren dan kampung sekitar. Adakah amaliah yang bisa menolak bala bencana, wahai guru?” tanya Modin Taibu.
                Mendapat pertanyaan tak terduga, Guru Sufi malah heran. Sebab ia tidak pernah menyadari jika dalam deraan bencana yang ganti-berganti menghantam desa-desa sekitar, ternyata pesantren dan kampung sekitarnya luput dari mendapat giliran. Setelah sujud syukur dan mengutarakan rasa syukurnya kepada Allah, Guru Sufi tidak memberikan jawaban atas pertanyaan Modin Taibu, sebaliknya ia menuturkan sebuah kisah yang dialami Nabi Musa AS. Dikisahkan, bahwa di zaman Nabi Musa AS, Bani Israil dilanda kekeringan panjang. Tumbuh-tumbuhan kering dan hewan-hewan mati bergelimpangan.  Untuk mengatasi kekeringan yang mematikan itu, Nabi Musa AS dan tujuh puluh orang pemimpin puak-puak Bani Israil keturunan nabi keluar ke tengah padang dan berdoa memohon pertolongan Allah. Mereka menunjukkan kebenaran dan ketundukannya.  Dengan merasa diri hina dan penuh ketundukan, mereka mendekatkan diri sebagai hamba yang lemah tak berdaya. Selama tiga hari mereka menangis dengan harapan doa mereka dikabulkan, tetapi hujan tidak turun juga.
                Setelah melihat doanya belum terkabul, Nabi Musa AS berkata,”Ya Allah, Engkau telah berfirman “berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya”.  Sungguh, kami semua telah berdoa kepada-Mu dan hamba-hamba-Mu sangat membutuhkannya dan sudah pula menghinakan diri di hadapan-Mu.”  Lalu Allah bersabda  kepada Nabi Musa AS,”Wahai Musa, sesungguhnya di dalam kaummu  banyak  orang yang makanan mereka berasal dari sebab haram.  Juga banyak yang menjulurkan lidahnya untuk ghibah dan mengadu-domba. Mereka berhak mendapatkan amarah-Ku. Sedangkan engkau meminta rahmat untuk mereka. Bagaimana mungkin dapat bertemu antara rahmat dan azab?”
                 Nabi Musa AS bertanya,”Siapakah mereka itu wahai Tuhanku, sehingga kami bisa mengeluarkan mereka dari golongan kami?” Allah berfirman,”Wahai Musa, aku bukanlah Dzat yang membeberkan kesalahan dan bukan pula pengadu domba. Tetapi bertobatlah kalian dengan hati yang ikhlas. Mudah-mudahan mereka juga ikut bertobat bersama kalian, sehingga Aku berbuat dermawan kepada kalian semuanya.”
                Nabi Musa AS dan ketujuh puluh orang  pemimpin puak-puak Bani israil itu mengumpulkan semua Bani Israil. Setelah berkumpul, Nabi Musa AS memberitahukan kepada mereka tentang wahyu Allah itu.  Orang-orang Israil yang maksiat ikut mendengarnya.  Mereka ketakutan.  Airmata mereka mengalir. Lalu bersama-sama dengan Bani Israil lain mereka bertaubat dengan berkata,”Ya Tuhan kami, kami dating kepada-Mu dan lari menjauhi dosa-dosa kami, kami kembali mencari pintu ampunan-Mu. Kasihanilah kami, wahai Dzat Yang Maha Penyayang.” Mereka terus berdoa seperti itu sampai turun hujan, sebagai bukti taubat mereka diterima Allah.
                “Ya Allah,” teriak Guru Sufi mengangkat tangan,”Terimalah taubat kami, orang-orang yang bermaksiat dan berbuat dosa. Ampuni kami wahai Penguasa alam semesta. Ya Allah, terimalah taubat kami. Sesungguhnya rahmat-Mu lebih besar daripada murka-Mu. Ampunilah kami. Rahmati kami.”
                Pak Modin Taibu dan para sesepuh desa sebelah ikut mengangkat tangan, meng-amin-I doa Guru Sufi  dengan airmata bercucuran. Namun di tengah doa Guru Sufi yang panjang, para sesepuh itu tanpa sadar menggerutu sambil bergantian  menyebut nama-nama  warganya yang  gemar  berjudi, menjadi rentenir, menjual  ayam  tiren, memproduksi  jamu palsu, menggelapkan dana bantuan desa, berselingkuh, dan suka menggunjing antar tetangga. “Begini ini, yang tidak ikut maksiat ikut kena getahnya,” sahut pak Modin Taibu usai berdoa.
                    Sebelum pak modin dan para sesepuh desa sebelah pulang, Guru Sufi membacakan sebuah hadits yang diriwayatkan Aus bin Malik yang menuturkan saat Rasulullah Saw berjalan melewati tanah kaum Anshar yang terlantar. Rasulullah Saw bertanya,”Apa yang menghalangi kalian untuk bercocok tanam?” Salah seorang Anshar menjawab,”Tanahnya gersang dan tidak subur, ya Rasulullah!”
                Rasulullah Saw bertanya,”Apakah kalian tidak berpikir? Karena sesungguhnya Allah berfirman: Aku adalah Penanam. Bila Aku berkehendak, Aku menanam dengan air, angin atau dengan benih.” Lalu Rasulullah Saw membaca ayat,Apakah kalian semua tidak melihat apa yang telah kalian tanam” (Q.S.56:63). Kemudian Guru Sufi memberi penjelasan, bahwa hadits itu mengisyaratkan Allah adalah yang memberi dan sekaligus yang menahan dengan berbagai sebab. Makna Tauhid di balik hadits itu, kita harus meyakini bahwa semua pengaruh itu berasal dari Allah, dan sekali-kali bukan dari selain Dia, seperti pengaruh bintang, bulan, tanah dan semacamnya.  Tetapi yang pasti, Allah akan menuntut seseorang yang bermaksiat dengan memutus rejekinya dan merusak harta bendanya.
                Guru Sufi menyitir lagi sebuah hadits,”Tidak ada tahun, melainkan ada hujan. Tetapi bila suatu kaum melakukan maksiat, maka Allah akan mengalihkan hujan itu ke lainnya. Dan bila semua kaum bermaksiat, maka Allah akan menggerakkan hujan itu ke padang pasir dan lautan,” lalu Guru Sufi melanjutkan,”Tetapi Allah juga bisa berbuat sebaliknya, yaitu mencurahkan hujan yang terus-menerus dan merusak kepada mereka yang berbuat maksiat. Itulah laknat.  Bahkan Allah bisa menggiring semua hujan dari padang gurun, lembah, hutan, dan lautan untuk dicurahkan kepada sekumpulan ahli maksiat sampai mereka bertaubat dan mendapat rahmat-Nya atau mereka binasa.”

Sumber asli:

22 Apr 2014

Makna ASh-Shadru (dada) dalam Pandangan Tasawuf


Oleh: KH Agus Sunyoto


         Allah SWT bersabda,”(Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu (shadru) karenanya, agar engkau memberi peringatan dengan (Kitab) itu dan menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman (Q.S.Al-A’raf:2)”
         Sabda Allah SWT yang berkait dengan  ash-shadru (dada) sering hanya dimaknai sebagai organ fisik manusia yang terdiri dari tulang-tulang iga yang dibungkus daging dan kulit, yang berfungsi utama melindungi hati, jantung, paru-paru, empedu,  sehingga keberadaan ash-shadru menjadi lebih dimaknai sekedar pelindung hati fisik (mudzghah)  dari  gangguan fisik dari luar.
         Dalam term sufisme makna ash-shadru lebih menunjuk kepada aspek jasmani sekaligus ruhani, di mana aspek ruhani ash-shadru adalah  substansi halus, anasir bukan materi yang melindungi istana  al-Qalbu. Ash-shadru ibarat benteng kutaraja yang berperan utama  melindungi istana raja. Di bagian luar benteng terdapat  parit-parit dan  dinding-dinding  yang melindungi  ash-shadru(dada), di mana parit-parit dan dinding itu  memiliki tugas dan sistem khusus dalam menjaga dan mengawasi (al-muraqabah) agar ash-shadru tidak runtuh. Pagar dan parit yang mengelilingi ash-shadru  struktur formasinya “dari luar (dzahir) menuju bathin” adalah sebagai berikut:
1.As-Saddan Al-Ghafara, paritnya al-Khuduud al-Maghfirah, lantainya as-Syukur diperkuat Tahlil;
2.As-Saddan Adz-Dzikru, paritnya al-Khuduud adz-Dzikru, lantainya al-Ridha, diperkuat Tahmid;
3.As-Saddan Al-Ghufran, paritnya al-Khuduud al-Nashr, lantainya ash-Shabr, diperkuat Takbir;
4.As-Saddan Al-Nashrun, paritnya al-Khuduud al-Ghalib, lantainya al-Ikhlas, diperkuat  Tamjid;
5.As-Saddan Al-Jihad, paritnya al-Khuduud al-Hidayah, lantainya an-Niyyah, diperkuat Istilam;
6.As-Saddan At-Tawakkal, paritnya al-Khuduud at-Tahmid, lantainya asy-Syath, diperkuat Tasbih;
7.As-Saddan At-Taslim, paritnya al-Khuduud al-Salam, lantainya asy-Syahadah, diperkuat Istighfar dan Shalawat.
       Benteng ash-shadru  memiliki dua pintu gerbang dzahir, yaitu pintu gerbang Al-Amru (perintah) dan pintu gerbang  An-Nahyu (larangan). Kedua pintu gerbang itu dijaga oleh dua pengawal, yaitu Al-Masyiiah (kehendak)  dan Al-Qudrah (kemampuan). Kedua pintu gerbang itu memiliki daun pintu penutup, yaitu Al-Jabarut dan Al-Malakut.
       Di dalam benteng ash-shadru (dada) terdapat singgasana raja  Nuur  Al-‘Aql yang menghalangi manusia untuk memasuki Al-Qalbu dan menelusuri  tahap-tahap ruhani hingga ke singgasana Maharaja Diraja  “Ana”.   Nuur Al-‘Aql memiliki dua wajah yang saling bertolak belakang satu sama lain. Wajah yang satu menghadap Maharaja Ghaib menerima (iqbal) dari  Maharaja. Wajah yang satu lagi menghadap dunia dzahir berpaling (idbar) dari Maharaja.  Nuur Al-‘Aql dikawal oleh hulubalang al-Khawathir, kilasan pikiran-pikiran yang terpuji maupun yang tercela yang masuk dengan sifat Ilahiah, ruhaniah, ananiyyah, syaithaniyyah. Nuur  Al-‘Aql bersifat seperti kristal  transparan yang bisa memantulkan bayangan, di mana  pemunculannya tergantung pada apa yang menguasainya. Jika dikuasai an-nafs al-lwammah yang hitam, maka al-‘aql akan hitam. Jika dikuasai an-nafs sufliyyah yang kuning, maka al-‘aql akan kuning. Jika dikuasai an-nafs ammarah yang merah, maka al-‘aql akan merah. Jika dikuasai an-nafs al-muthmainnah yang putih, maka al-‘aql akan putih.  Oleh karena perwujudannya transparan seperti kristal, maka al-‘aql hanya mungkin memanifestasikan dirinya  dengan cara “mengikat” (‘iqal) segala sesuatu agar menjadi  jism (raga), mitsal (citra), khayal (imajinasi), dan ilusi yang bersifat prasangka (wahm).  Dalam perjalanan dari yang dzahir menuju yang bathin, memasuki tahap-tahap ruangan hingga ke mahligai ghaib tempat Maharaja bertahta, Nuur ‘Al-‘Aql hanya bisa mencapai tahap Akfa, di mana terdapat Pohon Teratai di Batas Terjauh (sidrah al-muntaha), yang menjadi batas Nuur Al-‘Aql harus ditanggalkan sebagai “ikatan” (‘iqal).
          Di dalam benteng ash-shadru berkuasa empat raja bawahan yang wajahnya menghadap dunia dzahir  berpaling (idbar) dari Maharaja. Mereka ini memiliki potensi-potensi menyerap obyek-obyek duniawi  ke dalam yang berupa melihat, mendengar, mencium, merasakan, meraba (pancaindera) dan sekaligus potensi-potensi mengungkapkan respons balik naluriah mereka  keluar terhadap obyek-obyek tersebut seperti berbicara, memegang, melangkah, membuang segala sesuatu yang tidak dibutuhkan tubuh, dan naluri berketurunan.
          Demikianlah, segala potensi nafsu-nafsu  dan al-‘aql sangat menentukan situasi dan kondisi ash-shadru. Jika ash-shadru terasa sesak dan sempit, maka itu sebagai pertanda ash-shadru dikuasai nafsu-nafsu berupa  iri hati, syahwat, keinginan, dendam, cemburu, kesenangan, kemabukan, dan dikendalikan  oleh  kuasa al’aql  berupa khayalan, prasangka, khawathir, putus asa. Namun jika ash-shadru mangalami insyirah (kelapangan), maka kuasa dari anasir ruhani yang memancar dari qalbu telah  meliputi  ash-shadru sehingga semua beban lepas dan kesulitan berganti kemudahan (Q.S.As-Syarh:1-6),  semua dendam hilang dan hidup menjadi surgawi (Q.S.Al-A’raf:43).

Sumber:
https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/makna-ash-shadru-dada-dalam-pandangan-tasawuf/120567138017672

Makna Qalbu (hati) Dalam Pandangan Tasawuf


Oleh: KH Agus Sunyoto

Makna Qalbu (hati) Dalam Pandangan Tasawuf
            Rasul Saw bersabda,’Ketahuilah, di dalam jasad ada segumpal daging (mudzghah) yang jika baik daging itu maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika jelek daging itu maka jeleklah seluruh jasadnya. Ketahuilah daging itu adalah hati (qalb).’’ (HR. Bukhari & Muslim dari Nu’man bin Basyir).
            Ungkapan Rasul Saw tentang segumpal daging fisik (mudzghah) di dalam dada manusia  yang dihubungkan dengan hati (qalb), sering diassumsikan secara kurang tepat dalam memaknai hati (qalb) yang diidentikkan sebagai organ fisik yang disebut hati  (mudzghah) tersebut. Sehingga kerusakan pada fisik hati (mudzghah) itu, ditafsirkan akan  berakibat kerusakan pada perilaku pemilik hati yang rusak tersebut.
            Dalam term sufisme makna al-qalbu (hati) lebih menunjuk kepada aspek ruhani, substansi halus, anasir bukan materi yang berfungsi mengenal segala sesuatu dan mampu merefleksikan sesuatu seperti cermin yang memantulkan sebuah gambar. Kemampuan qalb dalam merefleksikan suatu hakikat tergantung pada sifat qalb, sesuai pengaruh inderawi, syahwat, kemaksiatan, dan cinta. Sepanjang hati itu bersih dari kendala-kendala yang dapat menutupinya, maka hati dapat menangkap hakikat yang ada. Bahkan di qalb ma’rifat terjadi.
            Menurut At-Tirmidzi, qalb (hati) adalah pusat dari semua perasaan, pengenalan dan emosi di dalam diri manusia. Semua perasaan, pengenalan dan emosi manusia akan kembali ke qalb (hati) dan dari qalb (hati) dikirim kembali ke seluruh tubuh. Qalb (hati) bersifat otomatik, dapat menyerap segala bentuk emosi yang ada, dan apabila terbetik di dalamnya suatu aliran perasaan, secara langsung akan dipancarkan ke seluruh tubuh. Dengan pandangan At-Tirmidzi ini, hati dapat diibaratkan seperti istana. Jika yang memerintah istana adalah raja yang baik (ruh), maka akan baiklah semua perilaku si pemilik hati. Sebaliknya, jika yang berkuasa di istana adalah raja jahat (nafsu), maka akan rusaklah semua perilaku si pemilik hati.
            Imam Al-Ghazali mengungkapkan makna qalb dengan gambaran metaforik sebagai sumur yang digali di tanah. Sumur itu bisa diisi lewat saluran pipa dari sungai atau saluran irigasi. Tidak jarang dalam mengisi sumur dilakukan penggalian lebih dalam sampai didapati sumber air di dalam tanah. Jika digali lebih dalam, akan memancar air yang lebih jernih, lebih deras dan tidak ada habisnya. Tidak ubahnya sumur, ungkap Al-Ghazali, air di dalamnya itulah ilmu pengetahuan. Pancaindera ibarat saluran pipa atau  saluran irigasi, mengisi qalb dengan ilmu pengetahuan seibarat saluran pipa atau saluran irigasi mengisi sumur dengan air dari sungai di muka bumi. Qalb diisi ilmu pengetahuan lewat pancaindera melalui proses membaca, mendengar, merasakan, mengamati, meneliti. Sementara ada cara lain mengisi air ke dalam sumur, dengan menutup saluran pipa atau saluran irigasi. Lalu menggali qalb lebih dalam lewat uzlah, khalwat, mujahadah, muraqabah, musyahadah sampai terangkat tutup yang menyelubungi, sehingga memancar dari dalam qalb ilmu pengetahuan yang lebih bersih dan abadi, sebagaimana firman Allah: “Sejatinya, (al-Qur’an)  itu merupakan tanda-tanda yang jelas di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu (Q.S.Al-Ankabut:49).
            “Inna fii jazadi al-mudzghah. Wa fii mudzghah qalb, wa fii qalb fuad, wa fii fuad ruh, wa fii ruh sirr, wa fii sirr akfa, wa fii akfa ana!” sabda Nabi Saw ini menunjukkan bahwa di dalam mudzghah terdapat tujuh lapisan anasir halus bukan materi  bersifat ruhaniah yang makin lama makin halus hingga ke pusat  anasir hati yaitu ana (aku). Seibarat istana dengan tujuh ruangan dari  yang zhahir sampai yang bathin yang dilingkari tujuh dinding, setiap ruangan memiliki pintu dan kunci yang berujung ke pusat ruangan paling batiniah di mana sang raja berada.  Adapun yang dimaksud tujuh ruangan di istana itu, dari luar ke dalam atau dari zhahir ke bathin, adalah:
  1. Al-Mudzghah, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab  Al-Jamal (keindahan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Hidayah. Kuncinya adalah Al-Miftah Al-Iqrar (pengakuan);
  2. Al-Qalbu, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Jalal (kemuliaan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Ra’fah (kesantunan). Kuncinya Al-Miftah At-Tauhid (peng-Esa-an);
  3. Al-Fuad, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab As-Sulthan (kekuatan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Jud (kemurahan). Kuncinya Al-Miftah Al-Iman;
  4. Ar-Ruuh, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Ghaiban (kegaiban). Pintunya adalah Al-Bab Al-Majdu (kemuliaan). Kuncinya Al-Miftah Al-Islam;
  5. Sirr, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Qudrah. Pintunya adalah Al-Bab Al-Atha’ (anugerah). Kuncinya Al-Miftah Al-Ikhsan;
  6. Akfa, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Adhamah (keagungan). Pintunya adalah Al-Bab Al-Rahbah (ketakutan). Kuncinya As-Shidqu (shiddiq);
  7. Ana, dinding atau penutupnya adalah Al-Hijab Al-Haya’ (malu). Pintunya adalah Al-Bab Al-Athaf (kelembutan). Kuncinya Al-Ma’rifat.

            Untuk bisa masuk ke dalam tujuh ruangan – khususnya ruang ketujuh yang paling ghaib – disyaratkan perjuangan (jihad) ruhani yang tidak ringan. Berbagai laku ruhani seperti uzlah, mujahadah, muraqabah, musyahadah harus dilakukan sampai dapat melewati ketujuh pintu itu beserta kuncinya. Berbagai ujian, akan dialami oleh siapa saja yang ingin memasuki tujuh ruangan suci itu agar bisa ketemu Sang Maharaja Diraja Yang telah bersabda,”Waladziina jahadu fiina, lanahdiyanahum subulana!”