10 Mar 2014

Setuju Penerapan Syariat Asal Jelas Syariat Yang Mana

Setuju Penerapan Syariat Asal  Jelas Syariat Yang Mana?

 Satu malam, usai pengajian membahas Qalbu Salim di tengah kepanikan bom buku, sekumpulan orang muda dipimpin Ustadz Hajibul Haqq menemui Guru Sufi yang masih ditemani Sufi tua, Sufi Kenthir, Dullah, dan Sufi Gelandangan. Tanpa diminta, Ustadz Hajibul Haqq menceramahi Guru Sufi dengan pandangannya yang “mahabenar” bahwa semua kecemasan, kegelisahan, ketakutan, kebingungan yang dirasakan masyarakat Indonesia ini karena negeri ini masih belum benar-benar menerima Islam sebagai satu-satunya aturan Kebenaran. “Bayangkan tuan guru, mayoritas warganegara Indonesia adalah muslim, tetapi aturan-turan yang diterapkan dalam bernegara adalah aturan-aturan kafir. Jadi negeri ini belum bisa disebut Darul Islam, tetapi masih Darul Harb. Pantaslah orang-2 yang tinggal di wilayah Darul Harb selalu dicekam kecemasan, kegelisahan, ketakutan, kepanikan, karena siapa pun yang tinggal di daerah perang yang seperti itu keadaannya,” ujar Ustadz Hajibul Haqq.
Guru Sufi mengangguk-anguk tak berkomentar. Sufi tua tiba-tiba menyela,”Bagaimana caranya supaya kecemasan, kegelisahan, kebingungan, ketakutan, dan  kengerian yang dirasakan masyarakat itu bisa hilang?”
“Resepnya cuma satu: terapkan syariat Islam dalam kehidupan bernegara. Pasti semua masalah yang membelit bangsa ini akan terurai dengan sendirinya, karena seluruh undang-undang dan peraturan diatur oleh hukum Allah. Kekacauan yang dialami bangsa ini, karena mereka ingkar. Mereka muslim tetapi menolak menerapkan hukum Allah. Mereka lebih suka memakai hukum Dajjal,” kata Ustadz Hajibul Haqq dengan suara ditekan tinggi.
“Tapi negara Indonesia sejak didirikan dimaksudkan bukan negara agama tapi sebagai negara kebangsaan (nation-state). Jadi kalau Syariat Islam diterapkan, itu menyalahi prinsip yang dikehendaki para Founding Fathers,” sahut Dullah melontar pendapat.
“Siapa bilang tidak dikehendaki Founding Father?” tukas Ustad Hajibul Haqq,”Di dalam Piagam Jakarta, tegas-tegas ditetapkan bahwa umat Islam wajib menjalankan syariat. Bukankah Piagam Jakarta itu disusun oleh Bung Karno? Hanya atas ulah segelintir orang saja, Piagam Jakarta akhirnya diubah dengan alasan demi persatuan dan kesatuan. Bahkan saat Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menetapkan Piagam Jakarta berlaku sebagai keniscayaan landasan idiil negara. Bukankah itu sudah jelas bahwa Founding Fathers menyetujui syariat Islam?”
Sufi gelandangan yang rajin mendengar tiba-tiba ikut bicara,”Keputusan Bung Karno tentang Piagam Jakarta dan Dekrti Presiden adalah keputusan politik. Karena secara prinsip, beliau tetap berpegang teguh pada Pancasila sebagai landasan idiil negara.  Jadi telah terbukti dalam sejarah, di balik Dekrit Presiden yang memberi kan janji politik kepada umat Islam berupa pemberlakuan Piagam Jakarta yang tidak pernah terwujud dalam realita, justru Bung Karno membubarkan Partai Masyumi yang selalu mengusung gagasan penerapan syariat dalam bernegara.”
 Ketika perdebatan akan berlanjut karena Ustadz Hajibul  Haqq sudah membusungkan dada dengan wajah merah, tiba-tiba Guru Sufi menengahi dengan berkata merendah,”Sudah tidak usah berdebat. Yang pasti, secara prinsip saya sangat sepakat Syariat Islam diterapkan dalam kehidupan bernagara di Indonesia, asalkan….”
 “Nah lihat, Pak Kyai, guru kalian sudah sepakat dengan penerapan syariat dalam bernegara, sekarang apalagi masalahnya?” seru Ustadz Hajibul Haqq dengan wajah berseri-seri.
 “Maaf ustadz, saya belum selesai bicara,” kata Guru Sufi mengingatkan agar pembicaraannya tidak dipotong,”Maksud saya, secara prinsip saya sangat sepakat Syariat Islam diterapkan dalam kehidupan bernegara di Indonesia, asalkan Syariat Islam itu yang sesuai  dengan yang dianut mayoritas warganegara Indonesia.  Maksud saya, Syariat Islam yang mana yang akan kita terapkan dalam kehidupan bernegara di Indonesia ini? Syariat Islam menurut golongan Syi’ah, Wahabi, Sunni Maturidiyyah, Ahlussunnah wal-Jama’ah? Itu harus jelas dulu. Syariat menurut firqah, aliran, mazhab mana yang dipilih dan ditetapkan sebagai dasar negara. Itu harus jelas dulu definisinya, sebab jika tidak, bisa menyulut perang di antara umat Islam sendiri. Coba saja, terapkan Syariat Wahabi di Indonesia, pasti warga muslim Ahlussunnah wal-Jama’ah  yang  mayoritas dengan warga beragama lain  akan mengangkat senjata untuk memerangi minoritas yang berani menerapkan syariat dari firqahnya sebagai landasan idiil negara tanpa persetujuan mayoritas.”
 “Wah, Islam  jangan dikotak-kotak begitu, pak kyai,” kata ustadz Hajibul Haqq tak suka.
 “Maaf ustadz, jika kita memandang Islam  dalam ranah ideal konseptual, kita bisa berimajinasi  Islam itu satu. Tapi saat kita memandang  ke ranah realitas, Islam jelas terbagi-bagi dalam firqah, faham, mazhab, sekte, jama’ah yang saling berbeda satu sama lain,” kata Guru Sufi.
 “Maksud saya baik, pak kyai.”
“Saya tahu, maksud ustadz baik,” kata Guru Sufi dengan nada suara  merendah,”Tapi gagasan ustadz itu hanya ada dalam dunia konseptual, tidak dalam dunia riil. Jadi kalau ustadz memaksakan kehendak untuk mewujudkan dunia konseptual itu ke dalam realitas, justru akan terjadi kekacauan. Saya sendiri yakin pada petuah bijak orang-orang tua  dalam pepatah: “Siapa yang ingin menciptakan surga di dunia, sesungguhnya dia akan menciptakan neraka!”

Dikopas dari Facebook Agus Sunyoto II

sumber asli: https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/setuju-penerapan-syariat-asal-jelas-syariat-yang-mana/119323831475336

27 Feb 2014

Forum Muslim Tanpa Nama Islam


Forum Muslim Tanpa Nama Islam 

(Ditulis oleh Agus Sunyoto II pada 18 Maret 2011 pukul 21:35)
           Suatu sore, tiga orang aktivis muda, Bambang,  Totok dan Khoirul  menghadap Guru Sufi . Mereka meminta restu sekaligus barokah doa untuk membentuk forum persaudaraan muslim yang dinamai  FORUM  SOLIDARITAS  ISLAM, yang bertujuan  menggalang  solidaritas kaum muslimin dalam menghadapi  gelombang  globalisasi yang akan menghilangkan identitas etnis, budaya, bahasa, agama, bahkan teritorial negara. Namun jauh dari harapan mereka bertiga, Guru Sufi  justru tidak sepakat dengan penyertaan nama ISLAM dari forum itu. Guru Sufi menyarankan, agar mereka mencari nama lain yang representatif mewakili Keislaman.
            Curiga ada agenda tersembunyi di balik penolakan Guru Sufi  terhadap nama Islam, Totok menyoal  latar ditolaknya sebutan Islam dalam menamai forum. “Apakah penolakan Mbah Kyai tidak berkaitan dengan Islamophobia?” tanya Totok minta penegasan, yang disusul pertanyaan Bambang dan Khoirul,”Kami hanya mohon penjelasan, Mbah Kyai, untuk memberi alasan kepada teman-teman jika mereka nanti bertanya tentang digantikannya nama Islam pada forum ini.”
            Dengan sabar Guru Sufi balik bertanya,”Apakah kalian bertiga sudah membaca buku yang ditulis Samuel P. Huntington yang berjudul The Clash of Civilizations And  The Remaking of World Order?”
            “Belum Mbah Kyai,” sahut Bambang dan Totok, tetapi Khoirul mengaku sudah membacanya.
            “Apakah kalian bertiga sudah mengetahui sosio-psiko linguistik masyarakat Indonesia, baik dari membaca teori maupun dengan meneliti langsung realita  di lapangan?” tanya Guru Sufi lagi.
            “Kami belum mengetahuinya. Mbah Kyai,” sahut Bambang dan Totok heran,”Dan apa hubungan semua itu dengan nama Islam bagi forum yang akan kami bentuk?”
            “Jika  Mas Khoirul sudah membaca tulisan Huntington, pasti  akan bisa menyimpulkan adanya skenario global untuk menciptakan panggung konflik di era global pasca runtuhnya komunisme dunia.  Maksudnya, di era global sekarang ini konflik yang terjadi bukan lagi antara golongan proletar yang diwakili komunis dan golongan borjuis yang diwakili kapitalis, melainkan konflik antara Islam dengan Kristen di satu pihak dan dengan Konghucu di lain pihak. Nah, dengan menangkap makna di balik skenario global yang dilancarkan sejak dasawarsa 1990-an, Islam sudah diposisikan sebagai common enemy bagi seluruh bangsa di dunia,” papar Guru Sufi.
            “Jadi, kalau kita memakai nama Islam untuk aktivitas ke luar, sama artinya dengan memberi dukungan bagi skenario Huntington itu Mbah Kyai?” tanya Khoirul ingin penjelasan.
            “Ya sudah pasti seperti itu.”
            “Lalu alasan sosio-psiko linguistik untuk tidak menggunakan nama ISLAM itu dasarnya apa?” tanya Bambang, Totok dan Khoirul berbarengan.
            “Bangsa kita adalah bangsa maritim yang punya sejarah panjang dalam proses menciptakan kosa kata beserta  asumsi makna yang menyertainya. Dan sejauh yang aku ketahui, kosa kata yang berakhiran AM, cenderung dimaknai secara negatif sebagai sesuatu yang menakutkan,” kata Guru Sufi menjelaskan.
            “Contohnya apa Mbah Kyai?” tanya Khoirul penasaran.
            “Coba kalian deretkan kosa-kosa kata : SelAM, dalAm, karAM, tenggelAM, rendAM,   hitAM, malAM, kelAM, surAM, murAM, kusAM, burAM, serAM, kejAM, curAM, tajAM,  silAM, dendAM, gendAM, jerAM, pendAM, kecAM, lebAM, jerAM, tikAM, ancAM, hantAM, gerAM, makAM, jahanAM, dan banyak lagi,” kata Guru Sufi memberi contoh,”Termasuk dengan kata-kata Islam yang sudah terlanjur membentuk asumsi konotatif yang menakutkan bagi masyarakat bangsa kita seperti:  Darul Islam/ Tentara Islam (DI/TII), Negara Islam (NII), Brigade Pembela Islam, Forum Masyarakat Islam, dan lain-lain.”
            “Tapi Mbah Kyai,” kata Totok menyela,”Niat kami baik.”
            “Aku tahu maksud kalian baik,” kata Guru Sufi,”Ingin menunjukkan identitas Islam di tengah arus globalisasi. Tetapi aku melihat potensi, forum solidaritas yang akan kalian bentuk itu potensial menimbulkan kekerasan dalam mengatasi masalah. Itu sebabnya, aku kurang sepakat. Tapi kalau forum itu untuk kegiatan sosial seperti pendidikan, panti asuhan, panti wredha yang tidak memungkinkan bagi terjadinya kekerasan, tidak masalah kalian menggunakan nama Islam. Soalnya, sekarang ini orang bicara tentang HAM saja sudah potensial untuk menghadapi kekerasan sampai dikirimi bom. Soalnya, HAM itu kosa kata yang berakhiran AM.”

Sumber Asli https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/forum-muslim-tanpa-nama-islam/118876994853353

26 Feb 2014

Pulang Kampung ke Negeri Asing

17 Maret 2011 pukul 0:50

(Dikops dari catatan Faebook Agus Sunyoto II)
  Mbah Karno, paman Guru Sufi yang pulang kampung setelah tinggal di Belanda selama 35 tahun, ingin melepas kerinduan terhadap kampung kelahirannya yang terletak di pinggiran kota. Dengan bayangan kampungnya masih sama dengan saat ia bekerja di negeri kincir angin itu, ia ingin berkeliling dari rumah keluarga satu ke rumah keluarga lain, termasuk berkeliling dari warung satu ke warung yang lain untuk menikmati makanan, jajanan, minuman khas yang sangat dirindukannya selama bertahun- tahun.
     Dengan diantar Sufi tua, Mbah Karno pertama-tama akan ke rumah Karlin, keponakannya. Sepanjang perjalanan, Mbah Karno terheran-heran melihat kampung kelahirannya sudah berubah jadi bagian dari kota. Toko-toko, ruko-ruko, restoran, bank, dealer mobil dan motor, counter HP, biro perjalanan, bar, panti pijat, biro iklan, mini market, mall, dan hotel berderet-deret sepanjang kanan dan kiri jalan. Pasar krempyeng, tempat orang kampung dulu belanja sudah tergusur jauh.”Semua sudah berubah. Aku tidak mengenal lagi kampung kelahiranku,” kata Mbah Karno bernada kecewa.
        Di rumah Karlin, Mbah Karno disambut oleh keluarga besar adiknya, Mbah Karso, yang diwakili Karlin. Ketika Karlin memperkenalkan anak-anaknya, anak-anak saudaranya, anak-anak saudara sepupunya yang merupakan cucu keponakan Mbah Karno, justru membuat Mbah Karno tertegun-tegun heran. Sebab semua nama yang disebut Karlin bukanlah nama-nama kampung yang pernah dikenalnya dulu seperti Bambang, Karyono, Joko, Kandar, Suparman, Rahayu, Endang, Poniti, Painem, Wagisah, Leginem. Sebaliknya, nama cucu- cucu keponakannya seperti Farel, Marvel, Johny, Charlie, Adelia, Christina, Ceilla, Cornelia telah membuatnya terheran-heran, apalagi setelah ia diberitahu bahwa nama tetangga-tetangga juga sama, yaitu nama Barat yang keren. ”Sungguh, aku tidak lagi melihat keluarga dan tetangga kampungku. Nama-nama mereka sangat asing, sama dengan nama tetangga dan kawan-kawanku di Belanda,” gumam Mbah Karno sedih.
        Kesedihan Mbah Karno makin bertambah manakala para keponakan dan cucu-cucu keponakannya memanggilnya dengan sebutan ’oom dan opa’. Cucu-cucu keponakannya, memanggil bapak dan ibu mereka dengan sebutan Papa & mama. Adik perempuan bapak atau ibu mereka dipanggil tante. Waktu Karlin ditanya tentang perubahan sebutan itu, ia menyatakan bahwa sebutan-sebutan kampung seperti embah, bapak, emak, uwak, paman,bibi sudah ditinggalkan karena terkesan kampungan dan rendah. Karlin juga menjelaskan  kebiasaan anak  bersalaman dan mencium tangan orang tua pun sudah ditinggal karena dinilai kuno, untuk diganti tradisi global berupa ”cium pipi kanan dan pipi kiri”.
       Sepanjang perjalanan keliling bersama Sufi tua, Mbah Karno mendapati bertapa pemahaman warga kampungnya terhadap budaya peninggalan leluhur seperti wayang purwa, wayang orang, wayang klithik, ketoprak, ludruk, kentrung, jatilan, tari topeng, jaran kepang, reog, bantengan sudah jarang dikenal oleh generasi muda bangsa karena dianggap anasir kuno, rendah, tidak sesuai zaman, dan sulit difahami. Sebaliknya, kecenderungan yang terjadi adalah maraknya produk budaya global yang dianggap sesuai dengan zaman dan mencitrakan kemodernan seperti band, orkes, breakdance, dancing, karaoke, capoera, teater. Gedung-gedung pertunjukan seni tradisional satu demi satu tutup, digantikan resto, cafe, bar, night club yang menyuguhkan penyanyi-penyanyi dengan iringan grup band atau electone atau home theatre. Dongeng anak-anak tradisional khas kampung seperti ”Timun Emas, Joko Kendil, Sawunggaling, Sang Kancil, Sangkuriang, Roro Jonggrang” nyaris tak dikenal lagi oleh anak-anak muda karena sudah digantikan oleh dongeng global seperti ”Avatar, Naruto, Marsupilamy, Sinchan, Popeye, Mickey Mouse, Tom and Jerry.”
     Yang mengejutkan, selera makan dan minum penduduk muda ternyata sudah mengalami perubahan dari selera tradisional ke selera global, terutama karena terkait dengan asumsi superioritas global dan inferioritas lokal. Menu olahan masakan tradisional seperti ”pecel, tumpang, sayur asam, rawon, gudeg, mangut, soto, tiwul, gethuk, cenil, geplak, nagasari, onde-onde, wajit, jadah, lemper, ronde, bandrek, kopi tubruk, angsle, kolak, dawet, tuak, badek, legen”, dianggap menu makanan dan minuman lokal yang mewakili selera kalangan grass-root yang diasumsikan rendah dan kampungan, sehingga harus diganti menu masakan, jajan dan minuman global yang bercitra modern dan elitis seperti ”Hamburger, Hot Dog, Pizza, Spaghetti, Fried Chicken, Donat, Beefsteak, Kebab, Soup, Brownies, Spikoe, Rolade, Coke, Root Beer, Cappuccino, Moccaccino, Beer, Wishkey, Vodka, Wine, Gin.”
          Dalam memberi istilah dan memaknai tempat-tempat berjualan tradisional seperti ”kedai, warung, lepau, lapak, rombong, gerobak keliling, toko peracangan, pasar krempyeng” ternyata telah direduksi sedemikian rupa sebagai sesuatu yang rendah, grass-root, kampung, tidak bergengsi. Sebaliknya, terjadi pemberian istilah dan makna yang lebih tinggi, elitis, higienis, dan modern terhadap tempat-tempat berjualan baru yang bercitrakan budaya global seperti ”Cafe, Resto, Bar, Minimarket, Mall, Plaza, Night Club, Boutique, Counter, Outlet”. Bahkan maraknya model rambut, pakaian, sepatu, tas, topi, ikat pinggang, kacamata, softlens, motor, mobil, HP, Laptop, tatoo, anting, pergaulan ala dugem, adalah bukti dari fakta tentang kuatnya hegemoni budaya global yang makin lama makin menjauhkan anak-anak bangsa dari jati diri budayanya.
             Setelah lelah berkeliling dengan gumpalan kekecewaan yang menggunung, Mbah Karno datang ke pesantren sufi, mencurahkan semua kekecewaan dan kesedihan yang dirasakannya selama pulang kampung. Dengan suara pedih ia berkata,”Niatku pulang kampung memang untuk bersilaturahmi dan bernostalgia, mengenang kampung kelahiran yang selalu terbayang dalam ingatanku. Tapi siapa mengira, kampungku dan penduduknya telah berubah menjadi asing dan tak lagi kukenal. Menyedihkan.”
           ”Paman,” kata Guru Sufi merendah,”Perubahan itu tidak hanya di kampung kita, tapi di hampir seluruh negeri tercinta ini. Saya sendiri sudah hampir tidak mengenali siapa sebenarnya bangsa ini, karena mereka sudah berubah menjadi orang asing.”
           ”Ya Allah, aku sudah kesasar ke negeri asing kelahiranku,” keluh Mbah Karno.

Di kopas dari. https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/pulang-kampung-ke-negeri-asing/118499318224454  

Jagalah Kebersihan Pikiran

Jagalah Kebersihan Pikiran


            Dua hari tinggal di pesantren sufi sebagai tamu, Adi Bauha seorang muslim modern yang sedang  menyusun disertasi tentang praktek-praktek tasawuf di era global, mendapati amaliah-amaliah aneh yang dilakukan Guru Sufi. Pada malam dingin yang hujan, misal, ia diam-diam mengikuti Guru Sufi pergi ke perempatan dekat pasar untuk membeli nasi goreng. Ternyata, nasi goreng itu diberikan kepada seorang perempuan tidak waras yang tidur di pinggir jalan tak perduli hujan atau terang. “Bukankah, sebagai guru, dia bisa menyuruh murid atau anaknya untuk membeli nasi goreng dan memberikannya kepada orang tidak waras itu,” kata Adi Bauha dalam hati.
            Ternyata, Adi Bauha mendapati keanehan Guru Sufi yang lain, yaitu mengajak seorang gelandangan  kurang waras yang berpakaian compang-camping untuk makan siang bersama. Adi Bauha yang sedianya ikut makan, mengurungkan niatnya karena nafsu makannya mendadak hilang saat duduk bersama gelandangan bau tengik itu.  Yang juga memusingkan, para pengemis, pengamen, peminta sumbangan baik tua maupun muda selalu dikasi. Guru Sufi tidak pernah menolak “benalu” masyarakat itu. Bahkan pernah sekali Adi Bauha memergoki, saat Guru Sufi tidak punya uang untuk dikasikan pengemis, ia memberikan satu kilo beras yang akan dimasak untuk makan siang. “Bersedekah memang baik. Tapi kalau anak-anak muda pemalas sudah menadahkan tangan meminta-minta dan terus diberi, itu tidak mendidik,” kata Adi Bauha dalam hati.
            Ketika satu pagi mendapati Guru Sufi memberi sumbangan seorang laki-laki berpenampilan kusut dengan  pakaian kumal yang mengaku panitia pembangunan masjid, Adi Bauha tidak dapat menahan diri untuk tidak bertanya. Dengan nada memprotes, ia bertanya tentang “kepolosan” Guru Sufi yang selalu percaya dengan peminta sumbangan yang sering palsu. “Apakah itu tidak sama maknanya dengan memberi dukungan kepada para pemalas yang akan menggantungkan hidup dari sedekah orang?” tanya Adi Bauha.
            Dengan senyum Guru Sufi tidak memberi jawaban, melainkan bercerita tentang
Abul Qosim Al-Junaid  Al Baghdadi,  tokoh sufi yang besar pengaruhnya, yang wafat di Baghdad tahun 298 H- (910 M). Dengan tenang Guru Sufi mulai cerita,”Al-Junaid memiliki majelis pengajian yang diikuti oleh siapa saja. Satu saat, ada seorang laki-laki yang mengemis di antara anggota majelis pengajian. Al-Junaid berpikir,"Laki-2 itu masih sangat sehat. Dia masih mampu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Tapi mengapa dia mengemis dan menghinakan diri sendiri?"
               “Malam itu, al-Junaid tiba-2 bermimpi diberi suatu suguhan hidangan yang tertutup. Lalu ia ditawari untuk memakan hidangan itu. Saat al-Junaid membuka penutup hidangan,  ia mendapati  lelaki pengemis tadi  terbaring mati di atas wadah itu. Seketika al-Junaid berteriak: Aku tidak makan daging manusia. Terdengar suara: Jika demikian, kenapa engkau berbuat seperti itu di masjid?".
              "Al-Junaid terbangun. Ia sadar bahwa dirinya telah melakukan kesalahan karena telah berpikiran tidak baik terhadap seseorang, dan ia telah ditegur karena pikiran buruknva itu. Al-Junaid menceritakan: Saat aku terjaga, aku ketakutan. Aku pun berwudhu dan shalat dua rakaat. Lalu aku pergi mencari pengemis itu. Dan aku mendapatinya di tepi Sungai Tigris sedang memunguti sisa-2 sayuran yang dicuci orang. Laki-2 itu pun memakan sisa-2 sayuran itu. Saat aku mendekat, laki-2 itu mengangkat kepalanya. Saat  melihatku, ia mendekat dan menyapaku: Junaid, apakah engkau telah bertobat atas pikiran-pikiranmu mengenaiku? Yang segera kujawab,”Ya, aku telah bertobat saudaraku.”
                 “Kalau begitu, pergilah,” kata laki-2 itu, Allah jua Yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya. Tapi kini, jagalah pikiran-pikiranmu! Jadi, saudara, seperti al-Junaid, aku selalu berusaha untuk menjaga pikiranku dari macam-macam kotoran kecurigaan terhadap siapa pun di antara manusia, baik gelandangan, pengemis, pengamen, peminta sumbangan, bahkan orang gila yang meminta atau tidak meminta-minta. Aku tidak mau mengotori pikiranku dengan bercuriga kepada siapa pun yang meminta kepadaku."

Di kutib dari Facebook Agus Sunyoto II


15 Maret 2011 pukul 20:57

https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/jagalah-kebersihan-pikiran/118240778250308

Jangan Mendikte dan Membayangkan Diri Seolah Tuhan

Jangan Mendikte dan Membayangkan Diri Seolah Tuhan

15 Maret 2011 pukul 0:16
Oleh Agus Sunyoto
(Dikutip dari Catatan Facebook Agus Sunyoto II)

            Bosan doanya selama bertahun-tahun tidak dikabulkan Tuhan, dengan wajah kusut Dullah menghadap Guru Sufi. Dengan nada putus asa  ia menyatakan bahwa tidak terkabulnya doa yang dipanjatkannya, mungkin berkaitan dengan nasib dirinya yang kurang beruntung karena tidak dihiraukan Tuhan akibat dosa-dosanya. “Padahal, saya yakin dengan kebenaran  sabda Rasulullah Saw  ad-du’a silakhul mu’miin (doa adalah senjata bagi orang beriman) dan juga janji Allah: "berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu- Q.S. Al Mu’min: 60." Tapi faktanya, sampai saat ini doa saya tidak dikabul juga oleh-Nya. Entah dosa dan kesalahan apa yang telah saya lakukan sehingga do’a saya tidak dikabul Tuhan,” kata Dullah memprotes.
            Guru Sufi tersenyum. Lalu dengan suara datar  ia mengutip petuah bijak dari Al-Hikam yang berbunyi:
“Jangan engkau berputus asa karena kelambatan pemberian Allah kepadamu, padahal doamu bersungguh-sungguh. Allah telah menjamin menerima semua doa sesuai dengan yang Dia kehendaki untukmu pada waktu yang telah Dia tentukan. Bukan menurut kehendakmu dan bukan pada waktu yang engkau tentukan”.
          “Mohon maaf guru,” kata Dullah ingin tahu,”Apa maksud guru tentang kelambatan pemberian Allah dan ketentuan pemberian menurut kehendak-Nya? Bukankah janji  Allah sudah jelas: berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu- Q.S. Al Mu’min: 60?  Kenapa harus  ditunda-tunda?”
            “Engkau pernah melihat pengemis meminta sedekah?” tanya Guru Sufi.
            “Tentu pernah, guru.”
             “Apakah yang menentukan lama dan cepatnya suatu pemberian sedekah  itu sang pengemis atau orang yang memberi sedekah?”
             “Tentu yang memberi sedekah, guru.”
             “Yang menentukan besar dan kecilnya pemberian sedekah apakah sang pengemis atau pemberi sedekah?” tanya Guru Sufi.
              “Yang memberi sedekah, guru.”
             “Jika pemberi sedekah tidak memberi uang seperti yang diinginkan pengemis tetapi member roti, kue, nasi bungkus,  apakah pengemisnya boleh marah-2 karena diberi yg bukan keinginannya?” tanya Guru Sufi.
             “Tentu tidak, guru,” kata Dullah tak mau kalah,”Tapi saya kan bukan pengemis dan Allah bukan pemberi sedekah yang sukarela memberi? Bukankah Dia sudah berjanji: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran- Q.S. Al Baqarah: 186?  Bukankah Rasulullah Saw juga bersabda: “Tiada seorangpun yang berdoa, melainkan Allah pasti akan mengabulkan doanya atau dihindarkan dari bahaya padanya atau diampuni sebagian dari dosanya selama ia tidak berdoa untuk sesuatu yang menjurus kepada dosa atau untuk memutuskan hubungan sanak keluarga?”
            “Dalil yang engkau sampaikan sudah benar,” kata Guru Sufi merendah,”Tapi dalil yang mengatakan doa Dullah bakal dikabul Allah kan tidak ada? Atau dalil bahwa Allah bakal mengabulkan doa si  Dullah juga kan tidak ada?”
              “Jadi? Bisa saja doa saya memang tidak dikabul, guru ?” gumam Dullah sedih.
              “Bukan begitu maksudnya. Tapi orang yang berdoa disuruh bersabar menunggu pemenuhan doanya. Orang yang berdoa juga harus ikhlas menerima jika yang dikabul itu bukan doa seperti yang dikehendakinya, melainkan sesuai yang dikehendaki Allah. Sabar. Itu kunci doa sesuai sabda-Nya agar kita meminta tolong kepada-Nya dengan sabar dan shalat. Karena orang yang sudah dijamin akan dikabulkan doanya oleh Allah pun, ternyata masih disuruh bersabar menunggu penggenapan janji-Nya.”
                 “Adakah yang seperti itu?” tanya Dullah penasaran.         
                 “Pernahkah engkau mendengar kisah Nabi Musa dan Nabi Harun yang berdoa dan doa mereka dikabulkan Allah sesuai firman-Nya: “ Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-sekali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui – Q.S. Yunus: 89? Tahukah engkau tentang itu?”
                   “Ya saya tahu, saya pernah dengar kisah itu, guru.”
                   “Menurutmu, berapa lama kira-kira jarak antara saat doa kemenangan Nabi Musa dan Nabi Harun itu dikabulkan Allah  dengan terwujudnya  kemenangan mereka dalam kenyataan?” tanya Guru Sufi.         
                   “Menurut saya, kira-kira sekitar  dua atau tiga tahun, guru.”
                   “Kurang tepat. Yang benar janji Allah memberi kemenangan kepada Nabi Musa dan Nabi Harun dalam melawan Fir’aun itu, jarak rentang waktunya dengan realita kemenangan lamanya empat puluh tahun,” kata Guru Sufi.
                     “Empat puluh tahun?” Dullah terperangah kaget dan kemudian menggumam,”Waduh, kalau Nabi Musa saja keterkabulan doanya butuh waktu empat puluh tahun, bagaimana dengan awak yang bukan nabi dan bukan wali?”
                     “Kisah Nabi Musa tidak bisa digeneralisasi untuk semua orang, karena usia manusia sekarang ini  rata-rata lebih pendek dari usia Nabi Musa yang 120 tahun,” kata Guru Sufi menjelaskan.
                     “Jadi…?”
                      “Kisah itu menunjuk, keterkabulan doa butuh waktu sesuai yang ditentukan Sang Pengabul doa. Jadi, bersabarlah dan jangan berburuk sangka kepada-Nya. Pun jangan pernah mendikte-dikte Tuhan agar Dia memenuhi doamu sesuai keinginan nafsu yang membayangimu! Sadarlah bahwa engkau hanyalah manusia dan bukan Tuhan. Jadi jangan pernah membayangkan Tuhan harus memenuhi keinginanmu sesuai  angan-anganmu."


https://www.facebook.com/notes/agus-sunyoto-ii/jangan-mendikte-dan-membayangkan-diri-seolah-tuhan/118057811601938

12 Mei 2013

Pesantren Budaya Nusantara: Ilmu Kabegjan Sakban Rosidi

Pesantren Budaya Nusantara: Ilmu Kabegjan Sakban Rosidi:  Oleh: Tina Siska Hardiansyah   Mahasiswa UIN Maliki Malang         Pertamakali diminta mengisi ngaji di Pesantren Global Tarbiyyatul...

4 Mei 2013

Marxisme dan Ateisme


Diunggah IndoPROGRESS pada 26 April 2013 dalam Agama, Filsafat, Teori

oleh: Muhammad Al-Fayyadl 


‘APAKAH mempelajari Marxisme mensyaratkan, dan menggiring orang pada, ateisme?’ Pertanyaan demikian kerap mengganggu mereka yang tertarik dengan gagasan-gagasan Marxis dan kiri secara umum, atau yang tertarik untuk mulai membaca Marx serta mengoleksi teks-teks Marxisme. Beruntung jika setelah bertanya, ia menemukan jalannya sendiri untuk mempelajari Marx; namun lebih sering, dihantui rasa takut, lebih-lebih ditakut-takuti oleh pihak lain, orang lebih memilih menjauhi nama itu, demi alasan ‘menjaga keutuhan akidah dan iman.’

Terdengar seperti remeh, pertanyaan itu, namun demikian, merupakan pertanyaan, yang bahkan para Marxis sendiri dan kaum kiri secara umum, belum dapat menjawabnya dengan memuaskan. Selalu ada kebuntuan tertentu, ambiguitas tertentu, dalam penyikapan kaum Marxis terhadap agama. Itu disebabkan karena terjadi ketumpangtindihan antara sikap metodologis dan sikap aksiologis-ideologis begitu mereka berhadapan dengan teks-teks Marx: sikap metodologis menuntut teks-teks Marx didekati sebagai suatu teks ‘ilmiah’ yang terbuka untuk dikaji, dipelajari, dikritik, sementara sikap aksiologis-ideologis menuntut bahwa pendekatan itu tidak berhenti sebagai suatu wawasan pengetahuan, tetapi juga harus memberi pengaruh dan bahkan membentuk ‘kepribadian,’ pikiran, dan mentalitas ideologis si pembaca sebagai militan dan aktivis Marxis.

Kemenduaan itu, paradoksnya, bukan akibat kesalahan para pembaca Marx, atau kita yang hari ini mulai membaca Marx dan literatur-literatur Marxisme, tetapi muncul dari teks-teks Marx sendiri, yang selalu berayun dan bergerak dalam ketegangan antara kesatuan teori dan praktik, antara keinginan untuk memahami dan praktik untuk mengubah. Dalam hal ini, Marx berhasil keluar dari kebuntuan debat tentang prioritas antara pemikiran dan tindakan, antara refleksi dan aksi, karena berpikir, bagi Marx, adalah suatu bentuk tindakan, sebagaimana secara dialektis, bertindak adalah suatu bentuk kerja pemikiran dalam dunia nyata. Dalam kapasitas itu Marx secara personal tampil sebagai pemikir sekaligus aktivis pergerakan, dan teks-teksnya menjahit secara tak terpisahkan kedua aspek ini: sisi yang bertolak dari konfrontasinya dengan gagasan-gagasan, di satu sisi, dan sisi yang mencatat konfrontasi fisiknya dengan konstelasi pergerakan dan aktivisme yang ia hadapi.

Ketumpangtindihan itu muncul dari sini: kekaguman sebagian pembaca Marx terhadap Marx lalu seakan meniscayakan bahwa mereka harus meniru Marx dan segala atribut personal, atau juga jalan hidup, yang dipilihnya. Pilihan Marx sebagai seorang ateis lalu dipahami sebagai keharusan untuk juga menjadi ateis, jika ingin menjadi Marxis. Demikian juga, kekecewaannya pada agama diinternalisir sebagai kekecewaan yang mesti ditelan mentah-mentah agar spirit Marxisme menetes dalam diri mereka.

Pertanyaannya sekarang, dari mana muncul penerimaan bahwa Marxisme identik dengan ateisme? Dari perangai para Marxis-kah, dari biografi hidup Marx, atau dari teks-teks Marx sendiri? Perangai para Marxis, betapapun merefleksikan pemikiran Marxis yang mereka anut, tidak cukup meyakinkan untuk menjamin kebenaran opini yang telanjur menjadi stigma bagi Marxisme ini. Marxisme berkembang sebagai tradisi pemikiran dalam konteks ruang dan waktu yang berbeda-beda, diresepsi, dan diapropriasi seturut kondisi-kondisi yang mensituasikan para Marxis tersebut. Untuk tahu mengapa mereka ateis, seseorang mesti mempelajari konteks diskursif Marxisme dan agama di ruang dan waktu tertentu di mana mereka hidup. Biografi Marx, demikian juga, tidak cukup memberi landasan untuk membenarkan opini itu. Marx, sebagaimana para sosialis dan komunis sebelumnya, tidak lepas dari konteks diskursif yang mempertemukannya dalam konfrontasi dengan agama, sehingga jika ia ateis, ada latar belakang biografis, sosial, dan politis, yang tidak terhindarkan mesti juga dipelajari. Di antara biografi Marx dan teks-teksnya, ada celah yang memungkinkan kita mencari jawaban atas pertanyaan ini.

Sederhananya, penting untuk mengetahui biografi Marx dan berbagai renik konteks kehidupannya, namun lebih penting lagi, membaca teks-teks Marx untuk mengkaji secara persis pemikiran dan teorinya tentang agama. Di antara biografi dan pembacaan atas teks-teks itu, kita akan menemukan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara Marxisme dan ateisme. Meski Marx memilih menjadi ateis, namun teks-teksnya bukan suatu ajakan untuk memeluk ateisme, atau mengandung suatu perintah ‘suci’—yang mesti ditaati pembacanya—untuk berganti haluan pada ateisme.

                                                                                 ***

Sebagai sebuah teks ilmiah, apa yang ditulis tentang agama adalah sebuah wacana, wacana tentang agama. Untuk menempatkan pandangan Marx tentang agama sebagai suatu wacana tentang agama, teks Marx, tidak lebih istimewa daripada teks-teks lain yang menulis tentang agama, layak dibaca pertama-tama dalam kapasitasnya sebagai suatu tawaran metodologis. Dibaca secara metodologis, wacana ini memberikan bahan kajian dan refleksi tentang agama, pertama-tama sebagai objek kajian yang terbuka untuk dipelajari, dan kedua, sebagai salah satu cara—di antara sekian banyak cara lain yang bisa ditempuh—untuk melihat agama dari sudut pandang lain yang tidak normatif. Untuk melakukan pembacaan secara metodologis ini, seseorang memang perlu melepaskan terlebih dulu prasangka-prasangka pra-metodologisnya dan terbuka kepada wacana baru yang hendak dipelajari.

Wacana agama Marx, dilihat dari statusnya sebagai sebuah wacana tentang agama, tidak berbeda dengan wacana agama yang ditulis oleh seorang pendakwah agama yang paling konservatif atau fundamentalis sekalipun. Andaikan di depan saya ada sebuah teks yang ditulis Marx, dan di sebelahnya, ada sebuah teks yang ditulis oleh Osama bin Laden, tidak ada perbedaan antara keduanya dalam status keduanya sebagai wacana tentang agama. Tetapi, jika saya memilih teks Marx daripada teks Osama, yang menjadi pertanyaan: apa motif saya memilih teks Marx? Apakah karena nama Marx lebih terdengar bergengsi daripada Osama? Ataukah karena saya lebih suka begitu saja, secara arbitrer, pada Marx daripada Osama, tanpa alasan yang jelas? Banyak motif yang bisa muncul, baik karena alasan preferensial (suka/tak suka) maupun karena alasan superfisial (nama Marx lebih ‘eksotis’). Tetapi, saat mencoba beranjak dari motif-motif ini, saya akan menemukan bahwa ketertarikan saya—misalnya—pada Marx didorong oleh motif karena sebagai wacana, apa yang ditulis Marx membuat saya—sebagai pembaca, misalnya—lebih terdorong untuk berpikir ulang tentang agama, daripada teks Osama yang membuat saya semakin tertutup dalam beragama—argumen ini tentu dapat diperpanjang lagi.

Apa yang membedakan teks Marx persisnya dalam hal ini? Perbedaan teks Marx, lebih lanjut, terletak pada fakta bahwa wacana agama yang dibawanya adalah suatu kritik agama. Tidak berhenti pada fakta deskriptif tentang agama, Marx melancarkan suatu kritik agama, dalam arti menempatkan ‘agama,’ dalam ‘totalitas’-nya, sebagai suatu objek kritis. Terlepas dari nantinya apakah kritik ini fair atau tidak (suatu pertanyaan yang tidak ada salahnya diajukan dalam proses pembacaan ini), pertama-tama, seseorang perlu mencoba melihat pandangan agama Marx bukan menurut pandangan si pembaca, tetapi, secara dialektis, melihat agama di mata Marx, sebagaimana dilihat dan dipikirkan oleh Marx. Pergantian posisi ini yang diistilahkan oleh Slavoj Žižek sebagai parallax atau pergantian-posisi-pengamat: berhadapan dengan seorang filsuf, menurutnya, adalah memposisikan diri kita bukan sebagai pengamat bagi pandangan-pandangan filsuf itu dan melakukan penilaian berdasarkan apa yang kita inginkan darinya, melainkan, sebaliknya, memposisikan filsuf itu sebagai pengamat bagi kita dan menjadikan kita seolah-olah ‘objek kritik’ di hadapannya.

Dengan cara pandang parallax—perubahan posisi sebagai pembaca dari pelaku kritik menjadi objek kritik—terjadi eksteriorisasi, yakni kondisi ketika kita melihat diri kita terbelah antara diri kita sebagaimana hadir kepada diri kita, dan ‘citra’ diri kita sebagaimana dihadirkan oleh pihak yang lain. Secara analogis dapat dikatakan: melalui eksteriorisasi ini, kita melihat, di satu sisi, agama sebagaimana yang kita anut hadir pada diri kita, namun, agama itu tidak lagi sama karena di sisi lain, kita melihat agama sebagaimana dipikirkan oleh Marx terpantul sebagai suatu hal baru yang berbeda dari apa yang kita pikirkan tentang agama. Dengan demikian, terdapat dua ‘agama’ di sini: ‘agama’ sebagaimana yang saya yakini benar dan ‘agama’ sebagaimana dipikirkan oleh Marx dan terpantul pada agama yang saya yakini benar, namun menghadirkan sesuatu yang baru yang belum pernah saya pikirkan dalam agama yang saya yakini benar.

Dengan eksteriorisasi ini, agama dapat menjadi objek kritik, tanpa seseorang yang merasa beragama perlu melihat dengan motif personal apa kritik itu dilancarkan (tanpa melihat apakah yang mengatakannya seorang ateis atau teis). Terjadi gerak dari agama yang dihayati (interiorisasi) ke agama yang diamati (eksteriorisasi). Juga terjadi gerak depersonalisasi: dari agama yang diyakini secara pribadi ke agama sebagaimana yang ia lihat sebagai suatu fenomena eksternal, yaitu agama sebagai institusi sosial, atau yang disebut Durkheim, agama sebagai “fakta sosial”.

Bila boleh diresume dalam beberapa paragraf saja—meskipun hal ini perlu diuji dengan referensi tekstual yang ketat atas konstelasi teks-teks Marx sendiri—visi kritik (atau lebih tepatnya, ‘metakritik’) dalam kritik agama Marx adalah eksteriorisasi dan depersonalisasi agama ini, yaitu dorongan untuk menunjukkan bahwa agama adalah suatu fenomena eksternal yang objektif, yang melampaui gambaran agama sebagaimana diyakini oleh individu-individu pemeluk agama itu sendiri. Bahwa agama, dengan kata lain, bukan sebagaimana ‘aku’ atau ‘engkau’ yakini, tetapi adalah yang ‘kita’ dan ‘mereka’ lakukan, sebagai suatu fenomena sosial yang objektif, yang dapat diamati, sebagai rangkaian praktik yang membentuk suatu ‘totalitas’ bernama agama. Agama sebagai fenomena eksternal yang objektif ini—terlepas dari framing akademis yang dilakukan sesudahnya oleh sosiologi agama—menerjemahkan visi Marx, yang merentang dari teks Pendahuluan Kontribusi bagi Kritik Filsafat Hak Hegel sampai Ideologi Jerman, tentang perlunya memperlihatkan, terutama bagi pemeluk agama, sifat keduniaan dari agama: bahwa agama, begitu menjadi fenomena sosial—terlepas dari asal-usul keilahian atau profetiknya, yang nyaris tidak pernah disinggung Marx—mesti diperlakukan sebagai suatu kenyataan sosial yang sama objektif dan dapat diamati sebagaimana fenomena-fenomena sosial yang lain.

Secara anekdotal, Marx seperti ingin mengatakan: ‘Apapun yang engkau yakini atau siapapun yang engkau sembah, dengan nama apapun engkau menyebut sesembahanmu, atau dengan cara apapun engkau berdebat tentang siapa yang paling benar dalam caramu meyakini sesembahanmu, engkau dalam kenyataannya mempraktikkan apa yang engkau yakini dalam kehidupanmu sebagai makhluk sosial, dan hal terakhir ini yang kulihat dan hendak kukritik.’

Kesimpangsiuran persepsi tentang hubungan antara Marxisme dan agama, baik dari rata-rata kalangan Marxis terhadap kaum beragama maupun dari rata-rata kaum beragama terhadap Marxis, muncul dari kekaburan memahami posisi metodologis di mana Marx berdiri, yang merembet pada pencampuradukan posisi aksiologis-ideologis yang terbentuk kemudian. Dilihat dari rata-rata posisi Marxis terhadap kaum beragama, kritik agama Marx tampak sebagai suatu penolakan total atas agama sebagai ilusi yang harus ditinggalkan, di mana ateisme merupakan satu-satunya jalan keluar. Sementara itu, dilihat dari pandangan rata-rata kaum beragama, kritik Marx tampak sebagai permusuhan total terhadap agama, di mana penolakan atas Marx dan penyematannya sebagai ateisme merupakan jalan keluar.  Menarik melihat bahwa kedua posisi ini, meski berbeda dalam solusinya, berangkat dari titik tolak asumsi yang sama.

Kekaburan itu persisnya timbul dari pencampuradukan antara, kalau boleh saya istilahkan, dua logika yang sama-sama benar dan absah dikenakan untuk mengidentifikasi ‘agama:’ logika spiritual dan logika dunia. Logika spiritual melihat agama dengan parameter-parameter internal agama yang bertujuan memvalidasi kebenaran agama yang diyakini sebagai suatu hal yang ilahiah, sakral, dan abadi. Sementara, logika dunia melihat agama dengan parameter-parameter eksternal agama, yaitu agama sebagai praktik dan institusi yang bekerja dengan ‘hukum-hukum dunia’ yang bisa diamati, dan dapat berubah seiring dengan perubahan tata sosial yang membentuk dan dibentuknya.

Rata-rata kaum beragama menilai apa yang dilakukan Marx dalam kerangka logika spiritual yang mereka anut—sehingga kritik Marx dianggap serangan terhadap nilai-nilai terdalam agama—ketika kritik itu, di sisi lain, justru dibangun dengan logika dunia dan dialamatkan untuk memperlihatkan logika dunia dari agama itu sendiri. Sementara itu, rata-rata kaum Marxis, dalam kerangka logika dunia yang mereka anut, melihat kritik Marx ditujukan kepada logika spiritual agama, untuk menggantinya dengan suatu logika spiritual ‘baru,’ suatu ‘agama’ baru, atau suatu ‘kepercayaan’ baru—‘ateisme’—yang pada intinya adalah penolakan terhadap agama. Dengan demikian, menjadi lengkap sudah disjungsi total antara keduanya sehingga agama dan Marxisme dipostulatkan sebagai dua hal yang tidak pernah dapat dipertemukan.

Untuk mengurai simpul-simpul kebuntuan itu, apa yang bisa dilakukan adalah mencoba menempatkan masing-masing logika pada ranah kebenarannya sendiri: logika spiritual agama memiliki ranah kebenaran yang, pada-dirinya, dapat memvalidasi-diri, sejauh ia berurusan dengan parameter-parameter internal agama. Dalam hal ini, sekadar mengambil contoh, klaim agama tentang eksistensi Tuhan, misalnya, atau eksistensi kehidupan pasca-kematian, merupakan ranah di mana agama dapat memvalidasi-dirinya—dengan berbagai teologinya—karena hal-hal tersebut merupakan ranah di mana logika dunia tidak dapat sepenuhnya memverifikasi, tanpa terjebak oleh kebuntuan dan kesulitan-kesulitan. Dalam konteks klaim internalnya, ada kebenaran agama yang, dilihat dari logika spiritual dan ‘rasionalitas agama,’ masuk akal dan dapat diterima, walaupun dilihat dari logika dunia, kebenaran itu boleh jadi tidak masuk akal dan non-sense.

Di sisi lain, logika dunia memiliki ranah kebenarannya sendiri, yang juga valid pada-dirinya, ditinjau dari sudut bahwa ia dapat dipikirkan oleh ‘rasionalitas faktual’ dunia itu sendiri.  ‘Materialisme,’ sebagai suatu ontologi sosial (baca: pemikiran mendasar tentang masyarakat, individu, dan sejarah), dalam hal ini, sebagai suatu bentuk logika dunia (baca: cara memikirkan dunia sebagaimana adanya), memiliki kebenarannya yang dapat divalidasi dengan rasionalitas yang dapat dikenali dan dipelajari dari fakta-fakta dunia. Sebagai suatu logika dunia, materialisme berkepentingan untuk mencoba memahami dunia dengan memahami perubahan-perubahan yang inheren dan melekat pada dunia itu sendiri sebagai realitas yang ‘material.’ Agama adalah salah satu realitas ‘material’ itu, sehingga bila logika dunia membaca agama, ia membacanya dalam rangka memahami dinamika agama sebagai realitas ‘material.’ Dilihat dari logika dunia, hal ini masuk akal, walaupun dilihat dari logika spiritual agama, hal ini akan dipandang menistai kesakralan agama—suatu kekhawatiran yang sebenarnya terlalu berlebihan, dilihat dari logika dunia, karena bagaimanapun agama bisa eksis karena ia berpijak di atas dunia.

Dengan menempatkan kedua logika ini dalam ranah kebenarannya masing-masing, kita sepertinya tidak akan kesulitan untuk menjawab, misalnya, mengapa rata-rata Marxis belum bisa menerima agama sebagai suatu kenyataan ilahiah, karena mereka melihat fenomena ‘spiritual’ agama dengan logika dunia. Sebaliknya, kita akan mulai mengerti mengapa rata-rata kaum beragama tidak kunjung memahami kapitalisme, misalnya, sebagai suatu persoalan sosial dan bukan moral semata, karena mereka masih melihat perubahan-perubahan keduniaan dengan logika spiritual. Ketidaksinkronan ini mengakibatkan ketidakmampuan kedua pihak untuk mengakui kebenaran pihak lain, karena keduanya tidak melihat ranah di mana masing-masing bekerja.

Dua logika ini tentu kemudian tidak selamanya seterpisah kelihatannya, karena, di antara kepekatan yang melapisi keduanya, terdapat titik-titik persinggungan, titik-titik yang memungkinkan lahirnya hal-hal baru, pertemuan-pertemuan yang tak terduga, dan persilangan-persilangan yang mengejutkan. Titik persinggungan itu yang memungkinkan dunia dipikirkan oleh logika spiritual, yang melahirkan—untuk menyebut contoh klasik—Teologi Pembebasan, dalam berbagai versinya (Kristiani, Islam, atau Yahudi), atau pemikiran orang-orang seperti Thomas Münzer, teolog pemimpin para petani revolusioner dari abad ke-16. Gagasan-gagasan ini dapat dilihat sebagai pelampauan logika spiritual agama untuk keluar dari ranah kebenarannya sendiri dan bertemu dengan kenyataan faktual dunia. Di sisi lain, terdapat titik persinggungan yang memungkinkan agama dipikirkan-ulang oleh logika dunia, seperti tercermin dari gagasan Engels yang melihat kesejajaran antara sosialisme modern dan agama Kristen primitif, dalam cita-cita pembebasan keduanya. Dengan tetap menjadi materialis secara filosofis, dan ateis secara ‘irreligius,’ Engels tidak menafikan karakter ganda dari agama yang, tidak sesederhana stereotipe para filsuf Pencerahan, melihat agama tidak melulu identik sebagai kekuatan kolot dan reaksioner. Seperti Marx dari teks Kontribusi bagi Kritik Filsafat Hak Hegel, ia melihat karakter ganda dari agama, yang mempertahankan tatanan yang dominan, namun di sisi lain dapat mengubahnya.

Pemikiran Engels terdengar dari jauh seperti sebuah teologi, hingga kita akan salah mengira bahwa dia seorang teolog. Di sisi lain, Münzer dari jauh tampak seperti seorang ateis yang revolusioner, meski nyatanya ia seorang agamawan yang taat. Kesan yang menipu ini barangkali sedikit isyarat, bahwa pada gilirannya menjadi tidak relevan atribut ateis atau teis yang disandang. Ateisme mungkin adalah pilihan yang masuk akal bagi sementara orang, walaupun tentunya bukan pilihan cerdas dan terbaik. Tetapi, seorang ateis seperti Engels yang mau bersusah payah memikirkan agama, setidaknya lebih baik, menurut logika dunia, daripada seorang agamawan yang lebih sibuk memikirkan ‘keagungan’ agamanya, di tengah masyarakat yang lapar dan pemerintahan yang korup. Engels sepertinya tak akan ‘selamat’ di akhirat, tapi setidaknya selama di dunia, ia sudah memikirkan sesuatu yang terlupakan dari perhatian orang-orang yang hanya berpikir untuk masuk surga, sementara membiarkan tetangganya kelaparan.**

Muhammad Al-Fayyadl santri filsafat di Universitas Paris VIII, Prancis
 —untuk para santri dan para akhwat-ikhwan yang hendak membaca Marxisme